Senin, 20 Februari 2012

Tafsir, Ta’wil dan Terjemah

Disusun oleh :
Moh. Duhri
 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
      Al-Qur’anul karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, mengandumg hal-hal yang berhubungan denganm keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluq individu ataupun sebagai makhluq sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
      Al-Qur’anul karim dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya,  dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits nabi muhammad SAW, dan ada yang di serahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
      Dan tafsir al-Qur’an berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menympang dari hukum-hukum agama.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah materi kulasi ini adalah :

a. Untuk mengetahui Pengertian Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah

b. Untuk mengetahui Klasifikasi Tafsir
c. Untuk mengetahui Kaidah-kaidah Tafsir

C. Tujuan Penelitian

a. Agar dapat menfetahui Pengertian Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah

b. Agar dapat mengetahui Klasifikasi Tafsir
c. Agar dapat mengetahui Kaidah-kaidah Tafsir

E. Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti :
1)                   Untuk dijadikan sebagai sumbangan pemikiran pada semua pihak.
2)                   Untuk menjadi salah satu koleksi pengetahuan di dalam otak yang mudah-mudahan bermanfaat.
Bagi Pembaca :
Dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan dapat menumbuhkan suatu ide tertentu.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah

a. Tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti wazan “Taf’il”, berasal dari akar kata Al-fasr yang berarti menjelaskan menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “Daraba-Yadribu”dan “Nasara-Yansuru”. Dikatakan: fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru fasran”
Sebagian ulama berpendapat, kata tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari “safara” yang juga berarti menyingkap (al-khasyf).
Tafsir menurut istilah para ulama banyak memberikan komentar, antara menurut Abu Hayyan:
علم يبحث فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن، ومدلولاتها ، وأحكامها الإفرادية، والتركيبية، ومعانيها التي يحمل عليه حالة التركيب، وتتمات ذلك.
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz al-qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika tersusun, dan makna–makna yang di mungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Kemudian, Abu Hayyan menjelaskan dengan terperinci yaitu:
·        “ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz - lafaz al-qur’an, mengacu kepada ilmu dirasat.
·        “Petunjuk-petunjuknya “ adalah pengertian yang di tunjuk pada lafaz-lafaz itu.
·        “ hukumnya” baik ketika berdiri sendiri atau ketika tersusun.meliputi: ilmu saraf, ilmu I’rab, ilmu bayan, dan ilmu budi.
·        “makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun“ meliputi kata hakiki dam majazi. Sebab terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makna, tapi untuk membawa ke makna lahir tersebut terdapat penghalang sehingga tarkib itu mesti dibawa ke makna yang lain (majaz).
·        “yang melengkapinya “ mencakup pengetahuan tentang nash, sebuah nuzul, kisah-kisah yang terdapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-quran dan lainnya.
Menurut Azarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
b. Ta’wil
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Kata takwil diambil dari kata awwala-yu’awwilu-takwilan. Al-Qathan dan al-Jurjani berpendapat bahwa arti takwil menurut lughat adalah ar-ruju’ ila al-ashl (kembali pada pokoknya). Adapun arti bahasanya menurut az-Zarqani adalah sama dengan arti tafsir.

Adapun mengenai arti takwil menurut istilah, banyak para ulama memberikan pendapatnya, antara lain berikut ini :
a. Menurut al-Jurzani berikut ini :
صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله، إذا كان المحتمل الذي يراه موافقاً للكتاب والسنة.
Artinya : “ memalingkan suatu lafadh dari makna dhahirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-Kitab dan as-Sunnah”.
b. Menurut ulama salaf :
1. Menafsirkan dan menjelaskan sesuatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan lahirnya ataupun bertentangan. Definisi takwil seperti ini sama dengan definisi tafsir. Dalam pengertian ini, ath-thabari menggunakan istilah takwil di dalam kitab tafsirnya.
2. Hakekat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.
c. Menurut ulama khalaf :
صرف اللفظ عن المعنى الراجح إلى معنى المرجوح لدليل يقتن به
Ringkasnya, pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafadh-lafadh (ayat-ayat) al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafdh itu. Dengazn kata lin, takwil berarti mengartikan lafdh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Dalam penggunaan secara masyhur, takwil kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.

c. Terjemah
Terjemah berasal dari bahasa arab yang berarti memindahkan makan lafal ke dalam bahasa lain. Menurut pengertian istilah ‘urfi’: terjemah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa kedalam bahasa lain dengan kata lain terjemah ialah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
a. Pembagian terjemah
a)   terjemah harfiyah/lafdhiyyah/musawiyah, yaitu yang kata perkatanya sangat terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama, sehingga seakan-akan hanya menggantikan makna kata-kata itu pada urutan dan tempatnya masing-masing secara sama.
b)  terjemah tafsiriyah/ maknawiyyah, yaitu terjemah yang mengungkapkan makna kedalam bahasa kedua yang perkatanya tidak terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama. Terjemah ini dinamakan terjemah tafsiriyah karena dalam mengungkapakan makna yang dimaksud dengan hampir nenyerupai tafsir.
b. Syarat-syarat terjemah
Ada empat yang harus diperhatikan dalam menterjemah, yaitu:
1.      benar-benar mengetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek bahasa yaitu bahasa pertama dan kedua
2.      mengetahui tentang pola kalimat dan cirri-ciri khas kedua bahasa
3.      terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa pertama dengan mantap
4.      bahasa terjemah seharusnya benar-benar murni, artinya bahawa terjemahan harus benar-benar memindah makna bahasa pertam kebahasa lain.
d. Perbedaan Tafsir Dan Ta’wil
Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan tafsir adalah lebih umum daripada ta’wil, sehingga ta’wil hanya memberikan kefahaman secara cepat sedangkan tafsir memberikan kefahaman secara mutlak baik dengan cepat atau tidak.
Segagian lagi berpendapat bahwa tafsir mencakup memperjelas ta’wil, sehingga :
NO
TAFSIR
TAKWIL
1.
Pemakaiannya banyak dalam lafadh-lafadh dan mufrodat
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2.
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits shahih
Kebanyakan diistimbat oleh para ulama
3.
Banyak berhubungan dengan riwayat
Banyak berhubungan dengan dirayat
4.
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat
5.
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki
Menerangkan hakikat yang dikehendaki
e. Perbedaan tafsir dengan terjemah
Perbedaan tafsir dengan terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tafsiriyah antara lain:
1.      pada terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya
2.      pada terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3.      pada terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4.      pada terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan terjemahan,sejau ia telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama kebahasa terjemah,sedangkan tafsir tidak.
B. Klasifikasi Tafsir
1.  Klasifikasi Tafsir Al-Qur'an Ditinjau Dari Sumber Penafsirannya.
Adapun klasifikasi tafsir Al-Qur'an ditinjau dari sumber penafsirannya dapat dibagi menjadi:
a. Tafsir bi al-Matsur
Sebagaimana dijelaskan al-farmawi, tafsir bi al-ma’tsur (disebut pula abi ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-Qur’an, Rasul, para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. Jadi, bila merujuk pada definisi di atas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur.
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [البقرة/187]
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ  [لقمان/13]
Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
Kitab-kitab yang bercorak bil ma’tsur diantaranya :
1) Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran karya Ibnu Jarir At-Tabari (w.310/923)
2)  Ma’alimut Tanzil karya Al-Baghawi (w.685/1286)
3) Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsir bil Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Suyuti (w.911/1505)
4) Tanwirul Miqbas Fi Tafsir Ibnu Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
5) Tafsirul Quranul ‘Adzim karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
Keistimewaan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
3) Mengikat mufasir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Kelemahan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir
2) Masuknya unsur israiliyat (unsur Yahudi dan Nasrani kedalam penafsiran Al-Quran)
3) Penghilangan sanad
4) Mufasir terjerumus dalam uraian kebahasan/sastra hingga pokok Al-Quran tidak jelas
5) Konteks asbabun nuzul ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh mansukh)

b. Tafsir bi ar-Rayi
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad). Analogi (qiyas), dan ijtihad.) dan ra’yi dalam terminologi tafsri adalah ijtihad.) dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi (disebut juga tafsri bi ad-dirayah)  sebagaimana didefinisikan Husen adz-Dzahabi- adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir yang telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul, naskh-mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsri bi ar-Ra’yi sebagai penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan tafsir bir Ra’yi, yaitu :
1. Kelompok yang melarang, alasannya :
1) Membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan
2) Yang berhak menjelaskan hanya Nabi
3) Adanya tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Quran
2. Kelompok yang mengizinkan, alasannya :
1) Seruan mendalami kandungan Al-Quran ( An-Nisaa’, 3 : 82)
2) Bila tafsir bir ra’yi dilarang, kenapa ijtihad dibolehkan.
3) Sering berselisih pendapat mengenai penafsiran ayat
4) Rasul mendoakan Ibnu Abbas agar paham terhadap agama.
Corak Tafsir Bir Ra’yi dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Bir ra’yi yang diterima, syaratnya :
1) Tidak memaksakan diri untuk mengetahui makna
2) Tidak menafsirkan ayat yang maknanya otoritas Allah
3) Tidak menafsirkan dengan hawa nafsu
4) Tidak menafsirkan untuk mendukung suatu mazhab
5) Tidak menafirkan inilah maksud ayat ini
Kitab-kitab yang bercorak Bir Ra’yi diantaranya :
1) Mafatihul Gaib karya Fakhrur Razi (w. 606 H)
2) Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil karya Al-Baidhawi (w.691 H)
3) Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Takwil karya An-Nasafi (w. 701 H)
4) Lubabut Takwil fi Ma’anit Tanzil karya Al-Khazin (w. 741 H)
2. Bir ra’yi ditolak
Yaitu tafsir bi ra’yi yang tidak memenuhi syarat di atas.

c. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً [البقرة/67]
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain:

2.  Klasifikasi Tafsir Al-Qur'an ditinjau dari segi sasaran dan tartib yang ditafsirkan
Klasifikasi Tafsir ditinjau dari segi sasaran dan tartib yang ditafsirkan dapat dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.
a. Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga*mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
b. Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
c. Muqarin (Komparasis)
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
d. Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

3. Klasifikasi tafsir Al-Qur’an ditinjau dari corak keilmuan
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.
Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :
a.       Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini. Contohnya al-Wahidy dalam bahasa al-Basatin dan Abu Hayyan dalam Bahrul Muhith.
b.      Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka. Contoh Fakhruddin ar-Razy dalam Mafatihul Ghaib dan az-Zamakhsyary dalam al-Kasysyaf.
c.       Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Contohnya Ghazi Muhammad Mukhtar Basya dalam Sara-irul Qur’an (1898) yang bercorak ilmu falak.
d.      Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Contohnya al-Qurtuby dalam al-Jam’ lil Ahkamil Qur’an dan lukya al-Harasiy dalam Ahkamil Qur’an.
e.       Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf. Contohnya Ibnu ‘Araby oleh Muhyiddin bin ‘Araby.
f.        Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar. Contohnya za-Zamakhsyary dalam Al-Kasysyaf dan al-Baidlowy dalam Anwarut Tanzil.
g.       Sejarah, contohnya ats-Tsa’laby dalam Al-Khazin dan Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.

Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Diantara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

C. Kaidah Tafsir dan Macam-macamnya
a. Pengertian Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua partikular.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya, usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain, seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..
Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan oleh Manna al-Qattan.
Karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah ini juga beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, tampaknya kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Macam-Macam Kaidah Tafsir
Kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.
1. Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharaf (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
a). Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
Ø Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
Ø Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
Ø Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b). Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
Ø  Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
Ø   Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
Ø   Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
Ø   Ta’rif dengan ism al-mausul berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
Ø   Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
c). Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Ø       Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
Ø       Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
Ø       Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
Ø       Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d). Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Ø       Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
Ø       Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.
e). Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
Ø   al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
Ø   al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
f). Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
g). Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
Ø Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
Ø Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib (Q.S. 62:9)
Ø Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.
3. Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah.
Misalnya ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan perincian yang lain.
Rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para mufasir modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang bisa dikonsumsi masyarakat saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan para mufasir sebelumnya.
Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:
a). Memetakan masalahmasalah dalam al-Qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan nalar.
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an
b). Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i al-Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
c). Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran
Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
4 . Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
·         Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
·         Fazlur Rahman
Metode tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah metode gerakan ganda.
Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang.
Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

 

Dari uraian pembahasan yang telah lewat dapat disimpulkan :
a. Tafsir lebih umum daripada ta’wil dan beda halnya dengan terjemah yaitu menyalin bahasa al-Qur’an kedam bahasa selain arab.
b. Klasifikasi Tafsir
Klasifikasi tafsir secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Klasifikasi Tafsir Al-Qur'an Ditinjau Dari Sumber Penafsirannya.
a. Tafsir bi al-Matsur
b. Tafsir bi ar-Rayi
c. Tafsir Isyari
2. Klasifikasi Tafsir Al-Qur'an ditinjau dari segi sasaran dan tartib yang ditafsirkan
a. Metode Tahlili (Analitik)
b. Metode Ijmali (Global)
c. Metode Muqarin (Komparasis)
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
3. Klasifikasi tafsir Al-Qur’an ditinjau dari corak keilmuan
a.       Sastra Bahasa
b.      Filsafat dan Teologi
c.       Penafsiran Ilmiah
d.      Fikih
e.       Tasawuf
f.        Sastra Budaya Kemasyarakatan
g.       Sejarah

C. Kaidah Tafsir dan Macam-macamnya
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an.  Dan dapat dibagi menjadi :

a. Kaidah Dasar Tafsir
b. Kaidah Umum Tafsir
c. Kaidah Khusus Tafsir
d . Kaidah Penafsiran Kontemporer

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005
Ash-Shidiqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang Jakarta,1980
As suyuti Jalaluddin. al-Itqon Fi Ulum al-Quran, Dar al-Fikri. Beirut.
Az-Zarqani, Muhammad. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir.
Hamzah, Muchotob. Studi al-Qur’an komprehensif. Jakarta, Gama Media, 2003

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls