IMAM MALIK
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Anas As Shohabi Al,Madani. Kata As-Shohabi bernisbat pada daerah Dzi Ashbah, sebuah desa yang terletak di kota yaman. Kakeknya bernama Abu Amir, seorang shahabat Nabi yang ikut andil dalam semua peperangan bersama nabi kecuali pada perang badar.
Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. Ia adalah orang yang badannya besar, tinggi, botak kepalanya, putih rambut kepala dan jenggotnya. Beliau suka memakai pakaian yang bagus, baik serta bersih. Pakaian yang biasa dipakai adalah kain-kain dari kota Adaniyyah.
Beliau termasuk salah seorang tabi’ al-tabi’in menurut pendapat yang shahih. Beliau berdomisili di kota Madinah, sebuah kota yang masyhur sebagai sumber informasi aktual bagi umat Islam di dunia sekaligus sebagai aset perbendaharaan ilmu-ilmu kuno, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengembara ke kota lain kecuali hanya ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Pada usia yang masih relatif muda, beliau sudah memulai menekuni dan studi ilmu-ilmu agama di lembaga pendidikan negerinya. Pertama yang menjadi gurunya adalah Abdullah bin Hurmus. Beliau belajar dan berdomisili di sini beberapa saat lamanya sebelum kemudian ia bertolak ke guru yang lainnya. Guru beliau dalam ilmu fiqh adalah Rabi’ah bin Furuukh. Guru beliau terhitung ada 900. 300 dari seorang tabi’in.
Namun hal ini tidak menjadikannya bangga. Beliau berkata: "Ilmu bukanlah karena banyaknya guru, akan tetapi ilmu adalah nur yang diletakkan oleh Allah pada hati hamba-hambaNya." Diantara guru yang pernah ia serap ilmunya adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri, salah seorang pakar hadits dan fiqh, Imam Nafi’, Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id, Abdullah bin Dinar, Abi Zunad, Muhammad Al-Mankadar dan lainnya.
Ketika menginjak usia 17 tahun, beliau sudah mulai berfatwa dan mengajar setelah mendapat rekomendasi dari para gurunya. Untuk menunjukkan hal ini beliau pernah berkata: "Saya tidak akan pernah duduk untuk memberikan fatwa dan mengajarkan hadits sehingga 70 ahli ilmu memberi izin kepadaku."
Imam Malik seorang yang handal. Beliau telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi kejayaan dan kemajuan Islam khusunya dalam bidang pengetahuan agama, muridnya tersebar ke semua penjuru dunia. Beliau telah mencetak dan melahirkan para pewaris Nabi. Di antara murid-muridnya ada yang dari negeri Hijaz, Yaman, Khurasan, Syam, Mesir, dan Andalus (Spanyol).
Para ulama’ sepakat terhadap kepemimpinannya, berpegang teguh terhadap agama, wira’i, sikapnya selalu disertai dengan sunnah Nabi, sehingga sangat wajar para ulama’ sering memberikan pujian kepadanya.
Imam Syafi’i berkata: "Imam Malik adalah hujjah Allah atas makhluknya." Imam Mahdi berkata: "Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih jenius dan lebih taqwa daripada Imam Malik, tiada di atas muka bumi ini seorang yang lebih bisa dipercaya dengan hadits Nabi daripada Imam Malik."
Beliau termasuk pemimpin ahli Hijaz di masanya dan menjadi sumber rujukan fiqh Madinah dan pakar fiqh di negeri tersebut. Majelis pendidikannya adalah majelis yang mempunyai wibawa, keagungan dan kehebatan, Karena pribadiannya yang sangat berwibawa. Dalam majelisnya tidak ada sedikitpun suara yang mengganggu orang banyak yang sedang mendengarkannya. Tidak ada suara bantahan dan percekcokan, segenap pengunjung tunduk, tenang mendengarkan fatwa yang ia sampaikan. Ketika beliau memberikan fatwa tentang suatu persoalan, maka tidak pernah ada perkataan: "Dari mana hukum itu kau dapatkan?[1]"
Mustahil rasanya suatu kemajuan tanpa aral tanpa rintangan. Perjalanan sukses tanpa disertai onak tanpa disertai duri agaknya tidak mungkin. Ini pula yang dirasakan oleh Imam Malik di masa pemerintahan Islam dipegang oleh Ja’far al-Manshur. Ceritanya, pada suatu hari Imam Malik keluar untuk memberikan fatwa kepada orang-orang bahwa thalak dari orang yang dipaksa tidak bisa terjadi( tidak sah). Dalam fatwanya, beliau sambil mengungkapkan sebuah hadits sebagai landasan.
ليس على المستكره طلاق
"tidak ada tholak bagi orang yang di paksa"
Padahal Ja’far Al manshur waktu itu tidak memperkenankan adanya fatwa yang demikian itu, maka setelah fatwa itu di dengar beritanya oleh Al Manshur, beliau di panggil menghadap untuk di beri peringatan agar fatwa itu di cabut kembali jangan di siarkan kepada orang-orang, namun demi menegakkan kebenaran beliau tidak menghirukannya, bahkan ia mengulangi fatwanya didepan umum, karenanya beliau di cambuk berulang ulang kali.
Setelah kejadian di atas, derajat imam Malik didepan umum makin lebih terbukti seakan-akan cambukan itu merupakan perhiasan baginya. Ibnu Anas berkata : "pada suatu hari Ibnu Qosim bertanya kepada Imam Malik tentang masalah bugot (seorang pemberontak imam ) apakah mereka boleh untuk dibunuh". Imam Malik dengan tegas menjawab: "Boleh! apabila mereka memberontak seorang pemimpin yang seperti Umar Bin Abdul Aziz." Ibnu Qosim melanjutkan pertanyaannya:" Apabila pemimipinnya tidak seperti umar bin Abdul Aziz bagaimana? ". " Jangan lah kau bunuh mereka, biar Allah menyiksa orang yang dzolim sebab orang dlolim yang lainnnya kemudian Allah menyika kedua-duanya ." Imam Malik menjawab.
Fatwa Imam Malik yang tercover di atas sangat menyinggung perasaan Al manshur dan menjadikannya marah. Karenanya beliau disiksa dengan siksaan yang sangat pedih . Setelah kejadian diatas, ikatan Imam Malik dengan pemerintahan menampakkan baik dan cerah. Terbukti pada tahun 160 H. beliau mengadakan musyawarah dengan imam Mahdi, tentang pembangunan ka’bah, yang mana dikala itu pemerintahan ada pada kekuasaannya (imam Mahdi).
Satu riwayat menyebutkan bahwa Al- Mansyur pernah bertemu dengan Imam malik disaat melaksanakan rukun islam yang kelima, dimana waktu itu Al-Mansyur meminta kesediaanya menyusun sebuah kitab,agar manusia fanatis dengan pendapatnya(Imam Malik), "Buatlah sebuah kitab untuk para manusia, dimana kitab tersebut menjelaskan hadist dan fiqh. Buatlah sedang pada kitab tersebut (tidak berupa kekerasan dan tidak berupa kemurahan) tulislah dalam kitab tersebut persoalan yang telah sepakati para sahabat dan para Imam." Demikian kata Al manshur kepadanya. Namun keinginan Al- Mansyur tidak segera direalisasikan, disebabkan keinginanya yang sangat tidak sesuai dengan pendiriannya. yaitu tidak suka memaksa orang lain agar mengikuti pendapatnya.[2]
Sumber Madzhab Imam Malik Dan Landasan Ijtihadnya
Imam Malik dalam mencetuskan sebuah hukum memiliki metodologi tersendiri, metodologinya berbeda dengan metodologi Imam-imam lain. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan pendapatnya dengan pendapat yang lain sangat seru. Dalam metodologinya, selain berpegang dengan Al quran, Hadist, Ijma’dan Qiyas, juga mengunakan metodologi lain sebagai sumber hukum syariat, seperti tradisi (amaliah) ahli madinah, Maslahah mursalah, Qaul sahabat, Saddu Al dzaro'i’, Istihsan.
Dalam pengambilan hadist sebagai salah satu sumber hukum, Imam Malik berbeda dengan ulama lain. Perbedaan tersebut yang sangat jelas adalah sebagai berikut:
P e r t a m a : Dalam penerimaan hadist, ia tidak mensyaratkan seperti persyaratan Abu Hanifah dalam menerima hadits. Juga tidak mensyaratkan hadist masyhur dalam persoalan yang sering terjadi, medahulukan hadits wahid daripada qiyas. Juga tidak mensyaratkan hadits muttasil seperti yang telah disyaratkan Imam Syafi’i, beliau menggunakan hadist mursal sebagai salah satu sumber syari’at baik hadist mursalnya Sa’id bin Musayyab atau yang lain. Beliau hanya mensyaratkan dalam menggunakan khabar wahid tidak bertentangan dengan tradisi (amaliyah) ahli madinah, pegangannya adalah hadist yang diriwayatkan oleh orang - orang hijaz.
Dari keterangan diatas tidak menunjukan bahwa Imam Malik gegabah dalam menerima hadist sebagai salah satu sumber syari’at. Ia orang yang sangat selektif dalam menerima hadist. Untuk menunjukan bahwa beliau orang yang sangat selektif dan tidak gegabah dalam menerima hadist adalah perkataan beliau: "Saya pernah bertemu 70 orang disebelah tiang masjid An- Nabawi yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda begini – begini. Namun sama sekali saya tidak menerima hadist tersebut dari mereka. Karena orang yang biasa dipercaya untuk mengurusi baitul mal belum tentu bisa dipercaya dalam masalah periwayatan hadits.
K e d u a : Imam Malik memandang tradisi ahli madinah merupakan salah satu sumber syari'at yang lebih diprioritaskan dari pada qiyas dan khabar wahid. Karena kedudukan dan perbuatan ahli madinah seperti hadits mutawatir. Hadits mutawatir lebih di dahulukan dari pada qiyas dan hadits ahadi.
Ketika datang kepadanya hadist wahid yang bertentangan dengan tradisi Ahli Madinah maka hadist tersebut di naskh menurutnya. Hal ini sangat bertentangan dengan Ulama’ yang sepriode dengannya. Mayoritas ahli fiqh tidak mengambil tradisi Ahli Madinah sebagai sumber hukum, karena ahli madinah bukan golongan yang terjaga dari perbuatan haram (ma’sum)2
K e t i g a : Mengadopsi qoul shahabat sebagai dasar satu hukum apabila sanadnya shahih dan sahabat tersebut sangat alim, seperti ; Khulafa’ Ar rasyidin, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sesamanya, juga tidak ada hadist yang jelas dari nabi tentang permasalah itu sendiri. Ia lebih mendahulukan qoul shahabat dari pada qiyas, hal ini berbeda dengan sebagian ulama’ yang lebih memprioritaskan qiyas dari pada qoul sahabat.
Imam ghozali tidak sependapat qoul sahabat dijadikan sebagai salah satu sumber syari’at, karena shahabat bukan orang yang ma’sum. Dengan demikian masih rawan terjadinya kesalahan.
K e e m p a t : Maslahah mursalah atau Istishlah. Imam empat sepakat maslahah mursalah dijadikan sebagai salah satu metodologi dalam penggalian hukum. Namun hanya Imam Malik yang memperluas metodologi tersebut. Sebagian ulama’ seperti Al-Zhahiriyah, sebagian Syafi’iyah, sebagian Malikiyah, Imam Amudi, menegaskan bahwa maslahah mursalah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Imam empat mencapai kata sepakat maslahah mursalah termasuk salah satu sumber syari’at, kecuali bila bertentangan dengan maslahah yang lain. dalam hal ini imam malik tetap mempergunakan maslahah mursalah meskipun bertentangan dengan maslahah yang lain. Seperti memukul seorang yang diduga mencuri biar mengakui harta yang dicuri. Maslahah dalam contoh di atas(biar mengakui harta yang di curi) bertentangan dengan maslahah yang lain (menghindari pukulan terhadap orang yang tidak mencuri), karena boleh jadi orang tersebut bukan seorang pencuri. Padahal tidak memukul pencuri lebih ringan dari pada memukul orang yang tidak mencuri. Sebab apabila tidak memukul orang tersebut akan mengakibatkan lenyapnya harta, maka memukul orang yang tidak mencuri justru akan mengakibatkan penyiksaan terhadap orang yang tidak mencuri.
K e l i m a : Istihsan sebagai salah satu sumber dari permasalahan3. Seperti meminta ganti rugi pada seorang pekerja atau buruh yang merusak harta majikannya. Pada contoh di atas secara dalil qiyas seharusnya mereka tidak wajib mengganti rugi. Sebab mereka orang yang mendapatkan kepercayaan. Namun karena dlarurat atau maslahah yang bersifat umum, mereka wajib untuk mengganti rugi, sebab apabila tidak mengganti rugi maka akan merusak harta manusia dalam kondisi masih butuh bekerja sama dengannya. [3]
Kitab muwatho’
Kitab muwatho’ adalah karya Imam Malik yang paling besar. Sebuah kitab yang berisi hadits, qoul sahabat dan fatwa para tabi’in. Satu sisi kitab ini berupa kitab hadits, dari sisi yang lain berupa kitab fiqih . Berupa kitab hadits Karena didalamnya menjelaskan hadits dari nabi, hadits shahabat dan hadits tabi’in. Berupa kitab fiqih karena sesuai dengan kitab fiqih seperti didalamnya disebutkan kitab ath thoharoh, kitab ash sholah, kitab zakat, kitab puasa, kitab haji Dan lain-lainnya. Juga pada setiap kitab-kitab tersebut terdapat beberapa fashol.
Namun dalam realitanya kitab muwatho’ cenderung dikatakan kitab fiqih, sebab kitab ini dalam bab-babnya terkadang tidak disebutkan hadits dari nabi, bahkan hanya disebutkan fatwa para shahabat dan tabi’in. Padahal umumnya ahli hadits dalam penyusunannya lebih memprioritaskan hadits nabi dari pada fatwa shohabat dan tabi’in.
Selain itu, Imam Malik Dalam menyusun kitab tersebut tidak hanya sekedar mengumpulkan hadits-hadits saja, seperti yang biasa dilakukan oleh ahli hadits, tetapi beliau juga mensyarahi (mengomentari) hadits tersebut dengan komentar fiqih. Beliau menyusun kitab tersebut kurang lebih 40 tahun lamanya, bentuknya pun lebih besar dibanding muwatho’ sekarang. Satu riwayat menyebutkan bahwa hadits yang ada dalam kitab tersebut, pada mulanya ada 10,000 hadits. Kemudian setelah diseleksi oleh beliau sendiri, tinggal 1720 hadits . 600 hadits berupa hadits musnad, 222 berupa hadits mursal, 613 berupa hadits mauquf, 285 berupa hadits maqthu’.
Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang faktor penyusunan kitab muwatho’. Satu riwayat menyebutkan Imam Malik berkata: “Pada suatu ketika aku bertemu dengan ja’far Al Manshur”. “Wahai Imam Malik di permukaan bumi ini tidak ada orang yang alim selain saya dan kamu. Sementara saya disibukkan oleh urusan pemerintahan dan politik. Maka tolonglah aku untuk menyusun sebuah kitab fiqih dan hadits untuk orang orang. Buatlah sedang pada kitab tersebut ( tidak berupa kekerasan dan tidak berupa kemurahan)” Kata ja’far al manshur. “Kalau demikian tunjukkan kepadaku cara menyusun kitab tersebut dengan cara yang tidak sulit”. Imam Malik menjawab.
Riwayat lain menyebutkan : Bahwa Umar bin Abdul Aziz Abdillah bin Salamah sebenarnya lebih dahulu menyusun kitab muwatho’ namun dalam susunannya ia hanya menyebutkan pendapat yang di sepakati ahli madinah. Tidak menyebutkan hadits dari nabi . Melihat kejadian diatas Imam Malik berkata: "Alangkah baiknya karya Umar Bin Abdul Aziz. Seandainya saya yang menyusun, niscaya akan saya mulai dengan hadits nabi ". Kemudian Imam Malik Punya inisatif untuk mengarangnya. Akhirnya tujuan itu terealisasikan.
Kitab muwatho’ adalah kitab fiqih dan hadits yang pertama kali didokumentasikan. Di kemudian hari kitab ini di publikasikan dan disebarluaskan oleh murid-muridnya kemanca negara. Muhammad bin Hasan mempublikasikan di negara Iraq. Yahya bin Yahya menyebar luaskan di Andalus ( sepayol). Asad bin Furot menyebarluaskan di negri Qoiruwan . Abdullah bin Wahab, Abdurrahman bin Qosim, Ibnu Hakam, Imam Asyhab menyebarluaskan ke negri mesir.[4]
Murid Murid Imam Malik
Murid-muridnya terhitung beratus ratus banyaknya. Dari antara mereka yang hingga kini masih harum dan terkenal namanya adalah Abu Abdillah bin Wahbin, Abdurrohman bin Qosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdulloh Bin Abdul Hakam, Imam Mawazi, Ziyad bin Abdurrahman dan lain-lainnya.
Sepanjang sejarah meriwayatkan bahwa Imam Malik tidak pernah mengembara dari satu kota kekota yang lain. Hal ini menyebabkan mayoritas hadits yang ia riwayatkan adalah haditsnya ulama’ hijaz. Jarang sekali ia meriwayatkan hadits dari yang lain .kendati demikian tak sedikit para ulama’ dari pelbagai penjuru yang datang berduyun duyun untuk menimba ilmu dan meriwayatkan hadits darinya.
Mayioritas ulama’ yang datang kepadanya adalah orang-orang mesir , Maghribi, Afrika dan Andalus (spanyol).
P e r t a m a :Abdulloh bin wahbin. Dengan nama lengkap Abu Muhammad bin Abdillah bin Wahbin bin Muslim Al Quroisyi. ia meriwayatkan hadits dari imam Malik, Laits bin Sa’id, Sufyan bin uyainah, Sufyan Tsauri dan golongan ulama’ yang semasanya. Dan belajar ilmu fiqih dan hadits kepada Imam Malik dan Laits.
Ia belajar kepada Imam Malik semenjak tahun 148 H. sampai wafatnya Imam Malik. Sebagai rasa penghormatan, Imam Malik pernah mengirim surat kepada Abdillah bin Wahbin dan Abu Muhammad, padahal sebelumnya ia tidak pernah menuliskan surat kepada murid-muridnya. Di dalam surat tersebut beliau berkata: “Ibnu Wahbin adalah orang yang alim.”
Ibnu Abdil Hakam berkata: “Ibnu Wahbin adalah murid Imam Malik yang teguh dengan madzhabnya, lebih alim daripada Ibnu Qasim, hanya saja karena sifat kewiraiannya ia tidak mau untuk memberikan fatwa kepada orang-lain."
Imam Asbag berkata: “Ibnu Wahbin adalah salah satu murid Imam Malik yang lebih alim tentang hadits nabi. Hanya saja ia suka meriwayatkan hadits dari orang-orang yang lemah dalam urusan hadits.”
Beliau lahir pada tahun 125 H. Wafat di mesir pada tahun 197 H.
K e d u a : Abdurrahman bin Qasim. Ia belajar kepada Imam Malik, Imam Laits, Imam madisyun, Imam Muslim bin Kholid dan lain-lain. Ia datang ke madinah untuk belajar kepada Imam Malik, setelah 10 tahun ia belajar kepada Ibnu Wahbin. Ia tidak suka mencampuri pendidikannya dengan ilmu yang sudah didapatkan dari Imam Malik, hingga ia terkenal salah satu murid Imam Malik yang fanatis dengan pendapat-pendapatnya.
Menurut satu riwayat, Imam Malik pernah ditanya seorang tentang Ibnu Wahbin dan Ibnu Qasim. “Ibnu Wahbin orang yang alim. Ibnu Qasim orang yang alim fiqh.” Imam Malik menjawab. Ia lahir pada tahun 155 H. wafat di Mesir tahun 224 H.
K e t i g a : Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qaisi Al-‘Amiri. Ia belajar ilmu hadits kepada Imam Malik, Imam Laits dan ulama’-ulama lain. Dan belajar ilmu fiqh kepada ulama’-ulama’ madinah dan mesir.
Imam Syafi’i pernah menjelaskan tentang keadaannya, saya belum pernah melihat seseorang yang lebih pandai dengan hukum-hukum agama daripada Imam Asyhab. Ia setelah menjadi orang alim lalu menjabat selaku kepala urusan agama islam di mesir pada masa setelah ibnu qasim.
Ibnu Sahm pernah ditanya tentang Ibnu Qasim dan Imam Asyhab. “keduanya seperti dua kuda yang saling berpacu, kadang Ibnu Qasim menang, Asyhab kalah, kadang-kadang Qasim kalah, Asyhab menang[5]”Ibnu Qosim menjawab.
K e e m p a t : Abu Hasan Ali Ziyad Al-Tunisi. Ia belajar kepada Imam Malik, Ibnu Uyainah, Imam Tsauri, Ibnu Laits dan imam lainnya. Setelah ia menjadi orang alim besar di mekkah dan tidak ada tandingannya pada masa itu, maka ia dikenal sebagai orang yang sangat pandai tentang hukum-hukun agama di negerinya. Ia salah satu guru Imam Syahnun, Imam Asad, dan lainnya.
Imam syahnun tidak pernah mengemukakan seorang alim besar di afrika selain Ali bin Ziyad (gurunya). Para ulama’ di negeri Qairuwan jika ada pertikaian pendapat tentang hukum agama datang berduyun-duyun untuk meminta keputusan yang tepat kepadanya. Akhirnya beliau wafat pada tahun 183 H.
[1] Thabaqat al-Kubra hlm…: Tarikh tasri’ hlm….
[2] Madkholul fiqih hal 165
2.Ulama’ malikiyyah mengklasifikasikan tradisi (amaliah) ahli madinah menjadi tiga bagian.
a. Amaliah yang telah disepakati bersama tanpa ada satupun dari mereka yang beda.
b. Amaliah yang telah disepakati mereka akan tetapi dari salah satu mereka ada yang berbeda, dua bagian ini oleh imam malik sering diungkapkan dengan kata-kata:
السنة لا اختلا ف فيها عند نا
c. Amaliah yang telah menjadi perselisihan mereka bersama. Pada bagian yang pertama merupakan hujjah menurut semua ulama’ yang menjadikan ijma’ sebagai hujjah. Dan bagian kedua dan ketiga menjadi polemik dari malikiyyah dan lainnya tentang boleh dan tidaknya dijadikan hujjah.
3 Istihsan adalah
[3] madholul fiqih hal 166
[4] madholul fiqih hal167
[5] tarikh tasyri’ hal 243. madkholul fiqih hal 172
0 komentar:
Posting Komentar