Jumat, 23 Maret 2012

ULUMUL QUR'AN, NASIKH MANSUKH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut
A. Pengertian nasikh dan mansukh
B. Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
C. Pengertian takhshish
D. Urgensi mempelajari konsep nasikh dan mansukh

BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH

A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a.      Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13] 
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b.      Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.

c.      رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180] 
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
  1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
  2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
  3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
  4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a.  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b.     Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c.      Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.      Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b.     Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah
1.      Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
 Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2.      Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu  waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3.      Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakberakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakuppengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas(muthlaq).  juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan(makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). bahkanjuga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  demikian   pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasanpengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antaranasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuanhukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakanberakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yangterdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialahketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikanketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta.  Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.

Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan  redaksi atau lafal ayat.  Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)

Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)

Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada,  hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)

Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap.  Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistim tadrij yang dipakai  Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan:    wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.  Setelah itu tahap kedua:  Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,  Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat !  Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90:  Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.       Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.

Bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur’an :
  1. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66] 
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
  1. Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
  2. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240] 
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
  1. Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya  saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4] 
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6] 
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
C. PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.”

Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
NASIKH
TAKHSHISH
  1. Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
  2. Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
  3. Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.

  1. Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

  1. Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
  1. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
  2. Takhshish merupakan hukum dari sebsgian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.

  1. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
  2. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan.
  3. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.

a.      Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b.      Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.
c.      Dalil yang menasikh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’.
D. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
 
Hikmah nasikh :
  1. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
  2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
  3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
  4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
  5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
  6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
BAB III
PENUTUP 
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1.    Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2.    Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.

ULUMUL HADITS DAN CABANG-CABANGNYA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Sebagai di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadis sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadis Shahih, Hadis Hasan, dan Hadis Dha`if. Masing-masing memiliki persyaratan sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kulitas para periwayat yang di lalui hadis, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadis itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadis ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang di cantumkan di dalam sanad hadis itu orang-orang yang terpercaya aau tidak. Adapun Ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadis bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1     Apa Pengertian Ulumul Hadis?
1.2.1.1     Apa Pengertian Ilmu Hadis Riwayah?
1.2.1.2     Apa Pengertian Ilmu Hadis Dirayah?
1.2.2     Apa Saja Cabang-cabang Ulumul Hadis?
1.2.3     Apa Saja Contoh Kitab yang Berhubungan dengan Cabang-cabang Ulumul Hadis?
1.3    Batasan Masalah
1.3.1     Pengertian Ulumul Hadis.
13.1.1       Pengertian Ilmu Hadis Riwayah.
13.1.2       Pengertian Ilmu Hadis Dirayah.
1.3.2     Cabang-cabang Ulumul Hadis.
1.3.3     Contoh Kitab yang Berhubungan dengan Cabang-cabang Ulumul Hadis.
1.4    Tujuan
14.1       Tujuan Umum
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang Ulumul Hadis beserta cabang-cabangnya.


14.2       Tujuan Khusus
Secara khusus makalah ini bertujuan untuk:
§  Mengetahui Pengertian Ulumul Hadis.
-     Mengetahui Pengertian Ilmu Hadis Riwayah.
-     Mengetahui Pengertian Ilmu Hadis Dirayah.
§  Mengetahui Cabang-cabang Ulumul Hadis.
§  Mengetahui Contoh Kitab yang Berhubungan dengan Cabang-cabang Ulumul Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

2.1    Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul Hadis adalah istilah Ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama` Hadis. (Arabnya: `Ulum al Hadits). `Ulum al Hadits terdiri atas dua kata, yaitu `Ulum dan al Hadits. Kata `Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari `Ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al Hadits di kalangan Ulama` Hadis berarti “segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.” Dengan demikian `Ulum Al Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi “.
Secara umum para Ulama` Hadis membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah (`Ilm al Hadits Riwayah) dan Ilmu Hadis Dirayah (`Ilm al Hadits Dirayah):
2.1.1        Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
a.       Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.
b.      Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu:
Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
c.       Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
-   Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
-   Cara pemeliharaan Hadis, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.
2.1.2        Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan tertapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
a.       Menurut ibnu al-Akfani, yaitu:
Dan ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuaatu yang berhubungan dengannya.
b.      Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu:
Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadis) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Syarat-syarat Riwayat yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang di riwayatkan dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama` (perawi yang mendengar langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira`ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunyadi hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang Ulama` tanpa di bacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan suatu Hadis yang tertulis kepada seseorang untuk di riwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), i`lam (memberi tahu seseorang bahwa Hadis-hadis tertentu adalah koleksinya),  washiyyat (mewasiat-kan kepada seseorang koleksi Hadis yang di milikinya), dan wajadah (mendapat-kan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
Macam-macam riwayat adalah seprti periwayatan muttashil (periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi yang terakhir), atau munqothi` (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah atau di akhir), dan yang lainnya.
Hukum riwayat adalah al-qobul (di terimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu), dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi).
Keadaan para perawi maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-`adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh)
Syarat-syarat mereka yaitu syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda`).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat) adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu`jam, atau al-ajza` dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW.
c.       M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu:
Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau ditolaknya.
Dengan urian sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta`dil ketika tahammul dan adda` al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi diatas adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak di benarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui idenatitasnya atau tersamar; (ii) segi keterpercayaan sanad (tsiqot al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat didalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya); (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz); (iv)keselamatannya dari cacat (`illat); dan (v) tinggi dan rendahnya suatu sanad.
Sedangakan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dho`ifan-nya. Hal tersebut dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al-Qur`an, atau keselamatannya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasd al-ma`na), karena bertentangan dengan akal dan panca indra, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur`an, atau dengan fakta sejarah; dan (iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk di amalkan), dan yang mardud (yang ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama diatas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan di tolaknya.

2.2    Cabang-cabang Ulumul Hadis
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
a.    Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
b.     Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil, sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.
c.    Ilmu Fannil Mubhamat
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Misalnya perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
d.    Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya, yang bisa disebut sebagai ilmu Talfiq al-Hadits.
e.    Ilmu `Ilalil Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu Hadis. Misalnya memuttasilkan Hadis yang munqathi`, memarfu`kan Hadis yang mauquf, memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang lain, dan sebagainya. Ilmu yang satu ini menentukan apakah suatu Hadis termasuk Hadis dla`if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari segala illat.
f.      Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan Hadis Rasulullah SAW yang sukar di ketahui dan di pahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Atau ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.
g.    Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h.    Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadis)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan. 
i.      Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang di pakai oleh ahli-ahli Hadis.
2.3    Contoh Kitab yang Berhubungan dengan Cabang-cabang Ulumul Hadis.
a.       Ilmu Rijal al-Hadis
1.      Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqot)
-         Kitab Al-Thabaqot al-Kubra, karya Abu abdillah ibn Sa`ad Katib al-Waqidi (168-230 H)
-         Thobaqot al-Riwayat, karya Khalifah ibn Khayyath al-`Ushfuri (w. 240 H)
-         Kitab Tadzkirat al-Huffazh, karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746 H/1348 M).
2.      Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah menggunakannya, seperti  Al-Tarikh al-Kabir, karya Al-Imam Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256 H).


3.      Kitab yang membahas biografi para sahabat Nabi, seperti:
-         Al-Isti`ab fi Ma`rifat al-Ashab, karya Ibn `Abdil Barr (w. 463 H/1071 M). yang memuat biografi tidak kurang dari 3500 orang sahabat.
-         Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Shahabah, karya `Izzuddin ibnul Atsir (w. 630 H/1232 M). yang memuat biografi sebanyak 7554 orang sahabat.
4.      Kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasa`I, Sunan Ibn Majah) antara lain, Al-Kamal fi Asma al-Rijal, karya `Abdul Ghani al-Maqdisi (w. 600 H/1202 M).
b.      Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Kitab-kitab yang disusun mengenai  Jarh dan Ta`dil, ada beberapa macam yaitu:
1.      Kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah, seperti Kitab Thobaqot Muhammad ibn Sa`ad Az Zuhry Al Bashory (230 H).
2.      Kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat di percaya saja, seperti Kitab Ats Tsiqot, karangan Al `Ajaly (261 H) dan kitab Ats Tsiqot, karangan Abu Hatim ibn Hibban Al Busty.
3.      Kitab yang menerangkan tingkatan penghafal-penghafal Hadis, seperti kitab karangan Ibnu Hajar Al `Asqolany dan As Sayuthy.
4.      Kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja, seperti Kitab Adl Dlu`afa karangan Al Bukhary dan Kitab Adl Dlu`afa karangan Ibnul Jauzy (597 H).
c.       Ilmu Fannil Mubhamat
-         Kitab susunan Al Khatib Al Baghdady, yang kemudian kitab tersebut diringkas dan di bersihkan oleh An Nawawy dalam Kitab Al Isyarat ila bayani Asmail Mubhamat.
d.      Ilmu Mukhtalif al-Hadis
-         Kitab Ikhtilaf al-Hadits, karangan Imam al-Syafi`i (150-204 H).
-         Kitab Ta`wil Mukhtalif al-Hadits, karangan `Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Danuri (213-276 H).
-         Kitab Musykilul Atsar, karangan Al-Imam Abu Ja`far ibn Muhammad al-Thahawi (239-321 H).
-         Kitab Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, karangan Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (w. 406 H).

e.       Ilmu `Ilalil Hadits
-         Kitab Ilalil Hadits karangan Ibnu al-Madani (234 H), Imam Muslim (261 H), Ibn Abu Hatim (237 H), Ali bin Umar Daruquthni (375 H), Muhammad bin Abdullah al-Hakim (405 H), dan Ibn al-Jauzi (597 H).
f.        Ilmu Gharibul-Hadits
-         Kitab Al-Fa`iq fi Ghorib al-Hadits, karangan Zamakhsari.
-         Kitab Al-Nihayat fi Ghorib al-Hadits wal-Atsar, karangan Ibn al-Atsir (606 H).
-         Kitab Al-Dar al-Natsir, Talkhis Nihayah Ibnal Atsir, karangan As-Suyuthi.
g.       Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
-         Kitab Nasikh wal Mansukh , karangan Ahmad bin Ishak ad-Dinari (318 H), Muhamad bin Bahr al-Ashbahani (322 H), Wahbatullah bin Salamah (410 H).
-         Kitab Al-I`tibar fi al nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karangan Abu Bakr Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani (584 H).
h.       Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
-  $3B       Kitab karangan Abu Hafsh al-Akbari (380-456 H).
-         Kitab Al-Bayan wa al-Ta`rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif, karangan Ibn Hamzahal Husaini al-Dimasyqi (1054-1120 H).
i.         Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
-         Kitab Taujihun Nadhar fi Ushulil Atsar, karangan asy Syaikh Thahir Al Jaza-iry.
-         Kitab Qawa`idul Tahdiets, karangan Allamah Jamaluddien Al Qasimy.

PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
a.       Ulumul Hadis adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW.
b.      Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW. Objek kajiannya adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya.
c.       Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada Sahabat dan Tabi`in. Ilmu Hadis Dirayah inilah yang selanjutnya disebut dengan Ulumul Hadis.
d.       Cabang-cabang Ulumul Hadis diantaranya adalah:
-         Ilmu Rijal al-Hadis
-         Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
-         Ilmu Fannil Mubhamat
-         Ilmu Mukhtalif al-Hadis
-         Ilmu `Ilalil Hadits
-         Ilmu Gharibul-Hadits
-         Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
-         Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
-         Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
e.       Ada banyak Ulama` yang mengarang kitab tentang masing-masing cabang dari cabang-cabang Ulumul Hadis.
3.2    SARAN
-         Untuk mengetahui informasi tentang sebuah Hadis baik dari segi sanad maupun matannya maka perlu di ketahui terlebih dahulu ilmu-ilmu yang mempelajari tentang hal tersebut.
-         Untuk mendapatkan informasi yng sesuai dengan keinginan kita, maka kita harus sesuikan dengan kitab yang membahas tentang informasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  •  Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang 2005
  •  Muh. Zuhri, Prof. Dr. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Tiara Wacana Yogya (anggota IKAPI), Yogyakarta 2003
  •  Subhi As-Shalih Dr. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta 2007
  •  Nawir Yuslem, DR. MA, Ulumul Hadis, Mutiara Sumber Widya (angota IKAPI) 2001

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls