Jumat, 23 Maret 2012

PERAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam di Indonesia disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke sini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara Islam masuk ke Indonesia ?
2. Bagaimana hubungan agama Islam dengan budaya lokal ?
3. Apa peran agama menghadapi perubahan nilai ?
4. Apa fungsi agama terhadap perkembangan dan perubahan budaya ?

BAB II
PEMBAHASAN
PERAN AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN BUDAYA

A. CARA ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan dengan Al Quran di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Melalui alunan gamelan di depan masjid Demak, Sunan Kalijaga mengajar masyarakat kalimah syahadat. Seusai membaca syahadat, para mualaf dipersilahkan memasuki halaman masjid dan menikmati indahnya alunan gamelan. Di Madura, Pangeran Katandur memberi benih jagung dan mengajar masyarakat bertani sambil dilatih membaca kalimah syahadat. Dan ketika panen jagung tiba, masyarakat dibiarkannya merayakan panen dengan lomba lari sapi yang sekarang dikenal dengan karapan sapi.
Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

B. HUBUNGAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal omba’, asapo’ iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.

C. AGAMA MENGHADAPI PERUBAHAN NILAI
Era informasi dan globalisasi sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah berdampak hampir ke semua aspek kehidupan masyarakat. Perubahan masyarakat akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar pada budaya, nilai, dan agama. Nilai-nilai yang sementara ini dipegang kuat oleh masyarakat mulai bergeser dan ditinggalkan. Sementara nilai-nilai yang menggantikannya tidak selalu sejalan dengan landasan kepercayaan atau keyakinan masyarakat, sehingga penyimpangan nilai kian subur dan berkembang.

Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang berkepribadian.

Laporan hasil polling Indonesia Foundation (Pikiran Rakyat,29/7 2005) menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat (Bandung, 6 April 2006) mengatakan, aborri di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.

Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.

Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umulnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.

Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.

Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.

Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.

Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic, genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.

Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.

Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.

Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang salat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji.

Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.

D. FUNGSI AGAMA TERHADAP PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN BUDAYA
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. Sosiolog Peter L Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden. Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.

Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.

B. SARAN
Islam adalah agama berbudaya, agama peradaban. Yang harus dilakukan umat Islam Indonesia supaya menjadi Islam yang kontributif, Islam garda depan, dan menjadi penyumbang terbesar dalam mewujudkan Islam  keindonesiaan adalah dengan terus memperbaiki diri. Mimpi tentang Islam yang membumi adalah sebuah wacana yang sangat indah. Umat Islam Indonesia harus mencari formula yang benar dan tepat untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan.nilai-nilai Islam harus menjadi sumber yang mengilhami cita-cita Negara (wellspring for state direction), menjadi nilai-nilai yang berlaku umum (civic values) dan menjadi moralitas public (public morality). Umat Islam Indonesia harus menjadi pelopor penegakan Bhineka Tunggal Ika. Islam bukanlah agama yang kaku, karena tawar-menawar yang tidak mengotori aqidah selalu terbuka, termasuk tawar menawar dengan budaya setempat.

DAFTAR PUSTAKA
  1. http://www.awankpoenya.co.cc/2008/11/era-informasi-dan-globalisasi-sebagai_13.html
  2. http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=109&Itemid=93.      Ayu Sutarto, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia, Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2004.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls