BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam menegaskan bahwa sebelum melakukan beberapa ibadah tertentu, terutama shalat disyaratkan harus suci terlebih dahulu, baik suci pada pada diri orong yang melakukan ibadah itu sendiri ( suci dari hadas ) atau suci pada tempat dan pakaian yang dia kenakan saat melaksanakan ibadah tersebut ( suci dari najis ). Hal ini disyariatkan karena Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu suci dan senantiasa membersihkan diri baik lahir maupun batin. Bahkan dalam hadits shahih disebutkan bahwa kesucian merupakan separoh iman.
Kebersihan ( kesucian ) sangat erat kaitannya dengan ibadah yang paling agung dalam Islam yaitu shalat. Shalat merupakan dialog rohani antara seorang hamba dengan Tuhannya. Oleh sebab itu, kesucian merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat. Disamping itu, telah ada keterangan hadist yang menyebutkan bahwa kunci dari pada shalat adalah harus suci.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang terkemuka diatas, maka penulis mencoba untuk mengetengahkan satu ringkasan yang memuat seputar thaharah atau bersuci. Walaupun tulisan ini sederhana, namun penulis tetap berusaha untuk menyertakan dalil nash ataupun pendapat ulama yang sudah disepakati atau yang diperselisihkan yang menjadi landasan dasar atas apa yang telah penulis sampaikan.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari sajian ini yang tentunya tidak lepas dari rumusan masalah yang penulis utarakan sebelumnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bahwa thaharah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan sebelum melaksanakan sebagian ibadah tertentu.
2. Mengetahui segala masalah seputar thaharah yang umumnya masih belum banyak dimengerti oleh sebagian masyarakat awam.
3. Mengamalkan apa saja yang telah dimengerti dari ringkasan ini
BAB II
FIQIH
A. Pengertian dan fungsi mata pelajaran Fiqih
Pengertian fiqih secara harfiah artinya adalah mengerti/faham/mendalami. Pengertian ini sesuai dengan yang telah tercantum dalam Al-Qur'an. Allah berfirman :
فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين (التوبة : 122)
Artinya: Semestinya ada beberapa orang dari setiap kelompok yang tidak pergi (menetap)
untuk memperdalam agama.
Dan Nabi Muhammad S.A.W bersabda :
من يردالله به خيرا يفقهه فى الدين
Artinya: Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka dia akan diberi kefahaman dalam urusan agama
Dalam ayat dan hadis di atas terdapat kata yang tercetak dari mashdar "tafaqquh". Kata tersebut tidak lain adalah yang dimaksud dengan istilah fiqih yang berarti mendalami atau memahami, namun pengertian ini hanya dari sisi harfiah saja.
Pengertian secara etimologi sebagaimana yang disampaikan Syaikh Abu Bakr ibnu Muhammad Syatha, fiqih adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum syar'i yang terkait erat dengan amaliah/perbuatan manusia sehari-hari, dan penetapan hukum ini berdasarkan dalil nash al'Qur'an dan Hadits yang dikupas secara mendetail dan terperinci.
Mengenai fungsinya, fiqih
B. Tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Fiqih
BAB III
Thaharah (Bersuci)
A. Pengertian Thaharah
Pengertian thaharah secara harfiah artinya adalah bersih atau suci dari segala kotoran, baik berupa kotoran dzahir (kongkrit) seperti najis dan yang lain ataupun kotoran yang bersifat ma'nawi (abstrak) seperti halnya perbuatan maksiat. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman :
فيه رجال يحبّون ان يتطهّروا والله يحبّ المطّهّريـن ( التوبة : 108 )
Artinya : "Di dalamnya (masjid Quba') ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih" ( QS. At-Taubah 108 )
Sedang thaharah menurut istilah syara' adalah menghilangkan hal-hal yang menjadi penghalang untuk melakukan sholat yang berupa hadas atau najis dengan menggunakan air atau debu.[1]
Dengan pengertian lain yang disampaikan oleh As-Syaikh Muhammad Ibnu Qosim, thaharah menurut syara' adalah mengerjakan sesuatau yang menyebabkan seseorang diperbolehkan untuk melakukan shalat seperti menghilangkan hadas dan najis.[2]
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa thaharah atau bersuci itu ada dua macam,. Pertama bersuci dari hadas, yang hal ini hanya tertentu pada badan. Kedua bersuci dari najis. Pada bagian yang kedua ini yang menjadi obyeknya adalah badan, pakaian dan juga tempat. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
وثيابك فطهّـر ( المدثر : 4 )
Artinya : "Dan pakaianmu bersihkanlah"
أن طهّـرا بيتي للطّائفين والعاكفين والرّكّع السّجود ( البقرة : 125 )
Artinya : "Hendaknya kamu berdua ( Ibrahim dan Isma'il ) menyucikan rumahKu untuk orang-orang yang berthawaf, yang ruku', yang i'tikaf dan yang sujud "
Dalam sebuah hadist yang ikut mempertegas perintah bersuci Nabi bersabda :
مفتاح الصلاة الطُّهـور ( رواه ابو داود وابن ماجه )
Artinya : " Kunci shalat adalah suci "
( HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah )
Dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa tata cara menyucikan hadas terbagi pada tiga hal. Pertama adalah mandi, yang berfungsi untuk menyucikan hadas besar. Kedua, menyucikan hadas kecil yang dilakukan dengan cara berwudlu. Ketiga adalah pengganti dari mandi dan wudlu bila keduanya tidak mungkin dilakukan karena adanya udzur atau halangan, yaitu tayamum. Sedangkan menyucikan najis juga diklasifikasikan pada 3 cara yaitu mencuci / membasuh, mengusap dan percikan air pada benda yang terkena najis.[3]
B. Bahan untuk menyucikan
Benda yang dapat menyucikan ada dua macam, yaitu air da debu. Mengenai fungsi air sebagai alat bersuci telah dijelaskan dalam al-Qur'an :
وأنزلنا من السماء ماء طهورا (الفرقان : 48)
Artinya : " Dan telah Kami ( Allah ) turunkan dari langit berupa air sebagai bersuci "
Sedang mengenai fungsi debu, Rasulullah Muhammad saw bersabda :
جعلت لنا الارض كلها مسجدا وتربتها طهورا (رواه مسلم)
Artinya : " Telah dijadikan untuk kita bumi sebagai masjid ( tempat shalat ), dan debunya untuk bersuci "
(HR. Muslim)
Air bisa digunakan untuk menyucikan najis juga hadas. Sedangkan debu hanya untuk tayamum dan campuran air ketika membasuh najis mughallazhah.
C. Macam-macam Air
Ditinjau dari segi kegunaan sebagai sarana bersuci ( thaharah ), air terbagi menjadi empat macam :
1. Air suci yang bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan.
Dalam kitab-kitab fiqih, air jenis ini bisaa disebut dengan "air mutlak", yakni air suci yang tidak memiliki qayyid permanen (embel-embel / batasan yang mengikat), juga tidak tercampur oleh benda lain sehingga dapat mengubah nama atau status air tersebut. Maksud dari qayyid permanen yang bisa menghilangkan ke-mutlaq-an air disini adalah nama tambahan yang tidak bisa terlepas.
Air yang bisa masuk dalam kategori ini adalah tujuh macam air yang keluar dari perut bumi atau yang turun dari langit (air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es atau salju, dan air embun.). Tujuh macam air di atas hukumnya suci, bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan, asal tidak termasuk dalam 3 kategori air yang akan diterangkan berikutnya.
2. Air suci yang tidak bisa menyucikan.
Yang masuk dalam kategori ini adalah :
a. Air musta'mal, yaitu air yang sudah digunakan, yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Air ini hanya bisa digunakan untuk kebutuhan selain bersuci, seperti minim, memasak dan lain sebagainya[4]
b. Air buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan semacam air kelapa dan air semangka.
c. Air mutlak yang tercampur benda suci yang larut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan mencolok pada sifat air. Jika perubahannya hanya sedikit maka tetap bisa menyucikan.
Yang tidak masuk dalam kategori ini (bisa menyucikan) adalah :
a. Air yang berubah karena terlalu lama diam.
b. Air yang berubah sifatnya karena tertular oleh benda yang mendampinginya, misalnya air yang berbau busuk karena di dekat air itu ada bangkai.
c. Air yang berubah disebabkan benda yang terendam (mujawir) di dalam air asal benda itu dan tidak larut dan bisa dibedakan dari airnya dengan mata telanjang.
d. Air yang yang berubah sebab tercampur benda yang memang lazim bersinggungan dengan air, semisal debu dan lumut.
Empat kategori ini masih tetap bisa menyucikan meskipu terjadi perubahan mencolok pada bau, warna maupun rasa dari air itu.
3. Air suci dan dapat menyucikan namun makruh digunakan.[5]
Air ini makruh digunakan karena efek negatif yang ditimbulkan, yaitu air yang panas karena terkena sinar matahari dan wadahnya terbuat dari bahan yang dicetak dengan menggunakan api, seperti besi dan sejenisnya. Begitu juga makruh, menggunakan air yang terlalu panas dan terlalu dingin. Hukum makruh tersebut tidak berlaku bila airnya sudah dingin.
4. Air Najis.
Yang dimaksud di sini adalah air yang terkena najis. Air bisa menjadi najis karena dua kemungkinan. Pertama, jika airnya banyak (mencapai dua qullah) lalu terkena najis, maka air tersebut menjadi najis apavila terjadi perubahan pada salah satu sifatnya. Bila tidak terjadi perubahan sama sekali maka tetap suci. Kedua, jika airnya sedikit, kemudian terkena najis, baik terjadi perubahan sifat atau tidak.
Air bisa disebut sedikit apabila tidak mencapai dua qullah. Mengenai ukuran dua qullah masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Menurut Imam Nawawi dua qullah = 174,580 liter ( ukuran wadah bersegi empat = 55,9 cm ), menurut Imam Rafi'i = 176,245 liter (ukuran wadah bersegi empat = 56,1 cm ) [6]
C. Pengertian Najis dan Klasifikasinya
Najis menurut bahasa adalah segala sesuatu yang menjijikkan. Sedang menurut istilah syara' adalah setiap benda yang haram untuk digunakan / dimakan secara mutlak (kecuali dalam keadaan terpaksa ) bukan karena menjijikkan. Ulama ahli fiqih membagi najis pada dua bagian yaitu, najis hukmiyah dan najis hakikiyah / ainiyah. Najis hakikiyah adalah najis yang mempunyai bentuk (berbentuk benda), rasa, warna atau bau. Sedang najis hukmiyah adalah najis yang tidak mempunyai bentuk, rasa, warna ataupun bau seperti air kencing yang sudah mongering dan tidak didapati adanya sifat pada air kencing yang sudah kering tersebut.[7] Dilihat dari sisi lain najis juga terbagi menjadi tiga macam: najis mughallazhah (berat), najis mutawassithah (sedang), dan najis mukhaffafah (ringan).
1. Najis Mughallazhah
Najis mughallazhah adalah najis berat. Yang masuk pada najis jenis ini adalah anjing, babi dan binatang yang terlahir dari keduanya (perkawinan silang antara anjing dan babi), atau keturunan silang dengan hewan lain yang suci.
Cara menyucikan najis mughallazhah adalah membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu dari basuhan itu dicampur dengan debu yang suci. Benda dan sifat najis harus sudah hilang pada saat basuhan pertama. Jika tidak maka harus diulang-ulang sampai hilang, baru dilanjutkan dengan basuhan kedua.
2. Najis Mukhaffafah
Najis mukhaffafah adalah najis yang ringan. Yang masuk dalam kategori inihanyalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu ibu dan belum mencapai umur dua tahun. Cara menyucikan najis mukhaffafah cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis, setelah menghilangkan benda dan sifat najisnya.
3. Najis Mutawassithah
Najis mutawassithah adalah najis yang sedang. Yang masuk dalam kategori ini adalah selain kedua najis yang telah terurai diatas. Najis mutawassithah berjumlah 15, yaitu :
1.Setiap benda cair yang memabukkan. 2.Air kencing bayi perempuan dibawah umur dua tahun yang masih hanya minum air susu ibu. 3.Madzi. 4.Wadi. 5.Kotoran manusia 6.Kotoran hewan 7.Air luka yang berubah baunya 8.Nanah 9.Darah 10.Air empedu 11.Muntahan 12.Kunyahan hewan yang keluar dari perutnya 13.Air susu hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya 14.Semua bagian tubuh dari bangkai, kecuali bangkai ikan, belalang dan jenazah manusia. 15.Organ hewan yang terpotong ketika masih hidup, kecuali bulu hewan yang boleh dimakan.
Cara menyucikan najis mutawassithah bila tergolong najis ainiyah (bisa ditangkap oleh indera) adalah dengan membasuh najis tersebut sampai benda dan sifatnya hilang. Namun bila tergolong najis hukmiyah maka caranya adalah dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis.[8]
BAB IV
WUDLU
Sebelum melaksanakan shalat, seseorang harus suci dari hadas. Hadas terbagi pada dua macam yaitu, hadas besar dan hadas kecil. Yang tergolong dalam hadas kecil adalah hal-hal yang dapat membatalkan wudlu. Hadas kecil bisa dihilangkan dengan berwudlu.
Dalil yang menjelaskan mengenai kewajiban wudlu sebelum shalat adalah firman Allah :
ياأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين ( المائدة : 6 )
Artinya : "Wahai sekalian orang yang beriman, bila kamu berdiri akan melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikut, dan usaplah kepalamu, dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….."
( QS. Al-Maidah : 6 )
Rasulullah saw bersabda :
لايقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ ( رواه البخارى )
Artinya : "Allah tidak akan menerima shalatnya seseorang yang hadas sehingga orang itu mengambil wudlu ".
(HR. Bukhori)
A. Rukun Wudlu
Rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam wudlu. Rukun wudlu ada enam.
1. Niat.
Yaitu bermaksud melakukan sesuatu pada saat memulainya. Niat ini dilakukan bersamaan dengan membasuh muka.
2. Membasuh wajah .
Batas wajah yang harus dibasuh, dari atas kebawah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut hingga kedua tulang dagu. Sedangkan kesamping adalah antara telinga kanan sampai telinga kiri.
3. Membasuh kedua tangan.
Bagian tangan yang harus dibasuh adalah dari ujung jari-jari sampai dengan siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
Dalam mengusap sebagian kepala seseorang boleh memilah rambut yang diinginkan (depan, belakang atau pinggir) asalkan masih dalam lingkup kepala.
5. Membasuh kedua kaki
Batas membasuh kedua kaki adalah sampai mata kaki
6. Tartib (berurutan).
Maksudnya adalah mengerjakan rukun-rukun wudlu secara berurutan seperti yang disebutkan diatas.
B. Sunnat-sunnat Wudlu
Untuk mencapai kesempurnaan wudlu, maka di samping melakukan rukun juga hendaknya mengerjakan sunnat-sunnatnya. Sunnat-sunnat wudlu adalah sebagai berikut :
1. Membaca Basmalah bersamaan membasuh telapak tangan sebelum wudlu..
2. Membasuh dua telapak tangan.
3. Berkumur.
4. Menghirup air ke dalam hidung (istinsyaq)
5. Mengusap semua kepala.
6. Mengusap kedua telinga dan dua lubang telinga.
7. Menyelat-nyelati jenggot yang tebal.
8. Menyelat-nyelati jari-jari tangan dan juga kaki.
9. Membasuh / mengusap anggota wudlu sebanyak tiga kali.
10. Mendahulukan anggota wudlu yang kanan.
11. Terus menerus.[9]
C. Hal-hal yang dapat membatalakan Wudlu
1. Keluarnya sesuatu dari lubang kemaluan atau dubur (anus/lubang pantat) kecuali mani, sebab keluarnya mani menyebabkan wajibnya mandi yang statusnya lebih besar disbanding wudlu.
2. Tidur dalam posisi yang tidak menetapkan pantat pada tempat duduk (bergoyang)
3. Hilangnya akal yang disebabkan karena mabuk, sakit, gila, epilepsi dan lain sebagainya.
4. Persentuhan kulit dengan lain jenis yang bukan mahram dan keduanya sudah pada batasan usia dewasa. Maksud dari dewasa di sisni adalah sudah sampai pada batas usia disyahwati bagi orang yang memiliki watak normal. Sedang penjelasan mengenai mahram secara luas bisa dilihat pada bab munakahat.
5. Menyentuh kemaluan atau dubur manusia dengan telapak tangan bagian dalam.[10]
BAB V
MANDI (BERSUCI DARI HADAS BESAR)
Mandi yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah mandi untuk menghilangkan hadas besar, bukan mandi biasa yang kita lakukan untuk membersihkan atau menyegarkan tubuh. Dasar dari kewajiban mandi, di antaranya adalah firman Allah :
وإن كنتم جـنبا فاطّهّـروا (المائدة : 6)
Artinya : "dan jika kalian junub maka mandilah"
Rasulullah saw bersabda :
الطهور شطر الايمان (رواه مسلم)
Artinya :''Bersuci merupakan sebagian dari iman"
A. Hadas Besar
Orang yang sedang hadas besar diwajibkan mandi apabila hendak melakukan sesuatu yang disyaratkan suci. Sseorang bias menyandang hadas besar apabila :
1. Bersetubuh.Yang dimaksud bersetubuh adalah masuknya (penetrasi) dzakar kedalam vagina walaupun tidak mengeluarkan air mani.
2. Kelur mani (sperma). Mani adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan ketika mengalami ejakulasi. Biasanya, keluarnya mani ditandai dengan muncrat, ras nikmat dan berbau anyir.
3. Haid (menstruasi), yaitu darah yang keluar dari vagina pada waktu sehat dan mencapai umur haid (9 tahun atau lebih)
4. Nifas, yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan setelah melahirkan..
5. Melahirkan
6. Matinya orang Islam (selain mati syahid)
Selain yang disebutkan diatas, yang juga menyebabkan wajib mandi adalah melahirkan.
B. Rukun-rukun Mandi
Rukun mandi hanya ada dua, yaitu :
1. Niat, yaitu bermaksud menghilangkan hadas besar di awal membasuh anggota tubuh. Adapun lafal niat sebagai berikut.
نويت الغسل لرفع الحدث الاكبر فرضا لله تعالى
2. Menghilangkan najis yang terdapat pada tubuh (jika memang terdapat najis)
3. Meratakan air keseluruh bagian tubuh. Jangan sampai ada yang menghalangi sampainya air pada anggota tubuh semisal kotoran di bawah kuku atau cat.
C. Sunnat-sunnat Mandi
Hal-hal yang disunnatkan dalam mandi besar sbagai berikut :
1. Membaca Basmalah
2. Berwudlu sebelumj mandi
3. Membasuh kotoran yang menempel pada tubuh dengan menggosokkan kedua tangan sebatas kemampuan (jangkauan)
4. Berkesinambungan (muwalah)
5. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari pada yang kiri
D. Larangan Bagi Penyandang Hadas Besar (Junub)
Hal-hal yang haram dilakukan bagi orang yang sedang hadas besar (junub) adalah :
1. Melakukan shalat dan yang searti dengan shalat seperti sujud sahwi dan sujud tilawah
2. Melakukan thawaf (mengelilingi ka'bah)
3. Menyentuh Mushaf (al-Qur'an)
4. Membaca al-Qur'an walaupun hanya sebagian ayat. Hukum haram ini berlaku jika memang bermaksud mambaca al-Qur'an. Bila tujuannya adalah semisal dzikir, berdo'a atau ingin mengharap berkah, maka tdak diharamkan.
5. Membawa mushaf.
6. I'tikaf (diam) di dalam masjid.
Enam larangan di atas berlaku umum (untuk laki-laki dan perempuan yang sedang hadas besar). Bagi perempuan yang sedang haid atau nifas, maka ada beberapa larangan tambahan sebagai berikut :
1. Berpuasa, baik puasa sunnat maupun puasa fardlu
2. Melintasi masjid jika khawatir darahnya akan menetes mengotori masjid
3. Bersuci dari hadas (seperti mandi dan wudlu) atau bersuci untuk melakukan ibadah.
4. Dicerai. Haramnya cerai ini sarananya adalah suami.Jadi, suami dalarang mencerai istrinya yang sedang haid. Sebab hal itu akan menyengsarakan pihak istri dengan bertambahnya masa iddah.
5. Melakukan hubungan seksual (bersenang-senang) di bagian tubuh antara pusar dan lutut tanpa adanya penghalang.
BAB VI
TAYAMUM
A. Pengertian Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah menyengaja. Sedang menurut syara' adalah menyampaikan (mengusapkan) debu pada wajah dan kedua tangan sebagai ganti dari wudlu atau mandi atau membasuh anggota wudlu dan mandi.
Dasar dari kewajiban tayamum adalah firman Allah dalam al-Qur'an :
وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أولامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه (المائدة : 6 )
Artinya : "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat membuang air besar atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci). Maka usapalah wajahmu dan tanganmu (dengan memakai debu yang suci) ".
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Muslim Nabi saw bersabda :
جعلت لنا الارض كلها مسجدا وتربتها طهورا (رواه مسلم)
Artinya : " Telah dijadikan untuk kita bumi sebagai masjid ( tempat shalat ), dan debunya untuk bersuci " [11]
(HR. Muslim)
B. Syarat-syarat Tayamum
Syarat-syarat tayamum ada lima perkara :
1. Ada halangan untuk menggunakan air. Hal ini bias terjadi karena beberapa sebab diantaranya : 1) tidak menemukan air, 2) sakit, 3) ada air tetapi dibutuhkan untuk yang lebih penting semisal minum.
2. Masuk waktu shalat. Ini dilakukan karena tayamum merupakan bersucu untuk keadaan darurat. Jika belum masuk waktu shalat maka tidak bias disebut darurat.
3. Melakukan pencarian air setelah masuk waktu shalat, kecuali kalau sudah yaqin tidak ada air atau tayamum karena sakit.
4. Tidak mungkin untuk menggunakan air semisal khawatir akan hilangnya fungsi anggota tubuh bila menggunakan air
5. Menggunakan debu yang suci.[12]
C. Rukun Tayamum
Fardlu tayamum ada lima:[13]
1. Niat. Niat tayamum dilakukan ketika memindah debu. Yaitu setelah menepukkan kedua telapak tangan ke debu dan berlanjut sampai mengusap wajah.
2. Mengusap wajah.
3. Mengusap kedua tangan.
4. Berurutan.[14]
D. Sunat-sunat Tayamum
Sebagaimana syarat, rukun ataupun hal-hal yang membatalkan tayamum, sunat-sunat tayamum juga tak luput dari perkhilafan ulama. Berikut kami sebutkan beberapa hal yang menjadi sunat tayamum :
1. Membaca Basmalah
2. Menghadap kiblat
3. Membaca dua kalimat syahadat
4. Tidak mengulang-ulang dalam mengusap anggota tayamum
5. Mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri
6. Mendahulukan bagian atas dalam mengusap wajah
7. Merenggangkan jari-jari tangan saat melakukan tepukan pada debu
8. Menyelat-nyelati jari-jari tangan setelah mengusap kedua tangan.
9. Melepas cincin pada tepukan pertama yang digunakan mengusap wajah. Pada tepukan untuk mengusap kedua tangan cincin wajib dilepas
10. Menipiskan debu sebelum diusapkan dengan cara dikibaskan
11. Berkesinambungan (muwalah), baik antara rukun satu ke rukun yang lain atau antara tayamum dengan shalat[15]
E. Hal-hal yang Dapat Membatalkan Tayamum
Tayamum menjadi batal karena beberapa perkara:
1. Terjadinya hal-hal yang membatalkan wudlu.
2. Melihat (mengira atau meyakini) adanya air sebelum memulai shalat. Kecuali bila bertayamum karena sakit.
3. Hilangnya udzur (halangan) yang memperbolehkan tayamum semisal sakit yang sudah sembuh
4. Murtad (keluar dari agama Islam)[16]
[4] Maka dari itu, seumpama melakukan wudlu dan airnya kurang dari dua kullah maka hendaklah menggunakan alat ciduk tidak mengambil secara langsung. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian air.
[5] Hukum makruh ini berlaku bila air tersebut digunakan pada anggota badan, tidak pada baju atau yang lain.
[9] Muhammad Ibnu Qosim, Fath al-Qorib, hlm. 5. Mengenai bilangan sunnat-sunnat wudlu sebagian ulama ada yang menyebutkan lebih dari jumlah yang telah dijelaskan dalam kitab fath al-qorib
[11] Ibrohim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri,Maktabah Thoha putra, juz I hlm: 87-88
[12] Mengenai jumlah syarat tayamum terdapat beragam pendapat dikalangan ulama. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya sampai 21 syarat. Lihat Hasyiyah al-Bajuri hlm 88. Penulis hanya menyebutkan 5 syarat sebagaimana yang ada dalam kitab hasyiyah al-Bajuri hlm : 88-91
[13] Ulama juga berbeda pendapat mengenai bilangan rukun tayamum. Lihat kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzab juz II hlm: 233 atau al-Fiqh al-Islami juz I hlm: 582
0 komentar:
Posting Komentar