Kamis, 22 Maret 2012

IMAM ABU HANIFAH

IMAM ABU HANIFAH
            Abu Hanifah lahir di Kufah dengan nama lengkap Abu Hanifah bin Tsabit bin Zaithi. Beliau adalah seorang keturunan Persia (Iran), negara yang memiliki peradaban sangat tua. Banyak ulama’ besar yang terlahir dari negeri kaya tambang tersebut. Ayah beliau hamba sahaya dari seseorang dari Bani Taimiyah bin Tsa’labah. Karenanya di kemudian hari beliau dijuluki dengan Abu Hanifah Attaimi[1].
            Dari sejarah yang tercatat, ia lahir di Kufah pada tahun 80 H. Pada tahun 150 H. kota Baghdad berkabung atas kematiannya. Namun jasa-jasanya semasa hidup tidak akan dapat terlupakan sampai saat ini. Beliau hidup kurang lebih 80 tahun, 52 tahun hidup di masa-masa dinasti Umawiyah, 18 tahun beliau hidup di masa-masa kejayaan Islam di bawah Dinasti Abbasiyah.
Beliau berdomisili di Kufah dan sempat bertemu dengan pemerintahan Hajjaj ketika berkuasa di Irak. Sebab ketika Hajjaj meninggal, usia Abu Hanifah masih 15 tahun. Beliau menyaksikan kekerasan  Hajjaj terhadap Bani Umawiyah. Dan pada waktu Islam mengalami kejayaan di bawah Dinasti umawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz[2], usia beliau masih sangat muda, juga sempat menyaksikan keadilan, dan kejujuran ungkapan-ungkapannya. Beliau melihat pemberontakan Muhammad bin Abdillah bin Hasan bin Abi Tholib terhadap raja ’Ja’far al-Manshur dan mengetahui lengsernya pemerintahan Bani Umayyah, selanjutnya dikuasai oleh dinasti Abbasiyyah..
Beliau menemui kejayaan pemerintahan Abbasiyah dan pembangunan Al-Manshur  terhadap kota Baghdad, sepetak negeri dari hamparan luas lingkar bumi yang secara tata geografis berada pada kawasan subtropis merupakan belahan jagad bergurun panas dan tandus, beliau mengetahui perpindahan pemerintahan ke tanah Baghdad.
Akhirnya beliau wafat di masa-masa pemerintahan Abbasiyyah di tangan raja Al-Manshur. Di masa-masa beliau tercatat empat shahabat yang masih hidup, yaitu Anas bin Malik yang berdomisili di tanah Bashrah, Abdullah Bin Abi Awfa yang berdomisili di Kufah, Sahl bin Sa’id yang berdomisili di kota madinah dan Abu Thufail Amir bin Wailah yang bertempat tinggal di ummul quro mekah . Namun dari hasil penilitian yang dilakukan oleh pakarnya, beliau tidak sempat bertemu dengan mereka-mereka,  karenanya ia termasuk golongan Atba’ Attabi’in.
Sebagian riwayat menyebutkan pada umur 16 tahun ia bersama ayah handanya melaksanakan rukun islam yang kelima dimasjidil haram. Disana beliau bertemu dengan Abdulloh Bin Harits Al shohabi dan meriwayatkan hadits darinya, juga pernah diriwayatkan bahwa ia  pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya. Namun dari kedua riwayat ini para ulama masih meragukan keotentikannya.
Beliau adalah orang yang sangat alim, meskipun demikian ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai pedagang kain. Kesibukannya dalam berdagang membuahkan dua hasil dalam hidupnya.
S a t u : Tidak butuh uluran dana dari seorang raja, tidak mau menjabat sebagai seorang qodli meski ia harus di paksa. Yang menjadi prinsip dasarnya adalah selalu berfikir liberal dan selalu hidup mandiri. Tidak mau terikat dengan pemerintahan. justru karena kesibukannya dalam berdagang ia banyak mengulurkan dananya kepada para guru dan murid-muridnya.
K e d u a : Banyak mengetahui tentang cara berbisnis seperti jual beli ,salam (pesan)utang piutang dan urusan urusan lainnya.2

Kecerendungan Abu hanifah Pada Ilmu Fiqih

Sebelum mempelajari dan mengarungi bidang ilmu fiqih terlebih dahulu ia mempelajari ilmu teologi dimasjid kufah bersama para teolog lainnya yang membahas tentang qodlo’ qodar, keimanan, kekufuran dan permasalahan- permasalahan yang berhubungan dengan tauhid (teologi). Ketika beliau sudah mematangkan dalam bidang tersebut tidak hanya sampai disitu perjuangannya dalam menuntut ilmu, ia harus pindah untuk belajar ilmu fiqih, karena ilmu fiqih dan mempelajarinya lebih patut baginya dan manusia pada umumnya dari pada belajar ilmu tauhid , juga ilmu fiqih cocok dengan karakter amaliyah dan sesuai dengan kecenderungan berfikirnya yang sangat bebas.
Beliau banyak menghasilkan ilmu tauhid karena kemampuan dan kecerdasannya dalam berfiqir serta membiasakan memakai metode aqli sebagai berfiqir, yang tidak sesuai dengan metode yang di pakai oleh pakar hadits yang hanya membahas pada rowi-rowinya saja.3   
Madrasah kufah merupakan tempat belajar abu hanifah dalam bidang fiqih. Dimana madrasah tersebut sebagai tempat berkumpulnya para pakar islam yang mempunyai karakter berfiqir yang liberal dibawah kepemimpinan Ibnu Mas’ud yang di pengaruhi oleh Umar bin Khothob dalam pemikirannya.
 Dari madrasah tersebut banyak mengeluarkan para pakar islam diantaranya adalah Al qomah bin Qois, Masruq bin Ajda’ , Syuraikh Al Qodli. Dari ketiga orang tersebut mempuyai murid, Ibrohim Al Nakho’I dan Amir bin Sarokhil.
Di antara guru beliau adalah Atho’  bin Robah, Hisyam bin Urwah, Imam Nafi’, Hammad bin Sulaiman. Dari guru-gurunya yang paling mempengaruhi pada diri Abu Hanifah adalah Hammad bin Sulaiman. Beliau belajar kepadanya selama 18 tahun. Dalam pujian terhadap gurunya beliau berkata: “Hammad orang yang sangat alim dari sekian orang yang aku ketahui.” Ketika Hammad pergi ke Basrah untuk urusan tertentu. Abu Hanifahlah yang harus menggantikan gurunya dalam mengajar dan berfatwa. Pada saat itu beliau disodori kurang lebih 60 persoalan yang tidak pernah ia dengar dari gurunya. Bukan Abu Hanifah kalau tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dan sewaktu gurunya sudah datang dari bepergiannya, beliau tanyakan permasalahan yang di hadapi kepadanya. Kemudian gurunya menetapkan 40 persoalan, dan berbeda 20 persoalan yang lain.
Setelah gurunya pulang ke rahmatullah maka beliaulah yang menggantikan kedudukan gurunya sebagai seorang pengajar dan mufti kurang lebih 30 tahun, sehingga ia wafat pada tahun 150 H.

Penolakan Abu Hanifah Terhadap Pemerintahan

Menurut satu riwayat bahwa beliau pernah diminta untuk menjadi seorang qadli sebanyak dua kali. Ia menolak permintaan tersebut karena prinsipnya yang tidak senang dengan pemerintahan. Permintaan pertama ketika pemerintahan di bawah Dinasti Umayyah yang dipelopori oleh Ibnu Hubairah agar beliau menjadi qadli di negara Kufah. Ia menolak permintaan tersebut sehingga dicambuk sebanyak 110 kali. Ia tetap tidak memenuhi permintaannya. Pada akhirnya ia dilepaskan. Permintaan kedua ketika pemerintahan di bawah Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Beliau dipaksa kembali ke Baghdad untuk menjadi qadli di sana. Ia tetap pada prinsip awal menolak permintaannya, sehingga ia hukum penjara.
Diriwayatkan dari Ruba’i bin Yunus berkata: “Kami melihat Amirul Mu’minin Abu Ja’far Al-Manshur meminta kesediaan Abu Hanifah untuk menjabat sebagai qadli, seraya Abu Hanifah memberi jawaban: “wahai amirul mu’minin, takutlah kamu kepada allah, jangan engkau mencampuri urusanmu kecuali kepada orang yang takut kepada Nya. Demi allah, saya orang yang tidak dapat dipercaya pada saat senang, mana mungkin saya dapat dipercaya saat marah? Saya tidak patut untuk menjabat qadli”. Abu ja’far berkata: “engkau bohong, engkau patut menjadi qodli. Abu Hanifah menjawab: "Engkau mengatakan saya pembohong, maka tidak selayaknya bagimu menjadikan qadli pada seorang pembohong.
            Pada dasarnya siksaan dan hukuman tahan yang ditimpakan kepada Abu Hanifah bukan karena ia tidak mau menjabat sebagai qadli. Terbukti ketika raja Ja’far Al-Manshur meminta kesediaan Laits bin Sa’id untuk menjabat sebagai qadli, ia menolak permintaan tersebut, ia dibiarkan tanpa disiksa dan dihukum penjara. Akan tetapi penyebab beliau disiksa dan ditahan karena ada unsur politik.
Jelasnya pada masa pemerintahan di bawah dinasti Abbasiyyah, ia sangat menyukai Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim. Ia memandang bahwa Muhammad lah yang berhak menjadi kholifah daripada keturunan Abbas. Ia sangat membenci pada keturunan Abbasiyyah.
Untuk menunjukkan keotentikan kasus di atas. Muridnya, Zafr bin Hudzail berkata: “Sungguh Abu Hanifah sangat melantangkan suaranya atas ketidak setujuan alunan syair sebagai seorang kholifah. Saya berkata kepada Abu Hanifah:” Demi Allah engkau tidak akan menghentikan hal di atas sehingga tali diikatkan pada leher kami[3]

Akhlaq Dan Kecerdasan Abu Hanifah
            Para sejarawan yang menjumpai hidupnya, hampir mencapai kata sepakat bahwa Abu hanifah termasuk orang yang wira’i, taqwa kepada Allah. Di malam harinya ia habiskan untuk ritual sholat dan membaca Al-qur’an, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Jiwanya sangat berani, tidak takut dengan cercaan orang dalam melakukan suatu tindakan yang dianggapnya benar, melarang sesuatu yang dianggapnya telah menyimpang aturan syari’at. Setiap kali mendakwakan sesuatu pasti disertai dengan hujjah atau dalil yang kuat, beretika baik.
Para ulama’ yang pernah menjadi muridnya dan bergaul dengannya banyak yang meriwayatkan bahwa beliau dalam tempo kurang lebih 40 tahun lamanya mengerjakan sembahyang Isya’ dan sembahyang Shubuh dengan sekali wudlu, artinya pada setiap malamnya beliau tidak pernah mengerjakan pekerjaan yang dapat merusak wudlunya[4].
Beliau suka berpakaian yang baik-baik serta bersih. Senang memakai bau-bauan yang harum. Lantaran dari kesukaannya dengan harum haruman hingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya. Beliau juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan kawan-kawannya[5]. Abu Hanifah berkata : “saya tidak pernah melaksanakan sholat kecuali setelahnya  aku mendo’akan pada Hammad, guru-guru dan  murid-muridku.”
Untuk menunjukkan beliau adalah orang yang wira’i, pernah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah tidak pernah duduk berteduh di bawah bayang-bayang orang yang hutang kepadanya. Ia berkata:
                             كل قرض جر نفعا فهو ربا                 
“Setiap utang piutang yang menarik kemanfaatan maka di katakan riba.”
Beliau menghatamkan Al-quran sebanyak tujuh ribu kali di satu tempat dimana beliau wafat. [6]

 

Sumber-Sumber Madzhab Abu Hanifah

Sumber-sumber yang dibuat pegangan beliau dalam menelorkan hukum meliputi Al Qur'an, Al-hadist, Ijma’, Qoul sahabat, qias, Istihsan dan Urf. Seperti dalam pengakuan sendiri “Kami mengambil hukum satu persoalan dari Alquran apabila kutemukan. Apabila tidak aku temukan darinya, maka kami mengambil dari hadist nabi yang otentik, yang diriwayatkan  oleh orang-orang adil. Apabila juga tidak kutemukan maka kami mengadopsi pendapat sahabat dan meninggalkan pendapat sahabat yang lainnya, sesuai dengan keinginan kami. Bila dari kesemuanya tidak kami temukan dan urusannya telah sampai kepada Ibrohim, Al Sya’bi, Ibnu Sirrin, beliau sambil mengungkapan beberapa ulama’ besar, maka kami melaksanakan ijtihad dengan sendirinya sebagaimana mereka telah berijtihad.
P e r t a m a :Al quran. Hukum-hukum yang telah ditemukan dalam Alquran dan Al hadist, maka beliau tidak mau pindah pada sumber yang lainnya, sebab Alquran merupakan pokok dalam syariat islam yang bersifat pasti (Qoth’I) hal ini sudah menjadi konsensus para ulama.
K e d u a : Hukum yang tidak ditemukan dalam Al qur’an dan ditemukan dalam Al-hadits maka itulah yang dipegang oleh beliau sebagai sumber syari’at. Kendati demikian beliau dalam pengambilan hadits sebagai hujjah sangat selektif, tidak serta merta mengambilnya begitu saja. Prinsip yang menjadi komitmennya adalah tidak mau menerima hadits dari Nabi kecuali diriwayatkan dari golongan ke golongan (hadits mutawatir). Atau hadits yang diriwayatkan oleh salah satu shahabat yang tidak kontra dengan shahabat lainnya (hadits masyhur). Ia tidak mau mengambil hadits ahadi kecuali bila rawinya adil dan bisa dipertanggung jawabkan.
K e t i g a : Konsensus shohabat (ijma’). Sedangkan permasalahan-permasalahan yang menjadi perselisihan para shahabat, maka pertama kali yang menjadi prinsipnya adalah mengasah analisanya kepada pendapat mereka. kemudian menyeleksi dari pendapat-pendapat tersebut sesuai dengan hasil ijtihadnya dan ia tidak keluar dari pendapat mereka. Serta masih menjadikan qaul shahabat sebagai hujjah yang lebih diprioritaskan daripada qiyas.
Adapun pendapat tabi’in tidak dijadikan  sebagai hujjah kecuali sesuai dengan hasil ijtihadnya. Dan terkadang ia berpendapat yang tidak mereka ungkapkan .
K e e m p a t : Qiyas, betapa pun Abu hanifah terkenal dengan madzhab rasionalis, acap kali menyelami dibalik ilat dan arti suatu hukum serta sering menggunakan qiyas, tetapi tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al qur’an dan hadits atau meninggalkan hadits dan atsar.  Tidak ada riwayat yang shaheh yang menyebutkan Abu Hanifah mendahulukan rasio dari pada sunah ketika masih di temukan dari sunah tersebut.
K e l i m a : Istihsan. Tidak ada satu pun ulama’ kecuali menggunakan jalan istihsan sebagai metodologi. Hanya saja mereka tidak menamakan dengan nama istihsan, akan tetapi dimasukkan dalam bab-bab lain seperti istishlah atau maslahah mursalah. Beliau yang lebih banyak menggunakan metode istihsan dari pada ulama’ yang lain.
K e e n a m : Urf. Menurutnya urf yang shahih dijadikan rujukan hukum dan merupakan salah satu sumber untuk mengembangkan furu’-furu’. Beliau lebih mendahulukan urf dari pada qiyas ketika terjadi pertentangan. Beliau orang yang terkenal, mahir dalam fiqh islami. Ketika dihadapkan hadits yang shahih maka ia mampu mengeluarkan hukum-hukum fiqh darinya dengan kecerdasan akal pikirannya.  Hal ini pernah dibuktikan:
Pada satu ketika A’masy (salah satu pakar hadits) menanyakan permasalahan-permasalahan, kemudian Abu Hanifah menjawabnya. A’masy bertanya lagi sambil menyangsikan jawabannya.” Dari mana hukum ini  engkau dapatkan? “Abu Hanifah menjawab: “Hukum ini aku dapatkan dari hadits yang diriwayatkan dari Ibrahim dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Sya’bi. A’masy berkata: "Wahai para pakar fiqh, engkau adalah seorang dokter dan kami adalah ahli obatnya”.

Tuduhan Terhadap Abu Hanifah

Terdapat beberapa tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Antara lain adalah tuduhan terhadapnya karena sering menggunakan metode qiyas dan istihsan sebagai sumber hukum syari’at, tuduhan bahwa sering menolak hadits, sehingga ia diduga hanya meriwayatkan 17 hadits saja.
Tuduhan ini dilontarkan oleh sebagian ulama’ fiqh dan ahli hadits. Golongan Zhohiriyyah berkata: "Sungguh madzhab hanafi adalah filsafat Faris yang menjadikan fiqh sebagai syari’at samawi menjadi amal wadl’i. Lanjutnya bahwa merenungkan makna dan ilat seperti yang dilakukan Abu Hanifah akan mengakibatkan hukum yang membingungkan, hukum yang tidak menentu dan merupakan pembuatan hukum dengan sesuka hatinya."
Persepsi diatas sama sekali tidak dibenarkan, karena mereka mengingkarari qiyas sebagai sumber hukum syari’at islam yang telah mendapatkan legalitimasi dari para ulama’. Sebenarnya kalau di amati bersama bahwa yang menggunakan metode qiyas tidak hanya Abu Hanifah, akan tetapi juga ulama’ulama yang lain. Bahkan Daud azh-Zhohiri sendiri juga memakainya pada saat kondisi sangat memaksanya. Padahal ia sangat  membencinya.
Abu Hanifah menggunakan qiyas  karena hati-hati dengan hadits yang diriwayatkan. Karena ia bukan keturunan orang arab, ia keturunan fersia yang lahir di kufah dan di besarkan di tempat yang jauh dari hijaz tempat wahyu turun dan tempat tumbuhnya hadits, sudah barang tentu ia di tuntut untuk menyeleksi hadits yang sampai di kufah atau minimal menyangsingkan hadits atau perowinya yang tidak memenuhi sarat.
Tuduhan mereka bahwa beliau menggunakan metode qiyas sebagai sumber hukum, padahal masih ada hadits, tuduhan bahwa beliau mengingkari sabda nabi dan lebih memprioritaskan pendapatnya sendiri, tuduhan bahwa beliau memberi fatwa kira-kira 200 permasalahan yang bertentangan dengan hadits, tuduhan bahwa ia hanya meriwayatkan 17 hadits saja. adalah, tuduhan yang perlu dipertimbangkan kembali, karena sebenarnya beliau tidak menggunakan metode qiyas ketika masih ada hadits yang otentik baginya. Pada realitanya beliau tidak sering menggunakan hadits nabi karena hadits yang di terima tidak dijamin keshahihannya menurut beliau. Tuduhan bahwa beliau hanya meriwayatkan 17 hadits yang shahih juga tidak di benarkan sebab sebenarnya ia telah meriwayatkan 215 hadits, selain hadits yang diriwayatkan bersamaan dengan imam-imam yang lain.
Selain tuduhan di atas mereka juga mencacimaki terhadap beliau karena sering menggunakan hailah (tipu daya) dalam berfatwa. Tuduhan ini dilontarkan oleh sebagian ulama’, juga tuduhan bahwa beliau yang pertama kali memunculkan hailah tersebut, dan tuduhan bahwa  beliau menyusun sebuah kitab tentang tipu daya. Mereka mengecamannya sambil melontaskan alasannya sebagai berikut bahwa timbulnya tipudaya akan bertentangan dengan hikmah dirikannya Syari’at, karena Allah mewajibkan dan mengharamkan sesuatu pada hakikatnya akan kembali kepada hamba itu sendiri, baik didunia atau di akhirat. Dengan demikian apabila bila hamba tersebut membuat tipudaya(hailah) maka sama halnya menghalalkan sesuatu yang diharamkan atau menggugurkan sesuatu yang di fardlukan yang akan merusak ketentuan- ketentuan yang mendapatkan legalitimasi dari syara’.
Tuduhan mereka di atas sangat jauh dari kebenaran, sebab para ulama’ sudah menetapkan bahwa hailah itu ada dua macam: Hailah yang mendapatkan legalitimasi      dari syara’dan hailah yang tidak mendapatkan legalitimasi dari syara’
§          Hailah yang tidak mendapatkan legitimasi dari syara' adalah hailah yang akan merusak garis-garis syari’at, seperti hailah yang dapat menggugurkan hak dan membatalkan perkara yang wajib, memakan harta manusia dengan cara yang batal.
Contoh  menggugurkan zakat dengan hibah sebelum masuk haul, lalu menariknya kembali . Hailah yang   semacam ini jelas mendapatkan kecaman dari nabi, seperti:
لا ترتكبوا ما إ رتكبت اليهود لتستحلوا محارم الله بأدنى الحيل
“Janganlahlah engkau melakukan perbuatan orang yahudi untuk menghalalkan apa yang di haramkanAllah dengan bentuk rekayasa.”
§          Hailah yang mendapatkan legitimasi dari syara' adalah hailah yang merupakan jalan keluar bagi orang yang diuji dengan suatu kejadian. artinya keluar dari masalah fiqih dengan tujuan menghindar  dari situasi yang sulit serta tidak ada unsur melalimi seseorang dan hartanya, tidak sampai melaksanakan perkara yang diharamkan. Seperti hailah untuk mendapatkan haknya atau menghindar dari kezhaliman dengan cara yang mubah.
Dari ketentuan diatas maka hailah yang di fatwakan Abu Hanifah, tidak masuk dalam kata gori hailah yang tidak mendapatkan legitimasi dari syara', akan tetapi masuk dalam hailah yang mendapatkan legalitas dari syara’. Kebanyakan hailah yang di fatwakan Abu Hanifah adalah tentang masalah sumpah(yamin) dan cerai. Seperti : seorang suami sumpah akan mencerai perempuan(istrinya) apabila perempuan tersebut memberitahu kepadanya bahwa berasnya sudah habis, kirim surat, menyuruh orang lain agar menghabarkan kepada suaminya. Kemudian perempuan tadi bingung dan datang kepada Abu Hanifah sambil menanyakan kejadian diatas. Belia memberikan solusi dan berkata, apabila suamimu tidur maka ikatlah tempat beras yang kosong pada bajunya, sewaktu-waktu ia bangun maka akan mengetahui bahwa tepungnya sudah habis.
Adapun tuduhan yang mengatakan bahwa beliau menyusun sebuah kitab yang berisi hailah adalah tuduhan yang salah dan perlu diluruskan kembali[7]

karya abu hanifah
Meskipun beliau seorang ahli fiqih, keahliannya jarang didapati bandingannya pada masanya dan ahli dalam masalah teologi, maka dikala itu tidak sedikit para ulama’ yang pernah menjadi muridnya dan tidak sedikit pula para pakar islam yang mengambil dan menghisap ilmu pengetahuannya. Namun menurut satu riwayat beliau tidak pernah membukukan sendiri kitab tentang masalah fiqih, hanya saja dari ashhab-ashhabnya yang menghimpun dan menyusun perkataan dan buah pikirannya tentang masalah hukum keagamaan dengan dicampur pendapatnya sendiri.
Para sejarawan berkata  bahwa Abu Hanifah memiliki karya yang menyinggung masalah keagamaan, seperti kitab Alim Wal Mutaalim, kitab Al Roddu Alal Qodiriyah dan kitab Fiqih Akbar .
Namun menurut pendapat yang rajih ia tidak pernah mengarang dan menyusun kitab yang menyinggung masalah fiqih. Dan kitab Fiqih Akbar seperti yang disampaikan diatas adalah kitab yang menjelaskan masalah teologi.

tersiarnya madhab Abu Hanifah
sepanjang riwayat menyebutkan bahwa para ashhab Hanafi yang membukukan dan mensiarkan madhab Abu Hanifah banyak sekali. Dari antara mereka yang masyhur adalah imam Abi Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Syaibani dan Zafr Bin Hudzail .[8] Dikala Harun Al Rosyid menjabat selaku kepala negara bagi dunia islam. ia menyerahkan urusan kehakiman pemerintahannya kepada imam Abu Yusuf salah satu murid Abu Hanifah yang terkenal.
Maka segenap urusan kehakiman dalam kerajaan Harun Al Rosid ada di tangan kekuasaannya. Ia tidak menyerahkan jabatan itu melainkan orang yang yang sependirian dengan madzhabnya ( madzhab hanafi). Maka dengan tindakan Abi Yusuf yang sedemikian itu, maka segenap qodli dan hakim di beberapa daerah dikala itu pada umumnya terdiri dari ulama’-ulama’ madzhab hanafi. Dengan sendirinya kebanyakan orang gemar mempelajari kitab-kitab yang bermadzhab Hanafi . Dari situ madzhab Hanafi mulai tersebar luas. Sekarang madzhab hanafi tersebar luas ke beberapa daerah seperti Iraq, Pakistan, Afganistan, Turki, Barzil Amerika Selatan.

murid-murid Abu Hanifah.
murid-muridnya sebenarnya banyak sekali, namun akan kami sebutkan tiga yang terkenal di manca negara yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Syaibani dan Zafru bin Hudzail. Merekalah murid- murid Abu Hanifah yang mempunyai kelebihan mengabadikan madzhab Hanafi dengan memodifikasi, menarik kesimpulan, meruntutkan permasalahannya dan mempublikasikannya kemanca negara.

 Abu yusuf
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrohim Al-Anshori. Kakeknya bernama Sa’d bin hatabah salah satu shahabat anshor. Beliau dilahirkan di kufah pada tahun 112 H. Wafat ditempat yang sama pada tahun 182 H.
Pada mulanya ia belajar ilmu fiqh kepada Ibnu Laila. Kemudian pindah kepada Abu Hanifah. Termasuk muridnya yang mempunyai keilmuan yang tinggi dan sering diberi uluran dana oleh gurunya (Abu Hanifah) demi kehidupahn sehari-hari, karena orang tuanya tergolong orang yang fakir. Diantara gurunya adalah Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq Asy Syaibani , Athok bin Sa’id. Setelah ia belajar dan meriwayatkan hadits darinya, terpaksa ia harus mengembara kekota madinah untuk menuntut ilmu Hadist dan fiqih kepada imam Malik. Ia menjabat sebagai qodli pada tiga fase pada pemerintahan Abasiyah. Pertama ketika pemerintahan dipegang oleh Al-Mahdi. Kedua ketika pemerintahan dipegang oleh Musa Al-Hadi. Ketiga ketika pemerintahan dipegang oleh Harun Ar rosyid.
Ia menjabat sebagai qodli bertepatan pada tahun 166 H. Gelar ini terus ia  sandang sampai meninggal dunia pada tahun 182 H. Ia diberi gelar qodli qudlot oleh raja Harun Ar rosyid. Ia orang yang pertama kali mendapat gelar tersebut. Ia salah satu murid Abu Hanifah yang sangat terkenal dengan ilmu fiqh Madzhab Hanafi dan banyak meriwayatkan Hadist. Kealimannya tentang fiqh dan hafal banyak hadist diakui oleh salah seorang yang bernama Jarud At thobari.
Ibnu Mu’in, Ibnu Hambal dan imam Madini sepakat bahwa Abu Yusuf termasuk orang yang dapat dipercaya. Namun  waktu itu ada beberapa hal yang menyebabkan para ulama’ menjauh darinya, antara lain karena ia sangat liberal dalam berfikir, berteman dengan seorang raja dan menjabat sebagai seorang qodli.

Muhammad Hasan Asy-Syaibani
            Ia adalah Muhammad bin Hasan Farqath Asy-Syaibani. Dilahirkan di tanah Wasith pada tahun 132 H. Di tengah-tengah perjalanan orang tuanya dari negara Syam sampai Irak. Orang tuanya berasal dari sebuah desa kecil yang bernama Harasta yang terletak di daerah Damaskus (Syiria). Kemudian ia berdomisili di negara Kufah dan belajar kepada Abu Hanifah. Sayang ia tidak bisa lama belajar dengannya karena Abu Hanifah terpaksa harus meninggalkannya untuk menghadap Sang Pencipta. Pada saat ditinggal gurunya, ia masih berusia 18 tahun. Ia juga merupakan salah satu murid Abu Yusuf. Kemudian ia pindah ke kota Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dan meriwayatkan hadits Muwatha’ darinya.
Beliau diminta kesediaannya menjadi seorang qadli oleh pemegang pemerintahan (Harun Al-Rasyid). Kemudian ia uzlah pada tahun 187 H. Lalu kembali ke Baghdad. Kemudian ia menemani Raja Harun Al-Rasyid bepergian menuju tanah Khurasan, namun bagaimanapun saja bila ajal telah tiba maka tidak dapat diundur lagi, akhirnya ia meninggal di tengah-terngah perjalananannya pada tahun 189 H. di tanah رانبوية Ketepatan, ia berusia 58 tahun.
Imam Syafi’i berkata: "Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih alim dengan Kitab Allah dari pada Muhammad bin Hasan. Seakan-akan Kitab Allah diturunkan kepadanya[9]".

Karya Muhammad bin Hasan

            Beliau wafat pada tahun 189 dengan meninggalkan beberapa karya. Diantara karyanya yang sangat masyhur ada enam buah, Kitab Mabsuth merupakan kitab asal, Jami’us Shaghir, Jami’ul Kabir, Al-Ziyadat, Sayr Shoghir dan Sayr Kabir. 
Dua kitab yang terakhir ini adalah sebuah kitab yang menjelaskan perundang-undangan mengenai militer. Dari kitab-kitab di atas, golongan Hanafiah menamakan dengan kitab Zhahir ar-riwayat, karena kitab-kitab ini diriwayatkan dari Muhammad bin Hasan dengan riwayat orang-orang yang adil. Tentang keenam kitab di atas, telah dihimpun dan diringkas oleh Muhammad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Al-Marwazi, wafat tahun 433 H. Dengan nama kitab Kafi  yang kemudian kitab Kafi ini disyarahi dan di komerntari oleh Imam Asy syarkhasi. kitabnya dinamakan dengan kitab Mabsuth (Sekarang ada 30 jilid).

 

Ulama’-ulama sepriode Abu Hanifah

            Ulama’-ulama’ yang sepriode dengan beliau yang berdomisili di Kufah tercatat ada tiga ulama’ besar.
P e r t a m a : Sufyan bin Sa’id As-Tsauri, termasuk ahli dalam bidang hadits. Para ulama sepakat bahwa ia termasuk orang yang memegang teguh pada prinsip agama, wira’i, zuhud dan dapat dipercaya. Ia termasuk salah satu Imam mujtahid yang mempunyai banyak pengikut.
Sufyan bin Uyainah berkata: "Saya tidak pernah melihat seorang laki-laki yang lebih alim tetang halal dan haram dari pada Imam As-Tsauri. Ia dilahirkan pada tahun 97 H. wafat pada tahun 161 H.
K e d u a : Syarik bin  Abdillah An-Nakha’i. Lahir di tanah Bukhara pada tahun 95 H. Ia termasuk orang yang alim dalam bidang fiqh, berpengetahuan tinggi, cerdas. Ia menjadi seorang qadli di Kufah pada masa kejayaan Islam di bawah dinasti Abbasiyyah yang dipimpin oleh Al-Mahdi, kemudian di saat pemerintahan dipegang oleh Musa Al-Hadi, ia dipecat.
Beliau orang yang bertindak adil dalam memberikan satu keputusan, dalam menjawaban persoalan ia sering benar. Wafat pada tahun 177 H. Disemayamkan di tanah Kufah.
K e t i g a : Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, lahir pada tahun 74 H. Beliau menjadi seorang qadli di Kufah selama 33 tahun pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan pemerrintahan Bani Abbasiyyah. Ia tergolong orang yang alim dalam bidang fiqh.
Imam Tsauri berkata : "Pakar fiqih kita adalah Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syabramah." Dengan segala kelebihan dan segenap kekurangannya ia menghadap Sang Kuasa pada tahun 148 H.
                      Meskipun seorang telah mencapai tingkatan ulama’, sifat kemanusiaan tidak akan terlepas begitu saja. Hal ini sangat terbukti dengan terjadinya kemurungan dan ketidak cocokan antara Abu Hanifah dan tiga ulama’ di atas.
Adapun ketidak cocokan Abu Hanifah dengan Sufyan As-Tsauri karena ia termasuk ahli Hadits sementara Abu Hanifah ahli ra’yu. Ketidak cocokan Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila, karena ia seorang qadli sementara Abu Hanifah orang yang sangat menjauh dari pemerintahan. Bahkan terkadang Abu Hanifah berfatwa tidak sesuai dengan pendapat Abi Laila dalam persoalan yang sama. Tentu saja hal ini akan memicu kemarahan Abu Laila kepadanya, sehingga di satu hari ia pernah memaksa pemimpin pemerintahan (amir) untuk melarang Abu Hanifah berfatwa. Kemurungan yang terjadi antara Abu Hanifah dengan Syarik bin Abdurrahman adalah persaingan pengikut[10].


[1] Abu Hanifah meskipun dari seorang budak sahaya akan tetapi hal itu tidak mengurangi dan menurunkan martabat beliau, terbukti para pakar fiqh Islam mayoritas seorang buidak seperti Atho’ bin Robah, Imam Nafi’ Imam Thowus, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Sulaiman bin Yasar, dan lain sebagainya. Lihat Madkhal al-Fiqh al-Islami hlm. 143.
[2] Umar bin Abdul aziz, 60 – 101 H./ 608 – 649 M. Nama lengkapnya ialah Umar bin Abdul aziz bin Marwan bin Hakam Al-Umawi Al-Qurasyi, ia biasa dipanggil Abu Hafsyi. Ia lahir di Khulwan Mesir tahun 60 H. Pada saat ayahnya menjadi gubernur di sana, Umar dikenal sebagai ilmuwan ahli hadits dan sering memberikan fatwa. Ia menduduki khalifah pada tahun 99 H. atas penunjukan Sulaiman bin Abdul Malik. Keputusan ini disampaikan Sulaiman dalam keadaan sakit parah. Pekerjaan pertama yang dilakukan Umar adalah menghemntikan caci maki terhadap Ali Bin Abi Thalib yang sebelumnya menjadi bagian kebijakan politik pemerintahan Bani Umayyah. Untuk ini ia mengirim surat kepada semua gubernurnya dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan kebijakan dari Umar. Para sejarawan mengungkapkan bahwa Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia karena diracun. Konon pelakukunya adalah dari Bani Umayyah sendiri karena tidak puas dengan kebijakannya. Konon Umar tidak pernah memberikan perhatian kepada mereka baik dalam bentuk materi atau urusan lainnya. Beliau meninggal tahun 101 H. setelah memerintah selama 2 tahun 2 bulan.
2 Madkholul fiqih Al islami hal 143-144.  Tarikhtasri’hal 230 -231
3 Madkholul fiqih Al islami hal 145
[3] Madkhal fiqh islami hlm. 146-147
[4] I’anatut Tholibin I/24
[5] Thobaqat al-kubra karya syekh wahab assya’roni hlm. 53
[6] Thobaqat al-kubra karya syeikh wahab assya’roni hlm.53
[7] madkhalul 152-158.
[8] madkholul 163
[9] Tarikh Tasyri’ hlm 235; Madkhal Fiqh 161
[10] Tarikh Tasyri’ 233;

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls