Senin, 19 Maret 2012

SUMBER HUKUM ISLAM, ALQUR'AN


AL-QUR’AN

Al-Qur’an adalah dalil pertama dan utama dalam perujukan dan penetapan hukum Islam. Al-Qur’an merupakan pokok agama, dasar aqidah, sumber syari’at dan petunjuk bagi orang-orang bertaqwa.
Allah SWT. berfirman :
ذَلِكَ اْلكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ    (البقرة 2)
Artinya : Kitab (Al-Qur’an), ini tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS : Al-Baqarah 1-2)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ     ( لمائدة 49)
Artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara  menurut apa yang diturunkan Allah (QS: Al-Maidah 49)
Darinya legalitas sumber-sumber hukum yang lain tercetuskan. Kewajiban berpegang dan berhujjah dengan al-sunnah tercantum di dalamnya. Begitu pula, untuk berpedoman pada ijma’ dan qiyas sebagai hujjah, kita harus bersandarkan pada Al-Qur’an. Karenanya, Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam.
Secara harfiah, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dengan makna qirâ’ah (bacaan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT. yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminologi, Al-Qur’an atau Al-Kitab adalah kalam Allah berbahasa Arab sebagai mu’jizat yang diturunkan pada RasulNya, Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang teriwayatkan kepada kita secara mutawâtir serta membacanya mengandung nilai ibadah.1

Periwayatan Al-Qur’an

Sebagai salah satu unsur pendefinisian Al-Qur’an, mutawâtir[1] dalam periwayatan Al-Qur’an adalah suatu keharusan. Hal ini karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang terkandung di dalamnya hukum-hukum syari’at, dan keberadaannya sebagai mu’jizat. Maka suatu qirâ’ah (ragam bacaan) yang tidak memenuhi syarat mutawâtir dalam periwayatannya, tidaklah dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Ulama’ ushul fiqh mengklaim bahwa masing-masing dari qirâ’ah sab’ah (bacaan imam tujuh) adalah mutawâtir. Qirâ’ah sab’ah tersebut adalah :Abû ‘Amr, Nâfi‘, Âshim, Hamzah, Kisâ’i, Ibn Katsîr, dan Ibn ‘Âmir. Sebagian lagi mengklaim bahwa qirâ’ah mutawâtir adalah qirâ’ah ‘asyrah (qirâ’ah sepuluh), yakni qirâ’ah sab’ah ditambah qirâ’ah Ya’qûb, Abû Ja’far dan Khalaf.
Namun para ulama’ mutaakhkhir dari para ahli qirâ’ah mengutarakan bahwa qirâ’ah sab’ah adalah mutawâtir periwayatannya mulai dari para imam sab'ah tersebut, bukan yang teriwayatkan sejak dari Rasulullah saw. Karena pada beberapa bagian, qirâ’ah-qirâ’ah tersebut diriwayatkan dari Rasulullah secara âhâd (tidak mutawâtir), sehingga dalam qirâ’ah sab'ah tidak terpenuhi beberapa syarat mutawâtir. Mereka tidak memutlakkan kemutawâtiran dari masing-masing qirâ’ah sab’ah, terlebih lagi dari qirâ’ah ‘asyrah. Klaim mutawâtir dari qirâ’ah sab’ah hanyalah cetusan dari ulama’ ushul fiqh.[2] Namun, pernyataan para ahli qirâ’ah ini disanggah dengan suatu kenyataan – sebagaimana diungkapkan Al-Qadli Abu Bakar – bahwa umat Islam telah bersepakat menerimanya dan menjadikannya sebagai mushaf jama'ah, serta memastikan keberadaannya sebagai Al-Qur'an. Selain qirâ’ah-qirâ’ah tersebut, umat Islam tidak membaca dan menyebutnya sebagai al-qur'an. Sebagaimana metode ini pula, Ibn Shalah memastikan kebenaran hadits-hadits shahih Bukhari-Muslim meski teriwayatkan secara ahad, karena umat Islam telah menyepakati untuk menerimanya. Apalagi dalam hal penerimaan qirâ’ah sab'ah sebagai al-qur'an yang di dalamnya terpenuhi sebagian besar syarat-syarat mutawâtir. Inilah yang dijadikan pegangan mayoritas ulama' ushul fiqh, bahwa khabar ahad bila oleh umat Islam disepakati penerimaannya, maka ia adalah sesuatu yang dapat dipastikan kebenarannya.[3]
Kemudian secara terperinci Ibn Al-Jazari memberikan kriteria qirâ’ah shahihah[4] :
1.      Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau hanya dari satu sisi[5]
2.      Sesuai dengan salah satu teks mushaf Utsmani, walau hanya sekedar mendekati[6]
3.      Sahih sanad periwayatannya.
Bila suatu qirâ’ah memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak layak untuk ditolak dan diingkari. Qirâ’ah tersebut adalah satu di antara tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Maka bagi kita wajib menerimanya, baik qirâ’ah tersebut berasal dari qirâ’ah sab’ah, asyrah atau yang lainnya.  Sehingga apabila salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, maka qirâ’ah tersebut dikategorikan sebagai qirâ’ah yang lemah, syadz, atau batal. Baik qirâ’ah tersebut teriwayatkan dari imam Sab’ah, atau yang lain. Kriteria inilah yang dianggap sahih oleh ulama’ muhaqqiqin, salaf maupun khalaf. Pendapat ini diikuti oleh Abû ‘Amr ‘Utsmân bin Saîd al-Dânî, Abû Muhammad Makki bin Abî Thâlib, Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdawî dan Abû Syâmah.
Imam Abû Muhammad Makki dalam kitabnya Al-Kasyf menuturkan bahwa periwayatan dalam Al-Qur’an diklasifikasikan menjadi tiga bagian[7] :
1.      Qirâ’ah yang dapat diterima dan dapat dibaca, yaitu qirâ’ah yang memenuhi tiga kriteria sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Bin Al Jazari.
2.      Qirâ’ah yang dapat diterima, namun tidak boleh dibaca, yaitu qirâ’ah yang sahih periwayatannya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi menyalahi teks mushaf Utsmani.[8]
3.      Qirâ’ah yang tidak dapat diterima dan juga tidak dapat dibaca, yaitu setiap qirâ’ah yang diriwayatkan oleh bukan orang yang tsiqah (terpercaya), atau diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, namun menyalahi kaidah bahasa Arab. Qirâ’ah ini tidak dapat diterima walaupun sesuai dengan teks mushaf Utsmani.[9]
Dari pendapat di atas, Al-Suyûthi menyimpulkan, bahwa ada beberapa macam qirâ’ah, yaitu[10]:
1.      Mutawâtir, yakni qirâ’ah yang diriwayatkan oleh segolongan ulama’ yang tidak memungkinkan timbul kesepakatan di antara mereka untuk berdusta.
2.      Masyhûr, yakni qirâ’ah yang sahih sanadnya, namun tingkat kesahihannya masih berada di bawah riwayat mutawâtir, serta sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan naskah Mushaf 'Utsmani.
3.      Âhâd, yakni qirâ’ah yang sahih periwayatannya, namun menyalahi teks Mushaf Utsmani, dan kaidah-kaidah bahasa Arab.
4.      Syadz, yakni qirâ’ah yang periwayatannya tidak sahih.
5.      Maudlû’, yakni qirâ’ah palsu, yang dikarang tanpa periwayatan
6.      Semacam hadits mudraj, yakni qirâ’ah yang ditambah dengan penafsiran, seperti qirâ’ah Sa’ad bin Abi Waqqash وله أخ أو أخت من أم dengan tambahan  من أم (QS:An-Nisa' 12).
Kemudian adanya perbedaan qirâ’ah seringkali menyebabkan perbeda-an hukum. Sebagaimana batal tidaknya wudlu orang yang disentuh oleh lawan jenis, yang timbul dari perbedaan qirâ’ah     لمستمdanلامستم  . Dengan qirâ’ah pertama disimpulkan hukum ketidakbatalan wudlu, sedangkan berdasarkan qirâ’ah kedua sebaliknya[11]. Contoh lain adalah boleh tidaknya menggauli wanita setelah terhentinya haid dan sebelum mandi, yang timbul dari perbedaan qirâ’ah يطْهُرن (dengan takhfîf, ringan) dan   يطّهّرن  (dengan tasydîd, rangkap). Menurut sebagian ulama', qirâ’ah pertama bermakna keadaan suci pada wanita dengan berhentinya darah haid, sehingga diperbolehkan menggaulinya setelah terhentinya darah haid meski belum melakukan mandi.  Sedangkan qirâ’ah kedua, selain bermakna seperti qirâ’ah pertama, juga memiliki makna bersuci, yakni mandi, sehingga meski seorang wanita telah terhenti darah haidnya, namun belum diperbolehkan untuk menggaulinya selama belum melakukan mandi atau tayammum dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan[12].
Selanjutnya dalam kaitannya dengan berhujjah menggunakan qirâ’ah syadz, terdapat perbedaan pendapat. Imam Al-Haramain dalam kitabnya Al-Burhân meriwayatkan dari zhahir madzhab Al-Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan qirâ’ah syadz. Pendapat ini diikuti oleh Abû Nashr Al-Qusyairi dan Ibn al-Hâjib. Karena qirâ’ah syadz adalah periwayatan yang menyandarkan suatu bacaan sebagai Al-Qur’an, padahal bacaan tersebut bukanlah Al-Qur’an. Al-Ghazâli berpendapat bahwa qirâ’ah syadz tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena bukan merupakan Al-Qur’an. Sebagaimana qirâ’ah Ibn Mas‘ûd mengenai kafârah (denda) pelanggaran sumpah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Artinya: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya melakukan puasa selama tiga hari berturut-turut. (Dalam qirâ’ah standar terbaca tanpa lafal terakhir, QS: Al-Ma'idah 89).
Tidak diperbolehkan berhujjah berdasarkan qirâ’ah ini tentang adanya kewajiban berturut-turut melakukan puasa dalam rangka kafârah melanggar sumpah. Karena boleh jadi tambahan tersebut hanya sebagai penafsiran belaka dengan mengqiyaskan dalil muthlaq (tanpa batasan rinci) pada dalil muqayyad (dengan batasan).[13]
Pokok-pokok kandungan Al-Qur’an
Secara garis besar, hukum-hukum  yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga hal.
Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan i‘tiqâd (keyakinan), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada Allah SWT., Malaikat-malaikatNya dan Rasul-rasulNya. Inilah  yang menjadi pembahasan ilmu kalam (Ushûl al-dîn).
Kedua, hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlaq (etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku hati yang mengajak manusia untuk berakhlaq mulia dan berbudi luhur. Ini adalah pembahasan ilmu akhlaq.
Ketiga, hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘amaliyyah (tindakan praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan semua tindakan yang dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta perbuatan yang berhubungan dengan perintah, larangan dan penawaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal inilah*yang menjadi pembahasan ilmu fiqh[14].
Pokok kandungan ketiga ini secara dimensional mencakup pola hubungan vertikal dan horisontal.
-           Amaliyyah yang berdimensi vertikal yaitu amaliyyah yang berkenaan dengan hubungan antara Allah SWT. dengan para hambaNya, yaitu ibadah yang tidak sah tanpa niat. Sebagian di antaranya adalah ibadah ritual (mahdlah) sebagaimana shalat dan puasa. Sebagian yang lain adalah ibadah semi ritual (ghair mahdlah) yang juga mengandung unsur mâliyyah-ijtimâ‘iyyah (sosial-kebendaan) sebagaimana zakat dan unsur badaniyyah- ijtimâ‘iyyah (sosial-jasmani) sebagaimana haji. Keempat jenis ibadah ini (shalat, puasa, zakat dan haji) dijadikan sebagai dasar Islam setelah iman.
-           Amaliyyah yang berdimensi horisontal, yakni amaliyyah yang berkenaan dengan hubungan antar hamba, satu dengan lainnya. Amaliyyah ini diklasifikasikan dalam empat macam bagian. (1) Aturan syari’at yang berorientasi perluasan dan pengamanan dakwah Islam yaitu jihâd. (2) Aturan syari’at yang berorientasi untuk membangun tatanan rumah tangga sebagaimana hal ihwal pernikahan, talak, nasab, pembagian harta pusaka dan yang lain. (3) Aturan yang berorientasi pada regulasi hubungan antar manusia seperti jual beli, persewaan dan lain sebagainya yang dikenal sebagai mu‘âmalah (transaksi). (4) Aturan atau undang-undang yang memuat sanksi atas tindak kejahatan.  Hal ini diterapkan dalam qishâsh dan had [15].
Muhkamât dan mutasyâbihât dalam Al-Qur’an
            Dalam Al-Qur’an terdapat klasifikasi ayat muhkam dan mutasyâbih. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ أَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (ال عمران :7)
Artinya : Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu, di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. (QS : Ali Imran 7)
Namun mengenai maksud dari keduanya, para ulama’ berbeda pandangan[16]. Beberapa pendapat tersebut di antaranya adalah:
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang dilâlahnya tegas (jelas), sedangkan al-mutasyâbih adalah sebaliknya. Atau Al-muhkam adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang maknanya tegas, sedangkan al-mutasyâbih adalah sebaliknya. Dari kedua definisi ini, termasuk dalam klasifikasi ayat-ayat al-mutasyâbih adalah ayat-ayat yang mujmal dan musytarak.
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat yang susunan kalimatnya jelas dalam pemahaman, dan al-mutasyâbih adalah ayat-ayat yang susunan kalimatnya tidak jelas, sebagian tidak memberikan pemahaman. Hal ini diungkapkan oleh Al-Amudi dan pengikutnya. Ketidakjelasan dari maksud al-mutasyâbih tidak ditujukan untuk memberikan pemahaman, akan tetapi sebagai ujian.
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui, sangat lugas (jelas) atau dengan ta’wil, sedangkan al-mutasyâbih adalah ayat-ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah.
-           Al-muhkam adalah ayat yang menimbulkan satu sisi ta’wil, sedangkan al-mutasyâbih adalah ayat yang menimbulkan beberapa sisi ta’wil.
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat tentang kewajiban, janji dan ancaman, sedangkan al-mutasyâbih adalah ayat-ayat tentang kisah-kisah dan perumpamaan.
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat yang menaskh (nâsikh), sedangkan al-mutasyâbih adalah ayat-ayat yang dinaskh (mansûkh).
-           Al-muhkam adalah ayat-ayat yang dapat dinalar maksudnya, sedangkan al-mutasyâbih adalah sebaliknya.
Dan masih banyak lagi penafsiran tentang pengertian al-muhkam dan al-mutasyâbih. Al-Ghazâli mentashih pendefinisian al-muhkam dan al-mutasyâbih dalam dua makna :
1.      Al-muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya lugas, tidak menimbulkan isykâl (kejanggalan), tanda tanya, dan dualisme makna. Sedangkan al-mutasyâbih adalah sebaliknya.
2.      Al-muhkam adalah ayat-ayat yang susunan kalimatnya jelas, memberikan kefahaman dari zhahirnya atau pentakwilan yang tidak menimbulkan kesimpangsiuran makna. Namun, al-muhkam dengan pengertian kedua ini muqâbilnya adalah al-mutsbaj (kalimat dengan susunan yang kacau) dan al-fâsid (kalimat yang tidak memberikan kefahaman secara jelas)[17].
Hukum dari al-muhkam adalah kewajiban mengamalkannya, sedangkan dalam al-mutasyâbih, meski para ulama masih berselisih pendapat tentang hukum pengamalannya, namun pendapat yang benar adalah tidak boleh mengamalkannya.[18] Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanNya :
وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِ (أل عمران 7)
Artinya : Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS : Ali Imran 7).
Ketidakbolehan beramal dengan ayat-ayat mutasyâbih bukan karena tidak adanya makna – karena hal tersebut tidak mungkin – akan tetapi karena keterbatasan pemahaman manusia dalam mendalami maksud Allah, sebagai-mana dalam huruf-huruf pembuka surat. Tidak diragukan lagi bahwa huruf-huruf tersebut memiliki makna yang tidak terjangkau oleh pemahaman manusia.
Asbâb al-Nuzûl
Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud  sebenarnya tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.[19]
Al-Zarqânî memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian khusus Rasulullah[20].
Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan Al-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing[21]. Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya. Sebagaimana ayat:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأََيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ الله  البقرة 115
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke manapun kamu menghadap, maka di situlah wajah Allah. (QS: Al-Baqarah 115)
Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’[22]. Dengan mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib mengqadlâ’.
Ketiga, menepis persangkaan hashr (ketertentuan pada suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah :
قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْمَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاِعمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ (الأنعام 145)
Artinya: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS: Al-An’am 145)
Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah, menganggap halal apa yang diharamkan Allah, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah berfirman : “Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.
Keempat, mentakhshîsh hukum dengan asbâb al-nuzûl ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah  khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima, Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.[23]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan asbâb al-nuzûl, ulama’ ushul fiqh berbeda pandangan mengenai apakah yang dijadikan patokan adalah ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat) atau khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat) ? Kalangan al-Syafi’iyyah memilih pendapat pertama. Mereka berpijak pada sikap para shahabat dan lainnya dalam keumuman redaksi ayat yang turun karena sebab tertentu. Sebagaimana ayat zhihâr[24] yang dilatarbelakangi oleh kasus yang dialami Salmah bin Shakhr, ayat li‘ân[25] yang turun dengan tokoh peristiwa Hilâl bin Umayyah, dan ayat yang menjelaskan sanksi qadzf  pada orang-orang yang menuduh Umm al-mu’minin ‘Aisyah ra. Dampak hukum ayat-ayat ini melebar cakupannya pada selain tokoh-tokoh peristiwa turunnya ayat-ayat di atas.[26]
Dalam catatan pinggir Al-Luma‘ dipaparkan bahwa argumentasi yang melandasi pendapat ini adalah sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah menerapkan suatu ayat sebagai hujjah dalam keumuman redaksinya, kendati ayat tersebut diturunkan dengan sebab dan tujuan tertentu. Ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Anfal 24:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ (الأنفال 24)
 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS: Al-Anfal 24)
“Ajakan pada sesuatu yang memberi kehidupan”, oleh sebagian ahli tafsir diartikan sebagai ajakan berperang, karena dengan ini, Allah memuliakan derajat kaum muslimin setelah sebelumnya hina, dan Allah menguatkan kaum muslimin setelah sebelumnya lemah. Al-Zujjâj menafsirkan ayat di atas dengan ajakan kepada ilmu, atau kehidupan abadi di akhirat. Tafsiran-tafsiran di atas – sesuai dengan kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat – adalah interpretasi dan maksud dari kandungan ayat. Namun Rasulullah menerapkannya dengan keumuman redaksi ayat. Pada suatu kesempatan Rasulullah saw. menemui Abu Dzarr ra. dan berucap salam kepadanya. Karena Abu Dzarr sedang melaksanakan shalat, ia tidak menjawab salam Rasulullah. Seusai shalat, Rasul menegurnya: “Apa yg mencegahmu dari menjawab salamku ?” Abu Dzarr menjawab: “Saat itu saya sedang melakukan shalat”. Rasulullah mengingatkan, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah ?"
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS: Al-Anfal 24)
Dari riwayat ini, Rasulullah menjadikan khithâb pada ayat di atas tidak sebagaimana konteks dan maksud diturunkannya ayat tersebut. Karenanya, sebagaimana yang menjadi pegangan mayoritas ulama', yang dijadikan patokan utama dalam menyikapi nash-nash Al-Qur'an atau hadits adalah keumuman teks, bukan kekhususan konteksnya[27].

Naskh dalam Al-Qur’an

Dalam kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasalahan naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh (disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut dalil yang menyalin (nâsikh)nya. Permasalahan naskh menjadi begitu penting tatkala terjadi perdebatan seputar definisi naskh, kemungkinan terjadinya, boleh tidaknya ayat-ayat Al-Qur’an dinaskh dengan dalil selainnya dan sebaliknya, serta penentuan ayat-ayat yang mânsukh berikut nâsikhnya.
Para ulama’ berbeda pandangan dalam mendefinisikan naskh. Namun di antara sekian banyak pendefinisian, secara umum terdapat dua pendefinisian yang paling populer[28]. Pertama, penjelasan tentang selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ dengan kemunculan hukum syara’ yang lebih akhir. Maksud dari selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ adalah bahwa hukum yang ternaskh telah ditentukan batas akhir berlakunya di sisi Allah. Definisi ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Râzi dan Al-Baidlawi. Kedua, Menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir. Maksud dari menghapus hukum syara’ adalah menghapus efektifitas hukum syara’ dalam kaitannya dengan perbuatan mukallaf.
Dari dua definisi ini, Tâj al-Dîn al-Subukî lebih memilih pendefinisian kedua[29]. Namun, Syaikh al-Islâm Zakariyyâ al-Anshârî menganggap bahwa dua pendefinisian ini memiliki substansi yang sama[30].
Para ulama’ sepakat, bahwa secara rasional naskh sangat mungkin terjadi dan secara fakt           ual benar-benar terbukti[31]. Berbeda halnya dengan ulama’ Yahudi yang secara rasional mengingkari keberadaan naskh karena keengganan mereka menerima syari’at Islam yang menaskh semua syari’at sebelumnya[32].
Secara dogmatik, kemungkinan terjadinya naskh didasarkan pada firman Allah swt. :
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ اْلكِتَابِ (الرعد 39)
Artinya : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendakidan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfuzh). (QS : Ar-Ra’d)
مَا نَنْسَخْ مِنْ أَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (البقرة 106)
Artinya : Ayat yang mana saja yang Kami naskh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ? (QS : Al-Baqarah 106)
وَإِذَا بَدَّلْنَا أَيَةً مَكَانَ أَيَةٍ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٌ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ    (النحل 101)
Artinya : Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata : “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS: An-Nahl 101)
Secara garis besar, Al-Qur’an adalah sumber hukum utama, dan al-sunnah bertindak sebagai penjelasnya. Maka ketika terjadi naskh pada suatu ayat dalam Al-Qur’an, dapatkah ayat tersebut dinaskh dengan al-sunnah, mengingat keduanya sama-sama bersumber pada wahyu? Dalam permasalahan ini, mayoritas ulama’ berpendapat bahwa al-sunnah dapat menaskh ayat Al-Qur’an, karena keduanya bersumber dari wahyu Allah, sebagaimana firman Allah :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى  (النجم 3-4)
Artinya : Dan tiadalah dia (Muhammad) mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan (kepadanya). (QS: An-Najm 3-4)
Dalam permasalahan ini dicontohkan bahwa ayat wasiat (QS: Al-Baqarah 180) dinaskh dengan hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan lainnya:
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذي)
Artinya : Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Turmudzi)[33].
Sedangkan Al-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, serta sebagian Zhâhiriyyah tidak memperbolehkan naskh terhadap ayat Al-Qur’an dengan al-sunnah sebagai dalil penaskhnya. Al-Syâfi’i berkata: “Bahwasanya Al-Kitab hanya dapat dinaskh dengan Al-Kitab. Sedangkan al-sunnah tidak dapat menaskhnya. Karena al-sunnah hanyalah mengikuti apa yang telah digariskan oleh Al-Kitab, dengan mempertegas kandungannya dan menjelaskan maknanya.” [34]
Selanjutnya Al-Syafi'i melandasi pendapatnya dengan firman Allah:
وَإذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ أَيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَرْجُوْنَ لِقَاءَناَ ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُوْنُ لِيْ أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ َنْفِسيْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوْحَى إِليَّ إِنِّيْ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّيْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ. (يونس 15)
Artinya : Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata : “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia”. Katakanlah : “Tidaklah patut bagiku menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku akan siksa hari yang besar (hari kiamat).  (QS : Yunus 15).
Dalam ayat ini Allah mewajibkan rasulNya untuk mengikuti apa yang diwahyukan padanya, serta tidak memberikan peluang untuk membuat perubahan atas dasar inisiatifnya sendiri. Karena hanyalah Allah yang berhak membuat perubahan atau penetapan serta melakukannya atas dasar kehendak-Nya. Allah berfirman :
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ اْلكِتَابِ (الرعد 39)
Artinya : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (lauhul mahfuzh). (QS : Ar-Ra’d 39).
Allah telah menegaskan bahwa naskh terhadap Al-Qur’an dan pengakhiran turunnya hanyalah berdasarkan dalil semisalnya. Dia berfirman:
مَا نَنْسَخْ مِنْ أَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (البقرة 106)
Artinya : Ayat yang mana saja yang Kami naskh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahu bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ? (QS : Al-Baqarah 106)[35].
Al-Zarkasyi dalam karyanya Al-Bahr al-Muhîth mengutarakan : “Bahwa sesungguhnya yang dimaksudkan Al-Syâfi‘î adalah bahwa tidak ada kontradiksi antara Al-Qur’an dan al-sunnah, kecuali di antara masing-masing dari keduanya menaskh dalil semisalnya. Dan ini adalah etika yang agung terhadap Al-Qur’an dan al-sunnah.” [36]
Tâj al-Dîn al-Subukî menafsirkan ungkapan Al-Syâfi‘î dalam Al-Risâlah di muka sebagai berikut[37]: “Ketika terjadi penyalinan ayat Al-Qur’an dengan al-sunnah, maka bersamanya terdapat ayat Al-Qur’an yang menguatkan penaskhan al-sunnah atau menjelaskan kesejalanan antara Al-Qur’an dan al-sunnah. Atau bila terjadi penaskhan al-sunnah dengan Al-Qur’an, maka bersamanya terdapat al-sunnah yang menguatkan penaskhan Al-Qur’an atau menjelaskan kesejalanan Al-Qur’an dan al-sunnah.”
Syaikh al-Islâm mencontohkan penafsiran semacam ini dengan ayat wasiat yang dinaskh dengan hadits
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذي)
(Artinya : Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris. HR. Turmudzi.)
kemudian penyalinannya dikuatkan dengan ayat mawârits[38].
Kemudian dalam menyikapi ayat-ayat Al-Qur’an yang mansûkh, para ulama’ terpecah menjadi tiga kelompok. Sebagian dari mereka ada yang meniadakan sama sekali keberadaan naskh dan mentakwilkannya dengan takhshîsh atau yang semacamnya, sebagaimana Abû Muslim Al-Asfihânî. Sebagian lagi menerima naskh secara wajar, yakni mengarahkan pada naskh sebagai upaya terakhir ketika dijumpai adanya kontradiksi (ta‘ârudl) antara dua dalil dan tidak mungkin untuk mengkompromikannya (jâmi‘) serta didasarkan pada pengetahuan akan sisi historis turunnya ayat. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang berlebihan dalam menyikapi naskh dengan memperbanyak jumlah ayat-ayat mansûkh, sehingga ada beberapa ayat yang bukan mansûkh mereka kategorikan dalam ayat mansûkh. Termasuk dalam kelompok ini adalah Abû Ja’far Al-Nuhhas dalam kitabnya Al-Nâsikh wa al-Mansûkh, Hibatullah bin Salamah, dan Abû ‘Abdillah Muhammad bin Hazm. Penyebab dari sikap mereka adalah kekeliruan mengartikan ungkapan ulama’ salaf : “bahwa dalil ini adalah mansûkh”. Padahal, yang dikehendaki ulama’ salaf dengan naskh bukanlah pengertian naskh sebagaimana istilah ulama’ ushul fiqh, akan tetapi bersifat lebih umum, yakni mencakup pula bayân (penjelasan) dari yang mujmal (general), qayyid (batas) dari yang muthlaq, dan semacamnya[39]. Mengenai hal ini, Al-Syâthibî memaparkan ulasannya[40].
Yang jelas dari ungkapan ulama’ terdahulu, bahwa naskh menurut mereka adalah lebih umum dari pengertian naskh yang diistilahkan oleh ulama’ ushul fiqh. Ulama’ terdahulu mengungkapkan naskh sebagai qayyid (pembatasan) terhadap yang muthlaq, takhsîsh (pengecualian) terhadap yang umum dengan dalil muttashil atau munfashil, dan bayân (kejelasan) dari yang mujmal (general), sebagaimana pula mereka mengungkapkan naskh sebagagi penghapusan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang muncul lebih akhir sebagai nash. Karena semuanya memiliki persamaan makna, yakni bahwa naskh dalam istilahnya adalah bahwa yang dikehendaki dari suatu perintah adalah taklif (pembebanan). Sedangkan yang dimaksud adalah khithab yang muncul lebih akhir.
Selanjutnya Al-Syâthibî memaparkan argumennya, bahwa ulama’ terdahulu seringkali mengungkapkan naskh dengan cakupan makna yang lebih umum. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, beliau berkomentar mengenai firman Allah swt:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيْهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيْدُ .  (الإسراء 18)
Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan duniawi (saja) maka Kami segerakan baginya di dunia nikmat bagi orang yang Kami kehendaki.  (QS: Al-Isra 18)
Menurut beliau, ayat tersebut dinaskh dengan ayat :
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِيْ حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا (الشورى 20)
Artinya : Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia. (QS: Asy-Syura 20)
Naskh sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn ‘Abbâs adalah peng-qayyid-an terhadap yang muthlaq, bila ungkapan Allah  نؤته  adalah muthlaq dan diberikan qayyid "dengan kehendak Allah" sebagaimana dalam ayat yang lain لمن نريد . Atau bila hal tersebut bukan termasuk dalam permasalahan taqyîd al-muthlaq, maka ayat di atas adalah kalam ikhbâr (kalimat berita). Sedangkan khabar tidak dapat dinaskh[41].
            Secara terperinci, Al-Zarqânî menyebutkan, ada lima faktor yang menyebabkan kelompok ketiga ini berlebihan dalam memilah ayat-ayat mansûkh[42]:
(1).                        Persangkaaan bahwa syari’at yang diberlakukan karena adanya suatu sebab kemudian sebab tersebut hilang, adalah termasuk naskh. Karenanya mereka menganggap bahwa ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menahan diri dari penganiayaan kaum kafir tatkala umat Islam sedikit dan lemah, telah dinaskh dengan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi kaum kafir. Padahal hukum dari ayat-ayat ini bergantung pada sebabnya. Karenanya ayat-ayat ini bukan termasuk dalam golongan ayat-ayat mansûkh.
(2).                        Persangkaan bahwa pembatalan syari’at Islam terhadap tradisi jahiliyah termasuk dalam kategori naskh. Karenanya mereka menganggap bahwa pembatalan tradisi menikahi istri dari ayah, pembatasan bilangan thalâq pada tiga, dan pembatasan menikahi empat orang wanita adalah termasuk naskh. Padahal, pembatalan-pembatalan tersebut bukan termasuk naskh, karena naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain. Sedangkan contoh-contoh di atas adalah penghapusan Islam terhadap al-barâ’ah al-ashliyyah, dan hal ini adalah hukum aqlî, bukan syar‘î.
(3).                        Adanya kemiripan antara takhshîsh dengan naskh.
(4).                        Adanya kemiripan antara bayân dengan naskh.
(5).                        persangkaan adanya kontradiksi (ta‘ârudl) dalam pandangan mereka. Padahal, antara dua nash dapat dikompromikan (jami‘). Sebagai-mana ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ (البقرة 254)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah kami berikan kepadamu. (QS: Al-Baqarah 254)
dan ayat
 الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَبُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّا رَزَقْناَهُمْ يُنْفِقُوْنَ (البقرة 3)
Artinya: Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS: Al-Baqarah 3)
Sebagian mereka mengira bahwa ayat ini dinaskh dengan ayat yang menjelaskan kewajiban zakat.
Dari ulasan panjang di atas, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan, diantaranya adalah:
(1)  Sebagai sumber hukum primer, teks Al-Qur'an haruslah diriwayatkan secara mutawâtir, dengan memenuhi semua ketentuan qirâ’ah shahihah, yakni sahih periwayatannya, sesuai dengan teks mushaf Utsmani, dan tidak menyalahi kaidah bahasa Arab. Qirâ’ah ini, menurut ulama' ushul fiqh, secara umum dapat kita temukan dalam qirâ’ah sab'ah atau asyrah, kendati ulama' ahli qirâ’ah tidak memutlakkan kemutawâtiran periwayatan qirâ’ah mereka.
(2)  Mengenai penggunaan qirâ’ah syadz (qirâ’ah yang tidak sahih periwayatannya), Imam Al-Haramain menegaskan, bahwa secara zhahir, madzhab Al-Syafi'i tidak memperbolehkan pengamalan qirâ’ah ini. Sebagaimana pula ditegaskan oleh Al-Ghazali, bahwa qirâ’ah ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah, karena bukan merupakan Al-Qur'an.
(3)  Al-Qur'an memiliki kandungan yang mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Hukum-hukum yang dikandungnya secara ringkas terklasifikasikan pada tiga hal, yakni berkaitan dengan aqidah, etika dan amaliyyah praktis.
(4)  Dari sisi pemahaman gramatikalnya, ayat-ayat dalam Al-Qur'an terklasifikasikan pada ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Al-Ghazali mentarjih, bahwa al-muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya lugas, tidak menimbulkan tanda tanya, dan dualisme makna. Sedangkan al-mutasyabih adalah sebaliknya.
(5)  Dalam memahami makna Al-Qur'an, perlu sekali mengetahui asbâb al-nuzûl dari turunnya suatu ayat. Karena terkadang suatu ayat tidak dapat dipahami maknanya tanpa mengetahui latar belakang turunnya. Namun, bukan berarti setiap ayat hanya berefek hukum pada pelaku peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, karena pada ayat-ayat yang berdimensi 'âmm, para ulama' ushul fiqh masih berselisih pendapat. Apakah yang dijadikan dijadikan standar hukum adalah keumuman redaksi ayat, ataukah kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat? Kalangan Al-Syafi'iyyah berpendirian pada pendapat pertama.
(6)  Semua ulama' bersepakat, bahwa secara rasional maupun faktual, naskh pada Al-Qur'an bukanlah hal yang mustahil terjadinya. Dan secara faktual, hanya Abu Muslim Al-Asfihani yang menolaknya. Hanya saja, penolakannya ini hanya sebatas keengganannya dalam penyebutan beberapa hukum yang mengalami penyalinan dengan istilah naskh. Ia menyebutnya dengan takhshîsh. Sehingga pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai terjadinya naskh dalam nash-nash syari'at.
(7)  Mayoritas ulama' memperbolehkan pe-naskh-an Al-Qur'an oleh al-sunnah, begitupun sebaliknya. Hanya saja, Al-Syafi'i dalam beberapa karyanya menyebutkan ketidaklayakan hal tersebut. Para pengikut madzhabnya – yang memilki pendirian berbeda – menjelaskan bahwa statemen beliau hanyalah suatu bentuk etika dalam menjelaskan kesejalanan dua pilar pokok syari'at Islam itu. Bahwa setiap kali Al-Qur'an menaskh al-sunnah, maka pasti terdapat al-sunnah yang mendukung pe-naskh-an tersebut, begitu pula sebaliknya.
Dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur'an yang mansûkh, perlu adanya kehati-hatian. Karena ketika terjadi kontradiksi antara dua dalil atau lebih, maka naskh adalah jalan terakhir, setelah terlebih dahulu mencari kemungkinan takhshîsh, taqyîd, dan tabyîn. Karenanya, perlu mengetahui runtutan peristiwa turunnya suatu khithab (asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd). Di samping itu, dalam mengadopsi keterangan generasi salaf (baca: shahabat) mengenai ayat-ayat yang mansûkh, perlu penelusuran yang mendalam. Karena, naskh dalam penyebutan shahabat memiliki makna yang berbeda dengan naskh dalam terminologi ushul fiqh. Generasi shahabat menyebut naskh dengan pengertian yang lebih umum, yakni mencakup takhshîsh, taqyîd, dan tabyîn, selain juga makna naskh itu sendiri dalam term ushul fiqh.


1 Dalam beberapa unsur pendefinisian masih terdapat perbedaan pendapat di antara ulama, semisal pada ungkapan “berbahasa Arab”. Sedangkan pendefinisian Al-Qur’an sebagai kalam Allah secara teologis mengandung arti majas, karena kalam Allah adalah qadim tidak= mengandung suara dan huruf. Al-Qur’an sebagai kalam yang tertulis di mushaf-mushaf dalam hal ini merupakan representasi dari kalam Allah yang qadim.
[1] Secara harfiah, mutawâtir berarti berulang-ulangnya sesuatu secara berturut-turut dengan suatu tenggang  waktu. Dalam terminologi syari'at, mutawâtir adalah sesuatu yang diriwayatkan atau diberitakan oleh sekelompok orang yang mustahil terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berdusta. Sesuatu yang diriwayatkan secara mutawâtir ini dapat dipastikan kebenarannya. Badr al-Dîn Muhammad Bahâdir bin ’Abd Allâh al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2000, juz II hlm. 296.
[2] Abû al-Khair Muhammad bin Muhammad al-Dimasyqî (Ibn al-Jazarî), Al-Nasyr fî Qirâ'ât al 'Asyr, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.Juz I hlm. 30; Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. juz I hlm. 77.
[3] Al-Zarkasyi, op.cit., juz I hlm. 377.
[4] Ibn al-Jazarî, op.cit., juz I hlm. 9 ; Al-Suyûthî, loc.cit.
[5] Maksud dari hal ini adalah bahwa qirâ’ah shahîhah haruslah sesuai dengan kaidah bahasa Arab walau hanya dari satu sisi (wajh) dari berbagai macam sisi gramatikal bahasa Arab (Nahw) tanpa memandang tingkat kefasihan, telah disepakati para pakar gramatika Arab, atau menjadi bahan perdebatan yang masih dalam batas toleransi, bila hal tersebut umum digunakan serta diriwayatkan dengan sanad sahih. Banyak sekali qirâ’ah yang diingkari oleh beberapa pakar gramatika Arab, namun keingkaran tersebut tidak berpengaruh terhadap kesahihan qirâ’ah, bahkan ulama’ salaf bersepakat menerimanya. Sebagaimana meng-iskân (sukun) lafadh بارئْكم   (dalam mushaf standar terbaca بارئِكم ), meng-khafadl lafadh والأرحامِ  , memisah idlâfah قتل أولادَهم شركائِهم    dan lain sebagainya. Ibn al-Jazarî, ibid., juz I hlm. 10; Al-Suyûthî, ibid.
[6] Misalnya   adalah   qirâ’ah   Ibn   Amir   dalam  surat  Al-Baqarah  قالوا اتخذ الله ولدا tanpa wawu, yang terdapat dalam mushaf Syam. Juga qirâ’ah Ibn Katsir dalam surat Al-Taubah جنات تجري من تحتها الأنهار dengan penambahan من yang terdapat pada mushaf Mekkah. Kemudian maksud dari “walau sekedar mendekati” adalah kesesuaian qirâ’ah dengan salah satu teks mushaf Utsmani secara taqdîr (pendekatan). Karena kesesuaian dengan mushaf Utsmani adakalanya secara tahqiq (persis), dan adakalanya pula secara taqdir. Sebagaimana ملك يوم الدين  yang tertulis tanpa alif dalam semua teks mushaf. Qirâ’ah tanpa mad adalah kesesuaian secara tahqiq, dan qirâ’ah dengan menggunakan mad adalah kesesuaian secara taqdir. Ibn al-Jazarî, ibid. juz I hlm. 11; Al-Suyûthî, ibid.
[7] Ibn al-Jazarî, ibid. juz I hlm. 14; Al-Suyûthî, ibid., juz hlm 78. Ibn al-Jazari menambahkan klasifikasi keempat yang juga tertolak qirâ’ahnya, yakni qirâ’ah yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan teks mushaf Utsmani, namun sama sekali tidak pernah diriwayatkan.
[8] Misalnya adalah qirâ’ah Ibn Mas’ud dan yang lain, والذكر والأنثى  , dan qirâ’ah Ibn Abbas  وكان أمامهم ملك يأكل كل سفينة صالحة . Kategori qirâ’ah kedua ini tidak boleh dibaca berdasarkan dua alasan. Pertama, qirâ’ah ini diambil tidak secara ijma’, hanya sekedar khabar ahad. Sedangkan Al-Qur’an yang boleh dibaca tidak dapat ditetapkan berdasarkan khabar ahad. Kedua, qirâ’ah ini menyalahi terhadap apa yang telah disepakati, sehingga tidak dapat diputuskan sahih tidaknya. Sedangkan qirâ’ah yang tidak diketahui tingkat kesahihannya, tidak boleh dibaca, dan pengingkarnya tidaklah dapat dihukumi sebagai kafir. Namun bukanlah tindakan yang bijaksana bila mengingkarinya. Ibn al-Jazarî, ibid.; Al-Suyûthî, ibid.
[9] Contoh bagian pertama qirâ’ah ini, yakni qirâ’ah yang diriwayatkan oleh bukan orang yang tsiqah, adalah  إنما يخشىاللـهُ من عباده العلماءَ  me-rafa’-kan lafadh jalalah dan menashabkan  العلماءَ . Sedangkan contoh bagian kedua, yakni qirâ’ah yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi menyalahi kaidah tata bahasa Arab adalah riwayat Nafi’ معائش  dengan menggunakan hamzah. Ibn al-Jazarî, ibid., juz I hlm. 16 ;  Al-Suyûthî, ibid., juz I hlm. 77.
[10] Al-Suyûthî, ibid juz I hlm. 79.
[11] Al-Suyûthî, ibid., juz I hal 84; Badr al-Dîn Muhammad Bahâdir bin ’Abd Allâh al-Zarkasyi, Al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1391 H., juz I hlm. 326.
[12] Abû Bakar bin 'Alî al-Râzî (Al-Jashshâsh), Al-Fushûl fi al-Ushûl, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. Juz I hlm. 375.
[13] Muhammad al-Khudlari Bik, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 208.
[14] ‘Abd Al-Wahhâb Khalf, 'Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, cet. XII 1978, hlm. 32-33; Muhammad al-Khudlarî Bik, Tarikh Al-Tasyrî’ Al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Fikr, cet VIII 1967, hlm. 17-18.
[15] ‘Abd Al-Wahhâb Khalf, ibid., hal 34-35. Qishâsh adalah sanksi dari tindakan pembunuhan atau penganiayaan yang diwujudkan dengan tindakan serupa, yakni pelaku pembunuhan harus dihukum bunuh pula, demikian juga pada kasus penganiayaan yang lain. Sedangkan had adalah sanksi dari tindak kejahatan yang bentuknya telah digariskan secara tekstual dalam Al-Qur'an atau al-sunnah, beda halnya dengan ta'zîr, yang bentuk sanksinya diserahkan pada kebijakan imam.
[16] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. hlm. 33.
[17] Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt. juz I hlm. 106.
[18] Ibid.
[19] Al-Suyûthî, op.cit., hlm. I hlm. 29.
[20] Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Urfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut, Dâr al-Fikr, 1996, juz I hlm 76.
[21] Al-Zarqâni, ibid., juz I hlm. 78-81; Al-Suyûthî loc.cit.
[22] Ketentuan menghadap kiblat ke masjidil Haram ini juga telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah 144. Namun yang jelas, bukan berarti Allah berada pada Ka'bah, atau pada arah timur atau barat, karena Allah tidak bertempat dan juga tidak membutuhkan tempat.
[23] Al-Zarqânî, ibid., juz I hlm. 81.
[24] Li‘ân adalah ungkapan seorang suami dalam menuduh istrinya yang diyakininya telah berbuat zina tanpa menghadirkan empat orang saksi mata. Atau ungkapan seorang istri dalam menolak tuduhan zina dari suaminya. Dengan li‘ân yang dilakukannya, suami terhindar dari sanksi qadzf (tuduhan zina tanpa menghadirkan empat orang saksi). Begitu pula bila sang istri balik melakukan li‘ân, maka ia terhindar dari sanksi zina. Setelah terjadi li‘ân, ikatan nikah menjadi lepas.
[25] Zhihâr adalah ucapan seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan wanita yang tidak halal dinikahi.
[26] Al-Suyûthî, op.cit. juz I hlm. 30.
[27] Abû Ishaq Ibrâhim bin 'Ali bin Yûsuf Al-Syairâzî Al-Fairûzabadî, Al-Luma' fî Ushûl al-Fiqh, Surabaya: Al-Hidayah, hlm. 21.
[28] Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz II hlm. 933-934. Naskh, oleh ulama’ salaf didefinisikan secara lebih umum daripada dua pendefinisian tersebut. Yakni mencakup pula takhsish, taqyid, dan tabyin, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.      
[29] Taj al-Din al-Subuki, Jam’ al-Jawâmi’, Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd, 1995, juz II, hlm. 75-76. Ia menjelaskan, bahwa dengan pendefinisian kedua, tercakup pula naskh terhadap suatu hukum sebelum mungkin untuk diamalkan, hal mana ini juga merupakan salah satu bahan kontroversi di antara ulama’ ushul fiqh.
[30] Zakariyyâ al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl, Surabaya: Al-Hidayah, tt., hlm. 87
[31] Hanya saja ada riwayat syadz (asing) yang mengungkapkan bahwa Abû Muslim al-Ashfihâni, seorang ulama’ tafsir kalangan Mu’tazilah, mengingkari terjadinya naskh, walaupun secara rasional ia tidak menolak bahwa naskh bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi. Namun, inipun tidak lebih dari sekedar kontroversi dalam tataran retorika, karena ia menggolongkan naskh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas ulama’ sebagai takhshîsh terhadap suatu hukum pada dimensi waktu tertentu.  Al-Syaukani, op.cit., hlm. 185; Zakariyyâ al-Anshârî, ibid., hlm. 90.
[32] Wahbah al-Zuhayli, op.cit., juz I hlm. 946.
[33] Menurut keterangan Ibn Abbas, bahwa yang menaskh ayat wasiat adalah ayat mawarits. Namun,  keterangan ini pun masih menimbulkan spekulasi, apakah yang dimaksudkan naskh oleh Ibn Abbas adalah pengertian naskh menurut ulama’ ushul fiqh, atau naskh dalam pengertian luas yang mencakup pula takhsish, taqyid dan tabyin, sebagaimana yang akan dipaparkan kemudian.
[34] Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’i, Al-Risâlah, Beirut, Dâr al-Fikr, tt. hlm. 106-107.
[35] Al-Syâfi’i, Ibid., hlm. 108-109.
[36] Al-Syaukani, op.cit., hlm. 192.
[37] Taj al-Din al-Subuki, op.cit., juz II hlm. 79-80.
[38] Al-Banânî, Hâsyiyah 'alâ Syarh Jam' al-jawâmi', Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd, 1995 juz II hlm. 80.
[39] Al-Zarqânî, op.cit., juz II hlm. 182.
[40] Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Lakhami al-Gharnathi (Al-Syâthibî), Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut, Dâr al-Ma'rifah, tt., juz II hlm. 108.
[41] Al-Syâthîbî, Ibid., juz III hlm. 109.
[42] Al-Zarqânî, op.cit., juz II hlm. 182-83

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls