Jumat, 06 April 2012

KH. BAHAR ABD. GHOFUR


BIOGRAFI SINGKAT KH.BAHAR ABDUL GHOFUR

Mbah Bahar, begitulah orang menyapa KH.Bahar. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Bahruddin, Beliau adalah putra KH.Abdul Ghofur dengan istri yang pertama (Nyai Musyri’ah) dan lahir di Mantenan sekitar tahun 1915 M.

Semenjak kecil Beliau diasuh dan didik ilmu agama langsung oleh ayahandanya di Pesantren Mantenan yang pada saat itu masih pada tahap awal berdiri. Sampai suatu saat ada seorang yang masih ada hubungan saudara dengan KH.Abd.Ghofur, yang simpati dan sangat sayang sama KH.Bahar, Beliau adalah Kyai Wahab. Mengrtahui hal itu, sang ayah (KH.Abd.Ghofur) berkata kepada Kyai Wahab :” sudahlah ambil saja anakku yang bernama Bahar itu dan kalau ingin mengambilnya sebagai anak mantu ya… silahkan saja.” Maka sejak itu Mbah Bahar diakui sebagai anak angkat oleh KH.Wahab dan sebagai biaya pendidikan ditanggung olehnya.

Kemudian untuk memperluas ilmu dan pengalamannya, Beliau berkelana menimba ilmu ke berbagai pesantren, diantaranya beliau pernah belajar di Pesantren Peterongan Jombang, Pesantren Bendo Pare, Pesantren Balungrejo Pare, Pesantren Njoso Nganjuk, Pesantren Lirboyo Kediri, dan yang terakhir Beliau di Pesantren Tremas Pacitan. Dan patut dijadikan panutan, bahwa selama mondok, beliau sangat sederhana, bahkan sebagai bekal beliau sempat bekerja (kasab) untuk menumpang kebutuhan sehari-hari, hingga konon waktu ngaji di Balungrejo beliau mampu memiliki lumbung padi pribadi dari hasil kerja selama itu. Begitulah lika-liku serta cobaan selama menuntut ilmu dan hal itu dianggap sebagai Riadhoh.

Sekitar satu tahun sebelum mengakhiri studinya di Tremas Pacitan, KH. Wahab berinisiatif mengambil menantu Mbah Bahar untuk dijodohkan dengan putrinya yang bernama Siti Khodijah, kemudian setelah ada kesepakatan antar keduanya, akad nikahpun dilangsungkan dan mengingat Mbah Bahar pada saat itu berada di Pondok, maka akad nikah dilangsungkan secara sirri dan perwakilan dari pihak istri. Jadi walaupun sudah sah menjadi suami istri, kedua mempelai baru bisa bertemu dan bertatap muka satu tahun kemudian setelah sang suami tamat mondok.

Kemudian setelah sekian lama membina Rumah Tangga, Beliau dikaruniai 12 (dua belas) putra yaitu :
  1.  M. Hafidz
  2.  Siti Rofi’ah
  3.  Ummi Hafsah
  4.  Hasanah (almh.)
  5. Istiharoh
  6.  Humaidi
  7.  M.Zawawi
  8.  Isfirohah
  9.  Imam Mudlo’if (alm.)
  10.  Abdul Karim
  11. Siti Roihanah
  12. Damanhuri


KH. Wahab (mertua KH.Bahar) tergolong orang yang kaya raya, konon saat menunaikan Ibadah Haji satu keluarga berangkat bersama sehingga mencapai 6 orang termasuk Mbah Bahar sendiri. Sepulang menunaikan Ibadah Haji, beliau menetap di Pelas dan meneruskan perjuangan sang Mertua, yaitu membesarkan Madrasah Diniyah Awaliyah yang telah dirintis oleh KH.Wahab sejak lama. Selain juga, beliau mendirikan Pesulukan Thoriqoh Naqsabandiyyah Kholidiyah setelah wafatnya guru dan Mursyid yaitu Syekh Umar Sufyan dari Pondok Pesulukan Baran Maesan Kediri, Beliau menjadi Penerus mertua beliau.

Setelah itu, kegiatan beliau banyak dihabiskan untuk mencurahkan daya dan pikiran guna membina santri yang belajar di sana yang dipusatkan di Masjid dan Madrasah yang dibangun oleh mertua beliau sekaitar tahun 1923 M. Adapun materi pengajarannya meliputi Pengajaran Diniyah yang berupa Kitab Kuning dan Sorokan Al-Qur’an. Selain itu juga membina Ikhwan Thoriqoh yang suluk di sana, disamping harus menghidupi keluarga yang merupakan kewajiban beliau sebagai nahkoda bahtera rumah tangga. Hal ini beliau lakukan semata-mata karena panggilan hati dalam memperjuangkan agama Allah swt.

Kedudukan beliau saat ini sangat dirasakan oleh masyarakat setempat, terbukti dengan antusiasnya mereka memasukkan anak-anaknya di lembaga pendidikan tersebut. Disamping beliau sebagai tokoh masyarakat, beliau juga terkenal sebagai seorang tabib yang biasa dimintai bantuan oleh masyarakat jika menemui persoalan atau kejadian yang musykil, sehingga dengan predikat beliau itu, masyarakatpun semakin dekat dengan kyai yang kharismatik ini. Sebab disamping ahli dalam bidang agama, beliau juga ahli dalam hubungan masyarakat.

Itulah kisah perjalanan hidup Kyai Bahar dan berjuang dan membina umat dan mungkin karena usia beliau yang sudah lanjut dan kondisi yang menurun memaksakan untuk berhenti sampai akhirnya dipanggil oleh Yang Kuasa.

KH. Bahar wafat di Rumah Sakit Gambiran Kediri saat menjalani perawatan sakit pernafasan, tepat pada Hari Ahad Wage tanggal 27 Dzulqoidah 1418 H / 1998 M. Di makamkan dibelakang Masjid tepat ditepi sungai Pelas. Semua yang ada di Makam termasuk Masjid yang berumur puluhan tahun itu seakan menjadi saksi bisu bahwa disitu telah disemayamkan seorang Kyai Besar yang sangat dicintai umatnya.

Dan sebagai bukti rasa cinta dan terima kasih yang tak terhingga, marilah kita haturkan do’a untuk beliau, Al-Fatihaah …………………..
    

Rabu, 04 April 2012

Psikologi Perkembangan EMOSIONAL REMAJA


OLEH : M. DUHRI
EMOSIONAL REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN
Masalah yang sering terjadi pada perkembangan intelektual dan emosional remaja adalah ketidak seimbangan antara keduanya. Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah dengan berbagai media. Mereka telah dibanjiri informasi berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media massa (televise, video, radio, dan film) yang semuanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dan semakin modern mempengaruhi dunia pendidikan yang cenderung mengutamakan aspek kognitif (kecerdasan intelektual), sementara nilai-nilai afektif keimanan, ketakwaan, mengelola emosi dan akhlak mulia sebagaimana ditegaskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional yaitu : untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa dan berakhlak mulia, kurang banyak dikaji dalam dunia pendidikan persekolahan.
Hal ini bukan karena tidak disadari esensinya, melainkan pendidikan lebih mengutamakan mengejar ilmu pengetahuan dari pada mendidik dan membina kepribadian dan akhlak mulia anak didik. Dunia pendidikan tidak mengembangkan nilai-nilai afektif sebagai dasar pmbinaan kepribadian anak yang menjadi tolok ukur pertama dan utama dalam pelaksanaan pendidikan di Negara kita, menjadi parsial atau tidak utuh sebagaimana diisyaratkan oleh Pendidikan Umum bahwa pendidikan menyeimbangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Akibat nilai pendidikan parsial, tidak menyeimbangkan kognitif dan afektif, anak didik disatu pihak intelektualnya cerdas, kemampuan skill cakap dan terampil, di sisi lain potensi afeksi emosional tidak terbina terutama di kalangan remaja sehingga melahirkan erosi moral afektual, kultural dan menjadi penyebab dehumanisasi dan demoralisasi.
Gejala- gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang, marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik mengetahui setiap aspek tersebut dan hal yang lain merupakan sesuatu yang terbaik sehingga perkembangan remaja sebagai peserta didik berjalan dengan normal dan mulus tanpa ada mengalami gangguan sedikitpun.








BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Emosi
Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa ( a strid up state ) yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah terjadinya perilaku. (Syamsudin, 2005:114). Sedangkan menurut Crow & crow (1958) (dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in his overt behavior.”
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Menurut James & Lange , bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira. Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi.
2.      Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku dan Perubahan Fisik
Dibawah ini adalah beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu di antaranya sebagai berikut:
a.       Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b.      Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi)
c.       Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d.      Terganggu penyesuaian social, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e.       Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengarui sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. (Yusuf, 2004 : 115)
Sedangkan perubahan emosi terhadap perubahan fisik (jasmani) antara lain a : (1) reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona, (2) peredaran darah: bertambah cepat bila marah, (3) denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut, (4) pernapasan: bernapas panjang kalau kecewa, (5) pupil mata: membesar mata bila marah, (6) liur: mengering kalau takut atau tegang, (7) bulu roma: berdiri kalau takut, (8) pencernaan: mencret-mencret kalau tegang, (9) otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor), (10) komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif. (Sunarto, 2002:150)
3.      Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.
Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidak stabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola prilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Hurlock, 2002 :213).
Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaan yang terlihat terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi remaja.
a. Cinta/kasih sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat kekanak-kanakanya. Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah sikap menentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada waktu pertama kali karena mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
Tidak ada remaja yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinan disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari. (Sunarto, 2002:152)
Kebutuhan akan kasih sayang dapat diekspresikan jika seseorang mencari pengakuan dan kasih sayang dari orang lain, baik orang tua, teman dan orang dewasa lainnya. Kasih sayang akan sulit untuk dipuaskan pada suasana yang mobilitas tinggi. Kebutuhan akan kasih sayang dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan yang lain. Kasih sayang merupakan keadaan yang dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati, kegagalan dalam mencapai kepuasan kebutuhan kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional (Yusuf , 2005:206)
b. Gembira dan bahagia
Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti dari pada perasaan marah dan takut atau tingkah problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mandapat sambutan oleh yang dicintai.
Perasaan bahagia ini dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja mampu menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh keberhasilan yang lebih baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya energi emosional dari situasi yang menimbulkan kegelisahan dirinya.
c. Kemarahan dan Permusuhan
Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai soerang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting diantara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjolkan dalam perkembangan kepribadian.
Dalam upaya memahami remaja, ada empat faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.
1.      Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi independent, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2.      Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap-sikap di mana ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi kemarahan masa lalu. Sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap permusuhan tanpak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura; remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar.
3.      Perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan.
4.      Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami. (Sunarto, 2002:154)
d. Ketakutan dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul dari persoalan kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu.
Rasa takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak berkembang daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut, apatis, dan penggugup. Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoriter orang tua akan mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggunp bergaul dengan orang lain (Willis, 2005:57)
e. Frustasi dan Dukacita
Frustasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri.
Dukacita merupakan perasaan galau atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu individu. Keadaan ini terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita. Kalau dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang cukup serius hingga depresi.(http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm)
Biehler (1972) dalam (Sunarto, 2002:155) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12–15 tahun dan usia 15–18 tahun
Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun :
a)      Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
b)      Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
c)      Ledakan-ledakan kemarahan mungkin saja terjadi.
d)      Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
e)      Remaja terutama siswa-siswa SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15–18 tahun
a)      ‘Pemberontakan’ remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b)      Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
c)      Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
4.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung kepada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 2002: 154). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lainnya dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (Hurlock, 2002:213).
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain :
a)      Belajar dengan coba-coba
b)      Belajar dengan cara meniru
c)      Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
d)      Belajar melalui pengkondisian
e)      Belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi (Sunarto, 2002:158)
5.      Hubungan Antara Emosi Dan Tingkah Laku Serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Rasa takut dan marah dapat menyebabkan seorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah, sistem pencernaan mungkin berubah selama permunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak enak menghambat pencernaan.
Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang menjadi gagap.
Sikap takut, malu-malu merupakan akibat dari ketegangan emosi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu. Karena reaksi kita yang berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Suasana emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan remaja. Sebaliknya suasana penuh kasih sayang, ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian dialog antara orang tua dengan remaja sering terjadi. Dalam dialog tersebut mereka akan mengungkapkan keresahan, tekanan batin, cita-cita, keinginan, dan sebagainya. Akhirnya jiwa remaja akan makin tenang. Jika demikian maka remaja akan mudah diajak untuk bekerja sama dalam rangka mengajukan dirinya dibidang pendidikan dan karir (Willis,2005:22)
6.      Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Emosi
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkn dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya, mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
7.      Upaya Pengembangan dan Pengelolaan Emosi serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Rasa marah, kesal, sedih atau gembira adalah hal yang wajar yang tentunya sering dialami remaja meskipun tidak setiap saat. Pengungkapan emosi itu ada juga aturannya. Supaya bisa mengekspresikan emosi secara tepat, remaja perlu pengendalian emosi. Akan tetapi, pengendalian emosi ini bukan merupakan upaya untuk menekan atau menghilangkan emosi melainkan:
a.       Belajar menghadapi situasi dengan sikap rasional
b.      Belajar mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c.       Bagaimana memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d.      Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau marah)
Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya.
Karena itu, keterampilan mengelola emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat secara emosional. Keterampilan mengelola emosi misalnya sebagai berikut:
a.       Mampu mengenali perasaan yang muncul
b.      Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan
c.       Mampu mengelola perasaan
d.      Mampu mengendalikan diri sendiri
e.       Mampu mengurangi stress.
Dalam keseharian remaja juga harus berlatih untuk melakukan dialog dengan diri sendiri dalam menghadapi setiap masalah, bersikap positif dan optimistis, serta mampu mengembangkan harapan yang realistis. Remaja juga harus mampu menafsirkan isyarat-isyarat social. Artinya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku remaja dan melihat dampak perilaku remaja, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dimana remaja berada. Remaja juga harus dapat memilih langkah-langkah yang tepat dalam setiap penyelesaian masalah yang remaja hadapi dengan mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahan dari pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling strategis, karena bagi sebagaian besar remaja bersekolah dengan para pendidikan, khususnya gurulah yang paling banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan.            Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisisus, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya.
Pemberian tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar menimbang, memilih dan mengambil keputusan yang tepat akan sangat menunjang bagi pembinaan kepribadiannya. Cara yang paling strategis untuk ini adalah apabila para pendidik terutama para orang tua dan guru dapat menampilkan pribadi-pribadinya yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai pribadi idola para remaja.










BAB III
KESIMPULAN
  1. Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
  2. Jenis emosi yang secara normal dialami antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, sedih dan sebagainya.
  3. Sejumlah penelitian tentang emosi remaja menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung kepada faktor kematangan dan faktor belajar.
  4. Suasana emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan remaja. Sebaliknya suasana penuh kasih sayang, ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga. .
  5. Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya.
  6. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan, guru dapat melakukan beberapa upaya dalam pengembangan emosi remaja misalnya: konsisten dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri, pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami remaja, dan membantu siswa untuk berprestasi.
  7. Pemberian tugas - tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar menimbang, memilih dan mengambil keputusan yang tepat akan sangat menunjang bagi pembinaan kepribadiannya. Cara yang paling strategis untuk ini adalah apabila para pendidik terutama para orang tua dan guru dapat menampilkan pribadi-pribadinya yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai pribadi idola para remaja.

DAFTAR PUSTAKA
ü     Anda Juanda (2006), Pengembangan Nilai-Nilai Afektif pada Remaja melalui Pendidikan Keluarga. http://www.pages-yourfavorite.com/ppsupi/ abstrakpu2004.html
ü     Chatarina Wahyurini & Yahya Ma’shum (2006), Iiih … Emosi Banget Deh. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/26/muda/933870.htm)
ü     Hurlock, E. (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
ü     Sunarto & Agung, Hartono. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka Cipta
ü     Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
ü     Willis, Sofyan. (2005). Remaja dan Masalahnya. Bandung : Alfabeta
ü     Yusuf, Syamsu & Nurihsan, Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya
ü     Yusuf, Syamsu (2004). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung. Remaja Rosda Karya.

PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH (Ramadhan dan Syawal)

BAB I
PENDAHULUAN
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH
A. Latar Belakang Masalah
Perbedaan penetapan Ramadhan dan hari raya oleh beberapa organisasi keislaman acap kali membuahkan keresahan pada masyarakat umum, sehingga dibutuhkan adanya kepastian metode penetapan awal bulan sebagai rujukan untuk dijadikan pedoman. Selain itu andil pemerintah serta ketegasannya amat dibutuhkan guna menyatukan perbedaan tersebut.
Namun di balik itu sebenarnya ummat manusia amat memerlukan ketentuan-ketentuan pembatasan waktu untuk menyelaraskan aktifitas kesehariannya, baik yang menyangkut ekonomi, sosial, budaya maupun ritual ibadahnya.
Sebagai muslim, kita harus mengetahui urutan waktu dan jadwal yang otentik sebagai acuan dalam melaksanakan aktifitas keagamaan. Cukup banyak ritual ubudiyyah dalam Syariat Islam yang terkait erat dengan perjalanan waktu baik dengan merujuk pada rotasi bumi yang secara lahiriyyah nampak sebagai perjalanan matahari mengitari bumi ataupun yang bersandar pada revolusi bulan mengitari bumi. Diantaranya ialah kewajiban shalat, haji, puasa, kewajiban mengeluarkan zakat dan lain-lain. Seperti yang tersirat dalam firman Alloh SWT :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ [البقرة/189]
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanalah: ‘bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (QS. Al-Baqarah [02]:189) 
Namun kalau harus mengupas semuanya itu, terlalu dangkal kemampuan kami untuk dapat  menjangkaunya. Karena itu, dalam kesempatan penulisan kali ini, topik pembahasan akan kami fokuskan pada uraian seputar penentuan awal bulan Qomariyyah.
B. Batasan Pembahasan.
Bagamana mengetahui sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ilmu Hisab?
Bagaiman mengetahui sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ru’yah?
Bagaimana Penggunaaan Hisab dan Ru’yah?
Bagaimana Pertentangan Hasil Hisab dan Ru’yah?
Bagaimana Apakah Mathla’ Bulan Dipertimbangkan?
Bagaimana Keputusan Pemerintah?
C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ilmu Hisab
Untuk mengetahui sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ru’yah
Untuk mengetahui Penggunaaan Hisab dan Ru’yah
Untuk mengetahui Pertentangan Hasil Hisab dan Ru’yah
Untuk mengetahui Apakah Mathla’ Bulan Dipertimbangkan
Untuk mengetahui Keputusan Pemerintah
BAB II
PEMBAHASAN
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH

Dalam pembahasan tentang awal bulan Qomariyyah kita tidak bisa lepas untuk mengetahui tentang apa itu ilmu hisab, seputar rukyah dan konsekuensinya serta bagaimana para ulama menyikapi tentang keduanya. Secara khusus, pembahasan kami titik beratkan pada penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal.  Dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti yang kita ketahui terjadi perbedaan penentuan awal Ramadlan dan Syawal. Hal inilah yang menimbulkan kebimbangan pada masyarakat luas.
Kalau kita telaah, di negara kita terdapat tiga kelompok dalam menentukan awal Ramadlan :
1.      Kelompok yang hanya menggunakan rukyah, yaitu kelompok yang menentukan awal bulan berlandaskan rukyah saja tanpa menggunakan hisab sama sekali.
2.      Kelompok yang hanya menggunakan hisab, yaitu kelompok yang menggunakan hisab sebagai penentu awal bulan dan tidak mempertimbangkan sama sekali masalah rukyah, artinya penetapan awal bulan dapat dilakukan jauh hari sebelumnya.
3.      Kelompok yang menggunakan rukyah disertai hisab, yaitu kelompok  yang tetap menggunakan rukyah sebagai dasar satu-satunya dalam penetapan hilal, sedangkan hisab hanya sebagai alat bantu. 
Sebelum muqaddimah ini terlalu lebar untuk sekedar menjadi fungsinya, marilah kita ikuti penguraian tentang poin-poin utama dalam pembahasan kita kali ini. 
A. HISAB 
Sejarah mencatat bahwa hisab sudah ada sejak pada zaman yang belum mengenal teknologi, yaitu sebelum dimulainya kalender masehi. Pada saat itu ilmu ini mempunyai peranan yang sangat penting. Dan secara turun temurun diwariskan serta dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Mereka selalu berusaha untuk menyempurnakan dan mengembangkan rumus - rumus yang telah ada, serta memadukan dan membandingkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai pada zaman mereka. Sehingga tidak heran jika keanekaragaman teori dahulu masih mewarnai corak pemikiran ahli hisab pada zaman sekarang.
Perkembangan pola pikir manusia juga menyentuh pada bidang ini, sehingga pada akhirnya menelorkan keanekaragaman aliran sebagai buah dari penggalian serta pengembangan konsep - konsep dasar. Menurut Susiknan Azhari,[1] setidaknya di Indonesia terdapat dua aliran hisab :
A.1. Hisab ‘Urfi.
Adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata - rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Menurut aliran ini, bilangan hari pada tiap - tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun - tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari. Karena menurut sistem ini, umur bulan Sya’ban dan Ramadlan jumlahnya tetap, yaitu 29 hari dan 30 hari. 
A.2. Hisab hakiki
Adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini, setiap bulan jumlahnya tidak tetap dan tidak beraturan. Dari sistem ini muncul beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Setidaknya - masih menurut Susiknan Azhari - ada dua aliran besar :
a. Aliran yang hanya berpegang pada ijtima’.[2]
Menurut sistem ini, awal bulan Qomariyah dimulai ketika terjadi ijtima’, berarti aliran ini tidak memperhitungkan hilal dapat dilihat atau tidak. Yang penting adalah ijtima’ merupakan pemisah diantara dua bulan (setelah ijtima’ adalah bulan baru dan sebelumnya termasuk bulan yang masih berjalan).
Aliran ini terbagi menjadi beberapa kelompok 
·         Ijtima’ qobla al ghurub.
Kelompok ini menghubungkan antara ijtima’ dengan terbenamnya matahari. Artinya, jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu dikatakan bulan baru. Begitu pula sebaliknya jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokannya merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berjalan.
·         Ijtima’ qobla al fajr.
Aliran ini menetapkan jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan jika terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudahnya masih merupakan hari yang terakhir.
·         Ijtima’ dan terbit matahari.
Awal bulan menurut aliran ini, jika terjadinya ijtima’ di siang hari (mulai terbitnya matahari) maka malamnya sudah termasuk bulan baru, dan jika ijtima’ terjadi pada malam hari maka awal bulan dimulai hari berikutnya.
·         Ijtima’ dan tengah hari.
Menurut aliran ini, jika ijtima’ terjadi sebelum tengah hari maka hari itu termasuk bulan baru, tetapi seandainya ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka termasuk bulan yang sedang berjalan.
·         Ijtima’ dan tengah malam.
Dalam menentukan awal bulan aliran ini membuat suatu kriteria apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka awal bulan dimulai pada tengah malam, dan jika terjadi sesudah tengah malam maka awal bulan dimulai tengah malam berikutnya, sedangkan malam itu merupakan hari yang terakhir dari bulan itu. 
b. Aliran ijtima’ dan posisi hilal diatas ufuk. 
Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai sejak terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk. Berarti menurut aliran ini, terjadinya ijtima’sebelum terbenamnya matahari belum dapat untuk menentukan awal bulan, namun masih mempertimbangkan posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk atau belum.
Aliran ini juga terbagi menjadi tiga :
·         Ijtima’ dan ufuk hakiki.
Aliran ini memberi kriteria awal bulan dimulai saat terbenamnya matahari setelah terjadi ijtima’ dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk hakiki.[3]          
·         Ijtima’ dan ufuk hissi.
Dalam menetapkan awal bulan menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk hissi.[4]
·         Ijtima’ dan imkanur rukyah.
Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu diperhitungkan hilal sudah dapat dirukyah.  
B. RUKYAH
Selain methode hisab, kita juga mengenal istilah rukyah untuk menentukan awal bulan. Arti rukyah itu sendiri ialah melihat hilal pada hari pertama kemunculannya. Makna kata melihat disini adalah melihat dengan mata telanjang, bukan dengan menggunakan alat bantu.[5]
Menurut madzhab Hanbali, melakukan rukyah pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban atau Ramadlan adalah sunnah, sebagai bentuk usaha ihtiyath (berhati-hati) dan mencegah adanya perbedaan.[6] Sedangkan madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki, hukum melakukan rukyah adalah wajib sosial[7] (fardhu kifayah), karena dengan rukyah kita bisa berpuasa ketika melihat hilal dan atau menyempurnakan tiga puluh.
Dari alasan di atas, tujuan melakukan rukyah adalah untuk mengetahui awal bulan yang  menuntut kita berpuasa, sebagai salah satu rukun Islam. Oleh karena itu, bagaimana mungkin perkara yang digunakan standar pemenuhan puasa yang notabene adalah kewajiban agama, hukumnya hanya sebatas sunnah. Meskipun mereka berbeda pendapat dalam soal hukumnya, namun mereka semua sepakat bahwa tidak ada tuntutan bagi setiap muslim untuk melakukan rukyah secara sendirian. Artinya,  untuk mengetahui terjadinya rukyah ada dua cara : 
1.      Rukyah secara langsung (melihat hilal di lapangan).
2.      Melalui kabar adanya rukyah. 
B.1. Rukyah Secara Langsung. 
Ketajaman pandangan mata manusia itu relatif, sehingga sangat mungkin dalam satu daerah hanya satu orang yang melihat. Selain itu, keberadaan hilal awal bulan pada cakrawala yang langsung dapat dilihat dari bumi hanya sebentar. Tetapi dilihat dari sisi keberadaan kita dalam suatu masyarakat yang jelasnya mereka juga berusaha untuk mengetahui hilal, serta mempertimbangkan dampak negatif, apakah penglihatan satu orang tersebut bisa dibenarkan, yang nantinya ia dapat berlebaran diantara masyarakat yang sedang berpuasa atau sebaliknya.         
Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad sepakat ketika seseorang melihat hilal Ramadlan maka ia harus berpuasa. Tetapi dalam permasalahan hilal syawal, mereka berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, orang tersebut harus berlebaran secara diam-diam (ikhfa). Dengan mengambil dalil dari hadits :
(1888) ـ حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ زيادٍ قال: سمعتُ أبا هُريرةَ رضيَ الله عنهُ يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلّم ـ أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته، ».
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena melihat hilal”( HR. Imam Bukhori)
An-Nawawi menuturkan, seseorang yang melihat hilal Syawal maka harus berlebaran dengan sembunyi-sembunyi. Menurutnya, jika melakukan lebaran secara terang-terangan hal itu bisa  menjerumuskan diri sendiri kepada fitnah (tuhmah) dan hukuman dari penguasa.[8]
Bahkan Imam Jalaluddin memberikan suatu penjelasan lebih rinci bahwa mereka yang melihat hilal Syawal harus berlebaran, tetapi disunnahkan secara diam-diam. Dan hakim berhak menghukum mereka yang melakukannya secara terang-terangan. Sehingga jika seseorang merasa yakin akan mendapatkan hukuman  bila berlebaran secara terang-terangan, maka harus melakukannya dengan diam-diam saja .[9]
Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad  mengharuskan orang tersebut tetap berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian(ihtiyath). [10] Dengan mengambil dasar dari hadits Abi Hurairah :
وعن أبي هريرة قال: «قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: الفطر يوم يفطرون والأضحى يوم يضحون» رواه أبو داود والترمذي بأسانيد حسنة
Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud [11] juga terdapat hadits tersebut dengan teks yang lebih jelas :
حدثنا محمد بن إسماعيل أخبرنا إبراهيم بن المنذر أخبرنا إسحاق ابن جعفر بن محمد حدثني عبد الله بن جعفر عن عثمان بن محمد عن المقبري عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلّم قال «الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون» (رواه الترمذي)
Nabi SAW bersabda : “Hari puasa adalah hari saat kamu semua berpuasa, Idul fitri adalah hari saat kamu semua berlebaran, dan Idul adha adalah hari saat kamu semua merayakannya.” 
Kami memandang hadits yang dijadikan dasar larangan berlebaran bagi orang yang melihat hilal syawal sendirian, ternyata dalam teksnya juga mengikut sertakan masalah puasa. Jadi kenapa dalam masalah lebaran harus dibedakan dengan puasa?. Selain itu terdapat hadits Nabi yang dengan jelas mengharuskan berpuasa dan berlebaran ketika melihat hilal secara langsung, baik sendirian atau bersama-sama. Meskipun realisasinya secara terang-terangan atau diam-diam sebagai bentuk menghindari mafsadah yang timbul. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung memilih pendapatnya Imam Syafi’i.  
B.2. Kabar Rukyah.
Menurut ijma’, berita rukyah itu dapat dibuat dasar melakukan puasa dan berlebaran. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang berapa jumlah minimal orang yang mengkabarkan tentang terlihatnya hilal yang bisa dijadikan sebagai dasar penentuan awal bulan.[12] Namun perlu diketahui bahwa perbedaan ini adalah merupakan salah satu bentuk obyektifitas para ulama’ dalam menyikapi dalil untuk menentukan suatu hukum.  
1.      Menurut Imam Malik, untuk berpuasa dan berlebaran tidak boleh berlandaskan pada kesaksian kurang dari dua orang,[13] dengan dasar hadits : 
عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه خطب الناس في اليوم الذي يشك فيه فقال: إني جالست أصحاب رسول الله ، وسألتهم. وكلهم حدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: «صوموا لرؤيته ، وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم، فأتموا ثلاثين، فإن شهد شاهدان فصوموا، وأفطروا» . (أخرجه أبو داود)
 Bersumber dari Abdurrahman bin Zaid bin al Khattab, bahwa ia berpidato di hadapan manusia pada hari yang masih diragukan. Kemudian ia bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi dan mereka mengatakan, sungguhnya Nabi SAW pernah bersabda : “Jika ada dua orang yang bersaksi maka berpuasalah dan berbukalah kalian semua. 
2.      Imam Syafi’i dengan berdasar hadits Abdurrohman bin Zaid tadi juga dengan mempertimbangkan hadits dari Ibnu Abbas : 
حديث ابن عباس أنه قال: «جاء أعرابي إلى النبي ، فقال: أبصرت الهلال الليلة، فقال: «أتشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمداً عبده ورسوله؟ قال: نعم. قال: يا بلال أذن في الناس، فليصوموا غداً» )  أخرجه الترمذي (
Bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Saya telah melihat hilal pada malam ini. “Beliau bertanya : “Apakah kamu sudah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusannya ?” Ia menjawab: ”Sudah.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Bilal, beritahukan kepada manusia untuk berpuasa besok.” 
beliau  memilah-milah antara hilal Ramadlan dan hilal Syawal. Artinya, untuk berlebaran harus ada kesaksian minimal dua orang, dan untuk berpuasa cukup dengan ada kesaksian satu orang saja.
3.      Imam Abu Hanifah dalam memberikan kriteria batasan minimal, lebih menitikberatkan pada kondisi lapangan, sehingga dibedakan antara cuaca yang cerah dan cuaca yang berawan. Dalam keadaan cerah  harus ada kesaksian satu golongan, dan dalam cuaca berawan cukup kesaksian satu orang.[14] 
4.      Menurut Imam Abu Tsaur, kesaksian satu orang sudah cukup untuk dijadikan dasar untuk berpuasa atau berlebaran, tanpa membedakan antara hilal Syawal dan hilal Ramadlan, baik dalam keadaan cerah atau berawan. Beliau mengambil dasar dari kedua hadits di atas juga pada satu hadits yang lain yaitu: 
عن رِبْعِيِّ بن خراش عن رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: «كان الناس في آخر يوم من رمضان، فقام أعرابيان، فشهدا عند النبي صلى الله عليه وسلّم لأهل الهلال أمس عشية، فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلّم الناس أن يفطروا، وأن يعودوا إلى المصلى» . ( أخرجه أبو داود)
Bersumber dari Ruba’i bin Kharash dari seorang sahabat Nabi SAW ia berkata bahwa ketika manusia berada di akhir bulan Ramadlan, ada dua orang desa datang dan bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore, di hadapan penduduk  setempat Nabi SAW memerintahkan mereka supaya berbuka dan kembali ke tempat shalat.

Beliau melihat bahwa hadits-hadits diatas tidak bertentangan, bahkan menunjukkan diperbolehkan untuk memilih salah satu. Dengan kata lain, dalam satu kesempatan Nabi SAW memutuskan berdasarkan kesaksian satu orang, dan pada kesempatan lain beliau memutuskan berdasarkan perkataan dua orang. 
Pensyaratan adad (lebih dari satu) dalam syahadah adalah pada perkara yang rawan pertentangan/pertikaian, yaitu pada hak - hak dan perkara syubhat yang membutuhkan suatu kejelasan, dimana posisi syahadah sebagai landasan untuk memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Sehingga untuk dapat lebih memantapkan suatu persangkaan dan menguatkan pada argumen salah satu pihak, disyaratkanlah adad dalam syahadah. Sedangkan pada permasalahan rukyah hilal tidak terdapat syubhat yang membutuhkan kejelasan dengan adad.
Abu Bakar bin al Mundhir mengatakan adanya ijma’ dalam kewajiban berbuka atau imsak sebab perkataan satu orang. Oleh karena itu, masalah awal dan akhir bulan seharusnya juga disamakan, mengingat keduanya juga merupakan perkara yang memisahkan antara waktu  puasa dan berbuka.[15]
Setelah kita mengetahui seputar masalah tentang hisab dan rukyah serta ruang lingkup masing-masing, selanjutnya mari kita telaah pendapat ulama dalam penetapan awal bulan, dan sikap mereka ketika ada pertentangan antara hasil hisab dan rukyah.  


C. PENGGUNAAN HISAB DAN RUKYAH
Dalam kedua metode tersebut mempunyai sistem dan caranya masing-masing, dimana diantara keduanya hampir tidak ada keterkaitan sama sekali. Berangkat dari sini, juga dengan penelaahan dalil-dalil dalam Syara’, dikalangan  para Ulama’ terdapat perbedaan pendapat tentang penggunaan kedua metode penentuan awal bulan tersebut.
Menurut jumhur ulama, dalam penetapan bulan puasa tidak boleh menggunakan metode hisab, melainkan harus dengan melihat (rukyah) hilal. Ibnul Abidin mengatakan, ulama kita tidak berpegang pada perkataan ahli perbintangan dalam menetapkan awal bulan Ramadlan, karena dasar kewajiban berpuasa adalah melihat hilal bukan lahirnya hilal (hilal jadid). Sedangkan lahirnya hilal sebenarnya didasarkan pada metode falak bukan rukyah. Dan lahirnya hilal pada suatu malam terkadang dapat dilihat dan tidak, sedangkan Islam mendasarkan puasa pada melihat hilal secara nyata bukan lahirnya hilal.[16] Bahkan ia mengutip adanya ijma’ yang tidak menerima  perkataan yang menentukan awal bulan.[17]
An-Nawawi dalam Syarah li Shahih Muslim mengatakan, kewajiban melakukan puasa dan lebaran karena ada rukyah, dan ketika langit tertutup awan maka umur bulan disempurnakan tiga puluh hari. Bahkan Ibnu Hajar Al Asqalani dengan tegas menolak hisab agar tidak memberatkan umat. Meskipun terkadang faktor kemajuan teknologi memungkinkan seseorang untuk mengetahui hilal dengan hisab, beliau lebih mengedepankan dhohir hadits yang menjelaskan bahwa hisab tidak dapat dijadikan dasar hukum.[18]
Dalam hal ini jumhur Ulama’ mempunyai sebuah logika Syari’at yaitu bahwa Syari’at memberlakukan sistem alami dan metode natural agar dapat mencakup seluruh umat Islam, dan ketika membuat suatu batasan adalah dengan “perkara“ yang dapat diketahui kebanyakan manusia. Dengan demikian, keberadaan pakar ilmu hisab (astronomi) dan perbintangan (nujum/astrologi) bukan merupakan suatu keharusan, karena seandainya pusat rujukan hukum-hukum Islam yang terkait dengan hilal menggunakan ilmu tersebut, tentunya kebanyakan umat manusia tidak tahu.
Sementara Imam Burhanuddin menjelaskan, saat bulan mengorbit akan sampai pada titik dimana posisinya sejajar/berhadapan dengan matahari (baca: ijtima’). Pada keadaan seperti ini bulan seperti tenggelam dalam sinar matahari selama dua atau tiga menit, dan kemudian meninggalkan matahari sampai jarak keduanya ada beberapa derajat. Sebenarnya pada keadaan seperti ini (ijtima’/konjungsi) bulan sudah muncul, namun belum dapat dilihat dari bumi kecuali setelah kira-kira dua puluh jam dari meninggalkan matahari.[19] Sedangkan tidak ada hukum-hukum Islam yang pelaksanaannya digantungkan dengan waktu tersebut yaitu mulai lahirnya bulan. Namun keterkaitan hukum-hukum Islam adalah dengan terlihatnya hilal dengan mata biasa.
Selain itu Jumhur Ulama’ juga mengajukan dalil utama Syari’at yaitu hadits Nabi SAW :
(1888) ـ حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ زيادٍ قال: سمعتُ أبا هُريرةَ رضيَ اللّهُ عنهُ يقول: قال النبيُّ صلى الله عليه وسلّم ـ أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته، فإن غُبِّيّ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».
 “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan (menjadi) tiga puluh hari.”[20]
Dimana hadits di atas menjelaskan bahwa penggunaan metode falak/hisab dalam permasalahan hilal bukan merupakan perkara yang diharuskan Syari’at, seperti tidak diwajibkannya rukyah hilal bagi setiap muslim. Akan tetapi yang dituntut adalah kaum muslimin harus berpuasa ketika hilal sudah dilihat dengan mata telanjang (tanpa alat bantu) pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, dan berlebaran ketika hilal dilihat pada tanggal dua puluh sembilan Ramadlan. Dan seandainya tidak dapat dilihat, maka hitungan bilangan bulan yang sedang berlangsung disempurnakan (tiga puluh hari). Artinya dasar penentuan awal bulan Ramadlan atau Syawal adalah melihat hilal, bukan berdasarkan wujudnya hilal pada cakrawala (baca: hilal jadid/lahirnya hilal) dan atau kemungkinannya untuk dapat dilihat yang diperoleh dari hasil penghitungan falak, karena sabda Nabi SAW  ‘fain ugmiya alaikum’ mencakup keadaan dimana hilal ada pada cakrawala dan mungkin untuk dilihat, akan tetapi pada kenyataan di lapangan hilal tidak dapat dilihat sebab terhalang awan dan atau kabut.  Makna hadits diatas  selaras dengan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi :
(2328) ـ حدثنا الْحَسَنُ بنُ عَلِيٍّ أخبرنا حُسَيْنٌ عن زَائِدَةَ عن سِمَاكٍ عن عِكْرِمَةَ عن ابن عَبَّاسٍ ، قال قال رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلّم: «لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلاَّ أن يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أحَدُكُمْ وَلا تَصُومُوا حتى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حتَّى تَرَوْهُ، فَإنْ حَال دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمَّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ . ثُمَّ أفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ». (رواه أبو داود)
 “Sesungguhnya nabi SAW bersabda :“Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum melihat hilal. Kemudian berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan ketika awan menghalangi hilal maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh hari”
(682) ـ حدثنا قُتَيْبَةُ ، حدثنا أبو الأحْوَصِ عن سِمَاكِ بنِ حَرْبٍ عن عِكْرِمَةَ عن ابنِ عباسٍ ، قال: قال رسولُ الله «لا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فإنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَابَةٌ فأكْمِلُوا ثلاثين يَوْماً» . (رواه الترمذي)
 “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, ketika hilal terhalang dari kamu maka sempurnakanlah tiga puluh hari.” 
Disamping itu juga ada hadits lain yang menjelaskan tidak adanya tuntutan menggunakan perhitungan falak,
(1892) ـ حدّثنا آدمُ حدَّثنا شُعبةُ حدَّثَنا الأسودُ بنُ قيسٍ حدَّثَنا سعيدُ بنُ عمرٍو أنه سَمِعَ ابنَ عمرَ رضيَ الله عنهما عن النبي أنهُ قال: إنّا أُمّةٌ أُمِّيةٌ لا نَكتُبُ ولا نَحسُبُ، الشهرُ هكذا وهكذا. يَعني مرَّةً تسعةً وعشرينَ ومرَّةً ثلاثين. (واه البخاري)
 “Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan  tidak pernah menggunakan hitungan, bulan adalah begini dan begini, terkadang dua puluh sembilan dan terkadang tiga puluh.[21]
Dari hadits tersebut sudah jelas,  bahwa Nabi SAW tidak pernah menggunakan suatu kaidah hisab dan membuat jadwal untuk menentukan hilal setiap bulan.[22] Dan memang kita tidak membutuhkan hal tersebut,[23] sebab jumlah hari dalam setiap bulan tidak sama (dua puluh sembilan dan atau tiga puluh). Sehingga yang dapat digunakan untuk membedakan hanya rukyah, mengingat kaidah tersebut tidak dapat memberikan suatu batasan secara konkret (terkadang benar dan salah).
Disamping itu, banyaknya aliran dan perbedaan diantara mereka (ahli hisab) dalam memprediksi atau menentukan awal bulan, yang semua itu dipengaruhi keanekaragaman perbedaan mengenai “kapan ijtima’ dan dimanakah posisi hilal” yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sekarang mulai awal bulan atau hari terakhir dari bulan yang berlangsung, adalah bukti bahwa mereka (dalam artian umum, yaitu semua ahli hisab) tidak pernah mencapai kata sepakat.
Namun sebagian ulama memperbolehkan penetapan awal Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan metode hisab. Bahkan imam As-Subki memilih memenangkan hisab ketika bertentangan dengan rukyah.[24]
Ibnu  al ‘Arabi mengutip dari ibnu Suraij bahwa sabda Nabi SAW “faqduruu lahu” merupakan khithob khusus bagi yang mendalami ilmu hisab, sedangkan “faakmiluu al iddah” adalah khitob bagi orang umum. Sehingga -masih menurut Ibnu al ‘Arabi- kewajiban berpuasa menurut Ibnu Suraij relatif, sebagian orang berdasarkan hisab dan yang lain menggunakan penyempurnaan tiga puluh.[25] Pertama kali yang menyuarakan kebolehan menentukan awal bulan dengan menggunakan metode hisab adalah Mathrof  bin Abdullah ibnu al Syakhir.[26]
Menanggapi dalil yang dikemukakan Ibnu Suraij, jumhur ulama’ mengatakan bahwa kalimat  faqdurulah dijelaskan[27] (ditafsiri) oleh riwayat فأكملوا العدة ثلا ثين
Oleh karena itu kalimat faqduruu lahu dan kalimat faakmiluu al iddah‘ tidak ada yang kumpul dalam satu riwayat. Dan hal ini dikuatkan riwayat yang menyatakan فاقدروا له ثلا ثين
Nash-nash yang diriwayatkan dari Rasulullah tadi dengan jelas menunjukkan bahwa standar penetapan awal bulan Ramadlan adalah rukyah atau penyempurnaan umur bulan (tiga puluh hari). sehingga kita tidak boleh mendasarkan hukum-hukum Islam pada hilal yang ditetapkan dengan rumus hitung (ilmu falak/astronomi). Karena meskipun ilmu tersebut menunjukkan terhadap sesuatu, namun sebatas kemungkinan-kemungkinan. Artinya, hanya menunjukkan bahwa hilal  mungkin dirukyah dan mungkin tidak, bukan menunjukkan sudah ada rukyah, yang memang data tersebut hanya dapat diperoleh dari pembuktian di lapangan.    
Bahkan para ulama melarang mengadopsi perkataan ahli perbintangan[28] dan ahli falak dalam menetapkan hilal, meskipun ketetapan mereka sering benar. Selain itu Islam melarang mendalami ilmu perbintangan karena hanya sebatas dugaan.[29] Mengenai larangan mengambil perkataan mereka -menurut kami- merupakan antisipasi agar dalam menentukan awal bulan, umat Islam tidak sepenuhnya berpegangan dengan hisab tanpa memperdulikan rukyah, sebab hadits Nabawiyah menginformasikan dengan tegas bahwa dalam penetapan awal bulan harus dengan rukyah atau penyempurnaan tiga puluh hari. Dan Nabi SAW sendiri tidak pernah dan tidak akan pernah berpegangan pada hisab. Karena itu, seandainya hisab hanya sebatas untuk membantu atau mempermudah rukyah, seperti untuk memprediksi letak hilal maka menurut kami diperbolehkan, bahkan lebih menjauhkan dari suatu kesalahan.
Dengan demikian, penetapan awal bulan Ramadlan atau Syawal yang hanya menggunakan dasar hisab tanpa melihat hilal, merupakan suatu sistem yang tidak punya tendensi dari Hadits maupun Al-Qur’an.     
D.  Pertentangan Hasil Hisab dan kesaksian Rukyat
Maksud kami di sini adalah ketika hasib (ahli hisab) menetapkan bahwa hilal tidak mungkin untuk dirukyah, akan tetapi pada saat itu ada yang bersaksi telah melihat hilal, semisal hasib mengatakan bahwa rukyah baru mungkin pada hari selasa namun ada orang yang mengkabarkan telah melihat hilal pada hari senin.
Pada kasus ini juga terdapat dua pendapat :
1. Mengunggulkan hisab dan menolak kesaksian rukyah, sebab hisab adalah perkara yang pasti (qoth’i) sedangkan kesaksian rukyah adalah dzonni. Dan syarat dari diterimanya kesaksian rukyah adalah mungkinnya hilal untuk dilihat, baik dari sisi syara’, akal, maupun adat (kebiasaan).
2. Menolak hasil hisab dan menetapkan rukyah.
1. Menolak Kesaksian Rukyah
a. Posisi akal dalam Islam
Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah yang asli dan akal yang sehat, sehingga hukum-hukum Islam tidak akan berbenturan dengan hal tersebut. Imam Syatibi mengatakan, “ setiap pengertian yang tidak berlandaskan pada dasar-dasar syari’at atau kaidah-kaidah aqliyah tidak dapat dibuat dasar”.[30] Ulama’ usul hadits sepakat pada satu kaidah bahwa riwayat tsiqat (otentik), syahadah dan kabar pada perkara yang mustahil menurut akal dan adat itu tidak bisa diterima. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam syarah Nukhbatul Fikri menjelaskan, termasuk untuk bisa mengetahui hadits maudu’ adalah dengan melihat rawi (orang yang meriwayatkan hadits) dan marwi (isi hadits yang diriwayatkan), seperti bertentangan dengan teks Al Qur’an, hadits yang mutawatir, ijma’ dan atau akal sehat.
Namun yang perlu digaris bawahi ialah, harus dibedakan antara perkara yang di luar jangkauan  akal sebagian manusia dan yang memang berseberangan dengan akal, sehingga kita tidak terburu-buru melarikan semua perkara pada pendapat diatas. Selain itu, tidak  boleh bersandar pada ucapan semua manusia tanpa menyeleksinya terlebih dahulu. Artinya, untuk mengetahui apakah suatu perkara bertentangan dengan akal atau tidak, harus dikembalikan kepada sekelompok orang yang ahli, berakal sehat, dan tidak mungkin sepakat berbuat kebohongan.  
b.Syarat al Mashud adalah Sesuatu yang Mungkin.
Menurut ilmu astronomi dengan dasar istiqra’ (penelitian), pada akhir setiap bulan hilal akan sampai pada derajat (tingkatan) yang sejajar dengan matahari, yang dalam istilah mereka disebut ijtima’/lahirnya hilal. Dan pada saat itu, hilal tidak mungkin dirukyah, kecuali minimal setelah tujuh belas jam.[31] Dengan demikian kesaksian melihat hilal pada waktu hilal belum terbit atau setelah terbit namun sebelum tujuh belas jam dari terbitnya sama dengan mengkabarkan suatu perkara yang mustahil menurut ilmu dan akal, sehingga harus ditolak karena syarat diterimanya kesaksian rukyah adalah jika hilal merupakan perkara yang mungkin dirukyah, baik dari sisi syara’, akal maupun kebiasaan (adat).[32]
Ucapan ahli falak bahwa hisab adalah sesuatu yang pasti dikuatkan berdasarkan ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT membuat garis orbit untuk matahari dan bulan. Dan pada saat mengorbit keduanya tidak akan pernah menyimpang atau melebihi batasan yang ditentukan.
 الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [الرحمن/5]
“Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. “ (QS. Ar-Rahman [55]:5)
Dalam ayat tadi, matahari dan bulan mempunyai tempat pasti (garis orbit) dan berjalan sesuai waktu yang ditetapkan. Artinya, tidak akan terlambat atau melebihi batas waktu.[33]
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ [يس/39]
“Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS. Yasin[36] : 39)
Dalam ayat tersebut Allah membuat kepastian perjalanan bulan pada manazilnya,[34] dan setiap malam, bulan berada pada posisi yamg telah ditetapkan. 
Uraian di atas menunjukkan kesaksian seseorang atas rukyah, yang ahli hisab sudah mengatakan bahwa pada hari itu hilal belum dapat dirukyah, dianggap sebagai kesaksian yang didasarkan pada dugaan belaka sehingga tidak bisa diterima, karena ucapan ahli hisab dalam masalah ini adalah suatu kepastian yang didasarkan pada penelitian.
2. Menolak hasil hisab dan memenangkan rukyah.
Kelompok kedua berpendapat bahwa perkataan mungkin atau tidaknya hilal untuk dilihat itu bersifat spekulatif (dzonni) bahkan merupakan suatu kebohongan. Adapun perkara yang qath’i adalah setiap pengetahuan yang datangnya dari syari’ yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun lewat Rasul-Nya, atau penjelasan dari manusia yang sampai pada tingkat yang sangat meyakinkan.
Dalam masalah hilal, syari’ telah menjelaskan bahwa yang dapat dibuat standar penetapan awal bulan adalah rukyah dan penyempurnaan tiga puluh hari. Sedangkan penjelasan ahli hisab masih sebatas dugaan yang belum pasti. Buktinya, ada banyak perbedaan di antara mereka dalam memberikan kriteria awal bulan (lihat pembahasan pertama).
Ketua lembaga bagian astronomi dan geofisika London mengatakan, secara hakikat tidak mungkin membuat batasan (menentukan) rukyah hilal, dan berkeyakinan tidak ada metode ilmiah yang dapat menyempurnakan syari’at Islam dalam masalah ini (ru’yatul hilal).[35] Begitu juga, majelis pembelajaran ilmu falak mengemukakan, tidak mungkin bisa memprediksi atau menentukan waktu rukyah, sebab tidak ada kesaksian yang dapat dipercaya. Dan ketika ada yang memprediksi maka hanya sebatas dugaan.[36]
E.   APAKAH MATHLA’ BULAN DIPERTIMBANGKAN
Perbedaan mathla’ bulan dalam suatu daerah adalah sesuatu yang jelas dan nyata sebagai akibat dari gerakan benda-benda langit, sehingga orang yang mengingkarinya adalah orang yang  bodoh, begitu juga mathla’ matahari.[37]
Perbedaan mathla’ matahari dianggap oleh Islam, dan ini yang menyebabkan perbedaan waktu ibadah antar tiap daerah -akibat dari perbedaan terbit dan tenggelamnya matahari- artinya setiap daerah memiliki waktu shalat dan waktu berbuka puasa yang berbeda dengan daerah lain. Ketetapan ini berlaku sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang. 
Oleh karena itu, anggapan waktu shalat atau berbuka puasa sama dalam semua belahan bumi adalah mustahil dan keliru, karena posisi setiap daerah pada bola dunia tidak sama (arah dan jarak) didalam garis bujur maupun lintang.[38]
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ...... [الإسراء/78]
 “Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh”. (QS. Al Isro’[17] : 78) 
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ..... [البقرة/187]
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". (QS. Al-Baqoroh [02]: 187

Perbedaan Pendapat Para  Ulama :
Yang menjadi obyek perbedaan adalah mathla’ bulan pada setiap daerah, apakah dianggap berpengaruh dalam penetapan awal masuk bulan - seperti Ramadlan- atau tidak.[39] Konsekuensinya, jika kita katakan perbedaan mathla’ dianggap berpengaruh, maka rukyah pada suatu daerah tidak mengharuskan daerah lain yang tidak melihat hilal pada mathla’nya untuk ikut berpuasa, baik yang letaknya jauh atau dekat. Sebab, setiap daerah itu harus mengikuti mathla’ dan rukyahnya sendiri, seperti yang berlaku pada masalah waktu ibadah. Dan rukyah hilal di belahan bumi timur tidak menetapkan (memastikan) adanya rukyah pada daerah barat. Ketika kita katakan bahwa perbedaan mathla’ tidak dianggap, maka rukyah di belahan timur menetapkan adanya rukyah di sebelah barat, bahkan rukyah pada suatu daerah menetapkan masuknya awal bulan di semua belahan bumi, meskipun mereka tidak melihat hilal pada mathla’nya.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mathla’ bulan dianggap seperti halnya mathla’ matahari. Hanya saja ada yang mensyaratkan jarak antar setiap daerah tersebut harus berjauhan. Dan pada daerah yang berdekatan -menurut mereka- mathla’ tidak berpengaruh,[40] karena secara gholib mathla’nya sama, sehingga daerah yang berdekatan dianggap satu mathla’. Dalam membatasi dua daerah dikatakan berjauhan, juga terjadi perbedaan pendapat. Namun menurut pendapat yang shahih, dua daerah dikatakan berjauhan jika memang mathla’nya tidak sama.[41] Dalam artian yang menjadi standar penentuan dua daerah dikatakan berjauhan adalah mathla’.[42] Para ulama’ ini dalam mengajukan pendapat mereka dengan menggunakan pijakan sebagai berikut:
a. Dalil naqli.
(2481) ـ حدّثنا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَ قُتَيْبَةُ وَ ابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى : أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرُونَ : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرمْلَةَ عَنْ كُرَيْبٍ ، أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ. قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ. فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا. وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ. فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ. فَسَأَلَنِي عَبْدُ الله بْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما. ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. وَرَآهُ النَّاسُ. وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ. فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ. أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَوَلاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ. هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ الله .(رواه مسلم في صحيحه)
Bersumber dari Kuraib, sesungguhnya Ummu al-Fadl menyuruhku menemui Muawiyyah di Syiria. Setelah menyelesaikan urusanku, posisi hilal Ramadlan sudah masuk sedangkan aku masih berada di Syiria, di mana aku melihat hilal pada malam jum’at. Ketika aku pulang ke Madinah pada akhir bulan, kemudian Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku. Lalu aku ceritakan masalah hilal. Ia bertanya : “Kapan kamu melihat hilal ?” Aku menjawab : “Malam jumat.” ia bertanya lagi : “Apakah kamu melihatnya sendiri ?.” Aku menjawab : “Ya, dan manusia juga melihat hilal dan berpuasa beserta Muawiyyah.” Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami melihat hhlal pada malam sabtu, oleh karena itu kami tetap berpuasa sehingga menyempurnakan tiga puluh atau melihat hilal.” Aku bertanya : “Apakah kita tidak cukup dengan rukyahnya Muawiyyah dan puasanya ?.” Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, seperti inilah Rasulullah SAW memerintahkan kita.”.
Dalam hadits tadi, Ibnu Abbas menolak menetapkan puasa di Madinah berdasarkan rukyah  penduduk Syira.
Penolakan Ibnu Abbas karena mengikuti perintah Nabi SAW. Dan hal ini menunjukkan bahwa penetapan awal bulan terhadap penduduk suatu daerah yang berdasarkan rukyah daerah lain bertentangan dengan perintah Syari’, berupa keharusan menetapkan setiap daerah berdasarkan mathla’nya -dalam hal rukyah- atau menyempurnakan tiga puluh hari bilamana hilal tidak dapat dirukyah pada tanggal dua puluh sembilan. Jadi penolakan ini bukan hasil ijtihad ibnu Abbas sendiri, sehingga tidak boleh kita katakan bahwa penolakan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dasar argumen.
Menurut ahli hadits, kalimat haakadza amarona Rasululloh adalah bagian dari kalimat yang ada dalam hadits marfu’,[43] sedangkan  suatu hadits tidak dikatakan marfu’ kecuali adanya dalil -meskipun tidak secara jelas- yang menunjukkan bahwa hadits ini marfu’, dan dalil yang menunjukkan adalah hadits yang diceritakan oleh ibnu Umar. Menurut as-Syaukani yang menjadi hujjah adalah “apa” yang disandarkan pada Nabi SAW dari cerita Ibnu Abbas, bukan ijtihad yang ia lakukan.[44]
Dan juga berdasarkan pada hadits riwayat ibnu Umar :
(1886) ـ حدّثنا عبدُ اللّهِ بنُ مَسلمَةَ حدثَنا مالكٌ عن عبدِ اللّهِ بنِ دِينارٍ عن عبدِ اللّهِ بنِ عمرَ رضيَ عنهما أن رسولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلّم قال: «الشهرُ تِسعٌ وعشرونَ ليلةً، فلا تصومُوا حتّى تَرَوهُ، فإِنْ غُمَّ عليكم فأكمِلوا العِدَّةَ ثلاثين». (رواه البخاري في صحيحه)
 “Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan jangan berlebaran sehingga melihat hilal, bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan  tiga puluh hari.”
Syari’ menggantungkan hukum -puasa dan lebaran- dengan rukyahnya setiap orang, namun -dalam kesempatan lain- juga menjelaskan bahwa kesaksian yang benar itu dianggap, dimana diposisikan pada rukyahnya setiap orang. Artinya rukyah sebagian penduduk suatu daerah sudah mewakili dan punya konsekuensi mengharuskan puasa semua penduduk daerah tersebut. Sedangkan daerah yang jauh dari tempat rukyah (tidak satu mathla’) masih menetapi hukum asli[45] (keumuman hadits), yaitu wajib berpuasa berdasarkan rukyah pada mathla’mereka.  
b. Dalil Aqli.
Perbedaan mathla’ merupakan sebab yang membedakan permulaan bulan, karena setiap mathla’ memiliki hukum sendiri. Sedangkan masuknya bulan Ramadlan menjadi sebab kewajiban berpuasa, sehingga masuknya bulan puasa pada suatu daerah yang berdasarkan rukyah tidak menetapkan daerah lain yang berbeda mathla’. 
c. Qiyas.
Secara ijma’, mathla’ matahari dianggap berlaku sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang, Dan ini yang membedakan waktu shalat antar daerah. Oleh karena itu mathla’ bulan dianalogkan pada mathla’ matahari, dengan jami’ keduanya merupakan benda langit yang memiliki garis orbit dan berpengaruh pada waku ibadah dan awal bulan.[46]
d. As-Subki berlandaskan pada sikap Khulafaur Rasyidin.
Dimana tidak diketemukan bahwa mereka mengirim surat ke semua daerah Islam ketika hilal sudah dilihat pada sebagian daerah, dengan tujuan untuk menetapkan adanya rukyah dan masuknya bulan semisal Ramadlan. 
Menurut jumhur ulama, mathla’ bulan dianggap tidak berpengaruh dalam menentukan bulan Ramadlan pada setiap daerah, sehingga rukyah di suatu daerah juga berlaku pada semua daerah yang lain, baik yang dekat maupun yang jauh. Pendapat ini berdasarkan pada : 
a. Dalil Naqli
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته
 “Puasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berlebaranlah karena melihat hilal ”
Hadits tersebut menjelaskan  bahwa Syari’ menggantungkan khithab ‘am (hukum yang umum) pada lafal “shuumuu” dengan kemutlakan rukyah. dalam kaidah ushul fiqh “lafal yang berbentuk mutlak diberlakukan kemutlakannya” selama tidak ada perkara yang membatasi pengertiannya. Dan bentuk kemutlakan direalisasikan pada setiap bagian dari perkara itu sendiri. Dengan demikian, melihat hilal pada mathla’ manapun sudah dikatakan sebagai bentuk rukyah, yang nantinya menetapkan hukum yang umum,[47] berupa kewajiban puasa bagi seluruh umat Islam dimanapun tanpa memperhitungkan mathla’ setiap daerah -tentunya bila mengetahui adanya ketetapan rukyah-.
Dan Al Quran :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Karena itu barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqoroh : 185)
Ayat diatas menjelaskan, puasa diwajibkan ketika mengetahui bulan Ramadlan, tidak mengkhususkan ketika melihat hilal.
Menurut Ibnu Qudamah, setelah ada ketetapan bahwa hari ini bulan Ramadlan berdasarkan kesaksian orang yang dapat dipercaya (syahadah tsiqoh), maka wajib puasa bagi semua orang Muslim.[48] Artinya kewajiban puasa digantungkan pada bulan Ramadlan.  
b. Dalil Aqli.
Bulan Ramadlan berada di antara dua hilal (awal malam Ramadlan dan awal malam Syawal) sehingga ketika awal bulan Ramadlan telah ditetapkan berdasarkan rukyah pada mathla’ manapun, tentunya hal tersebut menunjukkan masuknya awal bulan Ramadlan. 
Dalam menanggapi dalil-dalil yang diajukan kelompok pertama, jumhur Ulama’ telah memberi sanggahan-sanggahannya sebagai berikut:
1.      Menurut kelompok pertama kemutlakan haditsصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتهdibatasi pengertiannya oleh hadits  صوموا حتى تروا الهلالkarena arti lafad - tarou - adalah rukyahnya setiap orang -lihat keterangan diatas-. Akan tetapi ditolak oleh Jumhur Ulama’, karena hadits yang kedua dapat dijadikan qayyid jika khithob pada hadits pertama dikhususkan pada setiap masyarakat dalam satu daerah. Dan kenyataannya khithob hadits tersebut bersifat umum[49] yang mencakup semua orang, sehingga kedua hadits tersebut pengertiannya sama, yaitu :  
صوموا اذا رءي الهلال أو لاتصوموا حتى تقع منكم رؤية الهلال 
Puasalah kamu sekalian ketika hilal sudah dilihat, “atau” janganlah kamu berpuasa sehingga dari kamu ada yang melihat hilal. 
Bukan mengkhususkan setiap kaum untuk rukyah sendiri-sendiri. Uraian di atas menunjukkan bahwa istidlal Ibnu Abbas dengan mengatakan “hakadza maa amarona Rasulullah” adalah murni ijtihad beliau. Sedangkan pemahaman sahabat tidak dapat dijadikan hujjah kecuali ijma’ mereka. Dan dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan dari sahabat, dengan bukti adanya perbedaan diantara Ulama’.
2.      Jumhur Ulama’ menentang penganalogkan mathla’ bulan dengan mathla’ matahari. Mereka menjelaskan bahwa matahari setiap hari pasti berhadapan dengan bumi, tetapi secara gradual (tadriji), sebab bentuk bumi adalah bulat dan selalu berotasi. Artinya, sinar matahari akan mengenai bumi dengan silih berganti sesuai keberadaan dan posisi setiap daerah dilihat dari garis bujur dan lintang. Sehingga terbit, tenggelam, dan keberadaan matahari diatas kita (tengah hari) tidak sama antara daerah satu dan yang lain. Berbeda dengan bulan yang permulaannya  (lahirnya hilal) dimulai dari meninggalkan matahari setelah posisinya bersejajar (baca : ijtima’), keadaan ini tidak akan berbeda sebab perbedaan letak suatu daerah. Dengan demikian, dilihatnya hilal pada mathla’ manapun menunjukkan hilal sudah muncul dan pada malam itu bulan Ramadlan dimulai. Artinya awal bulan tidak relatif (pada masing-masing daerah) akan tetapi secara menyeluruh.[50]     
3.      Menurut Jumhur Ulama’, istidlalnya As-Subki tidak dapat digunakan, sebab murni penyimpulan aqliyyah sehingga tidak dapat digunakan untuk membandingi dalil nash. Selain itu, pada zaman Khulafaur Rosyidin untuk bisa mecapai seluruh daerah Islam membutuhkan waktu tiga bulan atau lebih, berarti kabar akan sampai setelah bulan Ramadlan. Karena itu, mereka tidak ditaklif  (dibebani) untuk menyampaikan bahwa sudah ada rukyah, mengingat tujuan pembebanan tidak akan terealisasi. Dengan demikian, tidak mengkabarkan keseluruh penjuru bukan berarti menunjukkan bahwa mathla’ dianggap, akan tetapi pada zaman itu “hal tersebut” merupakan suatu yang muhal (artinya berita tidak akan dapat sampai keseluruh daerah Islam dalam waktu semalam ).
4.      Kelompok pertama mensyaratkan “sifat jauh” dalam mempertimbangkan mathla’, sebab disitulah perbedaan mathla’ akan ditemukan. Dan mereka berpendapat jauh itu adalah jarak antara kota Hijaz dan Andalus. Dari sini menunjukkan bahwa mengambil hujjah dari hadits Kuraib tidak benar, karena syarat jauh tidak diketemukan pada hadits tersebut, melihat jarak antara Syiria dan Madinah adalah dekat yang tidak menjadikan adanya perbedaan mathla’.[51]
5.      Menanggapi dalil aqli bahwa sifat jauh menyebabkan perbedaan  mathla’, dan perbedaan ini menyebabkan perbedaan mulainya bulan Ramadlan. Kelompok kedua mengatakan, pengambilan  dalil (perkataan) seperti itu tidak benar, karena mathla’ merupakan obyek perdebatan, dimana obyek debat tidak dapat digunakan sebagai dalil.[52]
F.   KEPUTUSAN PEMERINTAH
Imam (kepala negara) punya tugas mengatur umat menuju keserasian dan menghindari atau menghilangkan perpecahan, untuk itu Islam memberikan kekuasaan mutlak, bahkan memberi hak menghukum rakyat yang tidak patuh.
Keputusan yang diambil punya konsekuensi mengharuskan semua lapisan masyrakat untuk mematuhi tanpa memilah-milah antara yang sealiran (Madzhab) dengan imam, tetapi yang terpenting keputusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Artinya standar yang digunakan untuk menilai dan menimbang keputusan tersebut bukan hanya madzhab yang kita ikuti, sehingga meskipun menurut madzhab yang kita ikuti kebijakan tersebut adalah salah, akan tetapi dilihat dari madzhab lain benar maka kita wajib mematuhi.
Oleh karena itu ketika pemerintah menentukan bahwa malam ini tanggal satu Ramadlan atau Syawal, maka seluruh rakyat Indonesia harus mematuhinya, karena keputusan pemerintah menguatkan salah satu pendapat dan atau menghapus perbedaan ulama[53] dan kepatuhan dalam hal ini dikategorikan taat dalam kebaikan.
Untuk itu, tidak dibenarkan adanya suatu lembaga menentukan (mengumumkan) awal Ramadlan atau Syawal yang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Begitu juga menetapkan sebelum ada ketetapan dari pemerintah. Bahkan pemerintah harus mencegah hal tersebut untuk menghindari mafsadah yang ditimbulkan.
Namun kiranya perlu kami lampirkan juga keterangan sebagaimana berikut :
- Ketetapan masuknya awal bulan Ramadlan secara umum (berlaku bagi seluruh masyarakat) hanya dapat ditetapkan dengan dua cara, pertama dengan menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari. Kedua ditetapkan (itsbat) oleh hakim dengan tendensi rukyahnya (minimal) satu orang yang adil, diluar itu tidak ada hal lain yang dapat digunakan tendensi masuknya bulan ramadlan kecuali berlaku secara khusus bagi orang-orang tertentu, seperti orang yang melihat hilal (dengan matanya sendiri) atau orang yang mengetahui masuknya bulan dengan hitungannya (hisab) sendiri, maka dengan sendirinya mereka dan juga orang-orang yang mempercayai mereka wajib berpuasa tanpa menunggu ketetapan dari imam (pemerintah). Hal ini juga berlaku bagi orang yang meyakini masuknya bulan karena melihat tanda-tanda yang biasa digunakan masyarakat yang semathla’ dengannya untuk menunjukkan masuknya bulan, semisal adanya tabuh-tabuhan bedug, kentongan dll.
Dari sinilah al Syaikh Salim Ibn Sa’id Bakir[54] menyatakan bahwa kabar tentang ketetapan masuk bulan ramadlan dari media elektronik seperti radio atau televisi tidak dapat dijadikan ketetapan yang berlaku umum. Ia hanya bisa dijadikan pegangan bagi mereka yang percaya pada kabar media elektronik tersebut, artinya ketetapan masuk bulan dari media elektronik berlaku khusus bagi yang mempercayai saja, ini pun kalau memang semathla’. praktek semacam ini disamakan dengan orang yang mempercayai tabuh-tabuhan bedug dan kentongan (tanda masuk awal bulan).
Adapun berita awal bulan ramadlan yang disiarkan dari ibu kota negara (Jakarta) apakah bisa berlaku sampai ke pelosok-pelosok negeri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam kitab Bulghot al Thoolib terdapat fatwa yang dinukil dari fatwanya Shohibul Bughyah,[55] yaitu fatwa dari beliau al Allamah Ibn Yahya:  
“Ketika sudah ditetapkan akan kemunculan hilal pada suatu negara, maka hukumnya akan menyeluruh pada seluruh daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan penguasa daerah terlihatnya bulan, walaupun daerah-daerahnya saling berjauhan asalkan masih dalam satu mathla’” 
dan al Allamah al Asykhor
“Ketika keputusan penguasa suatu negara tentang penetapan awal bulan ramadlan tidak berdasarkan pada dalil-dalil Syari’at, akan tetapi hanya asal-asalan dan tanpa prosedur yang jelas, maka hari itu disebut yaum al Syak (hari yang masih diragukan)” 
Maka secara eksplisit dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban mengikuti keputusan pemerintah tentang penetapan awal bulan ramadlan harus memenuhi empat kriteria :
1.      Daerah tersebut harus termasuk dalam wilayah kekuasaan al Hakim daerah terlihatnya bulan. Al Hakim yang dimaksud disini adalah al Hakim Syar’iyyah . yaitu penguasa yang diangkat oleh kaum muslimin atau seluruh kaum muslimin yang mempunyai kekuatan yang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan penguasa muslim yang lain. Sehingga dapat kita katakan bahwa penguasa Indonesia adalah termasuk penguasa al Syar’iyyah, sehingga seluruh wilayah Indonesia adalah dalam kekuasaan seorang al Hakim saja.
2.      Kedua tempat tersebut harus dalam satu Mathla’ menurut pendapat al Ashoh seperti yang dipilih imam Nawawi. Kemudian  beliau Syeikh Abdulloh di Umar ba Makhromah memberikan perincian yaitu: ketika waktu ghurub dalam dua daerah terpaut 8 Derajat atau kurang, maka kedua tempat tersebut dikatakan satu Mathla’. Dan ketika keterpautan diantara keduanya lebih dari 8 derajat, maka dikatakan berbeda Mathla’. Dan 1 (satu) derajat adalah 4 menit
3.      Sandaran pemerintah dalam menetapkan awal bulan adalah dengan dasar-dasar Syar’iyyah. semisal keadaan orang yang melihat tersebut harus ‘Adlusy Syahadah dan dapat mengingat kemiringan hilal
4.      Tidak ada keraguan akan keabsahan hukum yang ditetapkan oleh penguasa tersebut.
Kiranya dalam penguraian tentang penetapan awal bulan, kami hanya dapat menghantarkan sampai disini saja dengan harapan semoga tulisan ini dapat mengurangi keresahan masyarakat yang hampir selalu muncul saat penetapan awal bulan Ramadlan dan Syawwal.

Wallahu ‘A’lam


























BAB III
KESIMPULAN

I. HISAB 
I.1. Hisab ‘Urfi.
Adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.
I.2. Hisab hakiki
Adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini, setiap bulan jumlahnya tidak tetap dan tidak beraturan. ada dua aliran besar :
a. Aliran yang hanya berpegang pada ijtima’.
Menurut sistem ini, awal bulan Qomariyah dimulai ketika terjadi ijtima’, berarti aliran ini tidak memperhitungkan hilal dapat dilihat atau tidak. Aliran ini terbagi menjadi beberapa kelompok 
·         Ijtima’ qobla al ghurub.
·         Ijtima’ qobla al fajr.
·         Ijtima’ dan terbit matahari.
·         Ijtima’ dan tengah hari.
·         Ijtima’ dan tengah malam.
b. Aliran ijtima’ dan posisi hilal diatas ufuk. 
Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai sejak terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk. Aliran ini juga terbagi menjadi tiga :
·         Ijtima’ dan ufuk hakiki.
·         Ijtima’ dan ufuk hissi.
·         Ijtima’ dan imkanur rukyah.
II. RUKYAH
Menurut madzhab Hanbali, melakukan rukyah pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban atau Ramadlan adalah sunnah, sebagai bentuk usaha ihtiyath (berhati-hati) dan mencegah adanya perbedaan. Sedangkan madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki, hukum melakukan rukyah adalah wajib sosial (fardhu kifayah),
II.1. Rukyah Secara Langsung. 
Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad sepakat ketika seseorang melihat hilal Ramadlan maka ia harus berpuasa.
II.2. Kabar Rukyah.
Menurut ijma’, berita rukyah itu dapat dibuat dasar melakukan puasa dan berlebaran. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang berapa jumlah minimal orang yang mengkabarkan tentang terlihatnya hilal yang bisa dijadikan sebagai dasar penentuan awal bulan.  
1.      Menurut Imam Malik, untuk berpuasa dan berlebaran tidak boleh berlandaskan pada kesaksian kurang dari dua orang.
2.      Imam Syafi’i, beliau  memilah-milah antara hilal Ramadlan dan hilal Syawal. Artinya, untuk berlebaran harus ada kesaksian minimal dua orang, dan untuk berpuasa cukup dengan ada kesaksian satu orang saja.
3.      Imam Abu Hanifah dalam memberikan kriteria batasan minimal, lebih menitikberatkan pada kondisi lapangan, sehingga dibedakan antara cuaca yang cerah dan cuaca yang berawan. Dalam keadaan cerah  harus ada kesaksian satu golongan, dan dalam cuaca berawan cukup kesaksian satu orang.
4.      Menurut Imam Abu Tsaur, kesaksian satu orang sudah cukup untuk dijadikan dasar untuk berpuasa atau berlebaran
III. PENGGUNAAN HISAB DAN RUKYAH
Secara sempit, hal initerbagi menjadi tiga kelompok :
  1. Kelompok yang hanya menggunakan rukyah.
  2.  Kelompok yang hanya menggunakan hisab.
3.      Kelompok yang menggunakan rukyah disertai hisab.
IV.  Pertentangan Hasil Hisab dan kesaksian Rukyat
Pada kasus ini juga terdapat dua pendapat :
1. Mengunggulkan hisab dan menolak kesaksian rukyah, sebab hisab adalah perkara yang pasti (qoth’i) sedangkan kesaksian rukyah adalah dzonni. Dan syarat dari diterimanya kesaksian rukyah adalah mungkinnya hilal untuk dilihat, baik dari sisi syara’, akal, maupun adat (kebiasaan).
2. Menolak hasil hisab dan menetapkan rukyah.
V.   APAKAH MATHLA’ BULAN DIPERTIMBANGKAN
Dalam hal inipun setidak-tidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga pendapat :
    • Mathla’ dipertimbangkan.
    • Mathla’ tidak dipertimbangkan.
    • Mathla’ dipertimbangkan dengan syarat.
VI.   KEPUTUSAN PEMERINTAH
Maka secara eksplisit dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban mengikuti keputusan pemerintah tentang penetapan awal bulan ramadlan harus memenuhi empat kriteria :
  1. Daerah tersebut harus termasuk dalam wilayah kekuasaan al Hakim daerah terlihatnya bulan.
  2. Kedua tempat tersebut harus dalam satu Mathla’ dengan rincian: ketika waktu ghurub dalam dua daerah terpaut 8 Derajat atau kurang, dan 1 (satu) derajat adalah 4 menit
  3. Sandaran pemerintah dalam menetapkan awal bulan adalah dengan dasar-dasar Syar’iyyah. semisal keadaan orang yang melihat tersebut harus ‘Adlusy Syahadah dan dapat mengingat kemiringan hilal
  4. Tidak ada keraguan akan keabsahan hukum yang ditetapkan oleh penguasa tersebut.







BIBLIOGRAFI

Abdul Hamid, as Syarwani, “al Hawasyi al Syarwani ‘ala Tuhfah al Muhtaj bi Syarhil Minhaj”,  Dar al Fikr, Beirut, Juz I
Abdur Rohman al Baghawi bin Muhammad bin Husain bin Umar , Bugyatul Mustarsyidin, Mathba’ah Amin Abdul Majid Kaherah, 1338 H.
Abu-Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin,Darul Fikr,juz II
Ala’uddin, Abu Bakar bin Mas’ul bin Ahmad al Kasaniy al Hanafy, al Badaiu’ as Shona’, Dar al Kutub Al Alamiyah, Th. 1424H/2003 M. Juz II
Al Bahuti, Manshur Yunus bin Idris al Bahuti “ Kasyf al Qona’”, Dar al Fikr, Beirut, Th. 1402 Juz II.
Al-Jaziri, Abdurrahman.. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. Beirut, Th 1999: Darul Fikr. Juz I

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls