BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa Rosululloh masih hidup,umat islam dapat bersatu padu dan tidak ada perbedaan pemikiran tentang ajaran islam,baik yang menyangkut persoalan aqidah maupun muamalah.Namun pada masa akhir pemerintahan kholifah Usman bin Affan,sudah mulai timbul perbedaan–perbedan yang dilatarbelakangi masalah politik dan kesukuan,yang akhirnya merembet kepada masalah yang berkaitan dengan aqidah dan juga fiqih.Belum lagi karena wilayah islam yang semakin luas dan interaksi umat islam dengan pemeluk agama lain juga mengakibatkan adanya masuknya pengaruh pada sistim pemikiran umat islam.
Sebagai akibat itu semua lahirlah golongan syiah dan khawarij pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang dilatar belakangi sengketa politik.Dan kemudian lahir pula golongan mu’tazilah,murjiah,jabbariyah dan juga qadariyah.
Pada masa itu munculah tokoh-tokoh pemikir islam,termasuk Imam Maturidy yang menyumbangkan pemikiran islam dalam masalah teology,yang kontra dengan paham mu’tazilah,sekaligus mewakili pemikiran dari golongan ahlussunnah.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas,kami ingin mengupas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran dari imam maturidi.
1. Sejarah singkat Imam Maturidy,sebagai salah satu pembela paham sunniy.
2. Bagaimana pemahaman Imam Maturidy dalam ilmu kalam.
C. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan masalah ini adalah :
1. Kita bisa mengeahui secara singkat tentang profil Imam Maturidy sebagai salah satu pembela paham ahlussunnah
2. Kita dapat memaham pemikiran-pemiikiran dari Imam Maturidy,sehingga bisa membedakan dengan paham-paham dari golongan lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-MATURIDIYAH
1.Riwayat Singkat Al-Maturidi
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Didirikan oleh Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang kini disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi adalah Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.
Pendidikan beliau difokuskan pada bidang teologi daripada fiqih, ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang menurutnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Ia sebagai pengikut Imam Abu Hanifah, sehingga faham teologinya memiliki banyak persamaan dengan faham-faham yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Al-Maturidiyah termasuk aliran teologi ahli sunnah.
2.Karya-karya Al-Maturidi
Pemikiran-pemikiran beliau dituangkan ke dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadi, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdullah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, dan kitab Radd ‘ala Al-Qaramatah2. Selain itu, ada juga karangan ynag ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar. Sebagai informasi yang menambah wawasan tentang Maturidiyah adalah buku yang dikarang oleh pengikutnya, seperti buku Isyarat Al-Maram oleh Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya Ushul Al-Din.
B. GOLONGAN-GOLONGAN TEOLOGI AL-MATURIDIYAH
1. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2. Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.
1.Riwayat Singkat Al-Maturidi
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Didirikan oleh Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang kini disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi adalah Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.
Pendidikan beliau difokuskan pada bidang teologi daripada fiqih, ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang menurutnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Ia sebagai pengikut Imam Abu Hanifah, sehingga faham teologinya memiliki banyak persamaan dengan faham-faham yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Al-Maturidiyah termasuk aliran teologi ahli sunnah.
2.Karya-karya Al-Maturidi
Pemikiran-pemikiran beliau dituangkan ke dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadi, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdullah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, dan kitab Radd ‘ala Al-Qaramatah2. Selain itu, ada juga karangan ynag ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar. Sebagai informasi yang menambah wawasan tentang Maturidiyah adalah buku yang dikarang oleh pengikutnya, seperti buku Isyarat Al-Maram oleh Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya Ushul Al-Din.
B. GOLONGAN-GOLONGAN TEOLOGI AL-MATURIDIYAH
1. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2. Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.
CS. DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI AL-MATURIDIYAH
1. Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
2. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
3.Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4. Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an, surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an, surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
6. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
7. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
9.Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.
C. GOLONGAN-GOLONGAN TEOLOGI AL-MATURIDIYAH
1. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2. Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.
BAB III
KESIMPULAN
Imam Maturidy adalah salah satu pengikut Abu Hanifah, sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunnah.
Untuk mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran dari asy’ariyyah dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan asy’ariyyah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun, perbedaan dan persamaannya masih ada.
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifah karena Al-maturidi sebagai pengikat Abu Hanifah. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.
Diantara pokok-pokok Ajaran Maturidiyah adalah
1. Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
2. Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
3. Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam ciptaan-ciptaannya maupun perintah dan larangans-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
2. Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 1998.
3. Asy-Syahratnasy. Al- Milal wa An-Nihal. Darul Fikr. Beirut.t.t.
4. Nasution, Islam Rasional, UI Press,Jakarta, 1987.
5. Mahmud Qasim, Fi Ilm Al-Kalam, Maktabah al-Anglo al-Maishriah, Kairo, 1969