Jumat, 23 Maret 2012

FIQHS SIYASAH II

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Siyasah Syar’iyah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergaulan sosial dan pergumulan budaya. Fakta seperti itu telah, sedang, dan akan berjalan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Pemecahan atas pelbagai masalah yang terkait dengan ihwal Siyasah Syar’iyah lebih bersifat kontekstual, sehingga dengan demikian gejala Siyasah Syar’iyah menampakkan diri dalam sosok yang beragam sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
Dalam perspektif kesejarahan, timbul pertanyaan-pertanyaan siapa yang harus merencanakan kebijaksanaan, melaksanakan dan menilai Siyasah Syar’iyah? Apa bentuk peraturan yang digunakan? Dalam kehidupan apa saja yang perlu mendapatkan peraturan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang beragam. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh perbedaan penekanan atas aspek-aspek tertentu dari kehidupan Siyasah Syar’iyah, tetapi juga dikarenakan ketidaksamaan kerangka pemikiran yang digunakan untuk melukisjelaskan pelbagai aspek Siyasah Syar’iyah. Selain itu, dimungkinkan pula oleh keragaman situasi dan kondisi ketika gejala Siyasah Syar’iyah dipelajari.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana perkembangan fiqh siyasah pada periode klasik?
2.      Bagaimana perkembangan fiqh siyasah pada periode pertengahan?
3.      Bagaimana perkembangan fiqh siyasah pada periode abad 20 s/d sekarang ?

C.     TUJUAN
1.      Mengetahui perkembangan fiqh siyasah pada periode klasik.
2.      Mengetahui perkembangan fiqh siyasah pada periode pertengahan.
3.      Mengetahui perkembangan fiqh siyasah pada periode abad 20 s/d sekarang.





BAB II
PEMBAHASAN


Ilmu-ilmu agama Islam memang baru muncul pada masa-masa awal dari Dinasti Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258 M), setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam.
Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang  semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3) penterjemahan manuskrip dari buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu kalam, para filosuf dan sebagainya. 
Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari: fiqih 'ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu'âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyâsah atau disebut juga ilmu siyâsah syar'iyyah. Fiqih ini membahas tentang tata negara atau managemen negara menurut Islam, yang meliputi aspek politik, ekonomi dan hubungan antar golongan/negara. Akan tetapi aspek politik merupakan perhatian utama dalam fiqih siyasah ini, sehingga para penulis pada saat ini banyak menggunakan istilah, misalnya, pemikiran politik Islam (al-fikr al-siyâsî al-Islâmî, Islamic political thought), ilmu pemerintahan Islam (al-hukûmah al-Islâmiyyah, Islamic government), dan lain-lain.
Dalam sejarah Islam perkembangan fiqh siyasah dapat dibagi menjadi tiga periode;
1. Periode klasik (661 M - 1258 M).
2. Periode pertengahan abad 13 s/d abad 19.
3. Masa moderen ab`d 20 s/d sekarang.

1. PEREODE KLASIK
Pada masa Bani Umayyah (661 M - 750 M) dan Bani Abbasiyah ( 750 M - 1258 M). Islam memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh yang signifikan di pentas internasional. Pada masa Umayyah mengarahkan kebijakan expansi (pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada saat ini terdapat partai oposisi seperti syi’ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang berarti.
Pada masa Abbasiyah, Ulama Sunny yang mulai menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi’, mempersembahkan buku kepada khalifah al-Mu’tashim berjudul ”Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” (pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan). Meskipun buku tersebut dianggap memuja raja, tetapi alur pikir tentang ”tata negara” sudah diwujudkan. Ibnu Abi Rabi’ menekankan wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata ”kota dan negara”, merupakan kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut. Imam al-Ghazali (1058 - 1111 M) dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyetujui teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara adalah suci (qudus). Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975 - 1059 M) bahwa memecat kepala negara mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori ”kontrak sosial”. Mengangkat kepala negara adalah proses kontrak sosial.
Para tokoh pada masa ini;
1.      Ibn Abi Rabi’ menulis buku tentang tata negara: ”Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” (pada masa Abbasiyah).
2.      Imam al-Ghazali menulis: ”Al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Kepala negara adalah suci (qudus).
3.      Al-Farabi (870-950 M); sebagai filosof, pemikirannya bersifat idealis yang cenderung utopis. Dipengaruhi filsafat Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles. Karyanya berjudul: ”Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah” (Pandangan Para Penghuni Negara Utama). Al-Farabi membagi kelas sosial menjadi tiga a). kelas pemimpin b). kelas militer dan c). kelas rakyat jelata. Kalangan sunny menganggap bahwa imamah adalah kewajiban syar’iy.
4.      Kalangan Syiah mengembangkan teori: a). keutaman ahlu bait b). kema’suman imam c). kegaiban imam. Kalangan Syi’ah juga pernah mendirikan kekuasaan di Baghdad Bani Buwaihi dan Daulah Fathimiyyah di Mesir, yang lepas dari pengaruh Abbasiyah.
5.      Kalangan Khawarij, sikap ekstrim dan radikalnya tidak banyak berpengaruh dalam pentas politik. Pemikiran mereka tidak banyak diadopsi. Tokoh mu’tazilah yang mengadopsi salah satu teori mereka adalah Qadhi Abd al-Jabbar, menulis buku ” Syarh al-Ushul al-Khamsah” dan al-Mughni. Diantara pokok-pokok pikirannya; a). penegakan imamah (nasb al-imam) adalah bukan kewajiban syr’iy, tetapi berdasarkan rasio. Sebab kepala negara bukan orang yang sempurna (tidak seperti syi’ah) b).tidak harus dari suku Quraisy (seperti klaim sunny). Asal memiliki kemampuan dan syarat yang cukup.
Simpulan yang mendasar terhadap kajian politik masa ini adalah; a) politik dipengaruhi oleh kepentingan golongan b). dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan asing.

2. PEREODE PERTENGAHAN
Tahun 1258 M kekuasaan Abbasiyah mengalami kehancuran dari serangan bangsa Mongol di Baghdad. Ibnu Taimiyyah (1263 M - 1328 M) menyaksikan kehancuran dunia Islam ke tangan Mongol. Ia kemudian menulis buku ”al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah” (Politik Islam dalam menata kebaikan/kemaslahatan penguasa dan rakyat) dan Minhaj al-Sunnah, berupa 4 jilid besar. Pokok-pokok pikirannya : a). nasb al-imam atau mengangkat kepala negara bukan kewajiban syari’y tetapi merupakan kebutuhan praktis b). tidak harus dari suku Quraiys tetapi harus al-amanah (jujur) dan al-quwah (wibawa), sebagai syarat mutlak. Al-Quwah sebagai syarat yang utama karena kekuatannya sangat berguna untuk umat Islam. Adapun al-amanah (jujur), dianggap syarat kedua, karena kesalehannya untuk dirinya sendiri. Jika jahat akan terpulang pada dirinya juga. c). kepala negara harus mampu menghadapi serangan dari luar d). kepala negara adalah bayang-bayang dari Tuhan. Rakyat wajib taat kepadanya meskipun dzalim. Orang yang melakukan pemberontakan kepadanya dianggap mati jahiliyah (sia-sia). Pada masa ini kelompok syi’ah menjadi oposisi yang merongrong kewibawaan negara. Dari lingkup yang lebih luas, Islam terjebit dengan adanya perang salib. Di Spanyol umat Islam digerogoti Kristen. e). Jika dikehendaki, dua pemerintahan dalam satu masa diperbolehkan (contoh; negara protektorat, uni dll).
Ibnu Khaldun - sunny (1332 - 1406 M) mengangap syarat Quraisy sebagai seorang calon kepala negara bukan harga mati tergantung kondisi, berlaku kontekstual. Karyanya adalah Muqaddimah. Pada saat ini kondisi umat Islam sangat parah. Umat Islam di Spanyol diusir atau dipaksa masuk Kristen. Ia sebagai pelaku sejarah.
Syaih Waliyullah al-Dahlawi (1702 M - 1762 M); pokok pikirannya a). boleh membangkang kepala negara yang tiran dan dzalim b). mengaggap pemerintahan pasca khulafa al-rasyidun adalah tidak berbeda dengan kerajaan Romawi dan Kaisar di Persia.

3. PERIODE MODEREN
Dunia Islam semakin lemah, hampir seluruh negeri muslim di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Para koloni ini mengembangkan gagasan politik dan budayanya yang memiliki pengaruh sekularisme di tengah-tengah umat Islam.
Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam; a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang.
Diantara tokoh-tokoh aliran pertama adalah; M. Rasyid Ridha – Libanon (1865-1935 M), Hasan al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A’la al-Maududi-Pakistan (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906- 1966 M) dan Ayatullah Khomeini- Iran ( 1900-1989 M). Mereka beranggapan ajaran Islam komplit. Pemikiran Rasyid Ridha dalam kitab Al-Khilafat aw al-Imamah al-Udzma diantaranya mengupas bahwa pimpinan (kepala negara) dari suku Quraisy, sama seperti pemikir sunny klasik. Hasan al-Banna, terlihat dalam ceramah-ceramahnya yang populer dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Temannya Sayyid Quthb menyusun buku Al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan Ma’alim fi Thariq. Almaududi sebagai pimpinan partai ”Jama’at el-Islam”di Pakistan menulis buku Islamic Law and Constitution. Khomeini mengembangkan gagasan syi’ahnya dalam politik dengan konsep imamahnya dalam Wilayat al-Faqih. Menurutnya imam masih gaib, kepemimpinan umat Islam (Syi’ah) dipegang oleh ahli agama yang mempunyai kekuasaan agama dan politik. Secara umum mereka mendambakan negara universal yang mampu menyatukan seluruh dunia Islam. Ridha menyebutnya negara Khilafah, Quthb menamakannya negara supranasional, sedangkan al-Maududi menyebutnya negara universal yang mirip negara fasis (penentang ajaran marxis = antimarxis). Mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Segala sesuatu yang datang dari Barat harus ditolak, karena tidak sesuai dengan budaya Islam. Khomeni amat membenci Barat, Amerika dijuluki setan besar.
Tokoh-tokoh aliran kedua diantaranya ’Ali ’Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husain (1889-1973 M). Masing-masing dari Mesir dan Mustafa Kemal Attaruk. ’Ali ’Abd Raziq memandang bahwa Islam tidak memiliki aturan tentang politik. Nabi hanya sebagai Rasul Allah, tidak berpretensi untuk membentuk negara dan politik. Karyanya yang kontroversi Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Thaha menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr. Ia beranggapan , jika Mesir ingin maju, haus mencontoh Barat. Mustafa Kemal terlalu jauh mencontoh Barat. Ia melakukan sekularisasi besar-besaran. Aksara Arab diganti Latin, Adzan diganti dengan bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapus lembaga-lembaga keagamaan yang pernah ada di sana.
Tokoh aliran ketiga M. Abduh (1849-1905 M), M. Iqbal ( 1877-1938 M), M. Husain Haykal (1888-1956 M), Muhamad Natsir (1908-1993 M) dan Fazlur Rahman. Abduh menganggap bahwa kepala negara bukan wakil Tuhan, tetapi pemimpin politik, karena tidak memiliki kekuasaan keagamaan, seperti pandangan Kristen. Pandangan ini diikuti oleh Haykal murid Abduh. Ia menganggap bahwa pengamalan agama harus diawasi oleh penguasa. Haykal menulis Al-Hukumah al-Islamiyyah. Diantara isinya; a). Islam tidak mengatur secara mendetail tentang kenegaraan secara baku, hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja. b). Umat Islam dibebaskan untuk menganut sistem pemerintahan. Disesuaikan kondisi masing-masing. Iqbal menulis buku The Reconstrucsion of Religious Thought in Islam. a). Ia menerima konsep sosialis, karena tidak bertentangan secara prinsip dengan Islam. b). Komunisme-ateisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan Ketuhanan. c). Demokrasi tidak memiliki landasan secara vertikal kepadaAllah, seperti tercermin dari karyanya Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milleu. Di Indonesia salah satunya M. Natsir; a). Islam berbeda dengan agama lain, mengandung peraturan dan hukum-hukum kenegaraan. b). Islam tidak memberi ketentuan yang baku tentang kenegaraan. Tokoh lain diatas antara lain Abd al-Wahhab Khalaf, menulis Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Yusuf al-Qardhawi menulis Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, Muhammad Yusuf Musa menulis Nizham al-Hukum fi al-Islam. Abu Zahrah; Al-’Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, ’Ali Ali Manshur menulis buku al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Duali al-’Am. Umar Kamal Tawfiq menulis Al-Diblumasiyah al-Islamiyah serta Wahbah al-Zuhaili menulis Atsar al-Harb fi al-Faqih al-Islam. Kajian-kajian tersebut tentu saja menambah hazanah fiqih siyasah.
Di Indonesia sekalipun Islam tidak merupakan dominasi pemenangan agama secara formal tetapi ia merupakan salah satu sumber hukum bagi pembentukan hukum nasional. Pada kurun waktu terakhir, secara material dan formal pelaksanaan hukum perdata bagi umat Islam sudah diatur berdasarkan hukum Islam, yang diturunkan dari syari’at hukum Islam.



BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

Secara garis besar muncul tiga kelompok yang memberikan penafsiran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan, yaitu: a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang.

                                                      DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syari’ah, Kencana Prenada Madia Group, Jakarta, 2003.
http://www.aminazizcenter.com/2010/12/kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam/
http://cairudin.blogspot.com/2010/11/study-fiqih-fiqih-siyasah.html



























0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls