Kamis, 22 Maret 2012

IMAM SYAFI’I

IMAM SYAFI’I

Nama, Silsilah Dan Kelahiran Imam Syafi’i

Nama beliau adalah Abu Abdillah  Muhammad. Silsilah orang yang menurunkan beliau dari arah ayahnya adalah Idris bin Anas bin Utsman bin Syafi’i bin Said bin Ubaid bin Abi Yazid bin Hasyim bin  Muthollib bin Abdi Manaf.
Dengan demikian nasab Imam Syafi’i bertemu dengan Nabi Muhammad pada kakeknya yaitu Abi Manaf.
Silsilah dari arah Ibunya adalah Muhammad bin Fatimah binti Abdulloh bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abdil Muthollib. Ia adalah perempuan yang ahli ibadah dan tekun melaksanakannya.
Menurut satu riwayat bahwa ayah Imam Syafi’i aslinya dari Tsabalah, sebuah desa yang terletak di kota madinah. Namun, karena suatu hal yang membenci kepadanya akhirnya ia pindah ketanah Asqolan, kemudian ia berdomisili di sana sampai meninggal dunia. Pada waktu meninggal usia Imam Syafi’i masih 2 tahun. Orang tuanya tergolong orang yang faqir tidak berharta dan serba kekurangan.
Adapun Abas (kakek Imam Syafi’i) tidak lain adalah orang yang meriwayatkan hadits dan orang yang diriwayatkan hadistnya.
Utsman (ayah dari kakek Imam Syafi’i) hidup pada masa pemerintahan islam dibawah Pimpinan Abu Abas Assifah.
Asyafi’ (kakek dari kakek Asyafi’i) termasuk salah satu shohabat yang pernah menjumpai Nabi pada waktu ia masih kecil.
Saib (orang tua Syafi’) termasuk orang musyrik yang membawa bendera bani Hasyim  pada saat perang Badar yang kemudian masuk islam setelah di tawan oleh orang-orang islam.
Imam Syafi’i lahir pada hari Jum’at Sore bulan Rojab tahun 150 H. yaitu tahun Abu Hanifah meninggal.
Satu pendapat mengatakan bahwa hari kelahiran Imam Syafi’i sama dengan hari wafatnya Abu Hanifah yaitu pada hari Jum’at.
Adapun tempat kelahirannya masih terjadi perselisihan antara para ulama :
Ada yang mengatakan lahir di tanah Gozah.
 Ada yang mengatakan lahir di tanah Asqolan.
Ada yang mengatakan lahir di tanah Yaman.
Ada yang mengatakan lahir di tanah Mina.
Namun dari beberapa pendapat di atas yang aqrob adalah pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir di tanah Gozah kemudian pindah kenegara Asqolan sewaktu beliau masih kecil. Seperti pengakuan Imam Syafi’i sendiri.[1]

kepribadian imam syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang yang tinggi, panjang pipi, leher, bahu dan betisnya, bagus wajahnya kemerah-merahan, fashih lidahnya, harismatik menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya, cerdas, berwawasan luas. Dalam kitab Ihkam disebutkan bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang kurus, tipis godegnya. Perlu ditambahkan bahwa Imam Syafi’i adalah seorang yang bagus suaranya merdu bila membaca Al Qur’an. Sehingga ketika seseorang mendengarkan Imam Syafi’i sedang membaca Al Qur’an mereka menangis mengeluarkan air mata, saling berjatuhan dan ketika beliau melihat keadaan masing-masing barulah beliau menahan dan menghentikan bacaannya karena kasih sayangnya kepada mereka. Jadi Imam Syafi’i selain mempunyai kecerdasan berwawasan yang  luar biasa, juga mempunyai daya tarik yang luar biasa dikala membaca Al Qur’an.[2]

keluarga imam syafi’i
            Tak diketahui kepastiannya kapan beliau menikah, namun yang jelas pernikahan itu dilaksanakan tidak selang lama setelah beliau pulang dari Madinah menuju Makkah. Menurut satu penelitian bahwa istrinya hanya satu, yaitu Hamdah Biti Nafi’ Bin Anbasah Bin Amr Bin Ustman Bin Affan. Adapun putranya menurut hasil konsensus ulama’ ada tiga, dua lelaki dan satu perempuan. Anak laki-laki pertama bernama Muhammad Abu Utsman. Pertama ia belajar kepada ayahnya sendiri(Asy Syafi’i) kemudian kepada Sufyan Bin Uyainah, Abdul rozaq dan Ahmad Bin Hambal. Ia pernah menjabat sebagai Qodli di tanah Jaziroh dan disanalah ia mengajar selain harus melaksanakan tugasnya sebagai Qodli. Juga pernah menjabat sebagai qodli di kota Halb, kemudian berdomisili disana beberapa tahun lamanya. Muhammad Bin Utsman mempunyai tiga anak : satu Abbas Bin Muhammad Bin Idris. Dua Abu Hasan, sayang anak kedua ini telah meninggal sejak masih menyusu. Tiga Fatimah.
Putra Imam Syafi’i yang kedua juga bernama Muhammad  dengan kunyah Abu Hasan. Ia wafat di Mesir pada tahun 231. Ia pernah menjabat sebagai qodli di ibukota Qusrin dan Ibukota yang lainnya. sayang beliau tidak punya keturunan.
Anak perempuan Imam Syafi’i bernama Zaenab. kemudian menikah dengan anak pamannya, bernama Muhammad bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abbas Bin Utsman Bin Syafi’i Dari pasangan ini dianugrahi anak bernama Ahmad.
Demikian  tadi sekilas tentang keluarga Imam Syafi’i.[3]

 

Perkembangan Imam Syafi’i di Mekah

Perjalanan pertama:
Seperti diatas telah kami jelaskan bahwa beliau dilahirkan ditanah Qozah. Kemudian ia pindah bersama Ibunya kenegara Makkah setelah di tinggal orang tuanya. Disana ia dibawah asuhan Ibunya dalam keadaan yatim dengan kehidupan yang sangat sederhana, bahkan kadang-kadang menderita kesulitan.
Di negara inilah Imam Syafi’i memulai pendidikannya. Pada waktu itu Ibunya punya keinginan menyerahkan Imam Syafi’i pada seorang guru untuk di beri pendiikan Al-qur’an dan tulis menulis seperti layaknya anak-anak pada masa belajar. Namun apalah arti dari keinginan kalau keadaan sangat tidak memungkinkan karna tidak adanya biaya sebagai imbal balik atas jerih payah seorang guru dalam mengajar anaknya.
Pada saatnya kecerdasan dan kecerdikan Imam Syafi’i terlihat oleh seorang gurunya. Ia rela tidak diberi imbalan atas jerih payahnya dalam mengajar.
Karena dengan kecerdasannya, seorang guru tidak bersusah payah untuk mendidiknya maka tidak pantas baginya menerima gaji dari murid yang tidak susah mengajarinya. Untuk menunjukkan kecerdasannya. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata :” Pada suatu hari aku mendengarkan seorang guru mengajarkan kepadaku dan murid-murid yang lain ayat perayat, lalu aku hafalkan apa yang telah di bacakan kepadaku. murid-murid yang lain menulis apa yang mereka peroleh, setelah sang guru selesai membacakan, aku telah berhasil menghafalkannya.” Melihat kecerdasan Asy Syafi’i pada suatu hari gurunya berkata .” tidak patut bagiku mengambil ongkos darimu .”
Hari demi hari, bulan demi bulan telah terlewati. Ia  terus belajar sedikit demi sedikit dengan tekun hingga ia bisa menghafal alqu’an 30 juz di luar kepala dengan lancarnya pada usia 7 tahun.
Demikian tadi sekilas perjalanan Imam Syafi’i di mekah.

Perjalanan kedua

            Setelah Imam Syafi‘i berhasil menghafal Al-qur’an 30 Juz di luar kepala, ternyata tidak sampai disitu cita-citanya dalam mencari ilmu. Dengan penuh semangat ia melangkahkan  kakinya datang kepada ulama ulama besar di masjidil haram, untuk menyerap ilmu darinya. Namun karena dari kepapaannya tentu saja ketika belajar senantiasa selalu menderita kekurangan untuk membeli alat alat belajar, kertas tinta dan lain-lain. Tetapi karena kerajinannya dalam menuntut ilmu pengetahuan maka tidak kurang-kurangnya beliau dapat mencari jalan untuk mencukupi kebutuhannya. Beliau seringkali mencari tulang tulang dan mengumpulkannya dari jalanan guna untuk di tulisi pelajaran yang diperoleh dari gurunya. Pun beliau kerap kali datang kekantor-kantor untuk mencari kertas yang tidak dipakai yang masih layak pakai. sehingga beberapa bejana milik Ibunya penuh dengan tulang tulang yang berisi ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini pernah di akui oleh Imam Syafi’i sendiri. Bahkan karena kekurangan dan kemiskinannya, saudarannya memberi nasehat kepadanya agar ia bekerja dahulu untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. tidakboleh tergesa gesa menuntut ilmu. Namun karena kesabaran  kegigihan dan keteguhannnya dalam memegang prinsip ia tidak menghiraukan nasehatnya. Ia tetap melangkahkan kakinya untuk memperdalam ilmu agama.  Pada akhirnya datang waktunya Alloh memberi rizqi kepadanya. Hal ini ia lakukan sebelum mencapai usia baligh. Barang kali ini yang tertera dalam beberapa hadist : “ barang siapa menuntut mencari ilmu pengetahuan agama maka Allohlah yang akan mencukupi kebutuhannya".
Maka kita sebagai pelajar jangan sampai lena mencari ilmu karena tidak adanya biaya kehidupan. Pintu satu tertutup masih banyak pintu lain yang terbuka.
Dalam  perjalanan ini, beliau sempat menghafal kitab muwattho’ sebelum kemudian ia datang kepada Imam Malik  untuk belajar kepadanya. Imam Syafi’i  sendiri pernah berkata “saya hafal alqur’an sejak usia 7 tahun dan hafal kitab muwatto’ pada usia 10 tahun”. Kemudian setelah itu dengan tekad yang bulat pergi kekota mekah menuju kesuatu dusun yang bernama Hudzail untuk mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih karna dusun ini adalah satu satunya dusun yang penduduknya terkenal fasih berbahasa arab. Didusun inilah beliau rajin mempelajari bahasa arab dan kesusastraan serta syi’ir syi’irnya kepada pemuka dusun tersebut. Beliau sampai beberapa tahun disana barang kali inilah yang menyebabka Asy Syafi’i ahli dalam bidang sastra serta mempuyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa arab asli. Setelah itu beliau meneruskan pengembaraannya kemadinah untuk belajar kepada imam malik. Adapun tentang faktor Imam Syafi’i berpindah dari ilmu sastra menuju ilmu  fiqih terdapat beberapa riwayat. Suatu riwayat menyebutkan: pada suatu ketika Imam Syafi’i keluar ketanah badui untuk belajar ilmu sastra. Tiba saatnya ia sampai berada di sebuah dusun, lalu datang orang badui kepadanya sambil bertanya sesuatu.” Bagaimana hukum perempuan yang haid satu hari dan suci satu hari” Imam Syafi’i menjawab “ tidak tahu “. Mendengar jawaban itu serentak ia menasehati kepada Imam Syafi’i : “wahai anak muda ilmu fardu lebih baik kau pelajari daripada ilmu sunnat.” Imam Syafi’i menjawab “Aku mencari ilmu ini (bahasa dan satra) untuk mempelajari ilmu fardu , dan itulah yang menjadi tujuanku.” Semoga Allah menolongku”.
Mulai dari sini ia tekad datang kepada imam malik.
Imam Syafi‘i dikala umur 15 tahun oleh gurunya Muslim bin Kholid Azzanji di beri ijin untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. “wahai Abu Abdillah. Kata muslim bin khholid menyebut panggilan Asy Syafi’i  berfatwalah engkau, kini telah tiba waktunya kamu memberi fatwa kepada masyarakat”.
Gurunya pada saat ia berdomisili di mekah adalah : Muslim bin Kholid Azzanji seorang guru dalam bidang fiqih , Ibnu Uyainah seorang ahli hadist. Said bin Salim Al-qodah, Daud bin Abdurrohman Al-Atthor dan Abdul Majid bin Abdul Aziz.
Di kota ini ia telah menghafal fiqih madzhab makah, mengenal usul, furu’ serta  dalil-dalilnya. Kendati demikian, ia tidak begitu saja berhenti belajar ilmu arobiyyah. [4]

 

Bepergian Imam Syafi’i Ke Madinah

Setelah beliau lama mengarungi ilmu agama di Kota Makkah dan belajar kepada beberapa ulama besar, diantaranya adalah Syaikh Zaiji, Sofyan Bin uyainah dan ulama’ ulama’ yang lain. Pada usia  yang masih relatif muda ia sudah kondang keahlian dan kepiwaiannya. apakah ia terima dengan ilmu yang didapat dari Makkah saja apakah masih punya keinginan yang lebih daripada itu ?
Imam Syafi’i adalah orang yang selalu haus dengan ilmu, tidak terima dengan ilmu yang didapatkan dari Makkah saja, ilmu tidak terbatas pada satu daerah saja. Karenanya ia belajar lagi ke Madinah kepada Imam Malik seorang Imam di daerah hijrohnya Nabi dan merupakan pewaris para nabi. Pada suatu ketika Asy Syafi’i bertemu dengan lelaki Qobilah Zubair :”wahai syafi’i” kata laki tersebut “saya sangat keberatan apabila ilmu sastra tidak kamu imbangi dengan ilmu fiqh. Belajarlah ilmu fiqh kelak kau akan menjadi seorang pemimpin.
Kepada siapa aku belajar ilmu fiqh”  tanya Asy Syafi’i .Malik bin anas “lelaki itu menjawab. Kemudian Asy Syafi’i punya keinginan datang kepadanya dan sebelum beliau berangkat terlebih dahulu ia mencari pinjaman kitab Muwatho’ kepada seorang dari penduduk Makkah. Kemudian aku hafalkan dalam waktu 9 malam, kemudian ia datang kepada wali kota Makkah untuk membuatkan dua pucuk surat pengantar dari walikota yang satu buat walikota Madinah dan yang lain untuk Imam Malik.Walikota makah pun segera membuatkan surat untuk Imam Syafi’i. Sesudah itu barulah beliau datang ke walikota Madinah untuk menyampaikan sepucuk surat yang beliau bawa. Setelah dibaca maka seketika itu Walikota Madinah memandang wajah Imam Syafi’i sambil berkata : Wahai Syafi’i seandainya Walikota Makkah meminta kepadaku supaya aku berjalan kaki dengan kaki terbuka dari kota Madinah sampai kota Makkah itu lebih ringan bagiku dari pada aku harus datang kedepan pintu Imam Malik. Imam Syafi’i berkata : apakah tuan akan memanggil Imam Malik ke sini. Walikota menjawab : sangatlah jauh beliau melaksanakan. Sebentar kemudian ia berkata :” baiklah kita coba datang bersama ke rumah Malik dengan kendaraan.”, Akhirnya ia pun naik jendaraan dan datang kepada Imam Malik. sesampainya keduanya  di rumah  Imam malik, datanglah seorang laki-laki mendahului mengetok pintu rumah dan seketika itu keluarlah jariyah hitam. Lalu Walikota berkata:” sampaikan kepada tuanmu(malik)saya telah datang dan ada didepan pintu”. lalu jariyah tadi masuk agak lama ,setelah keluar jariyah berkata : tuan saya (malik)berpesan : kalau kedatangan tuan untuk bertanya soal agama maka sebaiknya tuan menulisnya dalam kertas nanti aku sampaikan maka kau dapat menunggu , tapi bila untuk bicara yang lain tentu engkau telah tahu hari-hai yang ditentukan oleh tuan saya dan lebih baik tuan datang pada hari yang telah ditentukan.Walikota Madinah berkata:”Sampaikanlah pada tuanmu bahwa kedatanganku ini adalah membawa surat amanat yang sangat penting dari Walikota Makkah untuk beliau,”. kemudian jariah tadi masuk serta kembali lagi dengan membawa kursi, tidak lama keluarlah Imam Malik seorang yang tinggi perawakannya kepalanya tertutup oleh serban, setelah itu Walikota menyampaikan surat dari Walikota Makkah kepada Imam Malik , akhirnya dikit demi sedikit surat itu ia baca dan ketika sampai pada tulisan yang berbuyi “ bahwa muhammaad bin idris adalah seorang bangsawan, baik pribadi maupun kelakuhannya, keadaannya demikian dan demikian , maka seketika itu dilemparlah surat itu dari tangannya, lalu berkata: maha suci Allah apakah ilmu nabi diperoleh dengan lantaran surat ini . kemudian setelah imam syafi’i mendengarkan kata kata imam Malik, maka imam syafi’i maju menghadapnya sambil berkata: semoga alloh memperbaiki kamu, saya seorang dari bani muthollib dan keadaan kami begini begini. lalu imam malik memandang nya sambil berkata :”siapa namamu”. imam syafi’i menjawab: “muhammad.” imam malik berkata:” wahai muhammad takutlah kamu kepada Allah dan jauhilah dari kema’siyata saya melihat bahwa kau punya cahaya yang gilang gemilangmaka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kemaksiyatan , baiklah bila esok telah tiba maka datang saja kepadaku dan akan aku bacakan kitab untukmu.” imam syafi’i berkata sesungguhnya aku telah membacanya dengan hapalan. kemudian pada esoknya imam syafi’i datang kepadnyadan ia mulai membaca diluar kepala dan buku ada di tangannya  .tiap tiap imam syafi’i merasa takut kepada imam malik karena timbulmya keragu-raguan bila terjadi kesalaha dan ia ingin memutus bacaannya maka berkatalah imam malik teruskan jangan berhenti.
 hari demi hari bulan demi bulan tahun demi tahun imam safi’i belajar kepada imam malik sehingga imam malik wafat pada tahun 179 H. usia imam syafi’i waktu itu 29 tahun berarti beliau berdomisili di madinah lebih dari 10 tahun. usia imam syafi’i paada sat belajar kepada imam malik menurut satu riwayat 27 tahun. menurut pendapat lain usia 13 tahun. beliau belajar kepada imam malik tidak hanya kitab muwatho’ saja tapi juga ilmu ilmu yang lain seperti ilmu hadits ilmu fiqih metode ijtihah fatwa shohabat  fatwa tabi’in, amaliyah ahli madinah .Selam di madinah beliau tidak hanya belajar kepada Imam malik saja kare na hal itu masih dinanggap sedikit seperti yang pernah beliau ungkapkan .”semakin banyak ilmu maka semakin tampak kebodohan “ .tapi ia juga belajar kepada ulama’ulama’ yang lainnya.[5]

Kedatangan Imam Syafi’i di tanah Irak(Bagdad)

            Memang sudah menjadi sunnah Allah yang berlaku di muka bumi ini bahwa barang siapa yang bersungguh-sungguh, ikhlas melaksanakan kewajiban sebagai hamba kepada Tuhannya, terutama siapa yang sungguh-sungguh beriman kepadanya dan akan menjadi orang besar dalam lingkungan manusia, tentu diberi suatu ujian olehNya. Ujian yang ditempuh seseorang tentu menurut kadar kebesaran jiwanya dan ketinggian tingkatan imannya. Jadi, ujian yang dijatuhkan oleh Allah pada para hambanya yang akan menjadi golongan orang terhormat itu bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang berat dan ada yang ringan. Begitu pula yang dialami Imam Syafi’i. Pada mulanya beliau datang ke yaman karena diajak oleh walikota di negeri itu, beliau diangkat menjadi setia usahanya. Pula beliau oleh kebanyakan penduduk di sana sangat dikenal dan masyhur, dengan demikian tentu saja timbul kedengkian dan kebencian oleh satu pihak. Berhubungan dengan itu, pada satu saat pihak tersebut melaporkan kepada wali negara baginda Harun Al-Rasyid bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang mengikuti faham syi’ah. Syi’ah di kala itu memang sedang berkembang di seluruh daerah yaman. Yaman pada waktu itu di bawah kekuasaan Harun Al-Rasyid. Padahal syi’ah oleh kepala negara Harun Al-Rasyid telah dikenal suatu gerakan yang akan merobohkan pemerintahan Abbasiyyah dan akan mendirikan pemerintahan sendiri dari golongan alawiyyah.[6] Sekalipun Imam Syafi’i pada hakikatnya tidak campur tangan dengan syi’ah, tetapi lantaran berita yang sampai kepada Harun Al-Rasyid bahwa beliau termasuk gerakan syi’ah, maka akhirnya suatu hari baginda Al-Rasyid memerintahkan supaya Imam Syafi’i dan golongan syi’ah yang lain segera ditangkap. Waktu harun al-rasyid berada di Baghdad. Kemudian Imam Syafi’i ditangkap, diikat dengan rantai untuk dibawa ke baghdad menghadap raja Harun Al-Rasyid untuk diperiksa . Hal ini ketepatan pada tahun 184 H. waktu itu jiwa mereka sangat terancam, karena hukuman yang akan diberikan adalah hukuman mati. Setelah itu sampailah Imam Syafi’i dan golongan syi’ah yang lain datang menghadap baginda Harun Al-Rasyid dan di samping baginda ada Muhammad bin Hasan. Muhammad bin Hasan berkata kepada baginda: “wahai amirul mukminin, janganlah engkau terlena dengan kefasihan laki-laki yang ada di hadapan tuan, karena ia adalah orang yang pintar berbicara. “Imam Syafi’i berkata: “Sebentar, wahai amirul mukminin, engkau adalah seorang pemimpin, dan aku adalah rakyatnya. Engkau bisa berbuat apa saja kepadaku. Namun sebelum engkau menangkapku karena tuduhanmu aku terlibat gerakan syi’ah, aku ingin menanyakan kepadamu, tentang dua orang, yang satu menganggapku sebagai saudaranya, dan yang lain menganggapku sebagai budaknya. Manakah dua orang ini yang harus lebih aku cintai?” harun al-rasyid menjawab :” orang yang harus lebih kau cintai adalah orang yang menganggapmu saudaranya.” Imam Syafi’i berkata: “kalau demikian, tuan adalah orang yang paling aku cintai, karena tuan menganggapku sebagai saudara karena tuan seorang yang keturunan bani abbas, dan bani abbas adalah keturunan Ali bin Abi tholib. Sementara aku adalah saudaramu dari banu muththallib”. Mendengar jawaban Imam Syafi’i, harun al-rasyid merasa gembira kemudian ia berkata kepada Imam Syafi’i :”berilah nasihat kepadaku wahai syafi’i,” lalu Imam Syafi’i memberi nasihat yang amat tajam dan tegas yang dapat menggetarkan jiwa Harun Al-Rasyid sehingga menangislah beliau dengan tangisan yang sungguh. Kemudian baginda Harun Al-Rasyid memberikan uang 5000 dinar kepada Imam Syafi’i. Akhirnya dengan pertolongan Allah Imam Syafi’i selamat dari ancaman yang sangat mengkhawatirkan tersebut.
            Namun ada sesuatu yang lebih menarik bagi Imam Syafi’i ketika berada di baghdad karena beliau sempat bertemu dengan ulama’-ulama’ besar dan berdebat dengannya. Di antaranya adalah Muhammad bin Hasan Al-Syaibani dan sempat menulis kitab-kitabnya seperti pernah diakui Imam Syafi’i sendiri, “Aku telah menggunakan uangku untuk membeli kitab-kitab karya Muhammad bin Hasan Al-Syaibani sebesar 60 dinar. Kemudian aku baca, aku renungkan, dan aku letakkan di tepinya, sebuah hadits untuk menolak pendapatnya”.
Untuk beberapa lama beliau tinggal di baghdad yang pertama kali ini, para ahli sejarah belum pernah ada yang menyebutkan. Namun secara perkiraan beliau tinggal di baghdad sangat lama, munkin ada beberapa tahun, sebab ketika beliau di rana, ia menulis karya Muhammad bin Hasan, belajar kepada ulama’-ulama’ besar di sana, berdebat dengannya. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang lama. Setelah di baghdad, ia harus kembali lagi ke mekkah, meskipun demikian, jasa-jasanya ketika tinggal di sana tidak dapat terlupakan begitu saja, akan selalu mengenang hati teman-temannya, baik yang sependapat dengannya atau yang tidak. Demikian tadi sejarah singkat Imam Syafi’i ketika berada di baghdad.

 

Kembalinya imam Syafi’i kemakah

Setelah ia beberapa lama tinggal di iraq dan Allah telah menyelamatkannya dirinya dari tuduhan gerakan syi’ah. Maka ia kembali kemakah dengan membawa segudang ilmu ahli iraq (rasio) yang di dapatkan dari Muhammad bin Hasan Asy Syaibani murid Abu Hanifah . Dengan demikian terkumpullah pada diri imam syafi’i ilmu dari iraq dan ilmu dari hijaz (hadits) yang di dapatkan dari Imam Malik ketika di madinah.
Dari kedua ilmu yang berbeda ini mampu melahirkan suatu pemikiran fiqih antara ahli ro’yu dan ahli hadits dan cenderung pada sikap jalan tengah .[7]Dimekah inilah ia mulai merumuskan pemikirannya, membuat usul dan qaidah. Dan pertama kali membentuk halaqoh di masjidil haram yang akhirnya menarik perhatian berbagai kalangan .Ahmad bin Hanbal yang waktu itu menjadi murid Ibnu Uyainah terpaksa harus meninnggalkannya, berpindah pada halaqoh ImamSyafi;i karena melihat pemikiran Syafi;i yang begitu menarik . Ketika di tegur karena perpindah halaqoh ia menjawab :Diam kamu ! Apabila kamu ketinggalan satu hadits maka akan kamu temukan pada tempat yang lain. tapi bila ketinggalan orang ini (sambil menunjuk ImamSyafi’i) maka saya khawatir kamu tidak akan menemuinya lagi, saya tidak pernah menjumpai orang yang lebih faham dengan kitab Allah dari pada orang ini.
Dimakah Syafi’i juga berdebat , bertukar fiqir dengan Ishaq bin Rohawiyah dengan perdebatan yang sengit dan tajam hingga kecerdasan dan hafalan Imam Syafi’i membuatnya heran. Dalam pujiannya Bisyri Al Marisi berkata : Imam Syafi’i adalah orang yang memiliki separo akal orang sedunia ini.
Hari demi hari kemasyhuran    Imam Syafi’i yang meliputi halaqoh, persoalan persoalan yang baru muncul tentang usul dan kaidah semakin terbukti tidak dimakah saja tapi juga di negara negara lain.Hingga suatu ketika Abdurrahman bin Mahdi selaku pemimpin negara iraq mengirimkan surat yang berisi kesediaan Imam Syafi’i meyusun sebuah kitab yang membahas tentang pengertian al qur’an, hadits, ijma’ dan penjelasan nasikh mansukh. Imam Syafi’i memenuhi permintaannya setelah didesak oleh Ali Al Madini dan ia wujudkan dalam bentuk kitab arrisalah. Berarti kitab arrisalah ini di susun ketika berada dimekah.
Imam Ar Rozi menyebutkan bahwa kitab Ar risalah  ditulis di bagdad ketika datang yang kedua kalinya kemudian ketika datang kemesir ia telah berusaha merivisi dan mempaharuinya karena tuntutan keadaan disana .
Pada kesimpulannya pada tahapan dimekah merupakan periode perumusan metode berfiqir dan kaidah- kaidah dasar.[8]

 

Perjalanan Imam Syafi’i ke mesir

            Setelah Imam Syafi’i pergi ke baghdad yang ketiga kalinya, terpaksa beliau harus kembali lagi ke makkah, tepatnya pada tahun 198 H. dan berdomisili di sana untuk beberapa saat, sehingga beliau melakukan perjalanannya lagi ke mesir. Dalam bepergiannya ke mesir ditemani oleh abbas bin abdullah bin abbas bin musa bin abdillah bin abbas, seorang walikota mesir menggantikan ayahnya. Pada akhir tahun 199 H. sampailah Imam Syafi’i di mesir bersama walikota mesir yang bernama abbas. Sesampai beliau di mesir, pada mulanya diminta oleh abbas bin musa supaya bertempat tinggal bersama dengannya akan tetapi permintaannya ia tolak dengan baik-baik. Beliau merasa lebih baik bertempat tinggal di rumah salah satu familinya atau salah satu kawannya. Karena itu beliau bertempat tinggal pada salah satu familinya, kemudian bertempat tinggal pada salah satu temannya yang bernama abdullah bin abdil hakam. Semenjak beliau menginap di rumah abdullah, beliau selalu mendapatkan penghormatan dan fasilitas yang baik dan diberi hadiah sebesar 3000 dinar, 1000 dinar dari dirinya sendiri, dan 2000 dinar dari orang terkemuka dan pedagang-pedagang di mesir. Di kala itu Imam Syafi’i menyampaikan banyak terima kasih kepadanya. Ketika Imam Syafi’i datang di mesir, waktu itu penduduknya mayoritas bermadzhab malik, dan ada sedikit yang mengikuti madzhab Abu Hanifah. Kemnudian ketika Imam Syafi’i datang, maka beliau memberi pengajaran secara luas tentang hukum-hukum keagamaan kepada masyarakat mesir hingga beliau bertambah populer di mata masyarakat, dan masyarakat pun akhirnya banyak yang mengikutinya hingga madzhab beliau tersiar di kota mesir dan daerah-daerah lain seperti Syam(palestin), Irak, dan yaman. Selanjutnya ketika beliau bertempat tinggal di mesir banyak pengalaman-pengalaman baru dan mengetahui adat istiadat bangsa mesir serta cara pergaulan mereka yang belum pernah ia ketahui ketika di baghdad. Berhubungan dengan itu, pendapat dan pandangan beliau tentang soal-soal hukum yang mengenai muamalah dan kemasyarakatan agak berubah cara mengupasnya, cara membahasnya, dan berubah pula cara memutuskan hukumnya sepanjang ijtihad beliau di kala itu..
Perjalanan Imam Syafi’i ini termasuk bepergian yang sangat menguntungkan seperti ketika beliau ada di iraq yang kedua kalinya .Sebab ketika berada di iraq beliau menyusun kitab usul yang bernama al risalah dan menyusun kitab hujah yang mengupas tentang masalah fiqih. maka ketika berada di mesir beliau mulai merenungkan karangannya  al risalah. Kemudian ia rubah dan diperbarui sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada di mesir. Perlu sedikit diketahui bahwa kita al-risalah yang beredar sekarang adalah kitab al-risalah yang ia susun ketika berada di mesir. Selain merenungkan kitab al-risalah, beliau juga mulai memperbarui kitab hujjah yang ia karang ketika di baghdad, yang kemudian ia ganti dengan kitab al-um sebesar tuju jilid dengan bahasa yang bagus seperti yang telah kita kenal sekarang ini.
            Maka dengan demikian, pendapat Imam Syafi’i ketika di irak dinamakan qaul qadim, dan pendapat beliau ketika berada di mesir dinamakan qaul jadid. Demikian tadi perjalanan Imam Syafi’i ketika di mesir hingga beliau wafat.[9]

sumber-sumber imam syafi’i
Sumber-sumber Imam Syafi’i yang dibuat mengambil hukum meliputi al-quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Akan tetapi ia memiliki metode sendiri dalam menggunakan dalil-dalil di atas sebagai sumber syari’at. Dalam mengambil hukum, ia tidak menggunakan metode istihsan, qaul shahabat, tradisi ahli madinah seperti yang telah dilakukan Imam Malik. Metodenya berbeda dengan ulama’ yang lain dari beberapa segi:
1.       Syafi‘i menganggap hadits yang shahih wajib untuk amalkan. Dalam hal wajibnya mengamalkan hadits tersebut, ia tidak mensyaratkan masyhurnya hadits dalam kasus yang sering terjadi, seperti yang telah disyaratkan abu hanifah. Juga tidak mensyaratkan hadits tersebut tidak bertentangan dengan tradisi ahli madinah, seperti yang telah disyaratkan Imam Malik. Ia hanya mensyaratkan shahih dan muttasil. Memprioritaskan hadits ahadi yang shahih dari pada qiyas. Mencaci golongan hanafiyah yang mengedepankan qiyas dari pada hadits ahadi. Berkat kegigihannya dalam membela hadits nabi, di kemudian hari ia mendapatkan suatu penghormatan dari ahli hadits dan dijuluki Nashir al-sunnah oleh penduduk bahgdad. Selain itu, dalam menggunakan hadits sebagai salah satu hujjah tidak hanya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama‘Hijaz saja, hadits yang diriwayatkan dari yang lain juga ia adopsi asalkan shahih atau hasan.
2.       Tidak menggunakan hadits mursal sebagai salah satu sumber hukum kecuali hadits mursalnya said bin Musayyab yang telah disepakati kesahihannya.
3.       Tidak menggunakan qaul shahabat[10] sebagai hujjah. Karena qaul shahabat dimungkinkan keluar dari hasil ijtihadnya sendiri yang masih rawan terjadinya kesalahan. berbeda halnya dengan imam malik dan yang lain.
4.       Tidak memakai metode istihsan sebagai salah satu pengambilan hukum seperti yang dilakukan hanafiyah dan malikiyyah. Ia sangat ingkar terhadap metode tersebut. Dalam kecamannya ia menyatakan: “Barangsiapa yang menggunakan istihsan sebagai hujjah, maka telah membuat syari’at sendiri.” Dari sejarah yang tercatat, ia pernah menyusun sebuah kitab tentang penolakan metode istihsan. Namun yang perlu di ketahui bahwa yang dimaksud istihsan yang dikecam oleh Imam Syafi’i adalah istihsan yang tidak berlandaskan dasar-dasar syara’. Dengan demikian istihsan yang dipakai oleh hanafiyyah dan malikiyyah tidak masuk dalam istihsan yang di kecam oleh Imam Sya‘fi‘i. Beliau ingkar tradisi ahli madinah dijadikan sebagai salah satu sumber syari’at.
5.       Meskipun qiyas ia di gunakan untuk memutuskan sebuah hukum, akan tetapi tidak berlebih-lebihan seperti halnya abu hanifah. Dalam pengambilan hukum dari qiyas ia mensyaratkan illatnya harus mundlabith dan tidak ada hadits shahih yang menjelaskan permasalahan tersebut.
6.       Memakai istishab dan urf sebagai salah satu hujjah dalam memutuskan hukum.[11]


murid murid imam syafi’i
            Murid-muridnya yang masyhur  dengan periwayatan Qoul Qodim yang berdomisili di tanah Iraq yaitu Ahmad Bin Hambal, Abu Tsaur, Za’faroni, Karobis. Adapun muridnya yang masyhur meriwayatkan Qoul Jadid yang berdomisili Di Mesir adalah Imam Buwaithi, Imam Muzami dan Imam Ruba’i Al Murodi.
2.             Abu Tsaur Ibrohim Bin Kholid Bin Yamami Al Aklbi, pada permulaannya ia belajar dan menganut madzhab ulama’ Iraq yang mengedepankan Ro’yu. Kemudian setelah Imam Syafi’i datang di Baghdad ia belajar kepadanya. Abu Tsaur meskipun pendapat-prndapatnya tentang hukum agama ada yang berselisih dengan Imam Syafi’i. namun ia masih tergolong dari ahli fiqh Syafi’iyyah. Ia terkenal seorang yang alim, cerdas, berwawasan luas, bisa dipercaya, hanya saja ia punya pendapat yang tidak sesuai dengan para ulama’ jumhuriyyah. Beliau wafat pada tahun 240 H.  Ibnu Kholis berkata Beliau wafat pada tahun 246 H.
3.             Imam Ahmad Bin Hambal Al Syaibani yang akhirnya terkenal dengan sebutan Imam Hambal. Beliau lahir pada tahun 164 H dan Wafat pada Tahun 241 H. Lebih jelasnya akan kami paparkan dalam biografi beliau setelah  Biografi Imam Syafi’i.
4.             Hasan Bin Muhammad Bin  Shobah Al Za’faroni, beliau adalah seorang yang berasal dari daerah Za’faronin beliau berguru kepada Imam Syafi’i, Ibnu uyainah, Dan lain-lainnya. Imam Syafi’i sendiri kagum melihat kelancaran lidahnya dan kefashihan dalam bahasa arab karena beliau bukan keturunan bangsa arab asli.Beliau wafat pada tahu 260 H.
5.             Abu Ali Husain Bin Ali Alkarobisy, pada mulanya beliau belajar ilmu fiqh madzhab ulama’ Iraq, kemudian ia belajar ilmu fiqh kepada Imam Syafi’i dan beliau sangat bersunguh sungguh mendalami ilmu fiqh dan hadist kepadanya dan kepada ulama ulama yang lain. Dari sejarah yang tercatat para ulama hadist banyak yang menjauh darinya karena cercaan Ahmad bin Hambal sebab beliau mengatakan bahwa al qur’an adalah makhluk.

6.     Yusuf bin yahya al buwaithi bernisbat pada buathi sebuah desa yang terletak din tanah mesir. Pada mulanya beliau belajar Ilmu fiqh pada Imam Syafi’i kemudian Ia belajar Ilmu  hadist kepadanya dan kepada ualama’ ulama’ yang lain seperti Abdulloh Bin Wahbin.Kealimannya terwujud dalam kitab karangannya, Muhtashor yang terambil dari buah fikiran Imam Syafi’i sehingga sangat wajar pada suatu ketika Abu Ali Laits (Qodli Mesir) hasut dan mengecam kepadanya.Kecaman itu akhirnya ia wujudkan dalam bentuk penundungan atau pengusiran ke Baghdad.Beliau tergolong murid yang sanggup mempublikasikan madzhab Imam Syafi’i di Kota Mesir.Bahkan Imam syafi’i berpegang dengan fatwanya.Imam Syafi’i sebelum wafat telah memberi izin kepadanya untuk menggantikan kedudukannya dalam memberi fatwa dan mengajar.Beliau wafat hari Jum’at sebelum melaksanakan sholat Jum’at pada tahun 231 H.Pada saat beliau dipenjara di tanah Baghdad karena beliau dipaksa untuk mengatakan Al Qur’an adalah makhluq, namun beliau tidak mau mengatakan Al Qur’an sebagai makhluq dan beliau tetap pada prinsip awal yaitu Al Qur’an adalah Kalamulloh bukan makhluq
7.     Aby syaur Isma’il bin yahya al muzani al mishri yang akhirnya beliau terkenal dengan nama Imam Muzani. Beliau dilahirkan tahun 175 H. pada waktu mudanya beliau sudah mengangkat kakinya menuntut ilmu pengatahuan agama. Sehingga ketika Imam Syafi’i datang dimesir pada tahun 199 H Ia belajar kepadanya . Abu ishaq al-syairozi mensifati Imam muzani bahwa beliau orang yang zuhud, tidakl suka akan kemewahan hidup jauh dari keterpengaruhan budaya lain,alim ahli ijtihad pandai bertukar fikiran, mahir dalam memecahkan masalah yang sulit. Biliau salah satu murid Imam syafi’i yang banyak menyusun kitab fiqh madzhab Syafi’i diantaranya karya beliau adalah Mukhtasar homis, Kitab Um,Kitab Jami Al-Shoghir, Kitab Jami’ Al-Kabir. Di kala beliau Imam Muzani ulama’ besar tidak sedikit para ulama’ dari segala penjuru datang berduyun-duyun untuk menyerap ilmunya, seperti ulama’ dari Khurosan, Iraq dan Syam. Beliau meskipun terkenal sebagai seorang pembela madzhab Syafi’i, beliau tidak terlalu fanatik padanya. Bahkan kadang-kadang beliau berbeda dan tidak setuju dengan sebagian pendapat gurunya. Akhirnya beliau wafata tahun 264 H.
8.     Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar al-Murodi. Beliau dilahirkan pada tahun 174 H. beliau seorang muadzin di masjid Jami’ yang terletak di daerah Fustat. Beliau belajar kepada Imam Syafi’i tentang berbagai disiplin ilmu. Beliau murid Imam Syafi’i yang paling lambat dalam memahami dan tidak cerdas seperti murid-murid yang lain. Namun meskipun demikian beliau Adalah murid yang paling bisa dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Sehingga ketika terjadi pertentang Al-Muradi dengan Imam Muzani maka dari golongan Syafi’iyyah mendahulukan imam murodi meskipun imam muzani orang yang lebih alim tentang keilmuan dan pendapatnya sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Masing-masing ketiga murid Imam Syafi’i di atas, mempunyai kelebihan. Imam buwaithi termasuk orang yang sangat alim dalam ilmu fiqh, imam muzani seorang yang sangat fasih, mahir, dan cerdas, imam muradi orang yang dapat dipercaya dalam hadits yang beliau riwayatkan.[12]

Wafat Imam Syafi’i

            Imam Syafi’i ketika berdomisili di mesir yang terakhir kalinya sebelum meninggal dunia mendapatkan ujian yang sangat berat berupa sakit. Barangkali penyakit ini sebagai penghapus dosanya seperti yang dicanangkan dalam beberapa hadits. Penyakitnya adalah penyakit bawasir (ambeien). Penyakitnya tidak kunjung sembuh dan penyakit ini tergolong penyakit yang kronis, sampai empat tahun. Dengan penyakit ini beliau semakin hari bertambah lemah, namun beliau menerimanya dengan tabah, tidak pernah patah semangat atau mengeluhkan penyakit yang di derita, tidak pernah mengganggu aktivitas belajar dan mengajarnya. Bahkan di masa-masa sakit, beliau melaksanakan ijtihad yang baru, sampai seribu kertas penuh dengan tulisan, siang malam di habiskan waktunya untuk muthalaah, munazharah dan lain-lain. Menurut catatan ahli sejarah, ketika penyakitnya semakin parah, beliau ke mana-mana selalu membawa mangkok kecil. Mangkok ini diletakkan di bawah pantatnya untuk menampung darah yang terus menerus keluar pada saat beliau duduk. Imam Syafi’i menduga penyakit yang diderita disebabkan beliau memgunakan pohon lubban untuk hafalan.[13] 
            Menurut Yunus bin Abi A’la, penyakit yang di derita tidak pernah diderita oleh orang lain. Penyakit ini ia derita sehingga beliau meninggal dunia. Satu riwayat menyebutkan tentang faktor kematian Imam Syafi’i : Pada saat berdomisili di mesir ia bertemu dengan Futyan[14], murid imam Malik yang tergolong keras dan kejam, kerap kali Imam Syafi’i berdebat dengannya tentang masalah agama. Hingga pada suatu hari ia berdebat dengannya tentang penjualan orang yang merdeka.[15] Imam Syafi’i berkomentar dahulu: penjualan di atas hukumnya sah. Suasana semakin sengit dan panas ketika Futyan berpendapat lain. Perdebatan semakin lama semakin panas. Masing-masing mengemukakan hujjahnya, hingga hujjah Futyan terkalahkan oleh Imam Syafi’i .kemenangan ada di pihak Imam Syafi’i. Emosi Futyan sudah tidak bisa terbendung lagi hingga ia berkata jelek kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i tidak menjawab sedikitpun. Rentang waktu kejadian di atas dilaporkan kepada Sarî[16] oleh seseorang. Kemudian dipanggillah Imam Syafi’i untuk menghadap kepadanya. Dan ditanya tentang kejadian yang terjadi antara beliau dan Futyan. Kemudian Imam Syafi’i menceritakan kejadiannya, orang-orang pun juga ikut menyaksikan kebenaran Imam Syafi’i di waktu itu. Lalu Futyan didatangkan, kemudian disiksa dengan cambuk, dinaikkan di atas unta, dikelilingkan biar diketahui orang banyak.
            Kejadian ini menjadikan para pengikut Futyan mengecam Imam Syafi’i. Hingga suatu hari mereka mendatangi majelis Imam Syafi’i dan menunggu hingga ia sendirian di tempat tersebut. Kemudian mereka memukulinya sampai beliau terus menerus sakit dan tidak turut sembuh hingga beliau wafat.
            Ketika beliau sakit, para muridnya, di antaranya Al-Muzani, Yunus bin Abi A’la kerap kali datang ke rumahnya untuk melayani keadaan kepayahannya. Imam Al-Muzani berkata kepada Imam Syafi’i sambil menanyakan keadaannya. Imam Syafi’i menjawab:”Aku harus meninggalkan dunia ini berpisah dari teman-teman, kematian sudah ada di hadapanku. Demi Allah, aku tidak tahu apakah aku harus berada di surga ataukah aku harus berada di neraka. Kemudian beliau menangis sambil mengungkapkan sebuah syi’ir:
ولما قسى قلبي وضاقت مذاهبي        جعلت الرجى مني لعفوك سلما
تعاظمني ذنبي فلما قرنته                 بعفوك ربي كان عفوك أعظما
Artinya: “ketika hatiku terasa keras dan bingung maka aku jadikan sifat raja’ sebagai tangga untuk mencapai ampunanMu.
Dosaku terasa sangat besar, namun bila dosa itu di bandingkan dengan ampunanMu, maka ampunanMu justru lebih besar.

Tepat pada hari kamis malam jum’at, tanggal 29 Rajab, waktu Isya’ akhir tahun 204 H. (820 M) Imam Syafi’i wafat dengan usia 54 tahun. Berita kewafatannya seketika telah tersebar ke seluruh kota mesir. Orang-orang datang berduyun-duyun dengan berduka cita, terutama para ulama’ dan murid-muridnya. Jenazahnya pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab ashar akhir dikeluarkan dari rumahnya dengan diantarkan oleh beribu-ribu orang dari segenap lapisan masyarakat mesir untuk dimakamkan di tempat kubur bani zahrah.[17]


[1] Imam syafi’I hal 29- 45 karya abdul goni
[2] Imam syafi’I hal 65- 67karya abdul goni
[3] Imam syafi’I hal 68-70 karya abdul goni
[4] Imam syafi’I hal 49-59 karya abdul goni
[5] Imam syafi’I hal 73-86 karya abdul goni
[6] Al-Imam al-Syafi’i, faqihussunnah al-akbar, hlm. 95-102
 7      Madkholul fiqih hal 177
[8] Imam syafi’I hal 111-119
[9] imam syafi’I hal 151-157
[10] Qaul shahabat ketika tidak bertentangan dengan shahabat lain dan masyhur di kalangan mereka, jumhur ulama’ sepakat boleh dijadikan acuan hukum. Apabila qaul shahabat itu tidak masyhur di kalangan mereka atau tidak diketahui masyhur tidaknya, para ulama’ masih terjadi kontra, segolongan ulama’ mengatakan boleh dijadikan sebagai hujjah seperti imam malik, sebagian hanafiyyah, imam ahmad, imam syafi’I dalam qaul qadimnya.
[11] madkholul fiqih al islami karya isawiyi Muhammad isawiyi hal179-181.
[12] madkholul fiqih al islami karya isawiyi Muhammad isawiyi hal185. tarikh tasyri’ hal 255 – 260.
[13] lubban adalah pohon yg berduri, yang daunnya seperti daun âlas, buahnya juga seperti buah alas, dan panas di mulut.
[14] Nama lengkapnya Futyan bin abi syamah, ia termasuk orang yang sangat fanatik dengan madzhab imam malik, wafat pada tahun 205 H.
[15] yang dimaksud di sini adalah budak yang digadaikan oleh rahin dan budaj itu hanya satu-satunya harta yang ia miliki.
[16] Nama lengkapnya adalah Sari  bin hakam bin yusuf, pemimpin tanaha mesir yang sangat pemberani yang berasal dari daerah Khurosan. Beliau menjabat walikota di mesir pada tahun 200 H. kemudia pada tahun 201 beliau dilepas oleh sebagian komandan pasukan, akhirnya jabatan ini dikembalikan lagi oleh al-ma’mun kepada Sari hingga beliau wafat pada tahun 205 H.
[17] imam syafi’I hal 175 –180.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls