BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 1 dari 109
BUNG KARNO
PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA
BIOGRAPHY AS TOLD TO CINDY ADAMS
Bab 1
Alasan Menulis Bab ini
TJARA jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang jang
maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan
melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri.
Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas pandjang apabila
menjaksikan pemandangan jang indah. Djiwanja bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia
menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang negro.
Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang seniman."Akan
tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah
seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 djuta
rakjat menjebutku ? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali
kemerdekaan dan hak-azasinja, setelah tiga setengah abad dibawan pendjadjahan Belanda? Kalau tidak
demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi ditahun 1945 dan mentjiptakan suatu Negara
Indonesia jang bersatu, jang terdiri dari pulau Djawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan
Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda ?
Irama suatu-revolusi adalah mendjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki djiwa seorang arsitek.
Dan didalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan djiwa seni. Kepandaian memimpin suatu
revolusi hanja dapat ditjapai dengan rnentjari ilham dalam segala sesuatu jang dilihat. Dapatkah orang
memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia-perasaan dan bukan manusia-seni
barang sedikit ?
Namun tidak setiap arang setudju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang
menjadari, bahwa djalan untuk mendekatiku adalah semata-mata melalui hati jang ichlas. Tidak semua
orang menjadari, bahwa aku ini tak ubahnja seperti anak ketjil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit
simpati jang keluar dari lubuk-hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama-lamanja.
Akan tetapi berilah aku seribu djuta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum,
maka sekalipun ini njawa tantangannja aku akan berkata kepadamu, "Persetan !"
Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu-satunja bangsa didunia jang mempunjai
sedjenis bantal jang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Disetiap tempat-tidur orang Indonesia terdapat
sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal ketjil berbentuk bulat-pandjang jang dinamai
guling. Guling ini bagi kami gunanja hanja untuk dirangkul sepandjang malam.
Aku mendjadi orang jang paling menjenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan,
sirnpati terhadap persoalan-persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menjambutku. Sekalipun ia tak
diutjapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa-tidak-senang itu tidak diutjapkan, aku djuga dapat
merasakannja. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink. Dengan satu perkataan jang lembut, aku
akan melebur. Aku bisa keras seperti badja, tapi akupun bisa sangat lunak.
Seorang diplomat tinggi Inggris masih belum menjadari, bahwa kuntji menudju Sukarno akan berputar
dengan mudah, kalau ia diminjaki dengan perasaan kasih-sajang. Dalam sebuah suratnja belum lama
berselang jang ditudjukan ke Downing Street 10 ia menulis, "Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan,
tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus jang terdesak.
"Suatu utjapan jang sangat bagus bagi seseorang jang telah mempersembahkan seluruh hidupnja kepangkuan
tanah-airnja, orang jang 13 tahun lamanja meringkuk dalam pendjara dan pembuangan, karena ia mengabdi
kepada suatu tjita-tjita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi seperti seekor BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 2 dari 109
tikus ? Djantungku berhenti mendenjut ketika surat itu sampai ditanganku. Ia mengachiri suratnja dengan
mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan jang paling buruk dalam surat-
surat kabar.
"Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekedjap. Kadang-kadang, dilarut
tengah malam, aku menelpon seseorang jang dekat denganku seperti misalnja Subandrio, Wakil Perdana
Menteri Satu dan kataku, "Bandrio, datanglah ketempat saja, temani saja, tjeritakan padaku sesuatu jang
gandjil, tjeritakanlah suatu lelutjon, bertjeritalah tentang apa sadja asal djangan mengenai politik. Dan
kalau saja tertidur, ma'afkanlah." Aku membatja setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun
lagi djam lima pagi. Untuk pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat-tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.
Aku bukan manusia jang tidak mempunjai kesalahan. Setiap machluk membuat kesalahan. Dihari-hari
keramat aku minta ma'af kepada rakjatku dimuka umum atas kesalahan jang kutahu telah kuperbuat, dan
atas kekeliruan-kekeliruan jang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku ialah, bahwa aku selalu
mengedjar suatu tjita-tjita dan bukan persoalan-persoalan jang dingin. Aku tetap mentjoba untuk
menundukkan keadaan atau mentjiptakan lagi keadaan-keadaan, sehingga ia dapat dipakai sebagai djalan
untuk mentjapai apa jang sedang dikedjar. Hasilnja, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakjatku, aku
mendjadi korban dari serangan-serangan jang djahat.
Orang bertanja, "Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu ?" Sudah tentu
aku merasa tersinggung. Aku bentji dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti djuga setiap
manusia lainnja ? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin
disenangi orang. Aku mempunjai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat menjatukan 10.000
pulau-pulau mendjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula jang tidak angkuh ? Bukankah setiap
orang jang membatja buku ini ingin mendapat pudjian ?
Aku teringat akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan jang bertentangan tentang diriku.
Kadang-kadang seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana jang harus dipertjajainja. Jang pertama
berasal dari madjalah "Look". "Look" menjatakan, bahwa rakjat Indonesia semua menentangku. Madjalah ini
memuat sebuah tulisan mengenai seorang tukang betja jang mengatakan seakan-akan segala sesuatu di
Indonesia sangat menjedihkan keadaannja dan orang-orang kampungpun sekarang sudah muak terhadap
Sukarno.
Kusudahi membatja artikel itu pada djam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak berdjalan-
djalan selama setengah djam, seperti biasanja kulakukan dalam lingkungan istana-inilah satu-satunja
matjam gerak badan bagiku seorang pedjabat polisi jang sangat gugup dibawa masuk. Sambil berdjalan
kutanjakan kepadanja, apa jang sedang dipikirkannja."Ja, Pak," ia memulai, "Sebenarnja kabar baik." "Apa
maksudmu dengan sebenarnja kabar baik ?" tanjaku. "Ja," katanja, "Rakjat sangat menghargai Bapak. Mereka
mentjintai Bapak. Dan terutama rakjat-djelata. Saja mengetahui, karena saja baru menjaksikan sendiri suatu
keadaan jang menundjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia berhenti. "Teruslah," desakku,
"Katakan padaku.
Darimana engkau dan siapa jang kautemui dan apa jang mereka lakukan ?" "Begini, Pak," ia mulai lagi. "Kita
mempunjai suatu daerah, dimana perempuan-perempuan latjur semua ditempatkan setjara berurutan. Kami
memeriksa daerah itu dalam waktu-waktu tertentu, karena sudah mendjadi tugas kami untuk mengadakan
pengawasan tetap. Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa jang mereka
temui - Mereka menjaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan didinding." "Dimana aku digantungkan ?"
tanjaku kepadanja. "Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat-tidur.
Dekat tiap randjang ada medja dan tepat diatas medja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. "Dengan
gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. "Pak, kami merasa bahagia karena rakjat kita
memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wadjar kalau gambar Presiden kita
digantungkan didinding rumah pelatjuran. Apa jang harus kami kerdjakan ? Apakah akan kami pindahkan
gambar Bapak dari dinding-dinding itu ?" "Tidak," djawabku. "Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku jang tua
dan letih itu memandangnja! "Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini jang menimbulkan demikian
banjak perasasn pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipudja bagai Dewa.Tidak
djarang kakek-kakek datang berkundjung kepadaku sebelum mereka imengachiri hajatnja. Seorang nelajan
jang sudah tua, jang tidak mengharapkan pudjian atau keuntungan, berdjalan kaki 23 hari lamanja sekedar
hanja untuk sudjud dihadapanku dan mentjium kakiku. Ia menjatakan, bahwa ia telah berdjandji pada
dirinja sendiri, sebelum mati ia akan melihat wadjah Presidennja dan menundjukkan ketjintaan serta
kesetiaan kepadanja. Banjak jang pertjaja bahwa aku seorang Dewa, mempunjai kekuatan-kekuatan sakti
jang menjembuhkan. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 3 dari 109
Seorang petani-kelapa jang anaknja sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan minta air
untuk anaknja. Hanja air-leding biasa dan jang diambil dari dapur. Ia jakin, bahwa air ini, jang kuambil
sendiri, tentu mengandung zat-zat jang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal-djawab dengan dia. karena
orang Djawa adalah orang jang pertjaja kepada ilmu kebatinan, dan ia jakin bahwa ia akan kehilangan
anaknja kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanja. Dan seminggu kemudian anak itu
sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perdjalanan kepelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri
jang paling utara dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan jang paling timur. Beberapa
tahun jang lalu aku mengundjungi sebuah desa ketjil di Djawa Tengah. Seorang perempuan dari desa itu
mendatangi pelajanku dan membisikkan, "Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah
kepada saja sisanja. Saja sedang mengandung dan saja ingin anak laki-laki. Saja mengidamkan seorang anak
seperti Bapak. Djadi tolonglah, biarlah saja memakan apa-apa jang telah didjamah sendiri oleh Presidenku."
Dipulau Bali orang pertjaja, bahwa Sukarno adalah pendjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hudjan
dalam agama Hindu. Karena, bilamana sadjapun Bapak datang ketempat istirahat jang ketjil, jang
kurentjanakan dan kubangun sendiri diluar Denpasar, bahkan sekalipun ditengah musim kemarau,
kedatanganku bagi mereka berarti hudjan. Orang Bali jakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka.
Dikala terachir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat setelah aku sampai
disana, langit tertjurah. Berbitjara setjara terus-terang, aku memandjatkan- do'a sjukur kehadirat Jang
Maha-Pengasih manakala turun hudjan selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak-
terdjadi, sedikit banjak akan mengurangi pengaruhku.Namun, dunia hanja membatja tentang satu-orang
tukang betja. Dunia hanja tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu memang benar. Aku bukan ahli
ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni ? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alasan bagi
madjalah-madjalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menudju kepada keruntuhan ekonomi ? Atau
bahwa kami adalah "bangsa jang bobrok". Atau untuk mendjuduli sebuah tjerita: "Mari kita bergerak
menentang Sukarno"? Kalau para wartawan membentji Djepang atau Filipina, mereka dapat menjebut suatu
daerah disana, dimana seluruh keluarga — ibu, bapak dan anak-anaknja—bunuh diri, karena menderita
kelaparan. Ini semua sudah diketahui orang. Tapi tidak! Hanja mengenai "Orang Djahat dari Asia" mereka
membuat foto-foto dari penderitaan rakjat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus,
sementara dilatarbelakangnja digambarkan hotelku jang indah. Lalu kepala karangannja: "Indonesia
kepunjaan Sukarno". Tapi itu BUKAN Indonesia kepunjaan Sukarno. Indonesia kepunjaan Sukarno sekarang
adalah suatu bangsa jang 10051 bebas butahuruf dibawah umur 45 tahun. Pada waktu Negara kami dilahirkan
duapuluh tahun jang lalu hanja 6% dari kami jang pandai tulis-batja. Indonesia kepunjaan Sukarno sekarang
adalah suatu bangsa jang dua intji lebih tinggi daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak-anak
bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan ?
Akan tetapi wartawan-wartawan terus sadja menulis, bahwa aku ini seorang "Budak Moskow". Marilah kita
perbaiki ini sekali dan untuk selama-lamanja. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin mendjadi seorang
Komunis. Aku menjembah ke Moskow ? Setiap orang jang pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa
egonja terlalu besar untuk bisa mendjadi budak seseorang—ketjuali mendjadi budak dari rakjatnja. Namun
para wartawan tidak menulis tentang apa-apa jang baik dari Sukarno. Pokok-pokok jang dibitjarakan hanja
tentang jang djelek dari Sukarno.Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku jang penuh gairah dan
dibelakangnja gambar-gambar daerah pinggiran jang miskin. Alasan dari "orang jang menghamburkan uang"
mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa jang tidak dapat kami tjari dengan djalan lain. Kami
menghasilkan dua djuta dollar Amerika setelah hotel itu berdjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami
masih mempunjai daerah pinggiran jang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri-negeri jang kajapun punja hotel
jang gemerlapan, empuk dari jang harganja djutaan dollar, sedang disudutnja terdapat bangunanbangunan
jang tertjela penuh dengan kotoran, busuk dan djelek. Aku melihat orang-orang kaja dengan segala
kemegahannja berdjalan dengan sedan-sedan jang mengkilap, akan tetapi aku djuga melihat mereka-mereka
jang malang mentjakar-tjakar dalam tong-sampah mentjari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran jang
miskin diseluruh kota didunia. Bukan hanja di Djakarta kepunjaan Sukamo. Barat selalu menuduhku terlalu
memperlihatkan muka manis kepada Negara-Negara Sosialis. "Ooohh," kata mereka, "Lihatlah Sukarno lagi-
lagi bermain-main sahabat dengan Blok Tnmur."
Jah, mengapa tidak ? Negara-Negara Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengedjekku dalam pers
mereka. Negara-Negara Sosialis selalu memudjiku. Mereka tidak membikin aku malu keseluruh dunia ataupun
tidak memperlakukanku dimaka umum seperti seorang anak jang tertjela dengan menolak memberikan lebih
banjak djadjan sampai aku mendjadi anak jang manis. Negara-Negara Sosialis selalu mentjoba untuk
merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel,
gamdum dan hasil tanaman lain dari panennja jang terbaik. Djadi, salakkah aku kalau berterima-kasih
kepadanja ? Siapakah jang takkan ramah terhadap seseorang jang bersikap ramah kepadanja? Aku mengedjar
politik netral, ja ! Akan tetapi dalam hati-ketjilnja siapa jang menjalahkanku, djika aku berkata, "Terima-
kasih rakjat-rakjat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 4 dari 109
Terima-kasih rakjat-rakjat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menjakiti hatiku. Terima-kasih,
karena engkau telah menjampaikan kepada rakjatmu bakwa Sukamo setidak-tidaknja mentjoba sekuat
tenaganja berbuat untak negerinja. Terima-kasih atas pemberianmu." Apa jang kuutjapkan itu adalah tanda
terima-kasih— bukan Komunisme ! Aku ditjela dalam berbagai soal. Mengapa dia - terlalu banjak
mengadakan perdjalanan, musuh-musuhku selalu bertanja. Dibulan Djuni 1960, pada waktu aku mengadakan
perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko,
Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii dan Djepang, kepadaku ditudjukan kata-kata baru jang
dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud "Have 707 Will Travel" hingga seorang sahabat
bangsa Amerika menerangkannja.
Memang benar, bahwa aku adalah satu-satunja Presiden jang mengadakan demikian banjak perlawatan. Aku
sudah kemana-mana ketjuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku untuk
berkundjung. Aku mengharapkan, disatu saat dapat menerima keramahannja itu. Ada sebabnja aku
mengadakan perlawatan itu. Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada
dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa
jang pandir" seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi
"Inlander goblok hanja baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa
kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjulan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan
ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang
silam. Setelah Republik Rakjat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa
jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah
Saudara berapa banjak rakjat jang tidak mengetahui tentang Indonesia ? Atau dimana letaknja ? Atau
tentang warna kulitnja, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ?
Jang mereka ketahui hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno.Mereka tidak tahu, bahwa
negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri kami terhampar sepandjang 5.000
kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan
paling udjung disebelah Timur.Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam
terbesar, dengan luas tanah sebesar dua djuta mil persegi. Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami
terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan
Samudra Indonesia. Atau, bahwa kami menghasilkan kopi jang paling baik didunia; dari itu timbulnja
utjapan: "A cup of Java". Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Sovjet maka Indonesialah penghasil minjak
jang terbesar di Asia Tenggara dan penghasil timah jang kedua terbesar didunia, negara terkaja dialam
semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban mobil ~Amerika dibuat dari karet
Indonesia. Namun apa jang mereka mau tahu hanja nama Sukarno.
Departemen Luar Negeri kami menjatakan kepadaku, bahwa satu kali kundjungan Sukarno sama artinja
dengan sepuluh tahun pekerdjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan
mengapa aku selalu memberikan kenjataan-kenjataan tentang tanah-airku dalam setiap pidato jang
kuutjapkan disetiap pendjuru dunia. Aku hendak mengadjar orang-orang-asing dan memberikan pandangan
pertama selintas lalu tentang negeriku, jang terhampar menghidjau dan tertjinta ini laksana untaian zamrud
jang melingkar disepandjang katulistiwa.Pada suatu hari sekretarisku menjerahkan sebuah surat jang
beralamat singkat "Presiden Sukarno, Indonesia, Asia Tenggara". Penulis surat ini berkata, ia mendengar
bahwa aku ini mengekang kemerdekaan pers dan apakah itu benar dan kalau memang demikian alangkah
kedjamnja aku ini ! Orang jang menulis surat pitjisan ini menamakan aku seorang jang angkara. Dia
mengedjek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah engkau apa jang membuat aku gusar ? Kenjataan
bahwa dia menganggap kantorpos tidak tahu dimana letak Indonesia. Dan oleh sebab itu dia menambahkan
kata-kata ,,Asia Tenggara" pada alamatnja ! Pendapat manusia berdjalan bagai gelombang. Dalam tahun '56
ketika aku pertamakali berkundjung ke Amerika Serikat, setiap orang menjukaiku. Sekarang arusnja
mendjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah didjadikan bulan-bu}anan.
Baru-baru ini diserahkan kepadaku sebuah madjalah remadja Amerika. Madjalah itu memperlihatkan gadis
striptease setengah telandjang, jang hanja memakai tjelana-dalam dan berdiri disamping Sukarno
berpakaian seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi jang ditempelkan mendjadi satu supaja kelihatan
seolah-olah satu foto dari seorang gadis penari-telandjang membuka pakaiannja dihadapan Presiden Republik
Indonesia. Kedua foto ini ditempelkan -satu dengan jang lain. Ini adalah perbuatan kotor jang dilakukan
terhadap seorang Kepala Negara. Apakah aku harus mentjintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan
seperti itu terhadap diriku? Aku memperbintjangkan muslihat sematjam ini dengan Presiden Kennedy jang
sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku saling menjukai pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata,
,,Presiden Sukarno, saja sangat mengagumi Tuan. Seperti saja sendiri, Tuan mempunjai pikiran jang
senantiasa menjelidiki dan bertanja-tanja. Tuan membatja segala-galanja. Tuan sangat banjak mengetahui."
Lalu dia membitjarakan tjita-tjita politik jang kupelopori dan mengutip bagian-bagian dari pidato-pidatoku.
Kennedy mempunjai tjara untuk mendekati seseorang melalui hati manusia. Kami banjak mempunjai BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 5 dari 109
persamaan. Kennedy adalah orang jang sangat ramah dan menundjukkan persahabatan terhadapku. Dia
membawaku ketingkat atas, kekamartidurnja sendiri dan disanalah kami bertjakap-tjakap.Kukatakan
kepadanja, ,,Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak menjadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan
persahabatan, seringkali Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara-negara lain dengan membiarkan
edjekan, serangan makian dan mengizinkan kritik-kritik setjara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers
Tuan ? Kadang-kadang kami lebih tjondong untuk bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena
kami dilukai atau dibikin marah. Sesungguhnja apakah pergaulan internasional itu bukan pergaulan antar
manusia dalam hubungan jang lebih besar ? Penggerogotan terus-menerus sematjam ini merobek-robek
keseimbangan dan mempertegang lebih hebat lagi hubungan jang sulit antara negara lain dengan negeri
Tuan." ,,Saja setudju dengan Tuan, Presiden Sukarno. Sajapun telah mendapat kesukaran dengan para
wartawan kami," dia mengeluh. ,,Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers merupakan
satu bagian dari pusaka peninggalan Amerika." ,,Ketika Alben Barkley mendjadi Wakil Presiden Amerika
Serikat, ia mengundjungi tanah-air saja," kataku. ,,Dan saja sendiri berdiri dekat beliau diwaktu beliau
ditjium oleh serombongan anak-anak gadis tjantik remadja.",,Saja jakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat
bersenang hati," kata Kennedy dengan ketawa jang disembunjikan. ,,Sekalipun demikian tak satupun surat
kabar Indonesia mau menjiarkannja.
Dan disamping itu mereka tak berani mengambil risiko untuk menimbulkan kesusahan terhadap seorang
negarawan keseluruh dunia. Barkley adalah seorang jang gembira dan barangkali tidak peduli bila gambarnja
itu dimuat. Akan tetapi bukanlah itu soalnja. Jang pokok adalah bahwa kami berkejakinan perlunja para
pemimpin dunia dilindungi dinegeri kami. "Kennedy sangat seperasaan denganku mengenai soal ini dan
berkata kepadaku dengan penuh kepertjajaan, ,,Tuan memang benar sekali, tapi apa jang dapat saja
lakukan ? Sedangkan saja dikutuk dinegeri saja sendiri."Karena itu kataku, ,,Ja, itulah sistim Tuan. Kalau
Tuan dikutuk dirurnah sendiri, saja tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi saja kira saja tidak perlu
menderita penghinaan seperti itu dinegeri Tuan, dimana Kepala Negaranja sendiri harus menderita
sedemikian. Madjalah Tuan ,,Time" dan ,,Life" terutama sangat kurang-adjar terhadap saja. Tjoba pikir,
,,Time" menulis, ,,Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu". Selalu mereka menulis jang djelek-
djelek. Tidak pernah hal-hal jang baik jang telah saja kerdjakan."Sekalipun Presiden Kennedy dan aku telah
mengadakan pertemuan pendapat, persetudjuan dalam lingkungan ketjil ini tidak pernah tersebar dalam
pers Amerika Serikat. Masih sadja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengedjar-tjinta. Ja,
ja, ja, aku mentjintai wanita. Ja, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak-pelesiran sebagaimana
mereka tudukkan padaku.
Di Tokyo aku telah pergi dengan kawan-kawan kesuatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu jang melanggar susiia
mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan-makan, bertjakap-tjakap dan mendengarkan
musik. Hanja itu. Akan tetapi dalam madjalah-madjalah Ba rat digembar-gemborkn seolah-olah aku ini Le
Grand Seducteur.Tanpa hiburan-hiburan ketjil ini aku akan mati. Aku mentjintai hidup. Orang-orang-asing
jang mengundjungi istanaku menjatakan, bahwa aku menjelenggarakan ,,suatu istana jang menjenangkan."
Adjudan-adjudanku mempunjai wadjah-wadjah jang senjum. Aku berkelakar dengan mereka, menjanji
dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, njanjian dan sedikit hiburan kadang-kadang, aku
akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Mendjadi Presiden adalah pekerdjaan jang
membikin orang lekas tua. Dan kalau orang mendjadi tua, tentu tidak baik bagi seseorang. Karena itu,
sesekali aku harus lari dari keadaan ini, supaja aku dapat hidup seterusnja.Banjak kesenangan-kesenangan
jang sederhana telah dirampas dariku. Misalnja, dimasa ketjilku aku telah mengelilingi pulau Djawa dengan
sepeda. Sekarang perdjalanan sematjam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang jang
akan mengikutiku.
Di Hollywood aku diberi kesempatan untuk rnelihat-lihat disekitar studio-studio film. Waktu meninggalkan
halaman studio aku melihat seorang anak pengantar-surat lewat dengan sepeda, lalu menghentikan
sepedanja untuk sesaat. Tiba-tiba aku merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi.
Aku bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanja karena merasa senang. Jah, gema dan gambarku
ini tersebar keseluruh dunia ini. Dinegeriku sendiripun aku tak dapat lagi menikmati kesenangan jang paling
memuaskan hati, jaitu menggeledahi toko-toko kesenian, melihat-lihat benda jang akan dikumpulkan, lalu
menawarnja. Kemanapun aku pergi, rakjat berkumpul berbondong-bondong. Dokterku telah memperhatikan,
bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat mendjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas
sedikit dari diriku sendiri dan dari pendjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan. Tawanan dari
tata-tjara serba resmi. Tawanan dari tata-tjara kesopanan. Tawanan dari peri-laku jang baikSetiap orang
harus mentjari suatu kesenangan supaja terlepas dari segala tata-laku ini. Presiden Ayub Khan main golf,
Kennedy berperahu lajar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Radja Muang Thai main saxophone,
Lyndon Johnson mempunjai tempat peternakan. Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu, bila aku
mengadakan perdjalanan, aku mengizinkan diriku sendiri dengan kesenangan mendjalankan tugas dalam
mengedjar kebahagiaan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Amerika Serikat setiap orang berhak
mengedjarnja.Mendjadi Presiden karena diperlukan menjebabkan orang mendjadi terasing. Ketjakapan dan
sifat-sifat jang memungkinkan orang menduduki djabatan Presiden itu adalah ketjakapan dan sifat itu djuga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 6 dari 109
jang menjebabkan ia diasingkan. Akan tetapi, dimata orang luar aku selalu gembira. Pembawaanku adalah
demikian, sehingga perasaan susah jang teramat sangat tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun
perasaanku hantjur-luluh didalam, orang tak dapat menduganja. Bukankah Sukarno terkenal dengan
,,senjumnja" ? Apapun djuga persoalanku— Malaysia, kemiskinan, lagi-lagi pertjobaan pembunuhan—Sukarno
dari luar senantiasa gembira. Seringkali aku duduk-duduk seorang diri diberanda Istana Merdeka. Beranda itu
tidak begitu indah. Setengah tertutup dengan lajar untuk menghambat panas dan tjahaia matahari.
Perabotnja terdiri dari korsi rotan jang tidak dilapis dan tidak ditjat dan medja beralas kain batik halus
buatan negeriku. Suatu keistimewaan jang kuperoleh karena djabatan tinggi adalah sebuah korsi jang
menjendiri pakai bantal. Itulah jang dinamakan ,,Korsi Presiden".'Dan aku duduk disana. Merenung. Dan
memandang keluar ketaman indah jang menghilangkan kelelahan pikiran, taman jang kutanami dengan
tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi.Aku ingin bertjampur dengan rakjat. Itulah jang mendjadi
kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian.
Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar
dan bersatu dengan rakjat-djelata jang melahirkanku. Kadang-kadang aku mendjadi seorang Harun al Rasjid.
Aku berputar-putar keliling kota. Seorang diri. Hanja dengan seorang adjudan berpakaian preman dibelakang
kendaraan. Terasa olehku kadangkadang, bahwa aku harus terlepas dari berbagai persoalan untuk sesaat dan
merasakan irama denjut djantung tanah-airku. Namun persoalan-persoalan selalu mengikutiku bagai
bajangan besar dan hitam dan jang datang dengan samar menakutkan dibelakangku. Aku takkan bisa lepas
daripadanja. Aku takkan keluar dari genggamannja. Aku takkan dapat madju dengannja. Ia bagai hantu jang
senantiasa mengedjar-ngedjar. Pakaian seragam dan petji hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi
adakalanja kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas
aku hanja memakai kemedja. Dan dengan- katjamata berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat
berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini.
Aku adalah kepunjaan rakjat. Aku harus melihat rakjat, aku harus mendengarkan rakjat dan bersentuhan
dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti-kehidupan bagiku.
Dan aku merasa terpisah dari rakjat-djelata.Kudengarkan pertjakapan mereka, kudengarkan mereka
berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bertjumbu-kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup
mengalir keseluruh batang tubuhku. Kami pergi dengan mobil ketjil tanpa tanda pengenal. Adakalanja aku
berhenti dan membeli sate dipinggiran djalan. Kududuk seorang diri dipinggir trottoir dan menikmati
djadjanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat jang menjenangkan. Rakjat segera mengenalku
apabila mendengar suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen, disekitar gudang kereta-api, dengan
seorang Komisaris Polisi. Aku berputar-putar ditengah-tengah rakjat dan tak seorangpun memperhatikan
kami. Achirnja, untuk sekedar berbitjara aku bertanja kepada seorang laki-laki, ,,Dari mana diambil
batubata ini dan bahan konstruksi jang sudah dipantjangkan ini ?" Sebelum ia dapat memberikan djawaban,
terdengar teriakan, ,,Hee," teriak suara perempuan, ,,Itu suara Bapak Ja suara Elapak Hee, orang-orang, ini
Bapak Bapak "Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakjat datang berlari-lari dari segala pendjuru
Dengan tjepat Komisaris itu membawaku keluar dari situ, masuk mobil ketjil kami dan menghilang. Ditindjau
setjara keseluruhan maka djabatan Presiden tak ubahnja seperti suatu pengasingan jang terpentjil. Memang
ada beberapa orang kawanku. Tidak banjak. Seringkali pikiran oranglah jang berobah-obah, bukan
pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turut mentjiptakan pulau kesepian ini disekelilingmu.
Karena itulah, apabila aku terlepas dari pendjaraku ini, aku menjenangkan diriku sendiri.
Di Tokyo aku bisa pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka mempertundjukkan diatas panggung sekaligus
empatratus gadis-gadis djelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa Duta Besar Indonesia untuk Djepang
diwaktu itu tidak pernah mengundjungi panggung ini. Aku mengumpatnja, ,,Hei, Bambang Sugeng, engkau ini
Duta Besar jang malang. Seorang diplomat harus mengetjap setiap djenis kehidupan negeri dimana dia
ditempatkan. Hajo Mari kita pergi melihat gadis-gadis itu. "Akupun mengadjak seorang Indonesia jang
bersusila kawakan, jang kaget apabila Presidennja mempertjakapkan wanita. Orang ini mengerling pada
gadis-gadis jang tjantik ini, kemudian bangkit dan berkata, ,,Saja tidak dapat menjaksikannja. Saja akan
pergi sadja. Terlalu menegangkan pikiran saja." Dia seorang munafik. Aku bentji orang-orang munafik. Sudah
barang tentu lagi-lagi reputasiku menjebabkan aku mendjadi korban keadaan. Di Fiiipina ditahun 1964,
Presiden Diosdado Macapagal menjambutku dilapangan terbang. Beliau mengiringkanku ke Laurels Mansion
dimana aku menginap. Disana tinggal Tuan Laurels bekas Presiden Filipina, isterinja dan anak-tjutjunja.
Untuk lebih memeriahkan kedatanganku mereka mendatangkan Bayanihan Cultural Ensemble, suatu
perkumpulan paduan-suara, jang menjambutku dengan Tari Lenso sebagai tanda penghormatan. Dua orang
wanita muda tampil dari dalam kelompok ensemble itu dan meminta kepadaku untuk turut menari. Sukar
untuk menolaknja, karena itu aku mulai menari dan GEGER ! Kilat lampu ! Djepretan karnera ! Dan induk
karangannja: "Lihat Sukarno pengedjar-tjinta mulai lagi". Aku menjukai gadis-gadis jang menarik
disekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnja seperti kembang jang sedang mekar dan aku senang
memandangi kembang. Ditahun 1946, dihari-hari jang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris-
duaku datang setiap pagi hanja sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku. Ah, sebenarnja aku sendiri
bisa memetjahkannja, akan tetapi isteriku tak pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan
kuat disaat-saat jang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu tersenjum disekitarku. Aku merasa BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 7 dari 109
terhibur oleh wanita-wanita muda disekeliling kantorku. Apabila para tetamu menjiasati tentang adjudan-
adjudan wanitaku jang masih muda-belia, aku berkelakar kepada mereka, ,,Perempuan tak ubahnja seperti
pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh tahun." Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap
wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan. Kuanggaip mereka memberikan
kesegaran. Djustru wanitalah jang dapat memberikan ini kepadaku. Sekali lagi, aku tidak berbitjara dalam
arti djasmaniah. Aku hanja sekedar tertarik pada suatu pandangan jang lembut atau sesuatu jang kelihatan
indah. Sebagai seorang seniman, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa jang
menjenangkan pikiran. Bila hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku kehabisan tenaga, sehingga
sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila seorang sekretaris laki-laki berbadan besar, tidak
menarik, buruk dan botak datang membawa setumpukan tinggi surat-surat untuk ditandatangani, aku akan
berteriak kepadanja supaja dia segera pergi dan membiarkanku seorang diri. Sepihan-sepihan kulitnja akan
rontok dari badannja karena kaget. Aku akan menggeledek kepadanja. Aku akan bangkitkan petir diatas
kepalanja. Akan tetapi bilamana jang datang seorang gadis sekretaris berbadan ramping, dengan dandan
jang rapi dan meluapkan bau harum menjegarkan tersenjum manis dan berkata kepadaku dengan lunak,
,,Pak, silahkan ", tahukah engkau apa jang terdjadi ? Bagaimanapun keadaan hatiku, aku akan mendjadi
tenang. Dan aku akan selalu berkata, "Baik". Ditahun '61 aku sakit keras. Di Wina para ahli mengefuarkan
batu dari gindjalku. Waktu itu adalah saat memuntjaknja perdjoangan kami merebut kembali Irian Barat dan
dalam kalangan lawan-lawan kami timbul kegembiraan.
Tidak guna lagi mengutuk Sukarno dan memintaminta supaja dia mati, karena Sukarno sekarang sedang
menudju kematiannja. Karena itu para dokter melakukan perawatan jang lebih teliti terhadap diriku. Mereka
membudjuk hatiku, ,,Djangan kuatir, Presiden Sukarno, kami akan memberikan perawat-perawat jang
berpengalaman untuk mendjaga Tuan." Hehhhh ! ! Ketika hal ini disampaikan kepadaku, keadaanku mendjadi
lebih pajah daripada sewaktu aku mula-mula masuk. Aku tahu apa jang akan kuhadapi. Aku tidak berkata
apa-apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknja dihari berikut ia melakukan pembedahan dan
aku ingin agar hatinja senang terhadapku selama ia mendjalankan pembedahan itu. Akan tetapi sementara
itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, "Aku akan lebih tjepat sembuh idengan gadis-gadis perawat jang tidak
berpengalaman, karena jang sudah punja pengalaman 40 tahun tentu setidak-tidaknja sekarang sudah
berumur 55 !"Orang mengatakan, bahwa Sukarno suka melihat perempuan tJantik dengan sudut matanja.
Kenapa mereka berkata begitu ? Itu tidak benar. Sukarno suka memandangi perempuan tjantik dengan
seluruk bola matanja. Akan tetapi ini bukanlah suatu kedjahatan. Sedangkan Nabi Muhammad sallallahu
'alaihi wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai seorang Islam jang beriman aku adalah pengikut Nabi
Muhammad jang mengatakan, "Tuhan jang dapat mentjiptakan machluk-machiuk jang tjantik seperti wanita
adalah Tuhan Jang Maha-Besar dan Maha-Pengasih." Aku setudju dengan utJapan beliau.Seperti jang
dikisahkan, Muhammad mempunjai seorang budak bernama Said. Said, orang jang pertama-tama masuk
Islam, mempunjai isteri jang sangat tjantik bernama Zainab. Ketika Muhammad melihat Zainab, beliau
mengutjapkan "Allahu Akbar", Tuhan MahaBesar.Tatkala murid-muridnja bertanja, mengapa beliau
mengutjapkan Allahu Akbar ketika melihat Zainab, maka beliau mendjawab, "Aku memudji Tuhan karena
telah mentjiptakan machluk-machluk jang tjantik seperti perempuan ini." Aku mendjundjung Nabi Besar. Aku
mempeladjari utjapan-utjapan beliau dengan teliti. Djadi, moralnja bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau
tidak sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan jang tjantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu,
karena dengan melakukan itu pada hakekatnja aku memudji Tuhan dan memudji apa jang telah ditjiptakan-
Nja.Aku hanja seorang pentjinta ketjantikan jang luarbiasa. Aku mengumpulkan benda-benda perunggu karja
seni dari Budapest, seni pualam dari Italia, lukisan-lukisan dari segala pendjuru.
Untuk Istana Negara di Djakarta aku sendiri berbelandja membeli kandil kristal jang berat dan korsi beludru
tjukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku membnat sendiri rentjana medja kantorku
dari satu potong kajudjati Indonesia jang utoh. Aku merentjanakan medja ruang-makan Negara dari satu
potong kajudjati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain-hiasan-dinding, memilih setiap barang,
merentjanakan dimana harus diletakkan setiap pot-bunga atau karja seni-pahat.Kalau aku melihat sepotong
kertas dilantai, aku akan berhenti dan memungutnja. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana aku,
ditengah-tengah persoalan jang pelik, datang kepada mereka dan meluruskan dasinja. Aku senang bila
makanan diatur setjara menarik diatas medja. Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk.
Dalam perkundjungannja ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas terpikat hatinja pada salah-satu benda
seniku. "Tuan Presiden," katanja tiba-tiba. "Saja akan menjampaikan apa jang hendak saja kerdjakan untuk
Tuan. Saja akan menjerahkan sebuah Cadillac sebagai ganti ini." Kukatakan kepadanja jah, tak soal kata-
kata apa jang telah kuutjapkan kepadanja. Tapi pokoknja adalah "Tidak". Tidak satupun dari benda-benda
indah jang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan Cadillac. Kalau aku senang kepadamu, engkau akan
kuberi sebuah lukisan atau barang tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk mendjualnja, tidak, sekali-kali
tidak. Semua itu akan kuwariskan kepada rakjat Indonesia, bilamana aku pergi. Biarlah rakjatku
memasukkannja kedalam Museum Nasional. Kemudian, apabila mereka lelah atau pikirannja katjau, biarlah
mereka duduk dihadapan sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannja, sehingga mengisi
seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia djuga terdiadi terhadap diriku. Ja, aku akan mewariskan BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 8 dari 109
hasil-hasil seni ini kepada rakjatku. Untuk didjual? Djangan kira! Seorang orang-asing jang mengerti
kepadaku adalah Dutabesar Amerika di Indonesia, Howard Jones.
Ia sudah lama ditempatkan di Djakarta dan mendjabat sebagai Ketua dari Korps Diplomatik. Kami sering
terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnja sebagai
seorang kawan jang tertjinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: "Suatu perpaduan antara Franklin
Delano Roosevelt dan Clark Gable." Apakah orang heran, apabila aku menjebutnja sebagai seorang kawan
jang tertjinta ? Disuatu hari Minggu beberapa tahun jang silam, ia dengan isterinja Marylou makan bersama-
sama denganku dan isteriku Hartini dipaviljun ketjil karni di Bogor. Bogor adalah tempat didaerah
pegunungan jang sedjuk diluar kota Djakarta. Berlainan dengan dugaan orang bahwa aku mempunjai kran-
kran dari emas murni seperti sepantasnja bagi Jang Dipertuan didaerah Timur, maka aku tidak tinggal di
Istana Negara jang besar itu. Dipekarangannja kami mempunjai sebuah bungalow ketjil jang besaruja kira-
kira sama dengan jang dipunjai oleh seorang pedjabat biasa. Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar-tidur,
suatu ruang-makan ketjil dan ruang-duduk jang sangat ketjil. Ia tidak mewah. Sederhana sekali. Akan tetapi
menjenangkan dan itulah rumahku.Selagi makan Howard berkata, "Tuan Presiden, saja kira sudah waktunja
bagi Tuan untuk melihat kembali djalan-djalan dalam sedjarah. Menurut pendapat saja sudah tepat waktunja
bagi Tuan untuk menuliskan sedjarah hidup Tuan."Seperti biasa, apabila seseorang menjebut-njebut tentang
otobiografi, aku mendjawab, "Tidak".
Insja Allah, djika Tuhan mengizinkan, saatnja masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saja bisa mengetahui
apa jang akan terdjadi terhadap diriku ? Siapa jang dapat mentjeriterakan, bagaimana djalannja kehidupan
saja ? Itulah sebabnja mengapa saja selalu menolak hal ini, karena saja jakin bahwa buruk-baiknja kehidupan
seseorang hanja dapat dipertimbangkan setelah ia mati." "Terketjuali Presiden Republik Indonesia,"
djawabnja. "Disamping telah mendjadi Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden
seumur hidup. Ia adalah orang jang paling banjak diperdebatkan dan dikritik didjaman kita ini. Ia
"mempunjai banjak rahasia," kataku dengan senjum jangdisembunjikan. "Akan tetapi dialah satu-satunja
orang jang dapat memberanikan diri untuk mengguratkannja dan disamping itu mendjawab seranganserangan
dari para pengeritiknja—dan kawan-kawannja."Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan jang tidak
formil. Aku pakai badju sport dan tidak bersepatu. Hartini membuat nasigoreng, karena dia tahu bahwa
keluarga Jones sangat dojan pada nasi-goreng-ajam dan Presiden makan puluk—artinja makan dengan
tangan—dan kami duduk disekitar medja bersama-sama menikmati saat-saat istirahat jang menjenangkan,
jang hanja dapat dilakukan diantara kawan-kawan lama. "Untuk membuat otobiografi jang sesungguhnja
sipenulis hendaknja dalam keadaan jang- susah seperti Rousseau ketika dia menulis pengakuan-pengakuannja
dan pengakuan jang demikian ternjata sukar bagi saja. Banjak tokoh jang masih hidup akan menderita,
apabila saja mentjeriterakan semuanja. Dan banjak pemerintahan-pemerintahan, dengan mana saja
sekarang mempuniai hubungan jang baik, akan mendapat serangan sedjadi-djadinja apabila saja menjatakan
beberapa hal jang ingin saja tjeriterakan." "Walaupun bagaimana, Tuan Presiden, orang-orang-asing merobah
pendirian mereka setelah bertemu dengan Tuan dan djatuh kedalam kekuatan pribadi Bung Karno jang
terkenal dan menarik seperti besiberani. Kalau Tuan terus madju dengan daja-penarik pribadi Tuan itu,
maka saja jakin kritikus jang paling tadjampun kemudian akan berkata, "Hee, dia sesungguhnja tidak
bernapaskan asap dan api seperti naga. Dia sangat menjenangkan." "Itulah sebabnja saja pada dasarnja ingin
berkawan," kuterangkan kepadanja. "Saja menjukai orang Timur, saja menjukai orang Barat bahkan Tengku
Abdul Rahman sendiri dan orang Inggris. Pun djuga orang-orang jang membentji saja. Setiap saat apa-bila
mereka ingin bersahabat, saja lebih ingin lagi dari itu. Suatu kalisaja mengetahui bahwa De Gaulle tidak
senang kepada saja. Sekalipundemikian saja bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu
sikapnjaberobah.",,Itulah maksud saja," Jones melandjutkan. "Tuan tidak bisa mendatangi sendiri seluruh
rakjat didunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman-halaman buLu. Tuan
menawan hati sedjuta pendengar dilapangan terbuka. Mengapa Tuau tidak menghendaki djumlah pendengar
jang lebih besar lagi. "Pertjakapan ini berlangsung terus sampai makan perabung, berupa pisang-rebus
kesukaanku. "Begini," kataku. "Suatu otobiografi tidak ada harganja, ketjuali djika sipenulis merasa
kehidupannja tidak berguna apa-apa. Kalau dia menganggap dirinja seorang besar, karjanja akan mendjadi
subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanja mungkin djika ada perimbangan dari kedua-duanja. Sekian
banjak jang baikbaik supaja dapat menenangkan egoku dan sekian banjak jang djelek-djelek sehingga orang
mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanja jang baik-baik sadja orang akan menjebutmu egois, karena
memudji diri sendiri. Memasukkan hanja jang djelek-djelek sadja akan menimbulkan suasana mental jang
buruk bagi rakjatku sendiri. Hanja setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan djudjur, 'Apakah; Sukarno
manusia jang baik ataukah manusia jang buruk ?' Hanja di-saat itulah dia baru dapat diadili."Bertahun-tahun
lamanja orang mendesakku untuk menuliskan kenang-kenanganku. Press Officerku, Njonja Rochmuljati
Hamzah, selalu mendjadi perantara.Satu kali aku betul-betul membentak-bentak Roch jang manis ituDitabun
1960, ketika Krushchov sedang berkundjung kemari, ada seratus orang wartawan-asing berkerumun dibawah
tangga. Disatu. saat dia berkata, "Ma'af, Pak, Bapak djangan marah, karena kami sendiripun tidak
mengetahui sedjarah hidup Bapak. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawantjara. Oleh karena itu
dapatkah Bapak menenteramkan hati saja barang sedikit dan menerima seorang wartawan CBS jang ramah
sekali dan ingin menulis riwajat hidup Bapak ?" Aku berpaling kepadanja dan menjembur. "Berapa kali aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 9 dari 109
harus mengatakan kepadamu, T-I-D-A-K ! ! Pertama, aku tidak mengenalnja, akan tetapi kalau aku pada satu
saat menulis riwajat hidupku, aku akan kerdjakan dengan seorang perempuan. Sekarang djauh-djauhlah dari
penglihatanku. Engkau seperti pesurah wartawanasing." Roch berlari keluar dan pulang
kerumahnja.Kemudian aku merasa menjesal. Adjudanku menelpon Roch dan. memberitahukan, bahwa aku
hendak beItemu dengan dia. Lalu kukirimi kendaraan untuk mendjemputnja. Dia datang dan mengira bahwa
akan menerima semprotan lagi, akan tetapi sebaliknja, Presidennja hendak minta ma'af kepadanja.
"Ma'afkanlah aku, Roch," kataku. "Kadang-kadang aku berteriak dan menjebut nama-nama buruk, akan tetapi
sebenarnja akulah itu. Djangan masukkan kata-Lata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku
mentjintaimu. Aku menjemprot kepada orang-orang jang terdekat dan paling kusajangi. Hanja mereka jang
mendjadi papan-suaraku." Kemudian kutjium dia dipipinja, tjara jang biasa kulakukan sebagai salam
pertemuan dan perpisahan dengan anakanak perempuan sekretarisku—dan dia pergi dengan hati jang senang
sekali.Itu sebabnja, mengapa persoalan-persoalan Asia harus diselesaikan dengan tjara Asia. Tjaraku
bukanlah sesungguhnja gaja Barat, kukira. Aku tak dapat membajangkan seorang Perdana Menteri Inggris
memeluk sekretaris-wanitanja sebagai utjapan selamat pagi atau utjapan-ma'af, setelah mana perempuan
itu lari keluar dan membiarkan dia sendiri.Aku tidak menduga, tidak lama setelah kedjadian ini aku bertemu
dengan Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan-wanita, berada di Djakarta ditahun 1961 dengan suaminja
pelawak Joey Adams, jang memimpin Missi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Wanita Amenka
jang riang dan rapi ini, dengan pembawaannja jang suka berkelakar, menjebabkan aku seperti kena pukau.
Wawantjara dengan Cindy menjenangkan sekali dan tidak menjakitkan hati. Tulisannja djudjur dan dapat
dipertjaja sepen~nja. Bahkan dia nampaknja dapat merasakan sedikit tentang Indonesia dan persoalan
persoalannja dan, jah, dia adalah seorang penulis jang palingmenarik jang pernah kudjumpai !Kami orang
Djawa bekerdja dengan instink. Setahun lamanja aku mentjari-tjari seorang wanita jang akan mendjabat
sebagai press officer, akan tetapi ketika aku melihat Roch aku segera mengetabui~ bahwa dialah jang
kutjari. Kupekerdjakan dia segera. Begitupun halnja dengan Cindy.Pada kesempatan lain, ketika Howard
Jones memulai lagi pokok pembitjaraan tentang sedjarah hidupku, aku memberikan 'surprise~ kepadanja.
Aku meringis. ,,Dengan satu sjarat. Bahwa aku mengerdjakannja dengan Cindy Adams."Dan apakah achiroja
jang menjebabkan aku mengambil keputusan uatuk mengerdjakan sedjarah hidupku ? Jah, mungkin djuga
benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenjadari, bahwa aku sud'ah tua
Sekarang, mataku jang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini dengan alasan.
Disatu pagi jang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku biasa memangkunja kelika dia masih ketjil.
Sekarang beratnja 70 kilo. Aku menjadari dengan tibatiba, bahwa aku tidak dapat memangkunja lagi diatas
lututku. Mungkin dia akan memataLkan kakiku jang tua dan lelah itu. Memang wanita tjantik dapat
membikin hatiku mendjadi muda lagi, akan tetapi bila aku menginsjafi bahwa anak itu sekarang mendjadi
ibu dari beberapa orang anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua djuga.Dan begitulah, waktunja
sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannja sekarang. Mungkin aku
tidak mempunjai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetabui, apakah Sukarno seorang
kolaborator Djepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanja Sukarno jang dapat menerangkan periode
kehidupannja itu dan karena itu ia bersedia menerangkannja. Bertahun-tahun lamanja orang bertanja-tanja,
apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan
kemerdekaan pers; berapa banjak isterinja; mengapa dia membangun departemen-store-departemen-store
jang baru, sedangkan rakjatnja dalam keadaan tjompang-tjamping .........Hanja Sukarno sendiri jang dapat
mendjawabnja.Ini adalah pekerdjaan jang sukar bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan-mental
bagiku. Sungguh berat. Menjobek plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka luka-luka
itu, memang sakit-sekalipun banjak diantaranja jang sudah mulai sembuh. Tambahan lagi, aku akan
melakukannja dalam bahasa Inggris, bahasa asing bagiku. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata-
bahasa dan seringkali aku terhenti karena merasa agak kaku.Akan tetapi, mungkin djuga aku wadjib
mentjeritakan kisah ini kepada tanah-airku, kepada bangsaku, kepada anak-anakku dan kepada diriku
sendiri. Karenanja kuminta kepadamu, pembatja, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata
jang tertulis adalah bahasa jang keluar dari lubuk-hati. Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati
atau meminta supaja setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanjalah, agar dapat menambah pengertian
jang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian jang lebih baik terhadap Indonesia
jang tertjinta.
Bab 2
Putera Sang Fadjar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Dipagi itu ia sudah
bangun sebelum matahari terbit dan duduk didalam gelap diberanda rumah kami jang ketjil, tiada bergerak.
Ia tidak berbnat apa-apa, ia tidak berkata apa-apa, hanja memandang arah ke Timur dan dengan sabar
menantikan hari akan siang.Akupun bangun dan mendekatinja. Diulurkannja kedua belah tangannja dan BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 10 dari 109
meraih badanku jang ketjil kedalam pelukannja. Sambil mendekapkan tubuhku kedadanja, ia memelukku
dengan tenang. Kemudian ia berbitjara dengan suara lunak, ,,Engkau sedang memandangi fadjar, nak. Ibu
katakan kepadamu, kelak engkau akan mendjadi orang jang mulia, engkau akan mendjadi pemimpin dari
rakjat kita, karena ibu melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing.
Kita orang Djawa mempunjai suatu kepertjajaan, bahwa orang jang dilahirkan disaat matahari terbit,
nasibnja telah ditakdirkan terlebih dulu. Djangan lupakan itu, djangan sekali-kali kaulupakan, nak, bahwa
engkau ini putera dari sang fadjar. "Bersamaan dengan kelahiranku menjingsinglah fadjar dari suatu hari jang
baru dan menjingsing pulalah fadjar dari satu abad jang baru. Karena aku dilahirkan ditahun 1901.Bagi
Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan djaman jang gelap. Sedangkan djaman sekarang baginja
adalah djaman jang terang-benderang dalam menaiknja pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu
djaman dimana bangsa-bangsa baru dan merdeka dibenua Asia dan Afrika mulai berkembang dan
berkembangnja negara-negara Sosialis jang meliputi seribu djuta manusia. Abad inipun dinamakan Abad
Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka jang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat
oleh suatu kewadjiban untuk mendjalankan tugas-tugas kepahlawanan.
Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah mendjadi nasibku jang
paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku
sesungguhnja. Dua sifat jang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa tjerewet. Aku bisa keras laksana badja
dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan.
Aku seorang jang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang jang keras-kepala. Aku mendjebloskan
musuh-musuh Negara kebelakang djeradjak-besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung
terkurung didalam sangkar.Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monjet. Binatang itu diikat dengan
rantai. Aku tidak dapat membiarkannja ! Dia kulepaskan kedalam hutan.Ketika Irian Barat kembali
kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaja dia dibawa
kembali ketempatnja dan dikembalikan kemerdekaannja. Aku mendjatuhkan hukuman mati, namun aku tak
pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor njamuk. Sebaliknja aku berbisik kepada binatang itu,
,,Hajo, njamuk, pergilah, djangan kaugigit aku." Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah
untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat
mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh djadi mi setjara kebetulan bersamaan. Boleh
djadi djuga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu mendjadikan aku seseorang jang
merangkul semuanja.
Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, jang tidak djauh letaknja dari tempat kami,
meletus. Orang jang pertjaja kepada tahjul meramalkan, ,,Ini adalah penjambutan terhadap baji Sukarno."
Sebaliknja orang Bali mempunjai kepertjajaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakjat
tielah melakukan maksiat. Djadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnja tidak
menjambut baji Sukarno. Gunung Kelud malah menjatakan kemarahannja, karena anak jang begitu djahat
lahir kemuka bumi ini.Berlainan dengan pertanda-pertanda jang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran
itu sendiri sangatlah menjedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak jang akan
lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu-satunja orang jang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari
keluarga kami, seorang kakek jang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang
tua itu, jang menjambutku mengindjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket-timbul jang terbuat dari batu
pualam putih lagi bersih, jang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung diruang gang jang menudju
keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan baji Hercules dalam pangkuan ibunja dikelilingi oleh
empatbelas orang wanita-wanita tjantik — semua dalam keadaan telandjang. Tjobalah bajangkan, betapa
bahagianja untuk dilahirkan ditengah-tengah empatbelas orang wanita tjantik seperti ini ! Akan tetapi
Sukarno tidak sama beruntungnja dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun jang akan
mengambilku kedalam pangkuannja, ketjuali seorang kakek jang sudah terlalu amat tua.
Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelutjon sebagai bahan tertawaan. Ditahun 1949 Republik kami jang
masih muda mengindjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perdjuangan jang hebat
dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda bentji kepadaku habis-habisan seperti
mereka habis-habisan membentji neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku
melalui pers. Sebuah madjalah membuat suatu pengakuan dengan menjatakan bahwa, ,,Sukarno adalah
seorang jang bersemangat, dinamis dan berlainan samasekali dengan orang Djawa jang lamban dan lambat
berpikir. Sukarno dapat berbitjara dalam tudjuh bahasa dengan lantjar. Kita hendaknja bisa melihat
kenjataan dan kenjataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnja seorang pemimpin." Dalam tulisan ini
diuraikan segala sifat dan tanda jang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menjadari maksud-
tudjuannja. Tulisan itu akhiruja menjimpulkan, ,,Pembatja jang budiman, tahukah pembatja mengapa
Sukaroo memiliki sifat-sifat jang luar-biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indon!esia asli. Itulah
sebabnja. Dia adalah anak jang tidak sah dari seorang tuan-kebun dari perkebunan kopi jang mengadakan
hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menjerahkan anak itu kepada BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 11 dari 109
orang lain sebagai anak-angkat."Sajang ! Satu-satunja saksi untuk bersumpah kepada bapakku jang
sesungguhnja dan untuk mendjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku-jang sebenarnja bukan oleh
pekerdja diperkebunan kopi sudah sedjak lama meninggal.
Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bertjampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnja kami adalah suku bangsa rumpun MeIaju. Dari
kata asal Ma timbul kata-kata Manila, Madagaskar, Malaja, Madura, Maori, Himalaja. Nenek-mojang kami
berpindah-pindah disepandjang daerah Asia, menetap ditigaribu pulau jang kemudian mendjadi orang Bali,
Djawa, Atjeh, Ambon, Sumatra dan seterusnja. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta
Brahmana. Ibuku, Idaju, asalnja dari keturunan bangsawan. Radja Singaradja jang terachir adalah paman
ibu. Bapakku berasal dari Djawa. Nama lengkapnja Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal~dari
kieturunan Sultan Kediri. Lagi-lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku
dilahirkan dalam lingkungan kelas jang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku,
pengabdianku untuk kemerdekaan rakjatku bukanlah suatu keputusan jang tiba-tiba. Aku mewarisinja.
Semendjak ta-hun 1596, jaitu pada waktu Belanda per tamakali menjerbu kepulauan kami, maka tindakan
Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami jang sia-sia dalam merebut kembali tanah-pusaka
kami telah membikin hitam Iembaran-lembaran dalam sedjarah kami. Kakek dan mojangku dari pihak ibu
adalah pedjuang-pedjuang kemerdekaan jang gagah. Mojangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah
dipantai utara Bali ditempat mana terletak Keradjaan Singaradja dan dimana telah berkobar pertempuran
sengit dan bersedjarah melawan pendjadjah. Ketika mojangku menjadari, bahwa semuanja telah hilang dan
tentaranja tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali jang bertjita-tjita mengenakan
pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanja, masing masing menghunus keris,
lalu menjerbu musuh.
Mereka dihantjurkan. Radja Singaradja jang terakhir setjara litjik dikeluarkan oleh Belanda dan
keradjaannja. Kekajaannja, tempat tinggal, tanah dan semua miliknja dirampas. Mereka mengundangnja
kesebuah kapaI perang untuk berunding. Begitu sampai diatas kapal, Belanda menahannja setjara paksa, lalu
berlajar dan mendjebloskannja ketiempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananja dan merampas
miliknja, keluarga ibu djatuh melarat. Karena itu kebentjian ibu terhadap Belanda tak habis-habisnja dan ini
disampaikannja kepadaku.Ditahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami jang
masih muda terlibat dalam pertempuran-pertempuran djarak dekat dengan musuh. Dalam suatu
pertempuran, pasukan kami berkumpul dipekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian
ditjeritakan oleh pedjuang gerilja kepadaku, ,,Ditempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami
semua tiarap menunggu. Rupanja ibu tidak mendengar apa-apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak
ada teriakan. Dengan mata jang bernjala-njala beliau keluar mendatangi kami, 'kenapa tidak ada tembakan ?
Kenapa tidak bertempur ? Apa kamu semua penakut ?
Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda Hajo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda-Belanda
itu !'" Pihak bapakpun adalah patriot-patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannja dibawah seorang
Puteri, namun dia seorang pedjoang-puteri disamping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki
kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui adjalnja dalam Perang Djawa jang besar itu, jang
berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830.Sebagai kanak-kanak aku tidak mendapat tjeritera-tjeritera
seperti ditelevisi atau tjeritera Wild West jang dibumbui. Ibu selalu mentjeritakan kisah-kisah kebangsaan
dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bertjerita, aku lalu duduk dekat kakinja dan dengan haus meneguk
kisah-kisah jang menarik tentang pedjoang-pedjoang kemerdekaan dalam keluarga kami.Ibupun
mentjeritakan tentang bagaimana bapak merebutnja. Semasa mudanja ibu mendjadi seorang gadis-pura jang
pekerdjaannja membersihkan rumah-ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerdja sebagai guru sekolah
rendah gubernemen di Singaradja dan setelah selesai sekolah sering datang kelubuk dimuka pura tempat ibu
bekerdja untuk menikmati ketenangannja.
Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali
lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu mendjawab. Segera ia merasa tertarik
kepada ibu dan ibu kepadanja. Seperti biasanja menurut adat, bapak mendatangi orangtua ibu untuk
meminta ibu setjara beradat. ,,Bolehkah saja meminta anak ibu-bapak ?" Orangtua ibu lalu mendjawab,
,,Tidak bisa. Engkau berasal dari Djawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali-kali tidak ! Kami akan
kehilangan anak kami. 'Seperti halnja dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak
ada jang mengawini orang luar. Jang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari
pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan tjampuran antara satu suku dengan suku lain samasekali.
Kalaupun terdjadi bentjana sematjam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanja.
sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menjatukan rakjatnja. Warna kulit kami mungkin
berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra
sawomatang, lihat orang Diawa pendek-pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunjai
bentuk sendiri, rakjat Pasundan mempunjai tjiri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi djadi inlander atau BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 12 dari 109
menganggap diri kami orang-asing satu sama lain. Sekarang kami sudah mendjadi orang Indonesia dan kami
satu. Sembojan negeri kami Bhineka Tunggal Ika ,,Berbeda-beda tapi satu djua',.Kembali kepada kisah
bapakku, betapa sukanja situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminja seorang Islam,
sekalipun ia mendjalankan Theosofi. Untuk kawin setjara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam
terlebih dulu. Satu-satunja djalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus
mengikuti tata-tjara tertentu.
Kedua merpati itu bermalam dimalam perkawinannja dirumah salah seorang kawan. Sementara itu
dikirimkan utusan kerumah orangtua sigadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah mendjalankan
perkawinannja. Ibu dan bapakku mentjari perlindungan dirumah Kepala Polisi jang mendjadi kawan bapak.
Keluarga ibu datang mendjemputnja, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. ,,Tidak, dia
berada dalam perlindungan saja," katanja. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka
pengadilan, sekalipun orangtua tidak setudju. Akan tetapi kedjadian ini adalah keadaan jang luarbiasa ketika
itu. Bapak seorang IslamTheosof dan ibu seorang Bali Hindu-Buddha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu
ditanja, ,,Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri ?" Dan ibu mendjawab,
,,Tidak, tidak. Saja mentjintainja dan melarikan diri atas kemauan saja sendiri."Tiada pilihan lain bagi
mereka, ketjuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, jang
nilainja sama dengan 25 dollar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membajar denda itu ibu
mendjuaI perhiasannja.Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengadjukan
permohonan kepada Departemen Pengadjaran untuk dipindahkan ke Djawa. Bapak dikirim ke Surabaja dan
disanalah putera sang fadjar dilahirkan.
Bab 3
Modjokerto: Kesedihan Dimasa Muda
MASA kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan
dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunjai sepatu. Aku mandi tidak dalam air jang keluar dari kran.
Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan jang keterlaluan demikian ini dapat menjebabkan hati
ketjil didalam mendjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, jang dua tahun lebih tua daripadaku,
kami merupakan suatu keluarga jang terdiri dari empat orang. Gadji bapak f 25 sebuIan. Dikurangi sewa
rumah kami di Djalan Pahlawan 88, neratja mendjadi f 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah f 3,60
untuk satu dollar dapatlah dikira-kira betapa rendahnja tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku
berumur enam tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal didaerah jang melarat dan keadaan tetangga-
tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa
uang sedikit untuk membeli pepaja atau djadjan lainnja.
Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi ummat Islam, hari penutup dari bulan puasa,
pada bulan mana para penganutnja menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu
melalui mulut mulai dari terbitnja matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan dihari Lebaran sama
dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun
mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punja uang untuk itu. Dimalam sebelum Lebaran sudah mendjadi
kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannja dan diwaktu itupun mereka
melakukannja. Semua, ketjuali aku.
Dihari Lebaran lebih setengah abad jang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar-tidurku jang ketjil jang
hanja tjukup untuk satu tempat-tidur. Dengan hati jang gundah aku mengintip keluar arah kelangit melalui
tiga buah lobang-udara jang ketjil-ketjil pada dinding bambu. Lobang-udara itu besarnja kira-kira sebesar
batubata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan petjah. Disekeliling terdengar bunji petasan
berletusan disela oleh sorak-sorai kawankawanku karena kegirangan. Betapa hantjur-luluh rasa hatiku jang
ketjil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan djalan bagaimanapun dapat membeli petasan
jang harganja satu sen itu—dan aku tidak !
Alangkah dahsjatnja perasaan itu. Mau mati aku rasanja. Satu-satunja djalan bagi seorang anak untuk
mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sedu-sedan jang tak terkendalikan dan meratap diatas
tempat-tidurnja. Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, ,,Dari tahun ketahun aku
selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mertjon." Aku sungguh menjesali diriku
sendiri. Kemudian dimalam harinja datang seorang tamu menemui bapak. Dia memegang bungLusan ketjil
ditangannja. ,,Ini," katanja sambil mengulurkan bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu
mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanja. Isinja petasan. Tak ada harta, lukisan
ataupun istana didunia ini jang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan
kedjadian ini tak dapat kulupakan untuk selama-lamanja. Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 13 dari 109
makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk dengan makanan
lain. Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah jang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanja bisa
membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinja menumbuk
butiran-butiran berkulit itu sampai mendjadi beras seperti jang didjual orang dipasar.,,Dengan melakukan ini
aku menghemat uang satu sen," katanja kepadaku pada suatu hari ketika sedang bekerdja dalam teriknja
panas matahari sampai telapak tangannja merah dan melepuh. ,,Dan dengan uang satu sen kita dapat
membeli sajuran, 'nak." Semendjak hari itu dan seterusnja selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi
sebelum berangkat kesekolah aku menumbuk padi untuk ibuku. Kemelaratan seperti jang kami derita
menjebabkan orang mendjadi akrab.
Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknja aku tidak punja apa-apa didunia ini
selain daripada ibu, aku melekat kepadanja karena ia adalah satu-satunja sumber pelepas kepuasan hatiku.
Ia adalah ganti gula-gula jang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku jang ada didunia ini. Jah, ibu
mempunjai hati jang begitu besar dan mulia. Dalam pada itu bapakku seorang guru jang keras. Sekalipun
sudah berdjam-djam, ia masih tega menjuruhku beladjar membatja dan menulis. ,,Hajo, Karno, hafal ini
luar kepala. Ha—Na—Tja—Ra— Ka Hajo, Karno, hafal ini; A-B-C-D-E" dan terus-menerus sampai kepalaku jang
malang ini merasa sakit. Lagi-lagi kemudian,
,,Hajo Karno, ulangi abdjad Hajo, Karno, batja ini Karno, tulis itu " Tapi ajahku mempunjai kejakinan, bahwa
anaknja jang lahir disaat fadjar menjingsing itu kelak akan mendjadi orang. Kalau aku berbuat nakal—ini
djarang terdjadi—dia menghukumku dengan kasar. Seperti dipagi itu aku memandjat pohon djambu
dipekarangan rumah kami dan aku mendjatuhkan sarang burung. Ajah mendjadi putjat karena marah.
,,Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaja menjajangi binatang," ia menghardik.Aku
bergontjang ketakutan. ,,Ja, Pak.",,Engkau dapat menerangkan arti kata-kata: 'Tat Twan Asi, Tat Twam Asi'
?",,Artinja 'Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau.' ",,Dan apakah
tidak kuadjarkan kepadamu bahwa ini mempunjai arti jang penting ?",,Ja, Pak. Maksudnja, Tuhan berada
dalam kita semua," kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannja jang masih berumur
tudjuh tahun.
,,Bukankah engkau sudah ditundjuki untok melindungi machluk Tuhan ?",,Ja, Pak.",,Engkau dapat
mengatakan apa burung dan telor itu ?",,Tjiptaan Tuhan," djawabku dengan gemetar, ,,tapi dia djatuh
karena tidak disengadja. Tidak saja sengadja. "Sekalipun dengan permintaan ma'af demikian, bapak
memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang jang baik laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin jang
keras dan tjepat marah kalau aturannja tidak dituruti. Aku segera mentjari permainan jang tidak usah
mengeIuarkan uang untuk memperolehnja. Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnja jang
lebar. Daun itu udjungnja ketjil, lalu mengernbang lebar dipangkalnja dan tangkainja pandjang seperti
dajung. Adalah suatu hari jang gembira bagi anak-anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa
kami mempunjai permainan. Seorang lalu duduk dibagian daun jang lebar, sedang jang lain menariknja pada
tangkai jang pandjang itu dan permainan ini tak ubahnja seperti eretan. Kadang-kadang aku mendjadi
kadanja, tapi biasanja mendjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak-kanak.
Aku mendjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia mendjadi tempat dimana anak-anak jang tidak punja
dapat bermain dengan tjuma-tjuma. Dan iapun mendjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras
untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan ketjil untuk dimasak. Alasan jang tidak
mementingkan diri sendiri demikian itu pada suatu kali menjebabkan aku kena gandjaran tjambuk. Hari
sudah mulai sendja. Ketika bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan botjah Sukarno tidak ada dirumah,
dia menuntut ibu dengan keras: ,,Kenapa dia bersenang-senang tak keruan begitu lama ? Apa dia. tidak
punja pikiran terhadap ibunja ? Apa dia tidak tahu bahwa ibunja akan susah kalau terdjadi ketjelakaan
?",,Negeri begini ketjil, Pak, tidak mungkin kita tidak mengetahui kalau terdjadi ketjelakaan," ibu
menerangkan. Sekalipun demikian, bapak jang agak keras kepala marah dan ketika aku sedjam kemudian
melondjak-londjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas
ikan dan semua jang ada padaku, lalu aku dirotan sedjadi-djadinja.Tetapi ibu selalu mengimbangi tindakan
disiplin itu dengan kebaikan hatinja. Oh, aku sangat mentjintai ibu. Aku berlari berlindung kepangkuan ibu
dan dia membudjukku. Sekalipun rumput-rumput kemelaratan mentjekik kami, namun bunga-bunga tjinta
tetap mengelilingiku selalu. Aku segera menjadari bahwa kasih-sajang menghapus segala jang buruk.
Keinginan akan tjinta-kasih telah mendiadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku.
Disamping ibu ada Sarinah, gadis-pembantu kami jang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah-tangga
bukanlah pelajan menurut pengertian orang barat. Dikepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotong-
rojong. Kerdjasama. Tolong-menolong, Gotong-rojong sudah mendarah-daging dalam djiwa kami bangsa
lndonesia. Dalam masjarakat jang asli kami tidak mengenal kerdja dengan upah. Manakala harus dilakukan
pekerdjaan jang berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah ? Baik, akan kubawakan
batu tembok; kawanku membawa semen. Kami berdua membantumu mendirikannja. ltulah gotong-rojong. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 14 dari 109
Setiap orang turun tangan. Ada tamu dirumahmu achir-achir ini ? Baik, djangan kuatir, akan kuantarkan kue
kerumahmu setjara diam-diam melalui djalan belakang. Atau beras. Atau nasi-goreng. ltulah gotong-rojong.
Bantu-membantu. Sannah adalah bagian dari rumah-tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang
anggota keluarga kami.
Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa jang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat
gadji sepeserpun. Dialah jang mengadjarku untuk mengenal tjinta-kasih. Aku tidak menjinggung pengertian
djasmaniahnja bila aku menjebut itu. Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat
djelata. Selagi ia memasak digubuk ketjil dekat rumah, aku duduk disampingnja dan kemudian ia berpidato,
,,Karno, jang terutama engkau harus mentjintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mentjintai pula
rakjat djelata. Engkau harus mentjintai manusia umumnja." Sarinah adalah nama jang biasa. Akan tetapi
Sarinah jang ini bukanlah wanita jang biasa. Ia adalah satu kekuasaan jang paling besar dalam hidupku.
Dimasa mudaku aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai suami-isteri. Kami berdua tidur ditempat-
tidur jang ketjil. Ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi. Aku mengisi kekosongan ini
dengan tidur bersama-sama kakakku Sukarmini ditempat tidur itu djuga. Kemudian aku tidur dengan Kiar,
suatu tjampuran dari fox terrier dengan andjing djenis Indenesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan
djenis jang murni. Orang lslam agaknja tidak menjukai andiing, akan tetapi aku mengaguminja. Dengan
tjaranja sendiri bapakku mentjurahkan kasih sajangnja kepadaku. Ketika aku berumur sebelas tahun aku
diserang penjakit thypus. Dua setengah bulan lamanja aku berada diambang-pintu kematian. Aku hanja
bersandar pada kekuatan bapak jang mendorongku untuk hidup. Selama dua setengah bulan penuh bapak
tidur dibawah tempat-tidur bambuku. Ia berbaring diatas lantai semen jang lembab, dialas dengan tikar
pandan jang tipis dan lusuh, tepat dibawah bilah-bilah tempat-tidurku.Sepandjang hari dan sepandjang
malam selama dua setengah bulan bapak berbaring dibawahku. Bukan karena ia tidak dapat memperoleh
tempat barang setumpak untuk menjelip dalam kamarku jang sempit itu.
Tidak. Ini dilakukannja karena kepertjajaan mistik bapak. Ia hendak mendota terus, memohon siang-malam
agar aku diselamatkan dan memohon agar aku mendapat keLuatan-kekuatan dari Jang MahaKuasa. Akan
tetapi supaja kekuatan mistiknja dapat memberikan manfa'at setjara penuh, jang ditjurahkannja langsung
dari badannja keseluruh tubuhku, maka ia harus berbaring dibawahku. Tempat ajah berbaring itu hanja
beberapa kaki, gelap, lembab dengan udaranja jang tidak enak dan menjesakkan, siang dan malam sama
sadja dan disanalah ia selama itu menelentang hingga aku sehat sama sekali.Sewa rumah kami sangat murah,
karena letaknja kerendahan, dekat sebuah kali. Kalau musim hudjan kali itu meluap, membandjiri rumah
dan menggenangi pekarangan kami. Dan dari bulan Desember sampai April kami selalu basah. Air
menggenang jang mengandung sampah dan lumpur inilah jang mendjangkitkan penjakit thypusku.Setelah aku
sehat kembali kami pindah ke Djalan Residen Pamudji. Rumah ini tidak lebih baik keadaannja, akan tetapi
setidak-tidaknja ia kering. Kamar-kamarnja melalui ruangan gelap jang pandjang. Jang paling ketjil adalah
kamarku, jang mempunjai djendela atap sebagai ganti lobang-udara. Untuk memperoleh uang tambahan
beberapa sen kami menerima orang bajar-makan; tiga orang gurubantu dari sekolah bapak dan dua orang
kemenakan seumurku.
Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak jang penjakitan. Aku mendapat
malaria, disenteri, semua penjakit dan setiap penjakit. Bapak menerangkan, ,,Namanja tidak tjotjok. Kita
harus memberinja nama lain supaja tidak sakit-sakit lagi."Bapak adalah seorang jang sangat gandrung pada
Mahabharata, tjerita klasik orang Hindu djaman dahulu kala. Aku belum mentjapai masa pemuda ketika
bapak menjampaikan kepadaku ,,Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah-seorang
pahlawan terbesar dalam tjerita Mahabharata." ,,Kalau begitu tentu Karna seorang jang sangat kuat dan
sangat besar," aku berteriak kegirangan.,,Oh, ja, nak," djawab bapak setudju. ,,Djuga setia pada kawan-
kawannja dan kejakinannja, dengan tidak mempedulikan akibatnja. Tersohor karena keberanian dan
kesaktiannja. Karna adalah pedjoang bagi negaranja dan seorang patriot jang saleh.",,Bukankah Karna
berarti djuga 'telinga ?" aku bertanja agak kebingungan,,Ja, pahlawan-perang ini diberi nama itu disebabkan
kelahirannja. Dahulu kala, sebagaimana dikisahkan oleh Mahabharata, ada seorang puteri jang tjantik. Pada
suatu hari, selagi bermain-main dalam taman, puteri Kunti terlihat oleh Surja Dewa Matahari. Batara Surja
hendak bertjinta-tjintaan dengan puteri itu, oleh sebab itu dia memeluk dan membudjuknja dengan
keberanian dan tjahaja panasnja.
Dengan kekuatan sinar tjintanja, puteri itupun mengandung sekalipun masih perawan. Sudah tentu
perbuatan Dewa Matahari terhadap perawan jang masih sutji itu diluar perikemanusiaan dan menimbulkan
persoalan besar baginja. Bagaimana tjaranja mengeluarkan baji tanpa merusak tanda keperawanan puteri
itu. Dia tidak berani memetik gadis itu dengan memberikan kelahiran setjara biasa. Apa akal ......... Apa
akal Ah, persoalan jang sangat besar bagi Batara Surja. Achirnja dapat dipetjahkannja, dengan melahirkan
baji itu melalui telinga sang puteri. Djadi, karena itulah pahlawan Mahabharata itu dinamai Karna atau
'telinga'." Sambil memegang bahuku dengan kuat bapak memandang djauh kedalam mataku. ,,Aku selalu
berdo'a," dia menjatakan, ,,agar engkaupun mendjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakjatnja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 15 dari 109
Semoga engkau mendjadi Karna jang kedua." Nama Karna dan Karno sama sadja. Dalam bahasa Djawa huruf
,,A" mendjadi ,,O". Awalan ,,Su" pada kebanjakan nama kami berarti baik, paling baik.
Djadi Sukarno berarti pahlawan jang paling baik. Karena itulah maka Sukarno mendjadi namaku jang
sebenarnja dan satu-satunja. Sekali ada seorang wartawan goblok jang menulis, bahwa nama awalku adalah
Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanja Sukarno sadja. Memang dalam masjarakat kami tidak luar biasa
untuk memakai satu nama sadja. Waktu disekolah tanda-tanganku diedja Soekarno— menurut edjaan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku memerintahkan supaja segala edjaan ,,OE" kembali ke ,,U". Edjaan
dari perkataan Soekarno sekarang mendjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak mudah untuk merobah tanda-tangan
setelah berumur 50 tahun djadi kalau aku sendiri menulis tanda-tanganku, aku masih menulis S-O-E. Memang
aku penjakitan diwaktu ketjil. Dan sekalipun umpamanja tidak ada penjakit jang diderita oleh baji Kusno-
Karno, beban untuk memberi makan dua orang anak masih terlalu berat bagi bapak. Seringkali kami harus
bergantung kepada kebaikan dan keramahan dari tetangga kami. Keluarga Munandar menempati rumah jang
serangkai dengan kami. Menurut tjara Djawa jang sebenarnja, kalau kami tidak punja beras, kami makan
punja mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pakai mereka punja. Sewaktu aku berumur sekitar empat-
lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku ketempatnja.
,,Berikanlah anak itu kepadaku untuk sementara," katanja. ,,Aku akan mendjaganja." Dan begitulah aku
tinggal di Tulungagung jang letaknja tidak djauh dari Modjokerto. Nenekku tidak kaja. Siapa diantara kami
jang kaja diwaktu itu ? Tapi memang ada djuga jang sedikit berada. Nenek berdagang batik, djadi setidak-
tidaknja dia sanggup memberiku makan. Kakek dan nenek kedua-duanja mengatakan bahwa aku mempunjai
kekuatan-kekuatan gaib. Bilamana ada orang sakit dikampung itu atau mendapat luka jang terasa sakit,
nenek selalu memanggilku dan dengan lidah aku mendjilat bagian dimana terasa sakit. Anehnja, sisakit
mendjadi sembuh. Nenekpun menduga bahwa aku dapat melihat apa-apa jang gaib, akan tetapi lintasan-
lintasan penglihatan galb itu menghilang ketika aku mulai menemukan kekuatan pidatoku terhadap rakjat.
Nampaknja, apa jang disebut kekuatan ini kemudian tersalur kearah lain, Pendeknja, sesudah berumur 17
tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan setjara ilmu kebatinan. Watakku tidak berobah
sedikitpun selama hampir enam dasawarsa. Dalam umur tudjuh tahun aku sudah mendjadi seorang pemuja
seni. Aku memudja Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne dan Francis X.
Bushman. Setiap bungkus rokok Westminster keluaran Inggris berisi gambar dari seorang bintang sebagai
hadiah. Aku mengumpulkan bungkus- bungkus rokok jang sudah terbuang dan menempelkan pahlawan-
pahlawan jang kupudja itu didinding. Aku mendjaga kumpulan ini dengan njawaku. Ini adalah harta-milikku
sendiri jang pertama.
Pada waktu berumur 10 tahun djagoan Karno sudah ternjata mempunjai kemauan jang keras. Dengan
kekuatan pribadiku aku mendjadi tokoh jang berkuasa setiap kali berkumpul. Bahkan keluargaku sendiri
berkumpul mengelilingiku dan aku mendjadi pusat perhatian. Pada hari ulang-tahunku jang keduabelas, aku
sudah mempunjai pasukan. Dan aku memimpin pasukan ini. Kalau Karno bermain djangirik dalam debu
dilapangan Modjokerto, jang lain-lainpun turut main. Kalau Karno mengumpulkan perangko, mereka djuga
mengumpulkan. Mereka menamakanku seorang ,,djago" Aku mempunjai sebuah sumpitan jang kuperoleh dari
seorang kawan. Kami menempatkan bambu jang pandjang dan berlobang ketjil ini kemulut dan
menembakkan katjang kearah sasaran. Tentunja si Karno mendjadi djago penjumpit. Kalau kami memandjat
pohon, aku memandjat lebih tinggi dari jang lain. Dan akupun djatuh paling keras pula daripada anak-anak
lain. Akupun lebih sering melukai kepalaku dari jang lain.
Tapi setidak-tidaknja tak ada orang jang dapat mengatakan, bahwa aku tidak mentjobanja. Nasibku adalah
untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan, sekalipun pada waklu ketjilku. Dalam permainan adu gasing
ada sebuah gasing kepunjaan kawan jang berputar lebih tjepat daripada kepunjaanku. Kupetjahkan siluasi
itu dengan berpikir tjepat ala Sukarno kulemparkan gasing itu kedalam kali. Bagaimanapun djuga, ada
permainan dimana seorang anak bangsa Indonesia dari djamanku tidak dapat menundjukkan keahliannja.
Misalnja Perkumpulan Sepakbola. Aku bukan hanja tidak bisa mendjadi ketuanja, bahkan aku tidak dapat
lama mendjadi anggotanja. Anggota jang lain adalah anak-anak Belanda jang terus-terang tidak senang
padaku. Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak Bumiputera. Ini tidak bisa. Mereka orang Barat
jang putih seperti saldju, jang asli, jang baik dan mereka memandang rendah kepadaku karena aku anak
Bumiputera atau ,,inlander". Bagiku Perkumpulan Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit jang membikin
hati luka didalam. Anak-anak jang berambut djagung mendjaga kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak,
,,Hei ......... kauuuu Bruine Hei, anak kulit tjoklat goblok jang malang .....Bumiputera ..........inlander
..........anak kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu............" Sedangkan baji-baji pirang sudah tahu
meludah kepada kami. Begitu mereka keluar dari kain-bedung orok, inilah pengadjaran pertama jang
diadjarkan orangtuanja kepada mereka. Dipagi hari aku bergembira, karena aku bersekolah disekolah
Bumiputera, dirnana kami semua sama. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 16 dari 109
Kami semua tigapuluh orang murid di Inlandsche School kelas dua. Bapakku mendjadi Mantri Guru jang
berarti kepala sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Diwaktu itu belum ada
bahasa Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbitjara dalam bahasa Djawa sebagai bahasa
daerah. Dari kelas tiga sampai kelas iima guru memakai bahasa Melaju, bahasa Melaju asli jang telah
tersebar keselurah bagian dari Hindia Belanda dan achirnja mendjadi dasar bagi bahasa nasional kami,
bahasa Indonesia. Dua kali seminggu kami diadjar bahasa Belanda.Ketika aku naik kekelas lima, bapak
menerangkan maksudnja. ,,Tjita-tjitaku hendak mengirim kau kesekolah tinggi Belanda," katanja. ,,Karena
itu, usaha kita jang pertama ialah memasukkan engkau kesekolah rendah Belanda. "Karena teringat kembali
akan pengalamanku di Perkumpulan Sepakbola aku bertanja, ,,Apakah saja tidak dapat meneruskan sekolah
Bumiputera ?",,Pendidikan Bumiputera hanja sampai kelas lima.
Tidak ada landjutannja buat kita. Kita tidak boleh masuk Sekolah Menengah Belanda kalau tidak keluaran
Sekolah Rendah Belanda dan tanpa idjazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi Belanda.",,Apakah saja
bisa masuk kesana berdasarkan kepandaian ?" aku bertanja dengan perasaan kuatir.,,Kau masuk dengan hak
istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi kesempatan untuk menikmati
pendidikan Belanda. Jang lain tidak."Mengingat keadaan kami aku bertanja, ,,Apakah tjuma-tjuma ?",,Mana
bisa. Kita mesti membajar uang sekolah.",,Belanda djuga?",,Tidak, mereka bebas. Akan tetapi dalam
pendjadjahan tak seorangpun dapat mentjapai suatu kedudukan tanpa pendidikan Belanda. Kita harus
madju. Aku akan menemui Kepala Sekolah Rendah Belanda untuk mengadjukan permohonan."Gedung itu
bagus terbuat dari kaju, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnja berwarna biru-muda. Disitu
terdapat tudjuh kelas. Berlainan dengan medja kami di Sekolah-Bumiputera, maka bangku-bangku disini
mempunjai tempat tinta dan latji untuk buku.
Setelah aku menempuh udjian, Kepala Sekolah memberitahukan kepada bapak, ,,Anak tuan sangat pintar,
akan tetapi bahasa Belandanja belum tjukup baik untuk kelas enam Europeesche Lagere School. Kami
terpaksa mendudukkannja satu kelas lebih rendah. "Ketika kami pergi kami merasa sangat tertekan. Bapak
mengeluh. ,,Ini suatu pukulan jang hebat bagi kita. Tapi walaupun bagaimana, tidak ada djalan lain
lagi.",,Umur saja sudah empatbelas," aku memprotes. ,,Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira
saja tinggal kelas karena bodoh. Saja tentu diberi malu.",,Baiklah," bapak memutuskan disaat itu djuga,
,,Kalau perlu kita membohong. Akan kita kurangi umurmu satu tahun Kalau sudah mulai tahun-peladjaran
baru engkau didaftarkan dengan umur tiga-belas."Masih ada satu persoalan mengenai bahasa Belandaku.
Sekalipun kami orang jang tidak mampu, bapak mengambil seorang guru jang mengadjar bahasa Belanda di
Europeesche Lagere School ini untuk memberikan peladjaran chusus kepadaku sedjam setiap hari. Aku ingat
betul namanja. Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari Maria Paulina. Katakanlah, bahwa ia
orang jang paling tidak menarik didunia ini dibandingkan dengan perempuan lain dan karena itu ia tetap
melekat dalam pikiranku. Tjara jang paling baik untuk menerangkan arti daripada pendidikan barat—dan
bagaimana bapak telah bersusah-pajah mengorbankan uang, prinsip dan segala sesuatu untuk itu—-ialah
dengan menghubungkannja dengan kisah pertjintaanku jang pertamakali. Aku berumur empatbelas tahun
dan tidak ragu lagi hatiku jang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Rika
adalah gadis pertama jang kutjium. Dan harus kuakui, bahwa aku sangat gugup waktu itu. Sedjak itu aku
lebih ahli dalam hal itu.Tapi, aduh, aku mentjintai gadis itu mati-matian dan kuikuti turun naiknja
gelombang irama dari seluruh kehidupan anak sekolah. Aku membawakan buku-bukunja, aku dengan
sengadja berdjalan melalui rumahnja, karena mengharapkan sekilas pandang dari dia. Dan nampaknja aku
selalu setjara kebetulan berada dimana dia ada. Tjintaku ini kusimpan dalam kalbuku sendiri. Aku takut
mengutjapkan sepatah kata, karena takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku jakin, bahwa bapak akan sangat
marah kepadaku kalau sekiranja ia mendengarku bergaul dengan anak gadis kulitputih. Sunggubpun aku
sangat ingin menjampaikan sesuatu tentang hal itu kepadanja, ketakutan terhadap kemarahannja
menjebabkan kata-kataku membeku dikerongkongan. Karena itu, keinginan jang menjala-njala ini hanja
kupertjajakan kepada diriku jang sedang dimabuk kepajang.
Pada suatu sore aku berdjalan-djalan naik sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok diudjung
djalan gang kami tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku
sangat kuatir akan apa jang akan menjusul nanti kalau aku sudah sampai dirumah. Inilah aku, putera bapak
satu-satunja, jang bertjinta-tjintaan dengan orang Belanda jang dibentji. Sedjam kemudian aku menjusup
masuk rumah dalam keadaan masih tergontjang. Bapak segera mendekatiku dan berkata, ,,Nak, djangan kau
takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali. Pendeknja, hanja dengan
djalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandarnu !" Ketika datang waktunja untuk masuk sekolah
menengah, bapak sudah tahu apa jang harus dikerdjakannja. Ia menggunakan pengaruh kawan- kawannja
untuk memasukkanku kesekolah menengah jang tertinggi di Djawa Timur, jaitu Hogere Burger School di
Surabaja.,,Nak," katanja, ,,Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semendjak kau dilahirkan kedunia." Semua
telah diaturnja dan aku akan tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto, ialah orang jang kemudian merobah
seluruh kehidupanku.,,Tjokro," ia menerangkan padaku, ,,Adalah kawanku di Surabaja sedjak sebelum kau
ada.",,0," kataku gembira, ,,Saja kira dia keluarga kita." ,,Tidak," djawab bapak. ,,Oo, barangkali mungkin
keluarga jang sangat djauh, tapi tidak serapat seorang kemenakan atau paman." Kemudian bapak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 17 dari 109
memandang kepadaku sesaat. ,,Kautahu siapa Tjokro?" ,,Saja hanja tahu, dia berkeliling untuk
mempropagandakan kejakinan politiknja. Saja ingat dia datang kekampung kita untuk mengadakan pidato
dan menginap, bapak dengan dia mengobrol sampai waktu subuh." ,,Tjokro adalah pemimpin politik dari
orang Djawa.
Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku mendjadi kebarat-
baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang
tidak dinobatkan. Aku ingin supaja kau tidak melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk mendjadi Karna
kedua." Aku tidak membawa apa-apa ketika berangkat ke Surabaja. Tak ada barang untuk dibawa. Satu-
satunja jang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas ketjil dengan pakaian sedikit. Bapak menundjuk salah
seorang guru untuk mengiringi perdjalananku dikereta-api jang lamanja enam djam itu. Tidak dirajakan,
tidak dipestakan kepergianku itu. Jang kuingat hanja bahwa aku menangis getir. Aku meninggalkan rumah.
Aku meninggalkan ibu. Aku baru seorang anak 15 tahun jang masih takut-takut. Dipagi itu, dihari
keberangkatanku ibu melepasku dengan peringatan bahwa aku tidak lagi akan kembali untuk tinggal
bersama-sama dengan mereka. Didepan rumah kami dia memerintahkan, ,,Berbaringlah ditanah, nak.
Berbaring sadja biarpun kotor." Kemudian ibu melangkahi badanku pulang-balik sampai tiga kali. lni sesuai
dengan kepertjajaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknja dengan tubuhnja sendiri darimana
sianak dilahirkan dan jang mengandung kekuatan kekuatan sakti dari kehidupan, berarti bahwa sianak
mendapat restu dari ibunja untuk selama-lamanja. Seakan-akan ia berkata setiap kali, ,,Anak ini berasal dari
kandunganku dan kuberkati dia."Kemudian dia menjuruhku bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke
Timur dan berkata dengan sungguh-sungguh, ,,Djangan sekali-kali kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah
putera sang fadjar."
Bab 4
Surabaja: Dapur Nasionalisme
DARI djenis binatang prasedjarah jang digali dikepulauan kami, ahli-ahli purbakala membuktikan bahwa
setengah djuta tahun jang lalu pulau Djawa sudah didiami orang. Kebudajaan kami adalah kebudajaan
purba. Bukalah buku Ramayana. Didalamnja orang akan membatja keterangan mengenai ,,Negeri Suarna
Dwipa jang mempunjai tudjuh buah keradjaan besar". Suarna Dwipa, jang berarti pulau-pulau emas, adalah
nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam tjerita-tjerita klasik Hindu duaribu limaratus tahun jang
lalu.Dari abad kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwidjaja sampai abad keempatbeias
waktu negeri kami bernama Madjapahit, kami punja ,,negeri jang terkenal makmur telah mentjapai
tingkatan ilmu jang demikian tinggi sehingga mendjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh dunia-beradab".
Demikianlah keterangan jang terdapat dalam surat-surat-gulung-perkamen jang berharga dari negeri
Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudajaan seluruh Asia. Negeri kami masih tersohor dalam
lingkungan internasional ketika Christopher Columbus mentjari kepulauan. Rempah-rempah gugusan pulau-
pulau jang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama Columbus tidak berlajar mentjari djahe,
buah-pala, lada dan tjengkeh kami dan tidak sesat pula didjalan, tentu dia tidak akan menemukan benua
Amerika. Ketika djalan laut menudju Hindia achirnja ditemukan orang, modal asing mengerumuni pantai
kami, seperti semut mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco'da Gama. Dari negeri Belanda
Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik-tanda dimulainja ,,Revolusi Perdagangan" di Eropa.
Kapitalisme ini tumbah hingga ia mengenjangkan lapangan eksploitasi dalam masjarakat mereka sendiri.
Barang-barang jang sebelumnja diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; djadi Timur mendjadi
pasar-pasar tambahan untuk barang-barang berlebih. Daerah Timur mendjadi suatu pasar untuk modal
berlebih jang tidak lagi bisa memperoleh djalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu membawa
Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dulu negara itu harus
ditaklukkan. Pedagang pedagang mendjadi penakluk; bangsa-bangsa Asia-Afrika didjadjah dan kelobaan ini
membuka pintu kepada djaman Imperialisme. Djawa diduduki diabad ke 16; Maluku diabad ke 17 dan
lambatlaun Negeri Belanda menguasai kepulauan kami setjara berturut-turut hingga ke Bali jang baru
dikuasai ditahun 1906. Dengan tjepat kekuasaan asing menanamkan akar-akarnja. Mereka mengambil
kekajaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera-puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa
jang Besar jang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, mentjiptakan tari. Kami tidak lagi dikenal oleh
dunia luar, ketjuali oleh penghisap-penghisap dari Barat jang mentjari kemewahan di Hindia. Akibat
daripada Imperialisme sungguh djahat sekali. Orang laki-laki diambil dari rumahnja dan dipaksa mendjadi
budak dipulau-pulau jang djauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia. Perempuan-perempuan
dipaksa bekerdja dikebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan pekerdjaannja, sekalipun melahirkan
pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah jang lunak dan murah terbuat dari katjang kedele jang diberi
ragi. Negeri tempe berarti negeri jang lemah. Itulah kami djadinja. Kami terus-menerus dikatakan sebagai
bangsa jang mempunjai otak seperti kapas. Kami mendjadi pengetjut; takut duduk, takut berdiri, karena
apapun jang kami lakukan selalu salah. Kaml mendiadi rakjat seperti dodol dengan hati jang ketjil. Kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 18 dari 109
lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami mendjadi suatu bangsa jang hanja dapat membisikkan,
,,Ja tuan"Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja
mereka pegang teguh setjara tidak sadar. Hal itu menjebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita
dari kabinetku selalu menjediakan djuadah makanan Eropa. ,,Kita mempunjai penganan enak kepunjaan kita
sendiri," kataku dengan marah.
,,Mengapa tidak itu sadja dihidangkan ?" ,,Ma'af, Pak," kata mereka dengan penjesalan ,,Tentu bikin maIu
kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita jang melarat." Ini adalah suatu
pemantulan kembali dan pada djaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah-diri kami
jang telah berabad-abad umurnja kembali memperlihatkan diri. Edjekan jang terus-menerus dipompakan
oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidak-mampuan kami, menjebabkan kami jakin akan hal tersebut.
Dan kejakinan bahwa engkau bangsa jang hina, lagi bodoh adalah suatu sendjata jang ada dalam tangan
pendjadjah. lmperialisme adaIah kumpulan kekuatan djahat jang nampak dan jang tidak nampak.
Penindasan jang sudah demikian lama dirasakan menjebabkan bangkitnja suatu masa para pelopor. Sun Yat
Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok ditahun 1885. Kongres Nasional India: ditahun 1887. Aguinaldo
dan Rizal membangkitkan Filipina. ditahun-tahun permulaan abad ke-20.
Seluruh Asia bangkit dan diabad keduapulah jang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terdjadi lagi,
maka bangsa Indonesia jang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini.
Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Djawa menjusun partai nasional jang pertama dengan nama ,,Budi
Utomo", jang artinja ,,Usaha jang Sutji". Ditahun 1912 organisasi ini memberi djalan kepada Sarekat Islam
jang mempunjai anggota sebanjak dua-setengah djuta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro Aminoto.
Bangsa Indonesia jang menderita setjara perseorangan sekarang mulai menjatukan diri dan persatuan
nasional mulai tersebar. Ia lahir di Djakarta,.akan tetapi sang baji baru pertamakali melangkahkan kakinja di
Surabaja. Ditahun 1916 maka Surabaja merupakan kota pelabuhan jang sangat sibuk dan ribut, lebih
menjerupai kota New York. PeIabuhannja baik dan mendjadi pusat perdagangan jang aktif. Ia mendjadi
suatu kota industri jang penting dengan pertukaran jang tjepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau,
kopi. Ia mendjadi kota tempat perlombaan dagang jang kuat dan orang-orang Tionghoa jang tjerdas
ditambah dengan arus jang besar dan para pelaut dan pedagang jang membawa berita-berita dari segala
pendjuru dunia. Penduduknja semakin bertambah, terdiri dari pekerdja pelabuhan dan peketdja bengkel
jang masih muda-muda dan jang bersemangat menjala-njala.la mendjadi kota dimana bergolak persaingan,
pemboikotan, perkelahian didjalan-djalan. Kota itu bergolak dengan ketidak-puasan dari orang-orang
revolusioner. Ketengah-tengah kantjah jang mendidih demikian itulah seorang anak-ibu berumur 15 tahun
masuk dengan mendjindjing sebuah tas ketjil.
Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Jaitu Pak dan Bu Tjokro, anak-anaknia Harsono jang
12:tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, puteri mereka Utari lima tahun lebih muda
dan seorang baji , Pak Tjokro semata-mata bekerdja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannja tidak
banjak. Dia tinggal dikampung jang penuh sesak tidak djauh dari sebuah kali. Menjimpang dari djalanan jang
sedjadjar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri-kanannja dan ia terlalu sempit untuk
djalan mobil. Gang kami namanja Gang 7 Peneleh. Pada seperempat djalan djauhnja masuk kegang itu
berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviljun setengah melekat. Rumah itu dibagi mendjadi sepuluh
kamar-kamar ketjil, termasuk ruang loteng.
Keluarga Pak Tjokro tinggal didepan; kami jang bajar-makan dibelakang. Sungguhpun semua kamar sama
melaratnja, akan tetapi anak-anak jang sudah bertahun-tahun bajar makan mendapat kamar jang namanja
sadja lebih baik. Kamarku tidak pakai djendela samasekali. Dan tidak berpintu. Didalam sangat gelap,
sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sekalipun disiang hari. Duniaku jang gelap ini
mempunjai sebuah medja gojah tempatku menjimpan buku, sebuah korsi kaju, sangkutan badju dan sehelai
tikar rumput. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaja diwaktu itu sudah menikmati kemegahan
lampu listrik. Setiap kamar mempunjai fitting dan setiap pembajar-makan membajar ekstra untuk lampu.
Hanja kamarku jang tidak punja. Aku tidak punja uang untuk membeli bolanja. Aku beladjar sampai djauh
malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi balai-balai
dan supaja terhindar dari njamuk. Kamar itu ketjil seperti kandang-ajam. Tidak ada udara segar dan
mendjadi sarang serangga. Akan tetapi karena tak ada orang lain jang mau tinggal denganku dikamar jang
gelapi itu, maka setidak-tidaknja aku dapat memilikinja untuk diriku sendiri.
Sewanja 11 rupiah, termasuk makan. Atau setjara perhitungan kasarnja empat dollar sebulan. Bapak
mengirimiku uang duabelas rupiah setengah, dengan sisanja limapuluh sen untuk uang-saku. Ditahun 1917
bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan kenaikan djabatan, nasib bapak berobah
sedikit. Oleh sebab itu ia dapat mengirimiku f 1,50 untuk uang-saku setiap bulannja.Memang sukar bagi
seorang inlander untuk memasuki H.B.S. Disamping f 15,00 sebulan untuk uang-sekolah dan pet seragam
bertuliskan H.B.S., kami harus membajar lagi f 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku ingat betul djumlah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 19 dari 109
ini, karena aku menghitung setiap rupiahnja. Kudjaga agar djangan ada jang terpakai setjara tidak
disengadja. Walaupun aku anak jang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanja kalau dalam
kesempitan sadja. Kukira ini sama sadja dengan setiap anak muda, bukan ? Dengan tidak usah membuka-
surat-suratku terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinja, bahwa si Karno minta uang. Suratku kepada
orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis jang itu-itu djuga dan tidak pernah berobah-robah: ,,Bapak
dan lbu jang tertjinta' saja berada dalam keadaan sehat-sehat sadja dan harapan saja tentu agar Bapak dan
Ibu keduanja demikian pula hendaknja."
Kemudian setelah salam itu, dibaris jang ketiga aku langsung menjampaikan maksud jang terpenting. Aku
menulis, ,,Sekarang saja sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat mengirimi barang sedikit
?"Disamping ibuku jang penjajang itu selalu mengirimiku setjara diam-diam satu atau dua rupiah bila ia punja
uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer
dari Surabaja dan Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos pulang. Karena uang itu
tidak habis semua untuk ongkos perdjalanan, maka aku sering menemui mereka. Pak Poegoeh enam tahun
lebih tua daripadaku dan bekerdja dikantor irigasi dari Departemen Pekerdjaan Umum. Sekalipun kami
seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanja setjara terang-terangan. Tjara orang
Djawa kebanjakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku jang menjampaikannja pula kepadanja. Dan
permintaan ini kupikirkan lebih dulu semasak-masaknja. Aku tak pernah meminta diluar batas jang
kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah.
Sebagai hasil dari kebidjaksanaan sematjam ini aku kadang-kadang mendapat lebih dari pada jang kuminta.
Terasa hari Iibur sangat menjenangkan apabila hadiah itu datang karena aku lalu bisa mendjamu kawan-
kawanku dengan kopi atau djadjan. H.B.S. terletak satu kilometer dari Gang Paneleh Setiap anak mempunjai
sepeda. Aku sendiri jang tidak. Biasanja aku membontjeng dengan salah seorang kawan atau berdjalan kaki.
Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers jang
hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnja bagai seorang ibu. Ia kugosok-gosok.
Kupegang-pegang. Kubelai-belai. Pada suatu kali Harsono jang berumur tudjuh tahun setjara diam-diam
memakai sepedaku itu dan menabrakkannja kepohon kaju. Seluruh bagian mukanja patah. Harsono
ketakutan. Ia tidak berani mengatakan padaku, dan ketika aku mendengar berita itu, kusepak pantatnja
dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu-minggu lamanja aku tergontjang oleh
Fongersku jang hitam mengkilat itu jang sekarang sudah bengkok-bengkok. Achirnja aku dapat
mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi sepeda jang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam
seminggu aku menikmati satu-satunja kesenanganku Film, Aku sangat menjukainja. Betapapun, tjaraku
menonton sangat berbeda dengan anak-anak Belanda. Aku duduk ditempat jang paling murah. Tjoba pikir,
keadaanku begitu melarat, sehingga aku hanja dapat menjewa tempat dibelakang lajar. Kaudengar ?
Dibelakang lajar ! ! Diwaktu itu belum ada film bitjara, djadi aku harus membatja teksnja dan terbalik dan
masih dalam bahasa Belanda ! lama-kelamaan aku mendjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat
dengan tjepat membatja teks itu dari kanan kekiri. Aku tidak peduli, karena tak ada tjara lain lagi. Bahkan
aku bersjukur karena masih bisa menjaksikannja. Saat satu-satunja jang menjebabkan aku ketjewa ialah,
bila dipertundjukkan film adu-tindju. Aku samasekali tak dapat menaksir, tangan siapa jang melakokan
pukulan.
Dimasa itu ,,Yankee Doodle" jang mendjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnja pada tiap istirahat dan
sambil duduk seorang diri dalam gelap dibelakang lajar aku menjanjikannja dengan lunak untuk diriku
sendiri. Sampai sekarang aku masih menjanjikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang kekota kami.
Dalam pertundjukan itu mereka melepaskan merpati-merpati dan kalau ada jang hinggap dibahu seseorang,
itulah jang memenangkan hadiah. Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu hinggap pada teman
kami, jang sama-sama bajar-makan, hadiahna seekor kuda. Djadi berkupullah kami Suarli pemenang jang
beruntung itu, kami pemuda lainnja sebanjak setengah lusin dan seekor kuda tua jang sudah letih. Kami
tidak dapat akal akan diapakan kuda itu. Tapi kami harus membawanja keluar, karena itu kami bawa ia
pulang. Dibagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada djalan untuk bisa sampai ketempat
itu ketjuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dan rumah Pemimpin Besar
Rakjat Djawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar-duduk, terus kehalaman belakang dimana ia
ditambatkan kebatang sawo.
Tak seorangpun diantara kami jang punja uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu
kepunjaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli mendjualnja. Ketjuali satu sirkus dan film, masa
itu bukanlah masa jang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunjai kesenangan semasa mudaku. Aku
terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti iang dialami oleh anak-anak sekolah iang lain.
Mungkin apa jang dinamakan tindakan kegila-gilaan sebagaimana jang dituduhkan kepadaku· sekarang,
adalah sematjam imbangan untuk mengedjar kerugian dimasa muda. Tidak ada kesenangan-kesenangan jang
menjegarkandalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan jang kutjari sekarang mungkin
sebagai usahaku untuk-menutupi segala sesuatu jang tidak pernah kunikmati dimasa muda, sebelum BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 20 dari 109
waktunja terlambat. Aku tidak tahu dengan pasti. Aku- tak pernah memikirkannja hingga datang waktunja
bagiku untuk mendjalankan pembedahan diri dengan djalan otobiografi ini.
Bagaimanapun djuga, ini adalah pertjakapan antara kita antara engkau, pembatja, denganku. Dan karena
aku-berbitjara dan gelora hati jang meluap-luap, kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku
dimasa jang silam, aku merasa mungkin djuga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi kekurangan
diriku sendiri sekarang. Pendeknja, aku tidak mengalami masa senang di Surabaja. Pada waktu aku mula
datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat kehilangan ibu tak dapat kutjeritakan-kepadamu betapa
Wanita senantiasa memberikan pengaruh jang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punja ibu, tidak ada
nenek untuk membudjukku jang selamanja mengagumiku — tidak ada Sarinah jang dengan tekun
mendjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang wanita jang manis dengan perawakan
ketjil bagus. Dia sendirilah jang mengumpulkan uang makan kami saban minggu. Dialah jang membuat
peraturan seperti: (l) Makan malam djam sembilan dan barangsiapa jang datang terlambat tidak dapat
makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada dikamarnja djam 10 malam. (3) Anak sekolah harus bangun djam
empat pagi untuk beladjar. (4) Main-main dengan anak gadis dilarang. Aku memelihara hubungan rapat
dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku sebagai seorang ibu. Karena
memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada Mbok Tambeng, perempuan pembantu
rumahtangga, untuk menghiburku. Dia mendjadi pengganti ibuku. Dia menambal tjelanaku. Dia tahu bahwa
gado-gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka menjusupkan ekstra untukku. Mbok sajang kepadaku,
tapi ah ! aku sangat merindukan kasih-sajang itu. Masih sadja si Mbok tidak bisa mendjadi penghibur jang
tjukup bagi seorang anak jang halus perasaannja. Djiwaku mendjerit-djerit mentjari kepertjajaan hati,
bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh. Pak Tjokro bukanlah orangnja.
Seorang pemimpin hanja tertarik pada soal-soal politik. Bahunja bukanlah tempat bersandar untuk menangis.
Atau tangannja bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak.Sekalipun demikian Pak Tjokro sangat senang
kepadaku. Kasih sajangnja ini dinjatakannja terutama dimusim kemarau tahun 1918. Biasanja aku pulang
mengundjungi orangtuaku dalam waktu libur. Dalam dua bulan libur tinggal di Blitar aku merentjanakan
pergi ketempat kawan-kawan untuk sehari di Wlingi, jang djaraknja 20 kilometer dari Blitar. Semua rentjana
telah disiapkan dan dengan keinginan jang besar menghadapi tudjuan aku melambai kepada bapak,
mentjium ibu dan memulai perdjalananku. Aku baru sadja sampai dirumah kawan kawanku ketika bahana
menggemuruh jang menakutkan memenuhi angkasa dan tanah bergontjang-gontjang dibawah kakiku.
Perempuan-perempuan tua jang ketakutan, anak-anak jang mendjerit dan para pekerdja jang letih oleh
membanting-tulang terpentjar keluar dari pondok-pondok mereka menudju kampung jang penuh sesak.
Ketakutan, kebingungan dan kekatjauan menghinggapi rakjat kampung.
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mentjari saat itu untuk menundjukkan kemurkaan dari Dewa-
dewa. Langit mendjadi hitam oleh arang dan abu bermil-mil djauhnja. Dimana-mana ledakan lahar. Daerah
itu diselubungi oleh asap, api dan ratjun. Dengan kekuatan jang hebat lahar jang mendidih-didih mentjurah
menuruni lereng gunung ketempat jang lebih rendah dan menggenang disana antara Blitar dan Wlingi. Banjak
orang jang mati.Aku sangat kuatir karena kutahu orangtuaku tentu sangat susah memikirkan diriku
…….Hidupkah dia ……..Matikah dia. Mereka sadar, bahwa anaknja berada tepat didjalan dimana gunung itu
memuntahkan isinja dan mereka tidak dapat memperoleh berita. Sementara itu aku mendengar, bahwa
separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran tentang apakah jang
mungkin terdjadi terhadap orangtuaku. Aku harus kembali setjepat mungkin, akan tetapi tidak ada
kendaraan jang bagaimanapun bentuknja jang dapat menjeberangi lautan lahar jang menggelora itu.
Achirnja, satu-satunja djalan jang harus ditempuh ialah dengan mengarunginja berdjalan kaki. Selagi lahar
masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menudju djalan pulang. Aku masih djauh ketika mereka
menampakku, lalu datang berlari-lari menjongsongku ditengah djalan. Mereka memelukku. Mereka
mentjiumku.
Mereka mengelus pipiku. ,,0, engkau masih hidup," teriak bapak. ,,Engkau masih hidup engkau masih hidup."
Ibu menangis. Aku merangkul orangtuaku dengan kedua belah tanganku. Aduh, kami gembira, gembira sekali
bertemu satu sama lain. Di Surabaja, Pak Tjokropun rupanja merasa tjemas memikirkan keadaanku. Ia
menaiki mobilnja dan melakukan perdjalanan sehari penuh hanja karena hendak mengetahui bagaimana
keadaanku. Mula-mula ia tidak dapat menemuiku atau orangtuaku. Rumah kami selamat, akan tetapi rumah
itu sudah mendjadi tumpukan lahar dan lumpur. Sampai di Djalan Sultan Agung 53 ia hanja mendapati rumah
kosong samasekali. Ketjuali beberapa ekor burung-burung ketjil. Ia djadi sangat bingung sebelum bertemu
dengan kami. Djadi aku menjadari bahwa Pak Tjokro mentjintaiku dengan tjaranja sendiri. Hanja tjaranja
itu tidak tjukup bagi seorang anak jang kesepian. Ia djarang berbitjara denganku. Bahkan aku djarang
melihatnja. Ia tidak mempunjai waktu jang senggang. Kalau ia dirumah tentu ada tamu atau ia bersamadi
dalam kesunjian. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 21 dari 109
Oemar Said Tjokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaja. Pak Tjokro mengadjarku
tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa jang ia ketahui ataupun tentang apa djadiku kelak. Seorang
tokoh jang mempunjai daja-tjipta dan tjita-tjita tinggi, seorang pedjoang jang mentjintai tanah tumpah
darahnja. Pak Tjokro adalah pudjaanku. Aku muridnja. Setjara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku.
Aku duduk dekat kakinja dan diberikannja kepadaku buku-bukunja, diberikannja padaku miliknja jang
berharga Ia hanja tidak sanggup memberikan kehangatan langsung dari pribadinja kepada pribadiku jang
sangat kuharapkan. Karena tak seorangpun jang mentjintaiku seperti jang kuidamkan, aku mulai mundur.
Kenjataan-kenjataan jang kulihat dalam duniaku jang gelap hanjalah kehampaan dan kemelaratan. Karena
itu aku mengundurkan diri kedalam apa jang dinamakan orang Inggris ,,Dunia Pemikiran". Buku-buku
mendjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk
mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan jang terdapat diluar. Dalam dunia kerohanian dan dunia jang
lebih kekal inilah aku mentjari kesenanganku. Dan didalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira.
Selurah waktu kupergunakan untuk membatja. Sementara jang lain bermain-main, aku beladjar. Aku
mengedjar ilmu pengetahuan disamping peladjaran sekolah. Kami mempunjai sebuah perpustakaan jang
besar dikota-ini jang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku
boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnja buat seorang anak jang miskin.
Aku menjelam samasekali kedalam dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar.
Buah pikiran mereka mendjadi buah pikiranku. Tjita-tjita mereka adalah-pendirian dasarku. Setjara mental
aku berbitjara dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia. karena dia
bertjeritera kepadaku tentang Declaration of Independence jang ditulisnja ditahun 1776. Aku
memperbintjangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku mendalami lagi perdjalanan Paul Revere.
Aku dengan sengadja mentjari kesalahan-kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat
mempersoalkan hal ini dengan dia.Pada waktu sekarang, apabila ada orang menegur, ,,Hai Sukarno,
mengapa engkau tidak suka kepada Amerika ?" maka aku akan mendjawab, ,,Apabila engkau mengenal
Sukarno, engkau tidak akan -mengadjukan pertanjaan itu.? Masa mudaku kupergunakan untuk memudja
bapak-bapak perintis dari Amerika Aku ingin berlomba dengan pahlawan-pahlawannja. Aku mentjintai
rakjatnja. Dan aku masih mentiintainja. Bahkan sekarangpun aku masih membatja madjalah Amerika dari
,,Vogue" sampai ke ,,Nugget'..Aku akan selalu merasa berkawan dengan Amerika. Ja, berkawan. Aku
mengatakannja setjara terbuka Aku menuliskan tentang diriku sendiri. Kunjatakan ini dengan tertjetak.
Suatu pendirian dasar seperti jang kumiliki takkan dapat membiarkanku tidak berkawan dengan Amerika.
Didalam dunia pemikiranku akupun berbitjara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan
Beatrice Webb jang mendirikan Gerakan Buruh Inggris aku berhadapan muka dengan Mazzini, Cavour dan
Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari Austria.
Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean
Jacques Rousseau' Aristide Briand' dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sedjarah Perantjis. Aku
meneguk~semua tjerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnja adalah Voltaire. Aku adalah Danton
pedjoang besar dari Revolusi Perantjis. Seribu kali aku menjelamatkan Perantjis seorang diri dalam kamarku
iang gelap. Aku mendjadi tersangkut setjara emosionil dengan negarawan-negarawan ini. Disekolah kami
mendengarkan peIadjaran tetntang pengadilan rakiat dari bangsa Junani kuno. Ia melekat dalam pikiranku.
Aku membajangkan pemikir-pemikir jang sedang marah selagi berpidato dan meneriakkan sembojan-
sembojan seperti ,,Persetan dengan Penindasan" dan ,,Hidup' Kemerdekasn". Hatiku terbakar menjaIa-njala.
Macam itu, ketika semua orang sudah menguntji pintu, kamar kandang-ajamku mendiadi ruang-pengadilan
aku sebagai seorang pemuda Junani jang terbakar oleh enthusiasme.
Sambil berdiri diatas medjaku jang gojah aku ikut terbawa-oleh perasaan. Aku mulai berteriak Selagi aku
berpidato dengan sangat keras kepada tak seorangpun, kepala-kepala berdjuluran keluar pintu, mata
bertondjolan dari kepala dan terdengar suara anak-anak muda berteriak dalam gelap' ,,Hei, No,' kau gila ?
Ada apa….Hei, apa kau sakit ?" dan kemudian tukang-tukang sorak itu kembali pada djawabannja sendiri,
,,Ah, tidak ada apa-apa. Tjuma si No mau menjelamatkan dunia lagi" dan satu demi satu pintu-pintu
menutup lagi dan membiarkan aku sendiri dalam kegelapan. Pada waktu aku semakin mendekati
kedewasaan, duniaku didalam semakin lebar dan mentjakup pula kawan-kawan dari Tjokroaminoto. Setiap
hari para pemimpin dari partai lain atau pemimpin tjabang Sarekat Islam datang bertamu. Dan setiap kali
mereka tinggal selama beberapa hari. Sementara kawan-kawanku serumah keluar menjaksikan pertandingan
bola, aku duduk dekat kaki orang-orang ini dan mendengarkan.
Kadang-kadang kubagi tempat-tidurku dengan salahseorang pemimpin itu dan minum dari mata-air keahlian
mereka hingga waktu fadjar. Aku menjukai waktu makan, Kami makan setjara satu keluarga, djadi aku dapat
mengikuti dan meresapkan pertjakapan politik. Pada waktu mereka melepaskan lelah disekeliling medja, aku
bahkan kadangkadang berani mengadjukan pertanjaan. Mahaputera-mahaputera ini putera-putera jang besar
dari rakjat Indonesia—tidak mengatjuhkanku karena aku masih anak-anak. Sekali pada waktu makan malam
mereka mempersoalkan tentang kapitalisme dan tentang barang-barang jang diangkut dari kepulauan kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 22 dari 109
untuk memperkaja Negeri Belanda. Disaat inilah aku bertanja pelahan, ,,Berapa banjak jang diambil Belanda
dari Indonesia ?",,Anak ini sangat ingin tahu," senjum Pak Tjok, kemudian menambahkan, ,,De Vereenigde
Oost Indische Compagnie menjedot— atau mentjuri—kira-kira 1800 djuta gulden dari tanah kita setiap tahun
untuk memberi makan Den Haag.",,Apa jang tinggal dinegeri kita ?" kali ini aku bertanja lebih keras
sedikit.,,Rakjat tani kita jang mentjutjurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari,"
kata Alimin, jaitu orang jang memperkenalkanku kepada Marxisme. ,,Kita mendjadi bangsa kuli dan
mendjadi kuli diantara bangsabangsa," sela kawannja jang bernama Muso.,,Sarekat Islam bekerdja untuk
memperbaiki keadaan dengan mengadjukan mosi-mosi kepada Pemerintah," kata Pak Tjok menerangkan dan
kelihatan senang karena mempunjai murid jang begitu bersemangat. ,,Pengurangan padjak dan serikat-
serikat sekerdja hanja dapat digerakkan dengan kooperasi dengan Belanda—sekalipun kita membentji kerdja-
sama ini.",,Tapi apakah baik untuk membentji seseorang sekalipun ia orang Belanda ?" ,,Kita tidak
membentji rakjatnja," dia memperbaiki, ,,Kita membentji sistim pemerintahan Kolonial." ,,Mengapa nasib
kita tidak berobah djika rakjat kita telah berdjoang melawan sistim ini sedjak berabad-abad?"
,,Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berdjoang sendiri-sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut
jang ketjil didaerah jang terbatas," Alimin mendjawab.,,0, mereka kalah karena tidak bersatu," kataku. Ahli
pikir India, Swami Vivekananda, menulis, ,,Djangan bikin kepalamu mendjadi perpustakaan. Pakailah
pengetahuanmu untukdiamalkan." Aku mulai menerapkan apa-apa jang telah kubatja kepada apa jang telah
kudengar. Aku memperbandingkan antaraperadaban jang megah dari pikiranku dengan tanah-airku sendiri
jang sudah bobrok.Setapak demi setapak aku mendjadi seorang pentjinta tanah-air jang menjala-njala dan
menjadari bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati kesenangan dengan melarikan
diri kedalam dunia chajal. Aku menghadapi kenjataan bahwa negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku
berdjalan-djalan seorang diri dan merenungkan tentang apa jang sedang berputar dalam otakku. Satu djam
lamanja aku berdiri tak bergerak diatas diambatan ketjil jang melintasi sungai ketjil dan memandangi iring-
iringan manusia jang tak henti-hentinja. Aku melihat rakjat tani dengan kaki-ajam berdjalan lesu menudju
pondoknja jang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mentjekam diatas kereta terbuka jang ditarik
oleh dua ekor kuda jang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulitputih kelihatan bersih-bersih, sedang
saudara-saudaranja jang belkulit sawomatang begitu kotor, badannja berbau, badjunja tjompang-tjamping,
anak-anak mereka djorok-djorok. Aku bertanja dalam hati, apakah orang bisa tetap bersih apabila mereka
tidak - punja pakaian lain untuk penggantinja.
Kuisap masuk tubulrku bau daripada sisa makanan jang sudah busuk dan bau selokan-selokan jang
melemaskan, dan kulekatkan dengan kuat didalam lobang hidungku bau busuk daripada kemelaratan
rakjatku, sehingga sekalipun aku pergi 10.000 mil dari disungai aku masih tetap mentjiumnja. Aku
memandang kedalam keputus asaan dari setiap laki-laki dan perempuan jang kulihat. Aku terhanjut bersama
rakjatku. Rakjatku jang miskin lagi papa. Dari djembatan aku menoleh kearah massa jang seperti semut
banjaknja dan aku mengerti sedjelas-djelasnja, bahwa inilah kekuatan kami. Dan aku-menjadari sesadar-
sadarnja akan penderitaan mereka. Sekalipun anak ketjil tak-akan dapat menahan rawan hatinja pada waktu
pertamakali melihat kata-kata peringatan dikolam-renang jang berbunji, ,,Terlarang bagi andjing dan
bumiputera." Andjing didahulukan. Dapatkah seorang manusia tidak tersinggung perasaannja, apabila
seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada setiap Belanda jang menaiki tremnja ? Aku
seorang anak berumur 14 tahun ketika mukaku ditampar oleh seorang anak berhidung pandjang, tak lain
hanja disebabkan karena aku seorang inlander. Apakah menurut pendapatmu tindakan-tindakan jang
demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam hati ? Ja, aku mempunjai kesadaran sebagai seorang anak.
Aku memulai persembahan hidupku ini pada umur 16 tahun. Perkumpulan politik jang pertama kudirikan
adalah Tri Koro Darmo jang berarti ,,Tiga Tudjuan Sutji" dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi
dan sosial jang kami tjari. Ini pada dasarnja adalah suatu organisasi sosial dari para peladjar seumurku. Jong
Java', sebagai langkah kedua, mempunjai dasar jang Iebih luas. Begitupun pergaulan sosial kami
berlandaskan kebangsaan. Kami membaktikan diri untuk memperkembangkan kebudajaan asli seperti
mengadjarkan tari Djawa atau mengadjar main gamelan.
Jong Java pun banjak melakukan pekerdjaan-pekerdjaan sosial. Kami pergi kekampung-kampung jang
berdekatan untuk mengumpulkan dan bagi sekolah atau untuk membantu korban bentjana letusan gunung.
Kami mengadakan pertunjukan ditempat-terapat jang memerlukan pertolongan dan mengeluarkan biaja-
biaja itu dari hasil uang masuk. ,, Harus kuakui sekarang, bahwa tampangku dimasa muda sangat tampan
sehingga kelihatan seperti anak gadis. Karena hanja sedikit wanita terpeladjar pada waktu itu, tidak banjak
anak gadis jang mendjadi anggota kami. Dan potonganku lebih banjak menjerupai seorang perawan tjantik
sehingga kalau Jong Java mengadakan pertundjukan. Manaakalau diserahi memainkan peran wanita jang naif
itu. Aku betulbetul membedaki pipi dan memerahkan bibirku. Akan kutjeritakan sesuatu kepadamu. Aku
tidak tahu, bagaimana pendapat orang-asing tentang seorang Presiden jang mau mentjeritakan hal jang
demikian itu Tetapi sungguhpun demikian aku akan mentjeritakannja djuga. Aku membeli dua potong -roti
manis. Roti bulat. Seperti roti-gulung. Dan kuisikan kedalam badjuku. Ditambah dengan bentuk-badanku jang
langsing setiap orang menjatakan, bahwa aku kelihatan sangat tjantik. Untunglah dalam peranku itu tidak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 23 dari 109
termasuk adegan mentjium laki-laki. Selesai pertundiukan kupikir, tentu aku tak dapat menghamburkan
uangku begitu sadja Karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam badju dan kumakan.
Sambil memandangku diatas panggungpara penontonpun memberikan komentaraja, bahwa aku memperlihat-
kan bakat jang besar untuk tampil dimoka umum. Akupun sangat setudju dengan pendapat mereka, tidak
lama kemudian aku mendapat kesempatan lain. Ketika itu diadakan pertemuan dari Studieclub, jaitu suatu
kelompok sebagai pengadjaran tambahan dan bertudjuan untuk membahas buah-buah pikiran dan tjita-tjita.
Disinilah aku mengadakan pidato jang pertama. Aku berumur 16 tahun. Ketua Studieclub mendapat giliran
untuk berbitiara dan mendadak aku dikuasai oleh suatu dorongan jang kuat untuk berbitjara. Aku tidak dapat
mengendalikan diriku selandjutnja. Selagi duduk dalam pertemuan itu aku melompat dan berdiri diatas
medja. Suatu gerak perbuatan chas seperti kanak-kanak. Kukira ini disebabkan karena aku bersifat
emosionil. Sekarangpun aku masih demikian. Ketua menjatakan, ,,Adalah mendjadi suatu keharusan bagi
generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda."Setiap orang setudju. Setiap orang, ketjuali aku
sendiri. Aku gugup tentunja, akan tetapi ketika aku memperoleh perhatian mereka, aku berbitjara dengan
suara jang tenang sekali, ,,Tidak. Saja-tidak setudju, ,,Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama
Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti diantara.
Nusantara berarti ribuan pulau-pulau ini, dan banjak diantara pulau-pulau ini lebih besar daripada seluruh
negeri Belanda Djumlah penduduk Negeri Belanda hanja segelintir djika dibandingkan dengan penduduk kita.
Bahasa Belanda hanja dipergunankan oleh enam djuta orang.,,Mengapa suatu negeri ketjil jang terletak
disebelah sana dari dunia ini menguasai suatu bangsa jang dulu pernah begitu perkasa, sehinngga dapat
mengalahkan Kublai Khan jang kuat itu?" Dengan suara tenang dan tidak terburu-buru atau tegang aku
selandjutja mengemukakan alasan-alasan ditambah dengan kenjataan-kenjataan. Aku mengachiri pidato itu
dengan kata-kata, ,,Saja berpendapat, bahwa jang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa
kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melaju. Kemudian baru menguasai
bahasa asing. Dan sebaiknja kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang mendjadi
bahasa diplomatik. ,,Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita
punja lurus dan hitam. Mereka tinggal riboan kilomerer darisini. Mengapa kita harus berbitjara bahasa
Belanda?!" Maka terdjadilah keributan karena sangat kagum. Mereka tak pernah mendengar hal sematjam ini
sebelumnja. Kuingat Direktur H.B.S., Tuan Bot, berdiri disana. Dia tidak berbuat apa-apa melainkan
memandang kepadaku dengan muka tidak senang samasekali, seakan dia berkata, ,,Oooh—Oooh, Sukarno
mau bikin susah !" Sekalipun aku tidak membikin susah, aku sudah tjukup dibikin susah. Aku adalah anak baru
disekolah Belanda ini dan tambahan lagi seorang anak Bumiputera.
H.B.S. mempunjai 300 orang murid. Hanja 2 diantaranja orang Indonesia. Aku dikeliiingi dari segala djurusan
oleh anak laki-laki dan anak-anak gadis Belanda. Sudah tentu mereka tidak senang padaku. Terketjuali
barangkali beberapa anak gadis, maka aku dianggap sepi. Sekolah mulai djam tudjuh pagi sampai djam satu
siang, enam hari dalam seminggu. Diantara djam-djam peladjaran ada waktu istirahat, pada waktu mana
setiap anak bermain atau djadjan. Akan tetapi anak-anak Belanda tentu memisah dari kami. Mereka
berusaha supaja kami tidak ada kawan. Merekapun berusaha supaja hidung kami selalu berlumuran darah.
Sewaktu kami masih sebagai siswa baru, seorang anak jang rapi pakai tjelana baru dan kaku berwarna putih
jang mendjadi ketentuan untuk tahun pertama berdiri mengangkang menghalangi djalanku dan mengedjek,
,,Menjingkir dari djalanku, anak inlander." Ketika aku berdiri disana dia melepaskan tangannja PANGGGG !'
Tepat dihidungku ! Djadi, kupukul dia kembali. Setiap hari aku pulang babak-belur. Aku tak pernah mendjadi
tukang berkelahi, tapi sekalipun aku dapat menahan penghinaan aku tak dapat menghindari perkelahian
tangan. Kadang-kadang kukalahkan mereka, akan tetapi terkadangpun mereka mengalahkanku. Kamipun
mengalami diskriminasi didalam sekolah.
Sekolah begitu keterlaluan terhadap kami, sehingga kalau seorang anak Bumiputera membuat suatu
kesalahan maka Direktur menghukumnja dengan larangan masuk kelas selama dua hari. Kami mentjurahkan
tenaga dengan sungguh-sungguh kepada peladjaran. Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam,
nilai jang didapat oleh anak-anak Belanda pasti lebih tinggi daripada jang diterima oleh anak Indonesia. Nilai
ketjakapan diukur dengan angka. Angka 10 jang tertinggi dan angka enam adalah batas nilai tjukup dan
inilah kebanjakan jang diterima oleh inlander. Kami mempunjai suatu pameo mengenai angka-angka ini:
angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk professor, angka delapan untuk anak jang luarbiasa,
tudjuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak Bumiputera. Aku
adalah penggambar tjat-air jang luarbiasa.
Ditahun kedua kami disuruh menggambar kandang-andjing. Sementara jang lain masih mengukur-ukur dan
menaksir-naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang jang lengkap, didalamnja seekor
andjing jang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh
kelas. Ia mengatakan, ,,Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai jang
setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka jang paling tinggi itu ? Tidak. Selalu orang kulitputih BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 24 dari 109
lebih pandai. Lebih tjerdas. Orang kulitputih lebih banjak tahu. Alat kolonial tidak akan berhasil, ketjuali
djika ia memupuk keunggulan kulitputih terhadap sawomatang. Guru-guru sangat sajang kepadaku. Aku anak
jang patuh, sungguhsungguh dan hormat. Hanja sesekali aku bertindak diluar garis. Aku tidak pernah betul
betul kurang-adjar, akan tetapi pada suatu kali setelah pidatoku jang pertama aku berdjalan melalui
ruangan ketika professor Egberts melihatku dan meneriakkan, ,,Hai, Sukarno, bagaimana dengan kau punja
'Jong Java'?" dan aku mengedjek, Ja, Professor, bagaimana pula dengan tuan punja 'Oud Holland' ?"Aku
mendjadi favorit dari guru bahasa Djerman jang djuga memimpin Kelompok Perdebatan kami. Dalam
memperdebatkan persoalan kehilir-kemudik dan mengadjukan pendapat-pendapat jang berlawanan, aku
memperbaiki ketjakapan berbitjara. Professor Hartagh melihat, bahwa aku dapat memimpin kawan-
kawanku.
Pada suatu pertemuan Hartagh menjampaikan kepada ke 20 orang murid setjara bersamasama dan kepadaku
setjara pribadi, bahwa aku akan mendjadi pemimpin jang besar kelak. Professor mungkin punja bola-kristal'
untul meramal. Iapun pernah mentjeritakan kepada orang lain, bahwa dia akan mendjadi guru dan memang
itu dia djadinja.Seorang guru perempuan betul-betul sangat sajang kepadaku, sehingga ia memberiku nama
Belanda. Aku, tjalon pemimpin dari suatu revolusi dimasa jang akan datang, dengan nama Belanda ? Dia
menamaiku Kerel. Dia bahkan memanggilku ,,Schat", perkataan Belanda untuk kesajangan. Kalau dia
kelupaan kuntji atau sesuatu barang, dia lalu menundjukku dan berkata dengan manis, ,,Schat, maukah
engkau pergi kekamarku dan mengambil kuntji ?" Ach, ini adalah hak istimewa iang sangat besar. Pada suatu
hari dia mengandjakku kerumahnja untuk menerima peladjaran tambahan bahasa Perantjis. Aku gemetar
karena anugerah jang istimewa itu. Pada waktu umurku semakin mendekati kedewasaan aku masih gemetar
dengan anugerah istimewa sematjam ini. Akan tetapi karena alasan-lain. Aku sangat tertarik kepada anak-
anak gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan pertjintaan dengan mereka. Hanja inilah satu-
satunja djalan jang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap beagsa kulitputih dan membikin
mereka tunduk pada kemauanku. Bukankah ini selalu mendjadi idaman ? Apakah seorang djantan berkulit
sawomatang dapat menaklukkan seorang lakilaki kulitputih ? Ini adalah suatu tudjuan jang hendak
diperdjoangkan. Menguasai seorang gadig kulitputih dan membikinnja supaja menginginiku adalah suatu
kebanggaan.
Seorang pemuda tampan senantiasa mempunjai kawan gadis-gadis jang tetap. Aku punja banjak. Mereka
bahkan memudja gigiku jang tidak rata. Dan aku-mengakui bahwa aku sengadja mengedjar gadis gadis
kulitputih. Tjintaku jang pertama adalah PauIine Gobee, anak- salah-seorang guruku. Dia memang tjantik
dan aku tergila-gila kepadanja. Kemudian menjusul Laura. Oo, betapa aku memudjanja. Dan ada lagi
keluarga Raat. Mereka ini keluarga Indo dan mempunjai beberapa orang puteri aju. H.B.S. letaknja diarah
jang berlawanan dengan rumah keluarga Raat, tapi sekalipun demikian setiap hari selama berbulan-bulan
aku mengambil djalan keliling, hanja untuk lewat dimuka rumahnja dan untuk menangkap selintas
pandangannja. Dekat itu terdapat Depot Tiga, warung tempat minum. Aku kadang-kadang diadjak oleh
salahseorang kawan kesana dan disanalah kami dapat duduk dengan gembira dan memandangi gadis-gadis
Belanda lalu. Kemudian bagai suatu tjahaja jang bersinar dalam gelap, muntjullah Mien Hessels dalam
kehidupanku. Hilanglah Laura, lenjaplah keluarga Raat dari ingatan dan lenjap pulalah kegembiraan Depot
Tiga. Sekarang aku punja Mien Hessels. Dia samasekali milikku dan aku sangat tergila-gila kepada kembang
tulip berambut kuning dan pipinja jang merah mawar itu. Aku rela mati untuknja kalau dia menghendakinja.
Umurku baru 18 tahun dan tidak ada jang lebih kuinginkan dari kehidupanku ini selain daripada memiliki
djiwa dan raga Mien Hessels. Aku mengharapnja dengan perasasn berahi dan sampailah aku pada suatu
kesungguhan hati, aku harus mengawininja. Tak satupun jang dapat memadamkan api jang sedang
menggolak dalam diriku. Ia adalah bagai kembang-gula diatas kue jang takkan dapat kubeli. Kulitnja lembut
bagai kapas, rambutnja ikal dan pribadinja memenuhi segala-galanja jang kuidamkan. Untuk dapat
merangkulkan tanganku memeluk Mien Hessels nilainja lebih dari segala harta bagiku. Achirnja aku
memberanikan diri untuk berbitjara kepada bapaknja. Aku mengenakan pakaian jang terbaik, dan memakai
sepatu.
Sambil duduk dikamarku jang gelap aku melatih kata-kata jang akan kuutjapkan dihadapannja. Akan tetapi
pada waktu aku mendekati rumah jang bagus itu aku menggigil oleh perasaan takut. Aku tak pernah
sebelumnja bertamu kerumah seperti ini. Pekarangannja menghidjau seperti beludru. Kembang-kembang
berseri tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai pradjurit. Aku tidak punja topi untuk dipegang, karena
itu sebagai gantinja aku memegang hatiku.Dan disanaIah aku berdiri, gemetar, dihadapan bapak dari puteri
gadingku, seorang jang tinggi seperti menara jang memandang kebawah langsung kepadaku seperti aku ini
dipandang sebagai kutu diatas tanah. ,,Tuan," kataku. ,,Kalau tuan tidak berkeberatan, saja ingin minta anak
tuan." ,,Kamu? Inlander kotor, seperti kamu ? sembur tuan Hessels, ,,Kenapa kamu berani-beranian
mendekati anakku ? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar !" Dapatkah orang membajangkan betapa aku
merasa seperti didera dengan tjambuk ? Dapatkah kiranja orang pertjaja, bahwa noda jang ditjorengkan
dimukaku ini pada satu saat akan pupus samasekali ? Sakitnja adalah sedemikian, sehingga disaat itu aku
berpikir, ,,Ja Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini." Dan djauh dalam lubukhatiku aku merasa pasti,
bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku jang berparas bidadari itu, Mien Hessels. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 25 dari 109
23 tahun kemudian, jaitu tahun 1942. Djaman perang. Aku sedang melihat-lihat etalase pada salahsatu toko
pakaian laki-laki disuatu djalanan Djakarta, ketika aku mendengar suara dibelakangku, ,,Sukarno ?"Aku
berpaling memandangi seorang wanita asing, ,,Ja, saja Sukarno."Dia tertawa terkikik-kikik, ,,Dapat kau
menerka siapa saja ini ?"Kuperhatikan dia dengan saksama. Dia seorang njonja tua dan gemuk. Djelek,
badannja tidak terpelihara. Dan aku mendjawab, ,,Tidak, njonja. Saja tidak dapat menerka. Siapakah Njonja
?",,Mien Hessels," dia terkikik lagi. Huhhhh ! Mien Hessels ! Puteriku jang tiantik seperti bidadari sudah
berobah mendjadi perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah aku melihat perempuan jang buruk dan kotor
seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinja sampai begitu. Dengan tjepat aku memberi salam kepadanja,
lalu meneruskan perdjalananku. Aku bersjukur dan memudji kepada Tuhan Jang Maha-Penjajang karena
telah melindungiku. Tjatji-maki jang telah dilontarkan bapaknja kepadaku sesungguhnja adalah suatu
rahmat jang tersembunji. Kalau dipikir-pikir, tentu aku takkan bisa lepas dari perempuan ini. Aku bersjukur
kepada Tuhan atas perlindungan jang telah-diberikanNja. Huhhh, orang apa itu ! Djalan hidupku sebagai
seorang pentjinta dimasa belia berachir ketika Bu Tjokroaminoto meninggal. Keluarga Pak Tjokro dengan
anak-anak jang bajar-makan pindah kerumah lain. Dan pemimpin jang kumuliakan itu keadaannja begitu
tertekan, sehingga aku merasa kasihan melihatnja. Anaknja masih ketjil-ketjil, dia seorang diri dan rumah
itu asing suasananja. Seluruh keluarga nampaknja tidak berbahagia samasekali. Aku tidak dapat memandangi
keadaan jang demikian itu.Kami belum lama menempati rumah jang baru itu ketika saudara Pak Tjok datang
menemuiku dan berkata, ,,Sukarno, kaulihat bagai mana sedihnja hati Tjokroaminoto. Apakah tidak dapat
kau berbuat sesuatu supaja hatinja gembira sedikit ?" Hatiku sangat berat dan mendjawab, ,,Saja dengan
segala senang hati mau mengerdjakan sesuatu, supaja dia dapat tersenjum lagi. Tapi apa jang dapat saja
lakukan ? Saja tidak bisa mendjadi isteri Pak Tjokro.",,Bukan begitu, tapi engkau dapat menggembirakan
hatinja dengan tjara lain."
,,Tjara lain ?
" Ja ?
,,Bagaimana ?"
,,Djadi menantunja. Puterinja Utari sekarang tidak punja ibu lagi. Tjokro sangat kuatir terhadap haridepan
anaknja itu dan siapa jang akan mendjaganja dan mengasihinja. Inilah jang memberatkan pikirannja. Saja
kira, kalau engkau minta kawin dengan anak saudaraku itu, mungkin ini akan mengurangi sedikit tekanan
perasaan dari Pak Tjokro."
,,Tapi umurnja baru 16," kataku memprotes.
,,Ja memang, can engkau belum 21. Perbedaan umur tidak begitu djauh. Katakanlah pada saja, Sukarno,
apakah ada perhatianmu sedikit terhadap anak kakakku ?"
,,Jah," aku menerangkan pelahan-lahan. ,,Saja sangat berterima kasih kepada Pak Tjokro……. Saja
mentjintai Urari Tapi tidak terlalu sangat. Sungguhpun begitu, sekiranja saja perlu memintanja untuk
meringankan beban dari djundjunganku, jah, saja bersedia. "Aku mendatangi Pak Tjokro dan mengadjukan
lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh karena akan mendjadi menantu aku segera dipindahkan kekamar
jang lebih besar dengan perabot jang lebih banjak. Sampai dihari ia menutup mata, ia tak pernah
mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanja karena aku sangat menghormatinja dan menaruh
kasihan kepadanja. Kami kawin dengan tjara jang kita namakan ,,kawin gantung" Ini adalah perkawinan biasa
jang dibenarkan dalam hukum dan agama.
Orang Indonesia mendjalankan tjara ini karena beberapa alasan. Kadang-kadang dilangsungkan kawin
gantung terlebih dulu, karena kedua-duanja belum mentjapai umur untuk dapat menunaikan kewadjiban
mereka setjara djasmaniah. Atau adakalanja sianak dara tinggal dirumah orangtuanja sampai pengantin laki-
laki sanggup membelandjai rumahtangga sendiri.Dalam hal kami, aku dapat tidur dengan isteriku kalau aku
menghendakinja. Akan tetapi aku tidak melakukannja karena dia masih kanak-kanak. Boleh djadi aku
seorang jang pentjinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh anak gadis remadja Itulah sebabnja,
mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnjapun digantung.Disaat-saat aku mengawini Utari
terdjadi dua buah peristiwa, lain tidak karena pendirian jang kolot. Penghulu setjara serampangan menolak
untuk menikahkan kami karena aku memakai dasi. Dia berkata, ,,Anak muda, dasi adalah pakaian orang-jang
beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam."
,,Tuan Kadi" aku membalas, ,,Saja menjadari, bahwa - dulunja mempelai hanja memakai pakaian
Bumiputera, jaitu sarung. Tapi ini adalah tjara lama. Aturannja sekarang sudah diperbarui.",,Ja," katanja
membentak, ,,Akan tetapi pembaruan itu hanja untuk memakai pantalon dan djas buka." ,,Adalah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 26 dari 109
kegemaran saja untuk berpakaian rapi dan memakai dasi," aku menerangkan dengan tadjam.,,Dalam hal ini,
kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakaian rapi itu, saja menolak untuk melakukan pernikahan."
Apabila aku ditegur dengan keras dimuka umum, atau disuruh harus begini-begitu atau lain-lain, aku
mendjadi keras. Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menjuruhku untuk
menanggalkan dasi. Aku menjentak bangkit dari korsiku dan mendjawab dengar tandas, Barangkali lebih baik
tidak kita landjutkan hal ini sekarang." Timbul protes keras dari imam mesdjid, akan tetapi aku
menggeledek, ,,Persetan, tuan-tuan semua. Saja pemberontak dan saja akan selalu memberontak, saja tidak
mau didikte orang dihari perkawinan saja." Kalau sekiranja tidak dihadapan salah seorang tamu kami jang
djuga seorang alim dan sanggup menikahkan kami, mungkinlah Sukarno tidak akan bersatu dengan Utari
Tjokroaminoto dalam pernikahan menurut agama.
Ketika lima menit lagi aku akan menghabisi masa djedjakaku, terdjadilah peristiwa aneh jang kedua. Tepat
sebelum aku mengindjak ambang-pintu aku mengambil rokok untuk melakukan hembusan jang terachir. Aku
mengeluarkan korek-api dari kantong, menggoreskan sebuah disisi kotaknja untuk menjelakannja dan …….
Sisst …….seluruh kotak itu menjala oleh djilatan api. Anak-korek-api jang ada dalam kotak itu menjala semua
sampai jang terachir. Karena djilatan api ini djariku terbakar. Kuanggap kedjadian ini sebagai pertandaburuk
dan memberikan kepadaku suatu perasaan ramalan jang gelap. Aku tidak mentjeritakan hal ini kepada
siapapun, akan tetapi aku tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan jang menakutkan ........ Ehhh…..
Apa maksudnja ini ?
Sekalipun kedudukanku sebagai orang jang baru kawin, waktuku dimalam hari kupergunakan untuk
mempeladjari Pak Tjokro. Aku mendjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut. Sukarnolah
jang selalu menemaninja kepertemuan-pertemuan untuk berpidato, tak pernah anaknja. Dan aku hanja
duduk dan memperhatikannja. Dia mempunjai pengaruh jang besar terhadap rakjat Sekalipun demikian,
setelah berkali-kali aku mengikutinja aku menjadari, bahwa dia tak pernah meninggikan atau merendahkan
suaranja dalam berpidato. Tak pernah membuat lelutjon. Pidato-pidatonja tidak bergaram. Aku tidak pernah
membatja salah-satu buku jang murah tentang bagaimana tjara mendjadi pembitjara dimuka umum. Pun
tidak pernah berlatih dimuka katja. Bukanlah karena aku sudah tjukup berhasil, akan tetapi karena aku tidak
mempunjai apa-apa.
Tjerminku adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannja mendjatuhkan suaranja. Aku melihat gerak
tangannja dan kupergunakan penglihatanku ini pada pidatoku sendiri. Mula-mula sekali aku beladjar menarik
perhatian pendengarku. Aku tidak hanja menarik, bahkan kupegang perhatian mereka Mereka terpaksa
mendengarkan. Suatu getaran mengalir kesekudjur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku memiliki suatu
kekuatan jang dapat menggerakkan massa. Aku menguraikan pokok pembitjaraanku dengan sederhana.
Pendengarku menganggap tjara ini mudah untuk dimengerti, karena aku lebih banjak mendasarkan
pembitjaraanku kepada tjara bertjerita, djadi tidak semata-mata memberikan fakta dan angka. Aku berbuat
menurut getaran perasaanku. Pada suatu malam Pak Tjokro tidak dapat memenuhi undangan kesuatu rapat
dan kepadaku dimintanja untuk menggantikannja. Kali ini adalah suatu pertemuan ketjil, akan tetapi aku
menggunakan ke sempatan ini dengan sebaik-baiknja. Aku mulai dengan suara lunak. ,,Negeri kita, saudara,
adalah tanah jang subur, sehingga kalau orang menanamkan sebuah tongkat kedalam tanah, maka tongkat
itu akan tumbuh dan mendjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakjat menderita kekurangan dan
kemelaratan adalah beban jang harus dipikul sehari-hari.
Puntjak gunung menghisap awan dilangit, turun kebumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hudjan jang
melimpah-limpah. Akan tetapi kita kekurangan makan dan perut kita mendjerit-djerit kelaparan.",,Ja,
betul," mereka berteriak dari tempat duduknja. Suaraku mulai naik. ,,Saudara tahu apa sebabnja, saudara-
saudara ? Sebabnja ialah, oleh karena orang jang mendjadjah kita tidak mau menanamian uang kembali
untuk memperkaja bumi jang mereka peras. Pendjadjah hanja mau memetik hasilnja. Ja, mereka
menjuburkan bumi kita ini. Betul ! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menjuburkan bumi kita
ini ? Tahukah saudara apa jang dikembalikan kebumi kita ini setelah 350 tahun mendjadjah ? Saja akan
tjeritakan kepada saudara-saudara. Bumi kita ini mereka suburkan dengan majat-majat jang bergelimpangan
dari rakjat kita jang mati karena kelaparan, kerdja keras dan hanja tinggal tulang-belulang !,,Maka dari itu
saja bertanja, apakah saudara tidak setudju dengan saja ? Seperti saja sendiri, apakah hati saudara tidak
digontjang-gontjang oleh keinginan untuk merdeka ? Saja pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Saja
bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan saja akan mati dengan tjita-tjita untuk merdeka didalam
dadaku.
Apakah saudara tidak setudju dengan saja ?" ,,Setudjuuuuuu !" mereka berteriak, ,,Ja……..kami setudju !"
Mereka melihat kepadaku kalau aku berbitjara. Mereka memandang kepadaku seperti memudja, mata-mata
terbuka lebar, muka-muka-terangkat keatas, meneguk semua kata-kataku dengan penuh kepertjajaan dan
harapan. Nampak djelas, bahwa aku mendjadi pembitjara jang ulung. Ia berada dalam uratnadiku. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 27 dari 109
Aku menghirup lebih banjak lagi persoalan politik dirumah Pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme. Dan
setelah mengikuti setiap pidatoku maka kawan-kawan seperdjoangan mulai mengerti lebih banjak tentang
pendirianku. Kemudian mulai setudju. Lalu mengikuti pendirianku. Dan mentjintaiku. Mereka memilihku
sebagai sekretatis dari Jong Java dan beberapa waktu kemudian aku mendjadi ketua.
Akupun menulis untuk madjalah Pak Tjok, ,,Oetoesan Hindia", akan tetapi dengan nama-samaran, karena
memang susah untuk memasuki sekolah Belanda sambil menulis dalam madjalah jang menbela tindakan
untuk merobohkan Pemerintah Belanda. Aku kembali kepada Mahabharata untuk memperoleh nama-
samaranku. Aku memilih nama ,,Bima" jang berarti ,,Pradjurit Besar" dan djuga berarti keberanian dan
kepahlawanan. Aku menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia membitjarakannja. Ibu, jang tidak
tahu tulis-batja, dan bapakku tidak pernah tahu bahwa ini adalah anak mereka jang menulisnja. Memang
benar, bahwa keinginan mereka jang paling besar adalah, agar aku mendjadi pemimpin dari rakjat, akan
tetapi tidak dalam usia semuda itu I Tidak dalam usia jang begitu muda, jang akan membahajakan
pendidikanku dimasa jang akan datang. Bapak tentu akan marah sekali dan akan berusaha dengan berbagai
djalan untak mentjegahku menulis. Aku tidak akan memberanikan diri menjampaikan kepada mereka, bahwa
Karno ketjil dan Bima jang gagah berani adalah satu. Ramalan-emas jang pertamakali diutjapLan oleh ibu
diwaktu aku lahir—jang didengungkan kembali oleh nenekku pada waktu aku masih botjah ketjil dan jang
didengungkan lagi dimasa mudaku oleh Professor Hartagh—kemudian diutjapkan pula ketika aku berada
diambang-pintu usiaku jang keduapuluh. Dan oleh dua orang jang berlainan.
Dr. Douwes Dekker Setiabudi adalah seorang patriot jang telah menderita selama bertahun-tahun dalam
pembuangan. Ketika umurnja sudah lebih dari 50 tahun ia menjampaikan kepada partainja, jaitu Nationaal
Indische Partij, ,,Tuan-tuan, saja tidak menghendaki untuk digelari seorang veteran. Sampai saja masuk
keliang-kubur saja ingin mendjadi pedjoang untuk Republik Indonesia. Saja telah berdjumpa dengan pemuda
Sukarno. Umur saja semakin landjut dan bilamana datang saatnja saja akan mati, saja sampaikan kepada
tuan-tuan, bahwa adalah kehendak saja supaja Sukarno jang mendjadi pengganti saja." ,,Anak muda ini," ia
menambahkan, ,,akan mendjadi 'Djuru-selamat' dari rakjat Indonesia dimasa jang akan datang."Ramalan-
jang kedua keluar dari Pak Tjokro, seorang penganut Islam jang saleh. Dia banjak mempergunakan waktunja
untuk sembahjang dan mendo'a. Setelah beberapa lama melakukan samadi, ia kembali kepada seluruh
keluarganja pada suatu malam jang berhudjan dan ia berbitjara dengan kesungguhan hati? ,,Ikutilah anak
ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk mendjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinja
tempat berteduh dirumahku." Sepuluh Djuni 1921 aku lulus. Sebelas Djuni rentjana jang telah kuperbuat
untuk diriku sendiri ditolak mentah-mentah. Kawan-kawanku dan aku bermaksud akan meneruskan
peladjaran kesekolah tinggi di Negeri Belanda. Ibu tidak mau tahu samasekali dengan itu.
Aku bersoal dengan dia. ,,Ibu, semua anak-anak.jang lulus dari H.B.S. dengan sendirinja pergi ke Negeri
Belanda. Itulah djalan jang biasa. Kalau orang mau-memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri
Belanda.",,Tidak. Tidak bisa. Anakku tidak akan pergi ke Negeri Belanda," ia memprotes.,,Apa salahnja
keluar negeri ?",,Tidak ada salahnja," katanja. ,,Tapi banjak djeleknja untuk pergi kenegeri Belanda. Apakah
jang menjebabkan kau tertarik?:Pikiran untuk mentjapai gelar universitas ataukah pengharapan akan
mendapat seorang perempuan kulitputih ?",,Saja ingin masuk universitas, Bu." ,,Kalau itu jang kauingini, kau
memasuki jang disini. Pertama kita harus mengingat kenjataan pokok jang mengendalikan sesuatu dalam
hidup kita, Uang. Pergi keluar negeri memerlukan biaja jang sangat besar. Disamping itu, engkau adalah
anak jang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaja engkau tinggal disini diantara bangsa kita sendiri.
Djangan lupa sekali-kali, 'nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah dikepulanan ini." Dan begitulah
aku mendaftarkan diri keuniversitas di Bandung. Mungkin suara ibu jang kudengar. Akan tetapi sesungguhnja
tangan Tuhanlah jang telah menggerakkan hatiku.
Bab 5
Bandung: Gerbang Kedunia Putih
MINGGU terachir bulan Djuni tahun 1921 aku memasuki kota Bandung, kota seperti Princeton atau kota-
peladjar lainnja dan kuakui bahwa aku senang djuga dengan diriku sendiri. Kesenangan itu sampai
sedemikian sehingga aku sudah memiliki sebuah pipa rokok. Djadi dapat dibajangkan, betapa menjenangkan
masa jang kulalui untak beberapa waktu. Salah satu bagian daripada egoisme ini adalah berkat suksesku
dalam pemakaian petji, kopiah beludru hitam jang mendjadi tanda pengenalku, dan mendjadikannja sebagai
lambang kebangsaan kami. Pengungkapan tabir ini terdjadi dalam pertemuan Jong Java, sesaat sebelum aku
meninggalkan Surabaja. Sebelumnja telah terdjadi pembitjaraan jang hangat karena apa jang menamakan
dirinja kaum intelligensia, jang mendjauhkan diri dari saudara-saudaranja rakjat biasa, merasa terhina djika
memakai blangkon, tutup kepala jang biasa dipakai orang jawa dengan sarung, atau petji jang biasa dipakai
oleh tukang betja dan rakjat-djelata lainnja. Mereka lebih menjukai buka tenda daripada memakai tutup BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 28 dari 109
kepala jang merupakaa pakaian sesungguhaja dari orang Indonesia. Ini adalah tjara dari kaum terpeladjar ini
mengedjek dengan-halus terhadap kelas-kelas jang lebih rendah.
Orang-orang ini bodoh dan perlu beladjar, bahwa seseorang tidak akan dapat meminpin rakjat-banjak djika
tidak menjatukan diri dengan mereka. Sekalipun tidak seorang djuga jang melakukan ini diamtara kaurn
terpeladjar, aku memutuskan untuk rnempertalikan diriku dengan sengadja kepada rakjat-djelata. Dalam
pertemuan selandjutnja kuatur untuk memakai petji, pikiranku agak tegang sedikit. Hatiku berkata-kata.
Untuk memulai suatu gerakan jang djantan iseperti ini setjara terang-terangan memang memerlukan
keberanran. Sambil berlindung dibelakang tukang-sate didjalanan jang sudah mulai gelap dan menunggu
kawan-kawan seperdjoangan jang berlagak tinggi lewat semua dengan buka tenda dan rapi, semua berlagak
seperti mereka itu orang Barat kulit putih, aku ragu-ragu untuk sedetik. Kemudian aku bersoal dengan diriku
sendiri, ,,Djadi pengikutkah engkau, atau djadi pemimpinkah engkau ?"— ,,Aku pemimpin," djawabku
menegaskan—,,Kalau begitu, buktikanlah," kataku lagi pada diriku. ,,Hajo madju. Pakailah petjimu. Tarik
napas jang dalam ! Dan masuk SEKARANG ! ! !"Begitulah kulakukan. Setiap orang memandang heran padaku
tanpa kata-kata. Disaat itu nampaknja lebih baik memetjah kesunjian dengan buka bitjara, ,,Djanganlah kita
melupakan demi tudjuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakjat dan bukan berada diatas
rakjat."Mereka masih sadja memandang.
Aku membersihkan kerongkongan. ,,Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Petji
jang memberikan sifat chas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerdja-pekerdja dari bangsa Melaju,
adalah asli kepunjaan rakjat kita. Namanja malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan Belanda 'pet'
berarti kupiah. 'Je' maksudnja ketjil. Perkataan itu sebenarnja 'petje'. Hajolah saudara-saudara, mari kita
angkat- kita punja kepala tinggi-tinggi dan memakai petji ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."Pada
waktu aku melangkah gagah keluar dari kereta-api distasiun Bandung dengan petjiku jang memberikan
pemandangan jang tjantik, maka petji itu sudah mendjadi lambang kebangsaan bagi para pedjoang
kemerdekaan. Kalau sekarang petji itu bagiku lebih rnerupakan sebagai lambang untuk pertahanan diri.
Sesungguhaja, kepalaku kian hari semakin botak. Karena orang Islam diharuskan mentjutji rarnbutnja setelah
dia berhubungan dengan seorang perempuan, maka kawan-kawan menggangguku, ,,Hei Sukarno, itu
barangkali jang membikin Bung botak." Apapun alasannja, aku gembira karena telah mempunjai pandangan
kedepan 44 tahun jang lalu untuk membikin petji ini begitu hebat, sehingga masjarakat sekarang
menganggap tidak pantas djika membuka petji dimuka umum. Pak Tjokro mempunjai seorang kawan lama di
Bandung. Dan orang ini telah sering mendengar tentang pemuda jang rnendapat perlindungan dari Pak
Tjokro.
Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokio telah meggusahakan tempatiku
menginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihat-
lihat kota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun begitulah
menurut.perkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandung
dan aku dapat saling menarik dalam waktu iang singkat.Seorang laki-laki jang sudah setengah baja jang
memperkenalkan dirinja sebagai Sanusi datang sendiri mendjemputku dan membawaku kerumahnja. Dengan
segera aku mengetahui, bahwa perdjalanan pendahuluan ini tidaklah sia-sia. Sekalipun aku belum memeriksa
kamar, tapi djelas bahwa ada keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan jang utama sedang berdiri
dipintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannja nampak djelas dikelilingi oleh tjahaja - lampu
dari belakang.
Perawakannja ketjil, sekuntum bunga merah jang tjantik melekat disanggulnja dan suatu senjuman jang
menjilaukan-mata. Ia isteri Hadji Sanusi, Inggit Garnasih. Segala pertjikan api, jang dapat memantjar dari
seorang anak duapuluh tahun dan masih hidjau tak berpengalaman, menjambar-njambar kepada seorang
perempuan dalam umur tigapulahan jang sudah matang dan berpengalaman. Disaat pertama aku melangkah
melalui pintu masuk aku berpikir, ,,Aduh,Luarbiasa perempuan ini." Aku sadar, lebih baik aku tjepat-tjepat
berhenti mengingatnja. Karena itu ingatan kepada njonja-rumah itu kubilangkan dari pikiranku—untuk
sementara— kemudian menjuruh datang Utari dan memusatkan pikiran pada persoalan masuk Sekolah Teknik
Tinggi mengedjar gelar Insinjur—bukan untuk merusak perkawinan orang. Diwaktu sekarang kami mempunjai
Universitas Indonesia di Djakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, Universitas Airlangga di Surabaja,
Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan dan berlusin-lusin universitas penuh-sesak menurut
kemampuannja. Akan tetapi pada waktu aku memasuki Sekolah Teknik Tinggi kami hanja 11 orang anak
Indonesia. Aku termasuk salah-seorang dari 11 orang jang berrnuka hitam, terapung-apung kian-kemari
dalam Lautan kulitputih berarnbut merah, berdjerawat dan bermata hidjau seperti kutjing. Seperti dugaan
kami, anak-anak Belanda tidak mau tahu dengan kami didalam campus itu. Kalaupun rnereka memberi
perhatian kepada kami, itu hanja untuk membusukkan kami atau menjorakkan, ,,Hei kamu, anak inlander
bodoh, mari sini." Aku tidak tahu kekuatan apa jang ada padaku. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 29 dari 109
Aku hanja tahu, bahwa sekalipun aku tidak mengutjapkan sepatah kata, kehadiranku sadja sudah tjukup
untuk menutup mulut orang-orang jang menghina, lalu menghentikan perintah-perintahnja. Kami
membanting-tulang di Sekolah. Pekerdjaan rumah banjak sekali. Kuliah-kuliah jang diberikan enarn hari
dalam seminggu ditambah dengan udjian tertulis setiap triwulan selama sebulan penuh, sungguh-sunggah
rasanja seperti akan mematahkan tulang-punggung karena bertekun. Waktuku tidak banjak untuk Utari.
Akupun tidak banjak mempunjai persamaan dengan dia. Selagi aku beladjar ilmu pasti, ilmu alam dan
mekanika, jang bernama isteriku itu berada dipekarangan belakang bermain dengan kawan-kawan
perempuannja. Selagi aku mempidatoi perkumpulan pemuda diwaktu malam, baji jang telah kukawini
bergelut dengan seorang anak, kemenakan njonja Inggit. Kami menempuh djalan masing-masing. Dia masih
hidjau sekali. Sifat pemalunja terlalu berkelebihan, sehingga djalang berbitjara denganku, kalaupun
ada.Kami tidur berdampingan disatu tempat-tidur, tapi setjara djasmaniah kami sebagai kakak beradik. Di
Bandung dia djatoh sakit. Sementara dia terbaring dengan pajah aku merawatnja. Berkali-kali aku melap
tubuhnja jang panas dengan alkohol, dari udjung kepala sampai keudjung djari-kakinja, namun tak sekalipun
aku mendjamahnja. Ketika ia sudah pulih kembali antara kamipun tidak terdapat perhubungan djasmani.
Kami bahkan dengan setulus hati tidak mengidamkan satu sama lain dalam arti tjinta antara laki-laki dan
dara jang sebenarnja. Maksudku, dia tidak mernbentjiku dan aku tidak membentjinja, akan tetapi ini
bukanlah perkawinan jang lahir dari perasaan berahi jang menjala-njala. Tidak banjak kesempatan untuk
menggunakan waktu bagi kesenangan diri, oleh karena seluruh djiwa dan ragaku segera penuh dengan
berbagai kesukaran. Setelah tinggal di Bandung selama dua bulan, suratkabar memuat berita-berita besar
tentang kegiatan revolusioner jang terachir, aksi-pemogokan di Garut. Kedjadian ini dianggap sebagai
persoalan afdeling, jaitu persoalan daerah. Pemerintah Kolonial sudah dibikin susah oleh pertumbuhan
Nasionalisme jang pesat. Njamuk tjelaka jang baru mendengung-dengung ditahun 1908 dengan sembojan-
sembojan politik tanpa kekerasan, sekarang telah mendjadi besar dan mengandung ratjun ketidak-puasan
dengan gigitannja jang mematikan. Para pekerdja sudah diorganisir; rnereka menuntut hak; menuntut
undang-undang perburuhan jang mendjamin djam-kerdja jang lebih pendek daripada 18 djam; menuntut
upah jang pantas dan menuntut suatu masjarakat jang bekerdja tanpa ,,Exploitation de l'homme par
l'homme". Di Indonesia telah bertunas organisasi para pekerdja seperti Persatuan Buruh Gula dan Serikat
Pekerdja Rumah Gadai.
Dalam djaman dimana orang Barat telah mengenal pemogokan sebagai hak dari serikat-serikat buruh untuk
mentjoba memperbaiki nasibnja jang menjedihkan, maka pemerintah Hindia Belanda dalam usahanja untuk
mematikan ,,sifat-radikal" dan ,,Komunisme", sebagaimana mereka menamakannja, mengeluarkan undang-
undang baru, Artikel 161. Jaitu larangan terhadap pemogokan. Hukum pidana bahkan sekarang menetapkan,
bahwa barangsiapa jang menghasut seseorang untuk melakukan pemogokan diantjam dengan hukurnan enam
tahun pendjara.Ini sangat menusuk hatiku pribadi, karena para pembesar berkejakinan bahwa pemogokan di
Garut dipupuk oleh Sarekat Islam. Dihari itu djuga mereka menahan Tjokroaminoto. Keluarga Pak Tjokro
sedang berada dalam kekurangan. Penderitaan mereka adalah penderitaanku djuga. Apa akal...... Apa akal
.....Apakah aku akan madju terus dan memikirkan diri sendiri serta apa jang kuharapkan dapat tertjapai
dihari esok ? Ataukah aku akan mundur kebelakang dan memikirkan Pak Tjokro dan apa jang telah
dikerdjakannja untukku dihari kemarin ? Dihadapanku terentang djalan-raja berlapiskan emas jang menudju
kepada idjazah sekolah tinggi. Dibelakangku terhampar djalanan kembali menudju kamar jang gelap dan
kehidupan jang suram. Soalnja adalah mana jang lebihpenting mana jang lebih mudah dapat dikorbankan
oleh seoranganak Bumiputera ? Gerbang menudju dunia putihkah ? Atau mengorbankan kesetiaan kepada
prinsipnjakah ? Bagiku tidak ada kesangsiandjiwa. ,,Saja akan meninggalkan Bandung besok menudju
Surabaja,"dengan tegas kusampaikan kepada njonja Inggit didapur esok paginja. ,,Untuk berapa lama ?"
tanjanja.,,Saja tidak tahu. Barangkali untuk selama-lamanja. Ini tergantung kepada lamanja hukuman Pak
Tjokro. Apakah enam bulan atau dua puluh tahun, selama itu pula saja harus berbuat apa jang harus saja
perbuat." Ia menjediakan kopi tubruk, kopi hitam pekat jang tak dapat kutinggalkan, dan tangannja gemetar
sedikit. ,,Dengan meninggalkan sekolah ada kemungkinan engkau melepaskan segala harapan untuk
mentjapai tjita-tjitamu," hanja itu utjapannja ,,Saja menjadari hal itu.
Saja djuga menjadari, bahwa Pak Tjokro mertuaku. Saja anak tertua dari keluarganja. Tapi soalnja bukan itu
sadja, lebih lagi dari itu. Saja harus berbakti pada orang jang kupudja itu dan kepada prinsipku." ,,Tapi
isterinja jang baru tidak menulis surat kepadamu untuk minta bantuan," ia mengemukakan. ,,Anaknja djuga
tidak memberi kabar apa-apa tentang kesukaran mereka. Malahan tak seorangpun meminta engkau datang.
,,Saja harus pergi. Kurasakan dalam dadaku, bahwa itu mendjadi tugas saja ....Tidak ! Saja rasakan ini
sebagai hak-istimewaku untuk bisa menjelamatkan mertjusuar ini jang telah menundjukkan djalan
kepadaku."Aku memperhatikan bubuk kopi turun hingga ia mengendap kedasar tjangkir. ,,Saja mendapat
kabar, bahwa penahanan terhadap Pak Tjokro dua hari jang lalu itu tidak diduga samasekali. Belanda
mendadak menggedor rumahnja ditengah malam buta dan menggiringnja dengan udjung bajonet kedalam
tahanan. Dia tidak mendapat kesempatan untuk mengatur keluarga jang ditjintainja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 30 dari 109
Dan tak seorangpun jang akan mengawasi mereka.,,Djadi nampaknja djelas bagimu, bahwa dari semua
pengikutnja jang djumlahnja-djutaan orang itu hanja engkau jang akan memikul kewadjiban itu diatas
pundakmu ?" ,,Ja, itu kewadjiban saja. Dia mergulurkan tangannja pada waktu saja memerlukan rumah dan
tempat berteduh. Sekarang saja harus berbuat begitu pula kepadanja Mengediar kehidupan sendiri,
sementara orang jang sudah diakui keluarga berada dalam kesusahan bukanlah tjara orang Indonesia."
,,Maksudmu," katanja lunak, ,,Bahwa itu bukanlah tjara Soekarno."Dipagi itu djuga aku rnelaporkan
keberhentianku mengikuti kuliah. Presiden dari Sekolah Teknik Tinggi, Professor Klopper, rupanja kuatir
terhadap tindakanku ini. ,,Sudah mendjadi kebiasaanmu, bahwa seluruh keluarga memberikan korban
mereka untuk meneruskan pendidikan dari salah-seorang anggotanja jang berbakat, bukan ?" ia menanjaku
dengan ramah.,,Ja, tuan. Saja kira, bahkan kelaparanpun tak dapat mentjegah keluarga saja mengadakan
biaja jang perlu bagi pendidikan anaknja. Sebagai mantri-guru bapak membanting tulang seperti pekerdja
lainnja.
Ibu duduk berdjam-djam lamanja melukis kain batik sampai tengah malam hingga pelita dan pemandangan
matanja mendjadi samar. Supaja dapat mengumpulkan dengan susah-pajah uang 300 rupiah untuk uang-
kuliah setahun, orangtua saja baru-baru ini menambah orang bajar-makan. Kakak saja dan suaminja djuga
membantu setiap bulan.",,Kalau dibelakang hari," Professor Klopper melandjutkan, ,,;Engkau hanja
ditempatkan sebagai pekerdja dilapangan, bagaimana engkau membajar kembali kepada orang-orang jang
menjokongmu selama beladjar ?",,Itu bukanlah kebiasaan kami," aku menerangkam ,,Mereka akan marah
kalau saja mentjoba jang demikian. Tjara kami sebaliknja. Kami harus selalu bersedia membantu orang jang
pernah menolong kita diwaktu ia memerlukannja. Itulah jang dinamakan gotong-rojong. Saling membantu.
Dan karena itulah saja harus pulang." Dihari berikutnja aku mengumpulkan isteriku, mengumpulkan
segalaharapan dan idamanku dan membawa semua ia pulang ke Surabaja. Supaja dapat membantu
rumahtangga aku bekerdja sebagai klerk distasiun kereta-api. Kedudukanku adalah sebagai ,,Raden
Sukarno,'- BKL. Der Eerste Klasse. Eerste Categorie."
Sebagai seorang klerk kantor kelas satu golongan satu aku menelan uap dan asap selama tudjuh djam dalam
sehari, karena kantorku jang tidak dimasuki hawa bersih berhadapan dengan rel dari pelataran stasiun jang
menjedihkan. Tugas beratku jang utama adalah membuat daftar gadji untuk para pekerdja. Oleh karena
bekerdja sehari penah, aku tidak punja kesempatan mengulangi peladjaran. Akan tetapi ada baiknja, karena
tempat jang luarbiasa ramainja ini mendjadi tempat keluar-masuk kereta-api jang datang dari kota-kota lain
seperti Madiun, Djogja, Malang, Bandung dan aku dapat berhubungan dengan massa pekerdja. Tak pernah
aku menjia-njiakan kesempatan untuk menaburkan bibit Nasionalisme.Aku menerima 165 rupiah sebulan. 125
kuserahkan kepada ketuarga Pak Tjokro. Diwaktu mereka patah semangat dan bersusah hati, kubawa mereka
menonton film dengan apa jang masih tersisa dari uangku jang 40 rupiah itu. Atau kubelikan barang barang
ketjil seperti kartu-pos bergambar. Hanja ini jang dapat kuadakan, akan tetapi besar artinja bagi mereka.
Kuberikan pakaianku untuk dipakai. Aku mendjaga disiplin mereka dengan pukulan sandal pada belakangnja.
Aku mendjalankan segala tugas orangtua, sampai kepada menjunatkan Anwar. Aku sendiri mentjari obat,
mentjari orang alim dan menjelenggarakan selamatannja. Bertahun-tahun kemudian, setelah Anwar
mendjadi seorang tokoh politik, aku mengganggunja, ,,Nah, djangan kaulupakan, akulah jang
menjunatkanmu."Pada waktu Pak Tjokro didjatuhi hukuman karena persoalan politik, Belanda melarang
anak-anaknja untuk melandjutkan sekolah. Djadi, Sukarnolah jang mengadjar mereka. Akupun mengadjar
mereka menggambar. Untuk membeli kertas atau batutulis tidak ada uang, akan tetapi dinding rumah di
Djalan Plambetan dipulas dengan kapur putih. Bukankah dinding putih baik untuk digambari ? Maka
kugambarkan dari luar kepala gambar persamaan,dan karikatur dari bintang film kesajanganku, Frances
Ford. Terlepas dari persoalan apakah kami mendjadi tokoh- tokoh politik dimasa-masa jang akan datang atau
tidak, maka pada waktu itu sesungguhnjalah kami merupakan suatu rumahtangga jang terdiri dari anak-anak
jang ketakutan dan lapar dalam arti jang murni. Dan Aku ? Aku adalah jang paling besar, hanja itu.
Pak Tjokro dibebaskan pada bulan April 1922. setelah tudjuh bulan meringkuk dalam tahanan. Bulan Djuli,
pada waktu mulai tahun peladjaran baru setjara resmi, aku kembali ke Sekolah Teknik Tinggi dan kembali
kepada njonja Inggit. Utari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat-tidur, bahkan satu
kamarpun tidak. Djurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seorang jang baru kawin kasih sajangku
kepadanja hanja sebagai kakak. Sebagai kepala rumahtangga dari Pak Tjokro perananku sebagai seorang
bapak. Jang tidak dapat dibajangkan sekarang adalah peraaanku sebagai seorang suami. Aku telah
memperhatikan, kalau engkau membelah dada seseorang termasuk aku sendiri maka akan terbatja dalam
dadanja itu bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tertjapai apabila si isteri merupakan perpaduan
dari pada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Aku ingin di ibui oleh teman hidupku. Kalau aku pilek,
aku ingin dipidjitnja. Kalau aku lapar, aku ingin memakan makanan jang dimasaknja sendiri. Manakala
badjuku kojak, aku ingin isteriku menarnbalnja. Dengan Utari keadaannja terbalik. Aku jang mendjadi orang
tuanja, dia sebagai anak. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 31 dari 109
Ia bukan idamanku, oleh karena tidak ada tarikan lahir dan dalam kenjataan kami tak pernah saling
mentjintai. Sebagai teman seperdjuangan, orang jang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu
tenagaku terpusat pada penjelamatan dunia ini, sedang dia sementara itu main bola-tangkap. Sudah
mendjadi suatu kebiasaanku untuk menoleh kepada seorang wanita supaja hatiku dapat terhibur. Kalauharus
diadakan pilihan antara wanita jang memiliki tangan jang tjantik dengan seorang jang memiliki hati jang
lembut, maka aku seringkali tertarik pada jang terachir ini. Aku tidak lebih mengutarnakan hubungan lelaki-
perempuan, akan tetapi aku memerlukan hati jang lembut dan dorongan jang besar dan mulia jang hanja
dapat diberikan oleh hati seorang wanita. Inggit dan aku berada bersama-sama setiap malam. Aku adalah
orang jang selalu bangun dan membatja. Inggitpun lambat pergi tidur karena harus menjiapkan makan untuk
hari berikutnja. Dia selalu ada disekelilingku. Dia adalah njonja rumah. Aku orang bajar-makan. Kami
berteduh dibawah atap jang sama. Aku melihatnja dipagi hari sebelum ia menggulung sanggulnja. Dia
melihatku dalam pakaian pijama. Aku senantiasa makan bersama-sama dengan dia. Memakan makanan jang
dimasaknja sendiri. Sajuran seperti lodeh, jaitu sajuran jang dimasak dengan santan pakai tjabe jang
kusenangi atau ontjom jang djuga kusukai ataupun makanan lain jang chusus dibuatnja untuk menjenangkan
hatiku. Dia itulah bukan isteriku jang membereskan karnarku, melajaniku, memperhatikan pakaianku dan
mendengarkan buah-pikiranku. Dialah orang jang bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari.
Tuan Sanusi orang jang sudah berumur dan samasekali tidak peduli terhadap isterinja. Seorang pendjudi
dengan kegemarannja jang luarbiasa main biljar. Setiap malam ia berada dirumah bola untuk mentjobakan
ketjakapannja. Pada praktekola mereka bertjerai disatu rumah. Rumahtangga mereka tidak berbahagia.
Sebagai suami-isteri, mereka serumah, lain tidak. Lalu masuklah kedalam lingkungan ini seorang muda jang
bernafsu dan berapi-api. Ia sangat tertarik kepadanja. Ia melihat dalam diri perempuan itu seorang wanita
jang sadar, bukan kanak-kanak, seperti jang satunja jang masih main kutjing-kutjingan diluar. Keberanian ini
mulai bangkit. Aku seorang jang sangat kuat dalam arti djasmaniah dan dihari-hari itu belum ada
televisi......hanja Inggit dan aku dirumah jang kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannja tidak
betul. Dan perkawinanku tidak betul. Dan adalah wadjar, bahwa hal-hal jang demikian itu tumbuh. Inggit
dan aku banjak mengalami sast-saat jang menjenangkan bersama-sama. Kami keduanja mempunjai
perhatian jang sama. Dan barangkali djuga..... jah, kami keduanja bahkan sama mentiintai Sukarno.
Disamping hakekatnja sebagai seorang perempuan, diapun memudja Sukarno setjara menghambakan diri
samasekali dan membabi-buta baik atau buruk, benar atau salah. Tidak lain dalam hidupnja ketjuali Sukarno
serta segala apa jang mendjadi pikiran, harapan dan idaman Sukarno. Aku berbitjara dia mendengarkan.
Aku berbitjara dengan sangat gembira; dia menghargai. Utari menjadari-apa jang terdjadi, akan tetapi ia
mengetahui, bahwa persatuan kami tidak akan membawa kebahagiaan. Karena ia tidak pernah mengenalku
dalam arti suami-isteri jang sebenarnja, maka tidak timbul iri hati dari pihaknja. Hadji Sanusipun
mengetahui apa jang sedang berkembang, akan tetapi perkawinannja sudah sedjak lama rusak. Aku tidak
merasa bahwa aku merebutnja dari sang suami ataupun merusak suatu rumahtangga jang berbahagia,
sebagaimana jang dikatakan oleh madjalah madjalah luar negeri. Tidak ada sesuatu jang akan dirusakkan.
Bahkan Sanusi sendiripun tidak ada usaha untuk merebut hati isterinja lagi. Tanpa mendramakannja dengan
teliti, kukira tentu ada bersembunji perasaan-perasaan bersalah. Aku tidak ingat betul, apakah aku meng
alaminja sedemikian banjak ketika itu ataukah aku rnengeluarkannja sekarang sebagai usaha untuk
menerangkan tindakan-tindakan itu. Akupun tidak tahu, bagaimana perasaan rakjatku mengenai Presidennja
jang membitjarakan ini sarnpai sedemikian djauh . Aku tidak menghendaki mereka mendjadi malu.
Anggaplah, karena peristiwa pertjintaan sedang tumbuh diwaktu itu aku mentjoba menganalisa
kedjahatannja. Dan aku tidak pernah berhenti menganalisanja. Kumaksud bukan affair Inggit sadja. Jang
kumaksud adalah seluruh kehidupanku. Seakan aku menganalisa setjara abadi kekuatan-kekuatan jang ada
dalam diriku. Dan kekuatan-kekuatan jang ada disekelilingku. Otakku dan djiwaku selalu bernjala-njala
dengan perdjuangan jang tak habis-habis antara jang baik dan jang djahat. Setelah enam bulan berada di
Bandung aku sendiri rnembawa Utari pulang kerumah bapaknja. ,,Pak," kataku. ,,Saja mengembalikan Utari
kepada bapak." ,,Keputusan siapa ini ?" tanja Pak Tjokro. ,,Saja, Pak. Sajalah jang ingin bertjerai. "Kemudian
ia hanja bertanja, ,,Apakah dia menerima keputusanmu?"Aku mendjawab, ,,Ja. Dia sudah tentu susah
karena, walaupun bagaimana, anak-anak gadis kita menganggap pertjeraian itu suatu kernunduran.
Dia barangkali merasa sedikit bingung, sebab selama dua tahun kami kawin aku tak pernah menjentuhnja.
Sebenarnja dia tidak ingin bertjerai, akan tetapi diapun menjadari bahwa djalan inilah jang paling baik bagi
kami berdua."Pak Tjokro mengangguk diam. ,,Pak, saja menunggu sampai bapak keluar dari tahanan untuk
menjampaikan hal ini. Perkawinan kami sudah tidak baik dari permulaannja dan tidak akan baik untuk
seterusnja. Tanpa pertjeraian tidak dapat dibina perkawinan jang berbahagia."Pak Tjok menghargai apa jang
kukatakan. Ia tidak menanjakan persoalan-persoalan pribadi. Dan setelah kedjadian ini Pak Tjokro
sekeluarga dan aku selalu dalam hubungan jang baik. Hubungan kami tetap seperti sebelumnja. Apa jang
kuutjapkan setjara resmi hanjalah, ,,Saja djatuhkan talak satu kepadarnu," dan perkawinan kami berachir.
Djadi, tjara kami bertjerai ringkas sadja. Tidak melalui banjak prosedur. Dalarn agama Islam terdapat tiga
tingkatan pertjeraian. Talak satu masih membuka djalan untuk rudjuk kembali-dalarn tempo 100 hari. Talak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 32 dari 109
dua, tingkat jang lebih kuat dari jang pertama, mengulangi maksud untuk bebas dari isterirnu, akan tetapi
masih mernbuka kesempatan sedikit sekiranja masih ingin bergaul dengan dia.
Tingkat terachir adalah untuk menjatakan, ,,Saja tjeraikan engkau." Setelah talak tiga ini djatuh, hubungan
perkawinan sudah diputuskan dengan resmi dan sisuami tidak dapat mengawini kembali isterinja itu,
ketjuali.djika susteri kawin dulu sementara dengan laki-laki lainja. Hukurn Islam tidak mengizinkan
perempuan mentjeraikan lakinja. Pun tidak dapat menolak untuk ditjeraikan. Tentu sadja kalau suaminja
sangat kedjam dan ia mengadu kepada Kadi, ,,Suami saja memukul saja," atau kalau dia bersumpah, ,,Dia
tidak pernah datang kepada saja dan menurut kenjataan dia tidak pernah mempergauli saja selama
berbulan-bulan," dan memohon kepada Kadi supaja mengizinkannja bertjerai atas alasan jang tertentu itu,
maka Kadi itu dapat mentjeraikannja. Hakim agama ini mempunjai kekuasaan untuk memberi izin guna
meringankan keadaan.ni menurut Nabi Muhammad s.a.w. Hukum-Hukum Islam diadakan dipadang-pasir. Dan
dimana dipadang-pasir orang bisa mentjari ahli hukum atau Surat Pertjeraian ? Itulah sebabnja mengapa
kami tidak mempunjai aturan seperti di Barat. Djadi, ditahun 1922, aku hanja menjerahkan pengantinku jang
masih kanak-kanak itu kepada bapaknja, dan itulah seluruhnja.
Aku kembali ke Bandung dan kepada tjintaku jang sesungguhnja. Suatu malam, setelah kami bersama-sama
selama satu tahun, aku mengusulkan. Ini adalah usul jang sangat sederhana. Kami hanja berdua seperti biasa
dan aku berkata pelahan, ,,Aku mentjintaimu." Dia. ,,Akupun begitu," keluar tjepat dari mulutnja. Aku ingin
mengawinimu" kubisikkan.,,Akupun ingin mendjadi isterimu," dia membalas berbisik.,,Apakah menurut
pendapatmu kita akan rnendapat kesulitan ?",,Tidak," katanja lunak. ,,Aku akan bitjara dengan Sanusi
besok."Sanusi mau bekerdja-sama. Dalam tempo jang singkat Inggitpun bebas. Tidak terdjadi adegan jang
serarn seperti dilajar-putih. Kukira dia merasa, bahwa iniiah djalan jang paling baik ditempuh. Setelah itu
Inggit, dia dan aku senantiasa dalam hubungan jang baik. Kenjataannja, tidak lama kemudian dia kawin lagi.
Dalam waktu jang singkat Utaripun kawin dengan Bachrum Salam, kawan sama-sama bajar-makan dirumah
Pak Tjokro. Mereka memperoleh delapan orang anak dan ketika buku ini ditulis mereka masih mendjadi
suami-isteri. Djadi nampak kedua belah pihak tidak begitu merasa luka. Inggit dan aku kawin ditahun 1923.
Keluargaku tak pernah menjuarakan satu perkataan mentjela ketika aku berpindah dari isteriku jang masih
gadis kepada isteri lain jang selusin tahun lebih tua daripadaku. Apakah mereka menekan perasaannja
karena perbuatanku, ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro, aku tak pernah - mengetahuinja. Inggit jang
bermata besar dan memakai geIang ditangan itu tidak mempunjai masa lampau jang gemilang. Dia
samasekali tidak terpeladjar, akan tetapi intellektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang
perempuan. Jang kuhargai adalah kemanusiaannja. Perempuan ini sangat mentjintaiku. Dia tidak
memberikan pendapat-pendapat. Dia hanja memandang dan menungguku, dia mendorong dan memudja. Dia
memberikan kepadaku segala sesuatu jang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku ketjintaan,
kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala apa jang kuperlukan jang tidak dapat
kuperoleh semendjak aku meninggalkan rumah ibu. Psychiater akan mengatakan bahwa ini adalah pentjarian
kembali kasih-sajang ibu.
Mungkin djuga, siapa tahu. Djika aku mengawininja karena alasan ini, maka ia terdjadi setjara tidak sadar.
Dia. waktu itu dan sekarangpun masih seorang perempuan jang budiman. Pendeknja, kalau dipikirkan setjara
sadar, maka perasaan-perasaan jang dibangkitkannja padaku tidak lain seperti pada seorang kanak-kanak.
Inggit dalam masa selandjutnja dari hidupku ini sangat baik kepadaku. Dia adalah ilhamku. Dialah
pendorongku. Dan aku segera memerlukan semua ini. Aku sekarang sudah mendjadi mahasiswa ditingkat
kedua. Aku sudah kawin dengan seorang perempuan jang sangat kuharapkan dengan perasaan berahi. Aku
sekarang sudah melalui umur 21 tahun. Masa djedjakaku sudah berada dibelakangku. Tugas hidupku
merentang didepanku. Pikiran embryo jang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemakan bentuk di
Surabaja tiba-tiba petjah mendjadi kepompong di Bandung dan dari keadaan chrysalis berkembanglah
seorang pedjuang politik jang sudah matang. Dengan Inggit berada disampingku aku melangkah madju
memenuhi amanat menudju tjita-tjita.
Bab 6
Marhaenisme
AKU baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik jang kuat menerangi pikrranku. Mula-mula ia hanja
berupa kuntjup dari suatu pemikiran jang mengorek-ngorek otakku, akan tetapi tidak lama kemudian ia
mendjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Dikepulauan kami terdapat pekerdja-pekerdja jang
bahkan lebih miskin daripada tikus-geredja dan dalam segi keuangan terlalu menjendihkan untuk bisa
bangkit dibidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian masing-masing mendjadi madjikan
sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia mendjadi kusir gerobak kudanja, dia mendjadi pemilik BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 33 dari 109
dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerdjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelajan-nelajan jang
bekerdja sendiri dengan alat-alat—seperti tongkat-kail, kailnja dan perahu— kepunjaan sendiri. Dan
begitupun para petani jang mendjadi pemilik tunggal dari sawahnja dan pemakai tunggal dari hasilnja.
Orang-orang sematjam ini meliputi bagian terbanjak dari rakjat kami. Semua mendjadi pemilik dari alat
produksi mereka sendiri, djadi mereka bukanlah rakjat proletar. Mereka punja sifat chas tersendiri.
Mereka tidak termasuk dalam salahsatu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnja
? Itulah jang mendjadi renunganku berhari-hari, bermalam-malam dan berbulan-bulan. Apakah sesungguhnja
saudaraku bangsa Indonesia itu ? Apakah namanja para pekerdja jang demikian, jang oleh ahli ekonomi
disebut dengan istilah ,,Penderita Minimum" ?- Disuatu pagi jang indah aku bangun dengan keinginan untuk
tidak mengikuti lculiah—ini bulcan tidak sering terdjadi. Otakku sudah terlalu penuh dengan soal-soal politik,
sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi.
Sementara mendajung sepeda tanpa tudjuan—sambil berpikir—alcu sampai dibagian selatan kota Bandung,
suatu daerah pertanian jang padat dimana orang dapat menjaksikan para petani mengerdjakar. sawahnja
jang ketjil, jang masing-masing luasnja kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena boberapa hal perhatianku
tertudju pada seorang petani jang sedang mentjangkul tanah mrliknja. Dia seorang diri. Pakaiannja sudah
lusuh. Gambaran jang chas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakjatku. Aku berdiri disana sedjenak
memperhatikannja dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa jang ramah, maka aku
mendekatinja. Aku bertanja dalam bahasa Sunda, ,,Siapa jang punja semua jang engkau kerdja-kan sekarang
ini ?"
Dia berkata kepadaku, ,,Saja, djuragan."
Aku bertanja lagi, ,,Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?"
,,0, tidak, gan. Saja sendiri jang punja."
,,Tanah ini kaubeli ?"
,,Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali.........aku menggali setjara mental. Pikiranku mulai
bekerdja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanjaku semakin bertubi-tubi pula.
,,Bagairnana dengan sekopmu ? Sekop ini ketjil, tapi apa-ka'il kepunjaanmu djuga ?"
,,Ja, gan."
,,Dan tjangkul ?"
,,Ja, gan."
,,Badjak ?"
,,Saja punja, gan."
,,Untuk siapa hasil jang kaukerdjakan ?"
,,Untuk saja, gan."
,,Apakah tjukup untuk kebutuhanmu ?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. ,,Bagaimana sawah jang begini ketjil bisa tjukup untuk seorang
isteri dan empat orang anak ?"
,,Apakah ada jang didjual dari hasilmu ?" tanjaku.
,,Hasilnja sekedar tjukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnja untuk didjual."
,,Kau mempekerdjakan orang lain ?" BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 34 dari 109
,,Tidak, djuragan. Saja tidak dapat membajarnja."
,,Apakah engkau pernah memburuh ?"
,,Tidak, gan. Saja harus membanting-tulang, akan tetapi djerih-pajah saja semua untuk saja."
Aku menundjuk kesebuah pondok ketjil, ,,Siapa jang punja rumah itu ?"
,,Itu gubuk saja, gan. Hanja gubuk ketjil sadja, tapi kepunjaan saja sendiri."
"Djadi kalau begitu," kataku sambil menjaring pikiranku sendiri ketika kami berbitjara, "Semua ini engkau
punja ?"
"Ja, gan."
Kemudian aku menanjakan nama petani muda itu. Ia menjebut namanja. ,,Marhaen." Marhaen adalah nama
jang blasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu
untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu ! Semendjak itu kunamakan rakjatku
rakjat Marhaen. Selandjutnja dihari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru.
Aku memperlantjarnja. Aku mempersiapkan kata-kataku dengan hati-hati. Dan malamnja aku memberikan
indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku.,,Petani-petani kita mengusahakan bidang tanah
jang sangat ketjil sekali.
Mereka adalah korban dari sistim feodal, dimana pada mulanja petani pertama diperas oleh bangsawan jang
pertama dan seterusnja sampai keanak-tjutjunja selama berabad-abad. Rakjat jang bukan petanipun
mendjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek-mojangnja telah dipaksa untuk
hanja bergerak dibidang usaha jang ketjil sekedar bisa memperpandjang hidupnja. Rakjat jang mendjadi
korban ini, jang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen." Aku menundjuk seorang
tukang gerobak, ,,Engkau....... engkau jang disana. Apakah engkau bekerdja dipabrik untuk orang lain
?",,Tidak," katanja.,,Kalau begitu engkau adalah Marhaen." Aku menggerakkan tangan kearah seorang tukang
sate. ,,Engkau...... engkau tidak punja pembantu, tidak punja madjikan engkau djuga seorang Marhaen.
Seorang Marhaen adalah orang jang mempunjai alat-alat jang sedikit, orang ketjil dengan milik ketjil,
dengan alat-alat ketjil, sekedar tjukup untuk dirinja sendiri. Bangsa kita jang puluhan djuta djiwa, jang
sudah dimelaratkan, bekerdja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerdja untuk dia. Tidak ada
penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhacnisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek."
Perkataan ,,Marhaenisme" adaiah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami. Begitupun
nama tanah-air kami harus mendjadi lambang. Perkataan ,,Indonesia" berasal dari seorang ahli purbakala
bangsa Djerman bernama Jordan, jang beladjar dinegeri Belanda. Studi chususnja mengenai Rantaian
Kepulauan kami. Karena kepulauan ini setjara geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah ,,Kepulauan
dari India". Nesos adalah bahasa Junani untuk perkataan pulau-pulau, sehingga mendjadi Indusnesos jang
achirnja mendjadi Indonesia.
Ketika kami merasakan perlunja untuk menggabungkan pulau-pulau kami rnendjadi satu kesatuan jang besar,
kami berpegang teguh pada nama ini dan mengisinja dengan pengertian-pengertian politik hingga iapun
mendjadi pembirnbing dari kepribadian nasional. Ini terdjadi ditahun 1922-1923. Dalam tahun-tahun inilah,
ketika kami sebagai bangsa jang dihinakan diperlakukan seperti sampah diatas bumi oleh orang jang
menaklukkan kami. Karni tidak dibolehkan apa-apa. Ditindas dibawah tumit pada setiap kali, bahkan kami
dilarang mengutjapkan perkataan ,,lndonesia". Telah terdjadi sekali ditengah berapi-apinja pidatoku, kata
,,lndonesia" melompat dari mulutku.
,,Stop........stop........."perintah polisi. Mereka meniup peluitnja. Mereka memukulkan tongkatnja.
,,Dilarang samasekali mengutjapkan perkataan itu ...........hentikan pertemuan " Dan pertemuan itu dengan
segera dihentikan. Di Surabaja aku tak ubah seperti seekor burung jang mentjari-tjari tempat untuk
bersarang. Akan tetapi di Bandung aku sudah mendjadi dewasa. Bentuk fisikku berkembang dengan
sewasjarnja. Bintang matinee Amerika jang mendjadi idaman didjaman itu adalah Norman Kerry dan, supaja
kelihatan lebih tua dan lebih ganteng, aku memelihara kumis seperti Kerry. Tapi sajang, kumisku tidak
melengkung keatas pada udjung-udjungnja seperti knmis bintang itu. Dan isteriku menjatakan, bahwa
Charlie Chaplinlah jang berhasil kutiru. Achiroja usahaku satu-satunja untuk meniru seseorang berachir
dengan kegagalan jang menjedihkan dan semua pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan. Ditahun
1922 aku untuk pertamakali mendapat kesukaran. Ketilka itu diadakan rapat besar disuatu lapangan terbuka
dikota Bandung. Seluruh lapangan menghitam oleh manusia. Ini adalah rapat Radicale Concentratie, suatu BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 35 dari 109
rapat raksasa jang diorganisir oleh seluruh organisasi kebangsaan sehingga walcil-wakil dari setiap partai
jang ada dapat berkumpul bersama untuk satu tudjuan, jaitu memprotes berbagai persoalan sekaligus.
Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanja mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba
terasa olehku suatu dorongan jang keras untuk mengutjapkan sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri. Mereka semua membitjarakan omongkosong.
Seperti biasa mereka meminta-minta. Mereka tidak menuntut.Naiklah tangan jang berapi-api dari Sukarno,
mertjusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta izin ketua agar diberi kesempatan berpidato dihadapan
rapat.,,Saja ingin berbitjara," aku berteriak.,,Silakan," ketua berteriak kembali.Disana ada P.I.D., Polisi
Rahasia Belanda, jang bersebar disegala pendjuru Tepat dimukaku berdiri seorang polisi bermuka merah
mengantjam dan berbadan besar. Ini adalah alat jang berkuasa jaitu kulitputih. Hanja dia sendiri jang dapat
menjetopku. Dia seorang dirinja, dapat membubarkan rapat. Dia seorang dirinja, dengan kekuasaan jang ada
padanja dapat mentjerai-beraikan pertemuan kami dan mendjebloskanku kedalam tahanan. Akan tetapi aku
masih muda, tidak mau peduli dan penuh semangat. Djadi naiklah aku kemimbar dan mulai berteriak,
,,Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak ? Ia meledak oleh karena lobang kepundannja
tersumbat Ia meledak oleh karena tidak ada djalan bagi kekuatan-kekuatan jang terpendam untuk
membebaskan dirinja. Kekuatan-kekuatan jang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit
dan...........DORRR. Keseluruhan itu meletus.,,Kedjadian ini tidak ada bedanja dengan Gerakan Kebangsaan
Icita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mentjari djalan keluar bagi
perasaan-perasaan kita jang sudah penuh, maka saudara-saudara, njonja-njonja dan tuan-tuan, suatu saat
akan terdjadi pula ledakan dengan kita..Dan rnanakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang
keudara. Dengan ini saja menantang Pemerintah Kolanial jang membendung perasaan kita.
Dari sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi itu menudju kedepan untuk mentjegahku terus berbitjara,
akan tetapi aku begitu bersemangat dan menggeledek terus.,,Apa gunanja kita putulan ribu banjaknja
berkumpul disini djikalau jang kita kerdjakan hanja menghasilkan petisi ? Mengapa kita selalu merendah diri
memohon kepada 'Pemerintah' untuk meminta kebaikan hatinja supaja mendirikan sebuah sekolah untuk kita
? Bukankah itu suatu Politik Berlutut ? Bukankah itu suatu politik memohon dengan mendatangi Jang
Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, jang dengan rnemakai dasi hitam menerima delegasi jang
membungkuk-bungkuk dan menundjukkan penghargaan kepadanja dan menjerahkan kepada pertimbangannja
suatu petisi ? Dan merendah diri memohon pengurangan padjak? Kita merendah diri....memohon, merendah
diri memohon.........Inilah kata-kata jang selalu dipakai oleh pemimpin-pemimpin kita.
,,Sampai sekarang kita tidak pernah mendjadi penjerang. Gerakan kita bukan gerakan jang mendesak, akan
tetapi gerakan kita adalah gerakan jang meminta-minta. Tak satupun jang pernah diberikannja karena
kasihan. Marilah kita sekarang mendjalankan politik pertjaja pada diri sendiri dengan tidak mengemis-
ngemis. Hajo kita berhenti mergemis. Sebalikn.ja, hajo kita berteriak, ,,Tuan Imperialis, inilah jang karni
TUNTUT !"Kemudian, polisi-polisi jang mahakuasa dan mahakuat ini, jang punja kekuasaan untuk
menghentikan rapat ini, bertindak. Mereka menjetop rapat dan menjetopku. Heyne, Kepala Polisi Kota
Bandung, sangat marah. Sambil menjiku kanan-kiri melalui rakjat jang berdiri berdjedjal-djedjal, ia
melompat keatas mimbar, menarikku kebawah dan mengumumkan, ,,Tuan Ketua, sekarang saja menjetop
seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan-tuan semua dibubarkan. Sernua pulang sekarang. KELUAR !"
Begitu pertamakali Sukarno membuka mulutnja, ia segera harus berhubungan dengan hukum. Dengan tjepat
aku mendjadi buah-tutur orang dan setiap orang mengetahui nama Sukarno. Aku memperoleh inti pengikut
jang kuat. Akan tetapi, sajang, akupun mengembangkan pengikut jang baniak diantara polisi Belanda.
Kemanapun aku pergi mereka ikuti.
Maka mendjalarlah dari mulut kemulut: ,,Di Sekolah Teknik Tinggi ada seorang pengatjau. Awasi dia."
Dengan satu pidato si Karno—jang pendiam, jang suka menarik diri dan ditjintai membuat musuh-musuh
djadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah ditjoret dari daftar hitam mereka. Prestasiku jang
pertama ini menimbulkan kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil kekantor Presiden universitas.
,,Kalau engkau ingin melandjutkan peladjaran disini," Professor Klopper memperingatkan, ,Engkau harus
bertekun pada studimu. Saja tidak keberatan djika seorang mahasiswa mempunjai tjita-tjita politik, akan
tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan paling utama memenuhi kewadjiban sebagai seorang
mahasiswa. Engkau harus berdjandji, mulai hari ini tidak akan ikut-tjampur dalam gerakan politik."Aku tidak
berdusta kepadanja. Aku menerangkan persoalanku dengan djudjur. ,,Professor, apa jang akan saja
djandjikan ialah, bahwa saja tidak akan melalaikan peladjaran-peladjaran jang tuan berikan dalam
kuliah.",,Bukan itu jang saja minta kepadamu.",,Hanja itu jang dapat saja djandjikan, Professor.
Akan tetapi djandji ini saja berikan dengan sepenuh hati. Saja berdjandji dengan kesungguhan hati untuk
menjediakan letih banjak waktu pada studi saja." Ia sangat baik mengenai hal ini. ,,Apakah kata-katamu
dapat saja pegang, bahwa engkau akan berhenti berpidato dalam rapat umum selama masih dalam studi
?",,Ja, Professor," aku berdjandji, ,,Tuan memegang utjapan saja jang sungguh-sungguh."Dan djandji ini BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 36 dari 109
kupegang teguh. Berbitjara dihadapan massa bagiku lebih daripada segala-galanja untuk mana aku hidup.
Oleh karena aku tidak dapat berbitjara membangkitkan semangat rakjatdjelata dalam keadaan sesungguhnja
maka kulakukanlah ini dalam chajalan. Pada suatu malam rumah Inggit jang disediakan djuga untuk bajar-
makan penuh dan kami terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat-tidurku dengan seorang peladjar.
Ditengah malam aku diserang oleh suatu desakan untuk berpidato dengan nafsu jang bernjala-njala, seakan-
akan aku berbitjara dihadapan 10.000 orang jang bersorak-sorai dengan gegap-gempita. Sambil berdiri tegak
aku menganggap tempat-tidurku sebagai mimbar dan aku mulai menggegapgeletar.,,Engkau tahu apakah
Indonesia ?" aku berteriak kepunggung temanku setempat-tidur. ,,Indonesia adalah pohon jang kuat dan
indah ini. Indonesia adalah langit jang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih jang lamban itu.
Indonesia adalah udara jang hangat ini.",,Saudara-saudaraku iang tertjinta, laut jang menderu memukul-
mukul kepantai ditjahaja sendja, bagiku adalah djiwanja Indonesia jang bergerak dalam gemuruhnja
gelombang samudra. Bila kudengar anak-anak ketawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup
bunga-bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah-air kita bagiku."Setelah beberapa djam
mendengarkan perkataanku jang membakar hati, Djoko Asmo lebih memerlukan tidur daripada
mendengarkan golakan perasaanku. Djam dua tengah malam dia tertidur njenjak ditengah-tengah pidatoku
jang mentjatjau. Aku kehabisan tenaga samasekali sehingga ditengah pidato pembelaanku jang bersemangat
akupun terhempas lena. Esok paginja kami baru tahu, bahwa kami lupa mematikan lampu. Kelambu kami
hampir hangus samasekali. Lampu itu menjala sepandjang malam sampai mendjilat kebagian bawah dan
kami kedua-duanja hampir kelemasan oleh udara dan asap jang hebat. Tapi untunglah. Kami tidak turut
terbakar. Terpikir olehku, kalau seseorang hendak mendjadi Djuru selamat daripada bangsanja dikemudian
hari untuk membebaskan rakjatnja, haruslah ia menjelamatkan dirinja sendiri lebih dulu.Aku masih terlalu
banjak menjurahkan waktu untuk pemikiran politik, djadi tak dapatlah diharapkan akan mendjadi mahasiswa
jang betul-betul gemilang. Kenjataan bahwa aku masih dapat melintasi batas nilai sedang sungguh
mengherankan. Siapa jang beladjar ? Bukan aku. Tidak pernah. Aku mempunjai ingatan seperti bajangan
gambar dan dalam pada itu aku terlalu sibuk memompakan soal-soal politik kekepalaku, sehingga tidak
tersisa waktuku untuk membuka buku sekolah. Dewi dendamku adalah ilmu pasti. Aku tidak begitu kuat
dalam ilmu pasti.
Menggambar arsitektur bagiku sangat menarik, akan tetapi kalkulasi bangunan dan komputasi djangan tanja.
Kleinste Vierkanten atau jang dinamakan Geodesi, sematjam penjelidikan tanah setjara ilrnu pasti dimana
orang mengukur tanah dan beladjar membaginja dalam kaki-persegi, dalam semua ini aku gagal. Untuk
udjian ilmu pasti kuakui, bahwa aku bermain tjurang. Tapi hanja sedikit. Kami semua bermain tjurang
dengan berbagai djalan. Ambillah misalnja peladjaran menggambar konstruksi bangunan. Aku kuat dalam
peladjaran ini. Dalam waktu udjian dosen berdjalan pulang-balik diantara medja-medja memperhatikan
setiap orang. Segera setelah ia berada dibagian lain dalam ruangan ketika menghadapkan punggungnja pada
kami, salah-seorang jang berdekatan mendesis, ,,Ssss, Karno, buatkan bagan untukku, kau mau ?" Aku
bertukar kertas dengan dia. dengan terburu-buru membuat gambar jang kedua dan dengan tjepat
menjerahkan kembali kepadanja. Kawan-kawanku membalas usaha ini dalam peladjaran Kleinste Vierkanten
kalau Professor membuat tiga pertanjaan dipapan-tulis dan hanja memberi kami waktu 45 menit untuk
mengerdjakannja. Kawan-kawan menempatkan kertasnja sedemikian rupa disudut bangku, sehingga aku
dapat dengan mudah menjalin djawabannja. Sudah tentu aku mentjontoh dari mahasiswa jang lebih pandai
dalam ilmu pasti.
Tjara ini bukanlah semata-mata apa jang dinamakan orang berbuat tjurang. Di Indonesia ini adalah wadjar
djika digolongkan dalam apa jang kami sebut kerdja-sama jang erat. Gotong-rojong.Alasan mengapa aku
gagal dan hanja memperoleh nilai tiga adalah karena pada suatu kali sang Professor melakukan taktik litjik
terhadap kami. Ia mengedjutkan kami dengan udjian lisan, dimana kami menempuhnja satu persatu. Hanja
Professor dan seorang mahasiswa jang ada dalam ruangan. Aku karenanja djatuh.Semua kuliah diadjarkan
dalam bahasa Belanda. Aku berpikir dalam bahasa Belanda. Bahkan sekarangpun aku memaki-maki dalam
bahasa Beianda. Kalau aku mendoa kehadirat Tuhan Jang MahaKuasa, maka ini kulakukan dalam bahasa
Belanda.Kurikulum kami disesuaikan menurut kebutuhan masjarakat pendjadjahan Belanda. Pengetahuan
jang kupeladjari adalah pengetahuan teknik kapitalis. Misalnja, pengetahuan tentang sistim irigasi. Jang
dipeladjari bukanlah tentang bagaimana tjaranja mengairi sawah dengan djalan jang terbaik. Jang diberikan
hanja tentang sistem pengairan tebu dan tembakau. Ini adalah irigasi untuk kepentingan Imperialisme dan
Kapitalisme. Irigasi dipeladjari tidak untuk memberi makan rakjat banjak jang kelaparan, akan tetapi untuk
membikin gendut pemilik perkebunan. Peladjaran kami dalam pembuatan djalan tidak mungkin dapat
menguntungkan rakjat. Djalan-djalan jang dibuat bukan melalui hutan dan antar-pulau sehingga rakjat dapat
berdjalan atau bepergian lebih mudah. Kami hanja diadjar merentjanakan djalan-djalan tambahan
sepandjang pantai dari pelabuhan kepelabuhan, djadi pabrik-pabrik dengan demikian dapat mengangkut
hasilnja setjara maksimal dan komunikasi jang tjukup antara kapal-kapal jang berlajar. Ambillah ilmu pasti.
Universitas manapun tidak memberi peladjaran rantai-ukuran. Kami diberi. Ini adalah sebuah pita jang
pandjangnja 20 meter jang hanja dipakai oleh para pengawas diperkebunan-perkebunan. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 37 dari 109
Diruangan bagan, kalau kami membuat rentjana kota teladan, kamipun harus menundjukkan tempat
kedudukan ,,Kabupaten", jaitu tempat tinggal Bupati jang mengawasi rakjat desa membanting-
tulang.Diminggu terachir ketika diadakan pelantikan aku mempersoalkan ini dengan Rector Magnificus dari
Sekolah Teknik Tinggi ini, Professor Ir. G. Klopper M.E.,,Mengapa kami diisi dengan pengetahuan-
penyetahuan jang hanja berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial terhadap kami ?'' tanjaku.,,Sekolah
Teknik Tinggi ini," ia menerangkan, ,,didirikan terutama untuk memadjukan politik Den Haag di Hindia.
Supaja dapat mengikuti ketjepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saja merasa perlu untuk mendidik
lebih banjak insinjur dan pengawas jang berpengalaman.",,Dengan perkataan lain, kami mengikuti perguruan
tinggi ini untuk memperkekal polilik Imperialisme Belanda disini ?",,Ja, tuan Sukarno, itu benar," ia
mendjawab. Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghantjurkan
kekuasaan Kolonial, rupanja aku harus berterima-kasih pula kepada mereka atas pendidikan jang kuterima.
Dengan dua orang kawan bangsa Indonesia jang berhasil bersama-sama denganku, maka pada tanggal 25 Mei
1926 aku memperoleh promosi dengan gelar ,,Ingenieur". Idjazahku dalam djurusan teknik sipil menentukan,
bahwa aku adalah seorang spesialis dalam pekerdjaan djalan-raja dan pengairan. Aku sekarang diberi hak
untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno. Ketika ia memberi gelar sardjana teknik kepadaku, Presiden
universitas berkata, ,,Ir. Sukarno, idjazah ini dapat robek dan hantjur mendjadi abu disatu saat. Ia tidak
kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunja kekuatan jang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang.
Ia akan tetap hidup dalam hati rakjat, sekalipun sesudah mati." Aku tak pernah melupakan kata-kata ini.
Bab 7
Bahasa Indonesia
DJANDJIKU sudah terpenuhi. Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnja tidak ada jang akan
menghalang-halangiku mendjalankan pekerdjaan untuk mana aku dilahirkan.Semendjak aku berdiri diatas
djambatan di Surabaja itu dan mendengarkan djeritan rakjatku, aku menjadari bahwa akulah jang harus
berdjuang untuk mereka. Hasrat jang menjala-njala untuk membebaskan rakjatku bukanlah hanja ambisi
perorangan. Djiwaku penuh dengan itu. Ia meliwati sekudjur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia
mengalir melalui urat-nadiku. Untuk itulah orang mempersembahkan seluruh hidupnja. Ia lebih daripada
hanja sebagai kewadjiban. Ia lebih daripada panggilan djiwa. Bagiku ia adalah satu ............kejakinan.
Menurut para mahaguru thesisku tentang konstruksi pelabuhan dan djalanan-air ditambah dengan teoriku
tentang perentjanaan kota mempunjai ,,nilai penemuan dan keaslian jang begitu tinggi", sehingga untukku
disediakan djabatan sebagai assisten dosen. Aku menolaknja. Djuga ditawarkan pekerdjaan pemerintahan
kota. Inipun kutolak.
Salah-seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warnakulit.
Baginja tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginja tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanja
menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. ,,Saja menghargai ketjakapanmu," katanja. ,,Dan saja
tidak ingin ketjakapan ini tersia-sia. Engkau mempunjai pikiran jang kreatif. Djadi saja minta supaja engkau
bekerdja dengan pemerintah. "Sungguhpun aku keberatan, ia menjerahkanku kepada Direktur Pekerdjaan
Umum jang meminta kepadaku untuk merentjanakan suatu projek untuk perumahan Bupati. Insinjur-
kepalanja sudah tentu seorang Belanda jang tidak mengenal samasekali kehidupan orang Indonesia dan
kebutuhannja. Akan tetapi oleh karena aku tidak menghendaki pekerdjaan ini, kusampaikan kepadanja
pendapatku tentang rentjana arsitekturnja, ,,Maafkan saja, tuan, konsepsi tuan didasarkan pada semangat
pedagang rempah-rempah Belanda. Setiap orang Belanda merentjanakan setjara teknis salah. Persil-persil di
Bandung hanja 15 meter lebar dan 20 meter kedalam dan rumah-rumahnja sempit. Kota Bandung
direntjanakan seperti kandang-ajam. Bahkan djalannja sempit, karena ia dibuat menurut tjara berpikir
Belanda jang sempit. Sama sadja dengan projek jang tuan rentjanakan. Ia tidak mempunjai 'Schwung'.
"Karena aku telah menolak pekerdjaan jang diberikan itu, aku merasa wadjib memberi pendjelasan kepada
Professor Schoemaker, ,,Tuan telah menjatakan, bahwa saja dalam ruang-lingkup jang ketjil memiliki daja-
tjipta. Jah, saja ingin mentjipta," kataku dengan hebat. ,,Akan tetapi untuk saja sendiri.
Saja tidak jakin dikemudian hari akan mendjadi pembangun rumah. Tudjuan saja ialah untuk mendjadi
pembangun dari suatu bangsa.,,Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, jaitu mengadakan kerdja-sama
dengan pemerintah dengan tjara mengemis-ngemis, hanja menghasilkan djandji-djandji jang.tidak ditepati.
Dengan usaha saja, kami baru-baru ini memulai politik non-kooperasi. Ini didasarkan pada kehendak pertjaja
pada diri sendiri dan dibidang ekonomi terlepas dari bantuan negara asing."Kawanku itu mendengarkan
dengan tenang, kemudian berkata, ,,Anak muda, hendaknja bakatmu dipergunakan setjara maksimal. Kalau
engkau berdiri sendiri, ini akan memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa madju. Hanja orang-orang
Belanda jang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah jang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan
mereka tentu keberatan untuk mempekerdjakan seorang muda jang tidak berpengalaman dan djuga
kebetulan berada paling atas dalam daftar-hitam polisi, karena dianggap sebagai pengatjau. Usul saja ini
adalah permulaan jang baik untukmu." Pandangannja itu memang baik. ,,Professor, saja menolak untuk BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 38 dari 109
bekerdja-sama, supaja tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saja bekerdja dengan pemerintah,
setjara diam-diam saja membantu politik penindasan dari rezim mereka jang otokratis dan monopolistis itu.
Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk mendjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh
gelarnja. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanja."
,,Djangan terima pekerdjaan djangka lama, kalau sekiranja perasaan tidak-senangmu begitu kuat," ia
mempertahankan, ,,Akan tetapi buatlah satu rumah ini sadja untuk Bupati. Tjobalah kerdjakan ............
Kerdjakanlah atas permintaan saja."Aku melakukan sebagaimana jang dimintanja. Pekerdjaan ini sangat
berhasil dan aku dibandjrri dengan permintaan untuk mengerdjakan karja teknik sematjam itu untuk
pedjabat-pedjabat lain. Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak ada lagi semendjak aku
selesai dan sekalipun aku tidak mempunjai djalan jang njata untak membantu isteriku, aku menolaknja. Aku
membuat rentjana Kabupaten hanja karena sangat menghargai dan menghormati Professor itu. Akan tetapi
ini adalah jang pertama dan terachir aku bekerdja untuk Pemerintah. Kemudian, ketika Departemen
Pekerdjaan Umum menawarkan kedudukan tetap kepadaku, aku menolaknja dengan alasan bahwa aku
memperdjuangkan non-kooperasi. Aku sangat memerlukan uang dan pekerdjaan.
Aku sudah tidak mempunjai harapan samasekali untuk memperoleh kedua-duanja ini ketika aku mendengar
lowongan disekolah Jajasan Ksatrian jang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka
mentjari seorang guru jang akan mengadjar dalam dua mata peladjaran. Jang pertama adalah sedjarah,
untuk mana aku sangat berhasrat besar. Mata peladjaran jang lain ? Ilmu pasti ! Dan dalam segala segi-
seginja lagi ! Djadi sebagaimana telah kutegaskan dengan segala kedjudjuran jang pahit, kalau ada
matapeladjaran jang samasekali tidak bisa kuatasi, maka itulah dia ilmu pasti. Akan tetapi aku tidak
mempunjai pilihan lain.
Guru jang ditugaskan untuk melakukan tanja-djawab bertanja, ,,Ir. Sukarno, tuan adalah insinjur jang
beridjazah, djadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti, bukankah begitu ?" ,"Oh, ja tuan," aku menjeringai
meretjik kepertjajaan. — ,,Ja, tuan. Ja, betul. Saja menguasainja." ,,Baiklah, tuan dapat mengadjar ilmu
pasti ?" tanjanja.,
,,Mengapa tidak," aku membohong. ,,Saja menguasai betul ilmu pasti. Menguasainja sungguh- sungguh. Ini
matapeladjaran jang saja senangi." Inggit dan aku sudah kering samasekali, tidak mempunjai apa-apa lagi.
Apa jang dapat kami suguhkan kepada tamu hanja setjangkir teh entjer tanpa gula. Djadi, apa jang harus
kukatakan kepadanja ? Bahwa aku samasekali tidak dapat mengadjar ilmu pasti ? Bahwa sesungguhnja aku
gagal dalam peladjaran itu ?
Kalau demikian, tentu aku tidak akan memperoleh pekerdjaan itu.Temanku, Dr. Setiabudi, datang sendiri
kepadaku dan sekali lagi bertanja, ,,Bagaimana pendapatmu sesungguhnja, bisakah engkau mengadjar?" Dan
kuulangi dengan suara jang tergontjang dan tersinggung, ,,Apakah saja bisa mengadjar? Tentu saja bisa
mengadjar. Tentu sadja saja bisa. Sudah pasti.",,Ilmu pasti djuga ?",,Ja, ilmu pasti djuga."Aneh,
kenjataannja aku menghadapi kesukaran djustru dalam peladjaran sedjarah. Kelasku berdjumlah 30 orang
murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto.
Tak seorangpun memberiku petundjuk dalam tjara mengadjar. Djadi aku mentjobakan tjaraku sendiri.
Sajang, aku tidak berhasil mendekati metode jang resmi. Dalam peladjaran sedjarah aku mempunjai gajaku
sendiri. Aku tidak menjesuaikan samasekali teori bahwa anak-anak harus diadjar setjara kenjataan. Angan-
anganku ialah hendak menggerakkan mereka supaja bersemangat. Aku lebih berpegang pada pengertian
sedjarah daripada mengadjarkan nama-nama, tahun dan tempat. Aku tak pernah memusingkan kepala
tentang tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo atau
hal-hal lain jang sama remehnja seperti apa jang biasanja mereka adjarkan disekolah. Kalau seharusnja aku
memperlakukan murid-muridku sebagai anakanak jang masih ketjil, jang kemampuannja dalam
matapeladjaran ini terpusat pada mengingat fakta-fakta, maka aku berfalsafah dengan mereka. Aku
memberikan alasan mengapa ini dan itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwa-peristiwa sedjarah setjara
sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan setjara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak
memberikan hal sematjam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator jang berbakat dari lahirnja. Aku
mengajunkan tanganku dan mentjobakannja. Kalau aku bertjerita tentang Sun Yat Sen, aku betul-betul
berteriak dan memukul medja.
Sudah mendjadi aturan dari Departemen Pengadjaran Hindia Belanda, sekolah-sekolah dikundjungi oleh
penilik-penilik-sekolah pada waktu-waktu tertentu. Pada waktunja jang tepat seorang penilik sekolah datang
mendengarkan peladjaran sedjarahku. Dia duduk dengan tenang dibelakang kelas untuk memperhatikan.
Selama dua djam aku mengadjar dengan tjara jang menurut pikiranku paling baik, sementara mana aku
menjadari bahwa dia mendengarkan dengan saksarna.Setjara kebetulan peladjaran kali ini berkenaan dengan
Imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku mendjadi begitu bersemangat sehingga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 39 dari 109
aku terlompat-lompat dan mengutuk seluruh sistimnja. Dapatkah engkau membajangkan ? Dihadapan penilik
sekolah bangsa Belanda jang memandang padaku dengan wadjah tidak pertjaja, aku sungguh-sungguh
menamakan Negeri Belanda sebagai ,,Kolonialis jang terkutuk ini" ! Ketika peladjaran dan kisahku kedua-
duanja selesai, penilik sekolah itu menjatakan dengan seenaknja bahwa menurut pendapatnja sesungguhnja
aku bukan pengadjar jang terbaik jang pernah dilihatnja dan bahwa aku tidak mempunjai masa depan jang
baik dalam pekerdjaan ini.
Ia berkata kepadaku, ,,Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembitjara !" Dan inilah achir daripada
karierku jang singkat sebagai guru.26 Djuli 1926 aku membuka biro teknikku jang pertama, bekerdjasama
dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari.Aku tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang
Keilmuan. Kehidupan segera memikulkan beban diatas pundakku dan melemparkan aku keatas tumpukan
sampah dan kedalam pondok-pondok jang botjor dan gojah. Kehidupan melemparkan daku kepasar-pasar.
Kehidupan membuangku kehutan-hutan, kekampung-kampung dan sawah-sawah. Aku tidak mendjadi guru.
Aku mendjadi djuru chotbah. Mimbarku adalah pinggiran djalan. Kumpulanku ? Massa rakjat menggerumut
jang sangat merindukan pertolongan. Ditahun 1926 aku mulai mengchotbahkan nasionalisme terpimpin.
Sebelum itu aku hanja memberikan kepada pendengarku kesadaran nasional lebih banjak daripada jang
mereka ketahui sebelumnja. Sekarang aku tidak sadja mengojak-ojak mereka untuk bangun, akan tetapi aku
memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah datang waktunja untuk mendjelmakan suatu masjarakat
baru jang demokratis sebagai ganti feodalisme jang telah bertjokol selama berabad-abad. Aku berkata
kepada para pendengarku, ,,Kita tidak lagi akan membiarkan diri kita setjara patuh mengikuti tjara hidup
jang akan membawa kita kepada kehantjuran kita sendiri. Kehidupan jang terdiri dari kelas-kelas, kasta-
kasta dan jang-punja dan tidak-punja menimbulkan perbudakan.
Didalam kehidupan modern manusia berdjoang untuk meninggikan harkat kehidupan rakjat. Mereka jang
tidak menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakjat-banjak dan oleh bangsa-bangsa jang berdjoang
untuk memperoleh haknja.,,Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama
hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar-gelar. Walaupun saja dilahirkan dalam kelas ningrat, saja
tidak pernah menjebut diriku raden dan saja minta kepada saudara-saudara mulai dari saat ini dan untuk
seterusnja supaja saudara-saudara djangan memanggil saja raden.
Mulai dari sekarang djangan ada seorangpun menjebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu —
'Keturunan Bangsawan'. Tidak, aku hanja tjutju dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunjaan masalah
jang sudah dikubur. Feodalisne hukan kepunjaan Indonesia dimasa jang akan datang."Sementara aku
mendidik para pendengarku untuk menghabisi sistim feodal, aku melangkah selangkah madju, ialah kebidang
bahasa Dalam bahasa Djawa sadja terdapat 13 tingkatan jang pemakaiannja tergantung pada siapa jang
dihadapi berbitjara, sedang kepulauan kami rrrempunjai tidak kurang dari 86 dialek sematjam itu.,,Sampai
sekarang," kataku, ,,bahasa Indonesia harlja dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakjat biasa. Nah, mulai
dari hari ini menit ini mari kita berbitjara dalam bahasa Indonesia.
,,Hendaknja rakjat Marhaen dan orang bangsawan berbitjara dalam bahasa jang sama. Hendaknja seseorang
dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranja dipulau lain dalam bahasa jang sama. Kalau
kita, jang beranak-pinak seperti kelintji, akan mendjadi satu masjarakat, satu bangsa, kita harus mempunjai
satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia Baru."Sebelurn ini, seorang Djawa dari golongan rendah tidak
boleh sekalikali menanjakan kepada orang Djawa jang lebih tinggi deradjatnja, 'Apakah engkau memanggil
saja ?' Dia tidak akan berani mengutjapkan begitu sadja perkataan ,,engkau" kepada orang jang lebih atas.
Seharusnja ia memakai perkataan ,,kaki tuan" atau ,,kelom tuan". Dia harus mengutjapkan, ,,Apakah kelom
tuan memanggil saja ? "Tingkatan perhambaan sematjam inipun dinjatakan dengan gerak.
Aku menundjuk dengan djari telundjukku, akan tetapi orang jang lebih rendah tingkatnja dihadapanku akan
menundjuk dengan ibudjari. Keramahan jang demikian itu memberikan kepada sipendjadjah suatu sendjata
rahasia jang membantu melahirkan suatu bangsa ,,tjatjing" dan ,,katak" seperti mereka menamakannja.
Kamipun disebut sebagai ,,rakjat jang paling pemalu didunia."Bertahun-tahun kemudian aku tergila-gila pada
seorang Puteri jang muda dan tjantik dari salahsatu kraton di Djawa, akan tetapi penasehat-penasehatku
menjatakan, bahwa aku sebagai orang jang telah bergabung dengan rakjat-djelata tidak mungkin
mengawininja. Sekalipun hatiku luka, mereka menundjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan
melawan feodalisme, djadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berachirlah hubungan ini dengan
suatu kisah pertjintaan setjara platonis. Dikalangan kaum bangsawan di Djawa seorang isteri tidak pernah
kehilangan deradjatnja jang tinggi. Kalau ia mengawini seorang lelaki jang lebih rendah deradjatnja,
suaminja harus mengadjukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bertjintaan dengan isterinja
sendiri, sisuami jang boleh djadi bergelar raden, terlebih dulu harus meminta idzin dari isterinja. Mungkin
maksudnja baik. Akan tetapi, aku tidak dapat melihat Sukarno dalam kedudukan jang demikian. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 40 dari 109
Didjaman Feodal kami tidak mempunjai bentuk panggilan jang luas seperti Mister, Mistres, Miss atau jang
dapat mentjakup seluruh lapisan dan tingkat seseorang. Ketika aku memaklumkan Bahasa Indonesia, kami
memerlukan suatu rangkaian sebutan jang lengkap jang dapat dipakai setjara tidak berobah-robah antara tua
dan muda, kaja dan miskin, Presiden dan rakjat tani. Disaat itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau
Bapak, Bu atau Ibu dan Bung jang berarti saudara. Didjaman Revolusi Kebudajaan inilah aku mulai dikenal
sebagai Bung Karno.Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi jang
kedua adalah dalam kepertjajaan. Aku banjak berpikir dan berbitjara tentang Tuhan. Sekalipun dinegeri
kami sebagian terbesar rakjatnja beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada
Tuhannja orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu melalui permulaan djalan jang menudju kepada
kepertjajaan, aku tidak melihat Jang Maha-Kuasa sebagai Tuhan kepunjaan perseorangan. Menurut djalan
pikiranku maka kemerdekaan bagi seseorang meliputi djuga kemerdekaan beragama. Ketika konsep
keagamaanku meluas, ideologi dari Pak Tjokro dalam pandanganku semakin sempit dan semakin sempit
djuga. Pandangannja tentang kemerdekaan untuk tanah-air kami semata-mata ditindjau melalui lensa
mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanja untuk beladjar. Djuga kawan-kawannja tidak
lagi mendiadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi mendjadi penerima. Aku sekarang
sudah mendjadi pemimpin. Aku mempunjai pengikut. Aku mempunjai reputasi. Aku sudah mendjadi tokoh
politik jang sederadjat dengan Pak Tjokro.
Dalam hal ini tidak terdjadi pemutusan tiba-tiba. Ini terdjadi lebih mirip dengan pemisahan diri setjara
pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan jang besar dibidang
politik, akan tetapi antara kami tetap terdjalin hubungan jang erat. Orang Asia tidak menemui kesukaran
untuk membedakan ideologi dengan peri-kemanusiaan. Ketika seorang nasionalis bernama Hadji Misbach
menjerang Pak Tjokro setjara serampangan dalam suatu kongres, kuminta supaja dia minta ma'af kepada
kawan lamaku itu. Hadji Misbach kemudian menjatakan penjesalannja. Menentang seseorang dalam bidang
polrtik tidaklah berarti bahwa kita tidak mentjintainja setjara pribadi. Bagi kami, jang satu tidak ada
hubungannja dengan jang lain. Hal ini tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan
mentalita orang Timur. Misainja sadja, kusebut Pak Alimin dan Pak Muso. Kedua-duanja sering bertindak
sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal dirumah Pak Tjokro. Kemudian mereka berpindah kepada
Komunisme, pergi ke Moskow dan belakangan ditahun 1948, setelah aku mendjadi Presiden, mengadakan
pemberontakan Komunis dan usaha perebutan kekuasaan.
Mereka merentjanakan kedjatuhanku. Akan tetapi orang Djawa mempunjai suatu peribahasa, ,,Gurumu harus
dihormati, bahkan lebih daripada orangtuamu sendiri." Ketika Pak Alimin sudah terlalu amat tua dan sakit,
aku mengundjunginja. Lalu surat-suratkabar mengotjeh, ,,Hee, lihat Sukarno mengundjungi seorang Komunis
! "Ja, Pak Alimin telah mentjoba mendjatuhkanku. Akan tetapi dia adalah salah-seorang guruku dihari
mudaku. Aku berterima-kasih kepadanja atas segala jang baik jang telah diberikannja kepadaku Aku
berhutang budi kepadanja. Jang sama beratnja untuk dilupakan ialah kenjataan, bahwa dia adalah salah-
seorang perintis kemerdekaan. Seseorang jang berdjuang untuk pembebasan tanah-airnja—tak pandang
bagaimana perasaannja terhadapku kemudian — berhak mendapat penghargaan dari rakjatnja dan dari
Presidennja.Sama djuga halnja dengan Pak Tjokro. Sampai dihari aku akan menutup mata untuk selama-
lamanja aku akan tetap menulis namanja dengan hati jang lembut. Dalam bidang politik Bung Karno adalah
seorang Nasionalis. Dalam kepertjajaan Bung Karno seorang jang beragama. Akan tetapi Bung Karno
mempunjai kepertjajaan jang bersegi tiga. Dalam bidang ideologi, ia sekarang mendjadi sosialis. Kuulangi
bahwa aku mendjadi sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak mendjadi Komunis. Masih sadja ada orang jang
berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur.
Mereka melompat dan memekik, ,,Haaa, saja sudah tahu ! Bahwa Bung Karno seorang Komunis !'' Tidak, aku
bukan Komunis. Aku seorang SosiaIis. Aku seorang Kiri. Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki
perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang.
Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat
bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang
kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme.
Bagaimana suatu negeri jang miskin menjedihkan seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran lain
ketjuali haluan sosialis ? Mendengar aku berbitjara tentang demokrasi, seorang pemuda menanjakan apakah
aku seorang demokrat. Aku berkata, ,,Ja, aku pasti sekali seorang demokrat." Kemudian dia berkata, ,,Akan
tetapi menurut pandangan saja tuan seorang sosialis." ,,Saja sosialis, djawabku. Ia menjimpulkan semua itu
dengan, ,,Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat."Mungkin ini salah satu djalan untuk
menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain didunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne jang
dikurangi dengan pengertian rnaterialistisnja jang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa jang
terutama takut dan tjinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu tjampuran. Kami menarik persamaan
politik dari Declaration of Independence dari Amerika. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 41 dari 109
Kami menarik persamaan spirituil dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Kedalam
tjampuran jang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional : Marhaenisme. Kemudian kami memertjikkan
kedalamnja Gotong-rojong jang mendjadi djiwa, inti daripada bekerdja bersama, hidup bersama dan saling
bantu-membantu. Kalau ini ditjampurkan semua, maka hasilnja adalah Sosialisme Indonesia. Konsepsi-
konsepsi ini, jang dimulai semendjak tahun duapuluhan dan tak pernah aku menjimpang daripadanja, tidak
termasuk begitu sadja dalam penggolongan sesuai dengan djalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang
harus mengingat, bahwa aku tidak mempunjai djalan pikiran Barat. Merubah rakjat sehingga mereka
tergolong dengan baik dan teratur kedalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin jang telah
mentjoba, gagal dalam usahanja. Aku selalu berpikir dengan tjara mentalita Indonesia. Semeadjak dari
sekolah menengah aku telah mendjadi pelopor. Dalam hal politik aku tidak berpegang kepada salah-satu
tjontoh. Mungkin inilah jang menjebabkan, mengapa aku djadi sasaran dari demikian banjak salah-
pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi disamping itu latar belakangkupun
tidak bersamaan dengan siapapun djuga. Nenekku memberiku kebudajaan Djawa dan Mistik. Dari bapak
datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari
Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan-kawannja datang Nasionalisme.Aku menambah renungan-renungan
dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku beladjar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku beladjar kebaikan
dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan setjara ilmu modern dengan kebudajaan animistik
purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnja mendjadi pesan-pesan pengharapan jang hidup dan dapat
dihirup sesuai dengan pengertian dari rakjat kampung.
Hasil jang keluar dari semua ini dinamakan orang—dalam istilah biasa— Sukarnoisme. Aku tumbuh dari
Sarekat Islam, akan tetapi belum menukarnja dengan partai lain jang formil. Apa jang disebut organisasi
politikku ditahun 1926 adalah pertumbuhan dari Bandung Studenten Club jang disponsori oleh universitas,
agar para mahasiswa dapat bermain bridge atau biljar. Ia didirikan untuk pesta-pesta dan kegembiraan. Anak
Bumiputera dibolehkan masuk club itu akan tetapi, setelah mengikutinja, aku menjadari bahwa kami tidak
dapat mendjadi anggota pengurus. ,,Saja tidak dapat menerima keadaan sematjam itu," kataku, ,,Saja akan
keluar dari perkumpulan ini." Seperti di Modjokerto, setiap orang main ikut-ikutan dengan pemimpin. Pada
waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini, anak Indonesia lainnjapun mengikutinja. Dengan lima
orang anak Indonesia aku mendirikan Perkumpulan Studi. Aku memilih bahan batjaan jang bernilai seperti
,,Handelingen der Tweede Kamer van de Staten Generaal" (Kegiatan Tweede Kamer dari Staten Generaal
Negeri Belanda) dari perpustakaan. Dan kami setjara berganti-ganti membatjanja seminggu seorang. Pada
setiap penutupan lima mingguan sekali kami mengadakan pertemuan—biasanja dirumahku — dan duduk
sepandjang malam memperdebatkan pokok-pokok dari strategi jang ada didalamnja. Orang selalu dapat
mengetahui, kapan Bung Karno mempeladjari buku itu. Kalimat-kalimat jang perlu, diberi bergaris
dibawahnja. Paragraf-paragraf diberi lingkaran. Siapa sadja jang membatjanja setelah itu dapat melihat
dengan mudah aliran pikiranku. Kutuliskan kritik-kritikku dipinggir pinggir halaman. Aku memberi tanda
halaman-halaman jang kusetudjui dan memberi tjatatan dibawah halaman-halaman jang tidak kusetudjui.
Tadinja segar dan bersih dari rak perpustakaan, djilid-djilid jang berharga itu kemudian tidak lagi bersih
sesudah itu.Kedalam Algemeene Studiclub ini hinggaplah intellektuil-intellektuil muda bangsa Indonesia,
banjak jang baru sadja kembali dari Negeri Belanda dengan idjazah kesardjanaannja jang gilang-gemilang
ditangan mereka. Pertukaran buah-pikiran dalam bidang politik jang aktif adalah kegiatan kami jang pokok.
Tjabang-tjabang dari Studieclub ini tumboh di Solo, Surabaja dan kota lainnja di Djawa. Kami kemudian
menerbitkan madjalah perkumpulan — Suluh Indonesia Muda -— dan, sebagaimana dapat diduga, Ketua
Sukarno adalah penjumbang tulisan jang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soal-soal politik sehingga
kurang memikirkan soal-soal lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati samasekali. Pikiranku terlalu
sangat tertudju kepada segi jang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan jang tidak berarti, sehingga
dimalam terang bulan jang penuh gairah aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit.
Pada waktu muda-mudi jang lain menemukan kasihnja satu sama lain, aku mendekam dengan ,,Das Kapital".
Aku menjelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Djadi aku mendekati achir daripada windu jang ketiga.
Sewindu adalah suatu djangka waktu jang lamanja delapan tahun. Tahun 1901 sampai 1909 adalah windu
dengan pemikiran kanak-kanak. 1910 sampai 1918 adalah windu pengembangan. 1919 sampai 1927 windu
untuk mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang.
Bab 8
Mendirikan P.N.l.
WAKTUNJA sudah tepat bagiku untuk mendirikan partaiku sendiri. Ada dua faktor. Ditahun 1917 dinasti dari
Hohenzollern terpetjah-petjah di Djerman, Franz Josef djatuh, Czar Alexander gojah. Sepihan-sepihan dari
mahkota-mahkota dunia jang telah dibinasakan itu melajang-lajang melalui telinga Ratu Wilhelmina dan
geledek dari revolusi jang berdekatan menggulung-gulung melalui pekarangannja.1917 membawa
pemberontakan Bolsjewik dari Lenin dan lahirnja Uni Soviet. Bela Kun memimpin suatu pemberontakan di BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 42 dari 109
Hongaria. Buruh Djerman mendirikan Republik Weimar. Disebelah kanan Negeri Belanda dan disebelah kirinja
menganga djurang chaos. Sedang ia sendiri setelah tiga tabun peperangan hantjur dalam segi materiil dan
spirituil. Karena hubungan antara Negeri Belanda dan Hindianja terputus akibat gangguan peperangan dan
perhubungan laut jang hampir samasekali tidak ada, maka bagian terbesar dari kekajaannja—kekajaan jang
berasal dari anak-tirinja Indonesia—punah. Pun dibidang politik ia lumpuh. Kebutuhannja jang besar
menjebabkan kekosongan jang serius, jang segera diisi oleh ketidak-puasan dan kekatjauan. Untuk
melengkapi nasib sialnja, maka seorang Sosialis bernama Dr. Pieter Jelles Troelstra mengadakan gerakan
revolusioner proletariat.
Pertama perang, kemudian timbulnja revolusi, menjebabkan negeri Belanda mendjadi lemah. Digerakkan
oleh peristiwa-peristiwa ini nasionalisme di Hindia Belanda tumbuh bagai bisul-bisul. Orang Belanda
menjadari, bahwa mereka harus melunakkan hati penduduknja jang berkulit sawomatang disepandjang
katulistiwa, oleh karena Belanda sudah tjukup banjak menghadapi kesukaran dipekarangan muka rnereka
sendiri, hal mana tidak memberi kemungkinan untuk bisa memadamkan pemberontakan bila berkobar di
Indonesia. Hindia adalah gabusnja tempat Belanda mengapung Dengan segala daja-upaja mereka perlu
membelenggu terus ,,saudara-saudara" mereka jang berkulit sawomatang setjara patuh. Karena negeri-
dibalik-pematang itu terlalu lemah untuk menggunakan kekuatan, maka udara dari peristiwa-peristiwa dunia
membawa mereka kepada Djandji Nopember sebagai djalan untuk menenangkan keadaan. Dibulan Nopember
tahun 1918 Gubernur Djendral, Graaf van Limburg Stirum, mendjandjikan kepada kami hak-hak politik jang
lebih luas, kebebasan jang lebih besar, kemerdekaan untuk mengadakan rapat-rapat umum, hak bersuara di
Dewan Rakjat.
Segera kami menjadari, bahwa Negeri Belanda tidak mempunjai maksud untuk menepatil djandji-djandji
jang terkenal busuk dan pendek umurnja itu. Dalam setahun Belanda mengchianati kami dengan mengangkat
Gubernur Djendral Dirk Fock, Jang paling reaksioner dari segala djaman. Setjara perbandingan maka rezim-
rezim sebelumnja adalah moderat. Akan tetapi Fock sikapnja lebih menindas dan mengurangi hak-hak jang
telah pernah diberikan. Ia menekan, mengedjar-ngedjar dan mengadakan undang-undang jang mengurangi
kebebasan apapun djuga jang kami peroleh sebelumnja. Kalau seseorang mengeluarkan tjelaan, sekalipun
,,tersembunji", dapat menjebabkannja masuk pendjara. Dengan perkataan lain, kalau engkau seorang diri
dalam sebuah gua dan utjapanmu jang mengigau dalam pengasingan itu dilaporkan kepada polisi, engkau
dapat didjatuhi hukuman enam tahun. Engkau bahkan-bahkan masuk pendjara karena berbitiara dalam
mimpi ! Pemerintahan ini memberikan peluang bagi pemakaian ,,Undang-undang Luarbiasa", jang
menjebabkan demikan banjak saudara kami laki-laki dan perempuan dikirim ketempat-tempat jang
membikin berdiri bulu-roma. Undang-undang itu memberi kekuasaan untuk menginternir atau mengeksternir
seorang Bumiputera masuk pendjara atau pengasingan tanpa diadili terlebih dulu. Pada waktu Negeri
Belanda memperoleh kekuatan, maka keadaan semakin memburuk. Fock jang keterlaluan itu digantikan oleh
De Graeff jang lebih djahat lagi. Waktunja sudah datang untuk mendesakkan nasionalisme. Tapi bagaimana ?
Kami tidak mempunjai satu partaipun jang kuat. Sarekat Islam petjah dua. Pak Tjokro tetap memegang
kendali dari bagian jang sudah lemah, sedang bagian jang lain merobah namanja mendjadi Sarekat Rakjat.
Dengan dalih perselisihan maka Komunisme menjusup kedalam Sarekat Rakjat. Dalam tahun 1926 mereka
merentjanakan dan mendjalankan ,,Revolusi Fisik Besar untuk Kemerdekaan dan Komunisme".
Pemberontakan ini menemui kegagalan jang menjedihkan. Belanda menindasnja dengan serta-merta dan
lebih dari 2.000 pemimpin diangkut dengan kapal kepelbagai tempat pengasingan. 10.000 orang lagi
dipendjarakan. Akibat selandjutnja adalah chaos. Serekat Rakjat dinjatakan terlarang. Mereka jang memilih
Sarekat Rakiat sekarang tidak punja apa-apa. Mereka jang semakin tidak puas dengan Tjokropun tidak punja
apa-apa Tidak ada lagi inti gerakan nasional jang kuat. Dalam pada itu aku sudah menemukan pegangan
dalam bidang politik. Pada setiap tjangkir kopi tubruk, disetiap sudut dimana orang berkumpul nama Bung
Karno mendjadi buah-mulut orang. Kebentjian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno
memperoleh tempat jang berdampingan dalam setiap buah-tutur.
Pada tanggal empat Djuli 1927, dengan dukungan dari enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku
mendirikan P.N.I., Partai Nasional Indonesia. Rakjat sudah siap. Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada
jang dapat menahan kami—ketjuali Belanda. Tudjuan daripada P.N.I. adalah kemerdekaan sepenuhnja —
SEKARANG. Bahkan pengikut-pengikutku jang paling setia gemetar oleh tudjuan jang terlalu radikal ini, oleh
karena organisasi-organisasi sebelumnja selalu menjembunjikan sebagian dari tudjuannja, supaja Belanda
tidak mengganggu mereka. Denganku, tidak ada jang perlu disembunjikan, tanpa tedeng aling-aling. Dalam
perdebatan diruangan jang tertutup, beberapa orang mentjoba menggelintjirkanku dari rel itu. ,,Rakjat
belum lagi siap," kata mereka.,,Rakjat SUDAH siap," djawabku dengan tadjam. ,,Dan mendjadi sembojan
kitalah: 'Indonesia merdeka SEKARANG.' Kukatakan 'Indonesia merdeka SEKARANG.",,Ini tidak mungkin
dilakukan, Bung," mereka memotong ,,Tuntutan Bung Karno terlalu keras. Kita akan dihantjurkan sebelum
mulai. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 43 dari 109
Memang massa rakjat mendengarkan Bung Karno, mengikuti Bung Karno setjara membabi-buta, akan tetapi
Indonesia merdeka SEKARANG adalah terlalu radikal. Pertama kita harus mentjapai persatuan nasional
terlebih dahulu.",,Kita tidak bersatu. Betul. Kita terlalu banjak mempunjai ideologi. Setudju. Kita harus
memperoleh persatuan nasional. Ja. Akan tetapi kita tidak lagi berdjalan pelahan-lahan. 350 tahun sudah
tjukup pelahan ! "Mereka mentjoba menerangkan pandangannja jang hebat. ,,Pertama kita harus mendidik
rakjat kita jang djutaan. Mereka belum dipersiapkan supaja dapat mengendalikan diri sendiri. Kedua, kita
harus memperbaiki kesehatan mereka supaja dapat berdiri tegak. Lebih baik kalau segala sesuatu sudah
lengkap dan selesai terlebih dahulu.",,Satu-satunja saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah
bilamana kita sudah mati," aku berteriak. ,,Untuk mendidik mereka setjara pelahan akan memakan waktu
beberapa generasi. Kita tidak perlu menulis thesis atau membasmi malaria sebelum kita memperoleh
kemerdekaan. Indonesia merdeka SEKARANG !
Setelah itu baru kita mendidik, memperbaiki kesehatan rakjat dan negeri kita. Hajolah kita bangkit
sekarang.",,Tentu Belanda akan menangkap kita.",,Belandapun akan mempunjai respek sedikit terhadap kita.
Sudah mendjadi sifat manusia untuk meludahi jang lemah, akan tetapi sekalipun kita menghadapi lawan jang
gagah berani, setidak-tidaknja kita merasa bahwa dia pantas mendjadi lawan."Aku memandang diriku
sebagai seorang pemberontak. Kupandang P.N.I. sebagai tentara pemberontak.
Ditahun 1928 aku mengusulkan. agar semua anggota memakai pakaian seragam. Usulku ini menimbulkan
polemik jang hebat. Seorang wakil jang setia dari Tegal berdiri dan menjatakan, ,,Ini tidak sesuai dengan
kepribadian nasional. Seharusnja kita memakai sarung tanpa sepatu atau sandal. Hendaklah kita kelihatan
seperti orang-orang revolusioner sebagaimana kita seharusnja."Aku tidak setudju. ,,Banjak orang jang kaki-
ajam, akan tetapi mereka bukan orang jang revolusioner. Banjak orang jang berpangkat tinggi memakai
sarung, tapi mereka bekerdja dengan sepenuh hati untuk kolonialis. Jang menandakan seseorang itu
revolusioner adalah bakti jang telah ditunaikannja dalam perdjoangan. Kita adalah suat'' tentara, saudara-
saudara. ,,Selandjutnja saja mengandjurkan untuk tidak memakai sarung, sekalipun berpakaian preman.
Pakaian jang kuno ini menimbulkan pandangan jang rendah. Disaat orang Indonesia memakai pantalon,
disaat itu pula ia berdjalan tegap sepert; setiap orang kulitputih. Akan tetapi begitu ia memasangkan
lambang feodal disekeliling pinggangnja ia lalu berdjalan dengan bungkukan badan jang abadi. Bahunja
melentur kemuka. Langkahnja tidak djantan. Ia beringsut dengan merendahkan diri. Pada saat itupun ia
bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk.",,Sungguhpun begitu," Ali Sastroamidjojo S.H. membalas, jang
ketika itu mendjadi ketua Tjabang P.N.I. dan kemudian ditahun limapuluhan mendjadi Dutabesar Indonesia
jang pertama di Amerika Serikat, ,,Sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia.",,Tradisi Indonesia dimasa
jang lalu—betul," aku meledak, ,,Akan tetapi tidak sesuai dengan Indonesia Baru dari masa datang.
Kita harus melepaskan diri kita dari pengaruh-pengaruh masa lampau jang merangkak-rangkak seperti
pelajan, djongos dan orang dusun jang tidak bernama dan tidak berupa. Mari kita tundjukan bahwa kita sama
progressif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian
modern."Ali berdiri lagi. ,,Untuk memperoleh pakaian seragam perlu biaja jang besar, sedangkan kita tidak
punja uang.",,Kita akan usahakan pakaian jang paling murah," aku menjarankan. ,,Tjukup dengan badju
lengan pendek dan pantalon. Supaja kita kelihatan gagah dan tampan tidak perlu biaja jang besar. Kita harus
berpakaian jang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin." Ada jang memihak kepadaku. Sebagian lagi
menjokong Ali. Aku kalah.
Sungguhpun demikian keinginan untuk berpakaian seragam ini tidak pernah hilang dari pikiranku. Dan
begitulah, setelah mengambil sumpah sebagai Presiden ditahun 1945 aku mulai memakai uniform. Pers asing
kemudian mengeritikku. Mereka mengedjek. Uhhh, Presiden Sukarno memakai kantjing dari emas. Uhhh ! Dia
pakai uniform hanja untuk melagak."Tjobalah pertimbangkan, aku seorang ahli ilmu djiwa massa. Memang
ada pakaianku jang lain. Akan tetapi aku lebih suka memakai uniform setiap muntjul dihadapan umum, oleh
karena aku menjadari bahwa rakjat jang sudah dindjak-indjak kolonialis lebih senang melihat Presidennja
berpakaian gagah. Taruhlah Kepala Negaranja muntjul dengan badju kusut dan berkerut seperti seorang
wisatawan dengan sisi topinja jang lembab dan penuh keringat, aku jakin akan terdengar keluhan
keketjewaan. Rakjat Marhaen sudah biasa melihat pakaian sematjam itu dimana-mana. Pemimpin Indonesia
haruslah seorang tokoh jang memerintah. Dia harus kelihatan berwibawa. Bagi suatu bangsa jang pernah
ditaklukkan memang perlu hal-hal jang demikian itu. Rakjat kami sudah begitu terbiasa melihat orang-orang
asing kulitputih mengenakan uniform jang hebat, jang dipandangnja sebagai lambang dari kekuasaan. Dan
merekapun bagitu terbiasa melihat dirinja sendiri pakai sarung, seperti ia djadi tanda dari rasa rendah-diri.
Ketika aku diangkat mendjadi Panglima Tertinggi, aku menjadari bahwa rakjat menginginkan satu tokoh
pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Pada mulanja aku bahkan memakai pedang emas dipinggangku. Dan
rakjat kagum. Sebelum orang lain menjebunja, akan kukatakan padamu lebih dulu. Ja, aku tahu bahwa aku
kelihatan lebih pantas dalam pakaian seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian netjis
dan rapi, kalau aku berpakaian militer maka setjara mental aku berpakaian dalam selubung kepertjajaan. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 44 dari 109
Kepertjajaan ini pindah kepada rakjat. Dan mereka memerlukan ini.1928 adalah tahun propaganda dan
pidato. Bandung kubagi dalam daerah-daerah politik: Bandung Utara, Bandung Selatan, Bandung Timur,
Barat, Tengah, daerah sekitar dan sebagainja. Ditiap daerah itu aku berpidato sekali dalam seminggu,
sehingga aku diberi djulukan sebagai ,,Singa Podium".Kami tidak mempunjai pengeras-suara, karena itu aku
harus berteriak sampai parau. Diwaktu sore aku memekik-rnekik kepada rakjat jang menjemut ditanah-
lapang. Dimalam hari aku membakar hati orang-orang jang berdesak-desak sampai berdiri dalam gedung
pertemuan. Dan dipagi hari aku menarik urat leher dalam gedung bioskop jang penuh sesak dengan para
pentjinta tanah-air. Kami pilih gedung bioskop untuk pertemuan pagi, oleh karena pada djam itu kami dapat
menjewanja dengan ongkos murah. Lalu berdatangan pulalah para pedjoang kemerdekaan dari segala
pendjuru pulau Djawa ke Bandung untuk mendengarkan aku berpidato. Seorang laki-laki mengadakan
perdjalanan dari Sumatra Selatan untuk mendengarkan pidato dari Singa Podium jang, katanja, ,,sungguh-
sungguh menjentuh tali-hati setiap orang seperti pemain ketjapi". Kenjataan ini adalah kesan jang sangat
luarbiasa baginja, oleh karena ia tidak mempunjai uang. Aku terpaksa memindjam uang segobang untuk
membelikannja nasi. Keadaan kami terlalu melarat, sehingga uang sepeserpun ada harganja. Aku tidak punja
uang supaja dapat membantunja sekalipun hanja sekian. Akan tetapi kesetiaan dari patriot utama ini patut
dihargai. Setelah dua tahun ia kukirim kembali untuk mendjalankan tugas didaerahnja sendiri. Kamaruddin
ini mendjadi salah-seorang kawan seperdjoanganku jang akrab sekarang. Masa ini djamannja kerdja keras.
Djaman jang memberikan kegembiraan sebesar-besarnja jang pernah kualami. Membikin kerandjingan massa
rakjat sampai mereka mabuk dengan anggurnja ilham adalah suatu kekajaan jang tak ternilai bagiku, untuk
mana aku mempersembahkan hidup ini. Bagiku ia adalah zat hidup.
Apabila aku berbitjara tentang negeriku, semangatku berkobar-kobar. Aku mendjadi perasa. Djiwaku
bergetar. Aku dikuasai oleh getaran-djiwa ini dalam arti jang sebenar-benarnja dan getaran ini mendjalar
kepada orang-orang jang mendengarkan. Sajang, diantara pendengarku semakin banjak anggota polisi.
Mereka selalu berada dimana sadja, kalau aku berpidato dan menguraikan siasatku dengan teliti. Memang
ada tjara-tjara untuk mengelabui orang-orang-asing sehingga mereka tidak bisa menangkap setiap insinuasi.
Engkau dapat menggunakan peribahasa daerah atau menjatakan suatu pengertian dengan gerak. Rakjat
mengerti. Dan mereka bersorak.
Didjaman kami, kami tidak membalas dendam kepada polisi. Taruhlah kami dapat berbuat sedemikian, akan
tetapi hasilnja djauh lebih menjenangkan dengan mempermainkannja. Kalau aku berhadapan dengan wadjah
baru jang Mengikutiku dari belakang setelah selesai berpidato, sikapku selalu ramah. Aku tidak pernah
membesarkan suara dan mengeledek, ,,Hee, apa-apaan kamu mengikuti aku, ha ?" Tidak pernah sekasar itu.
Dengan senjum jang menjenangkan aku seenaknja membiarkannja melakukan. pengedjaran dibelakangku
dalam teriknja sinar matahari menudju salah satu daerah pesawahan dipinggir kota. Dari pesawat-terbang
maka daerah pesawahan dengan petak-petak ketjil kelihatan menghampar bagai selimut jang ditambal-
tambal. Dan pematang-pematang jang mengelilingi tiap petak merupakan dinding penahan air supaja tetap
tinggal dalam petak itu dan menggenangi benih. Kubiarkan orang itu mengikuti djedjakku kepinggir daerah
pesawahan, kuletakkan sepeda diatas rumput dan berlari sepandjang pematang kerumah seorang kawan.
Karena tiba-tiba timbul dalam pikiranku hendak mengundjunginja. Sudah tentu aku memilih kawan jang
tinggal tjukup djauh dari djalan dan kira-kira setengah mil melalui pematang sawah.
Aku tahu betul, bahwa orang Belanda jang gemuk dan goblok itu tidak boleh meninggalkan sepeda mereka
dipinggir djalan kalau tidak ada jang mendjaga. Dan adalah tugas kewadjiban mereka untuk tidak
membiarkan lawan seperti Bung Karno lepas dari pandangannja. Djadi, apa akal orang Belanda terkutuk itu ?
Tiada akal mereka lain selain memikul sepeda jang berat itu, lalu berdjalan dengan terhunjung-hunjung
merentjahi air sawah atau meniti pematang jang ketjil itu sebisa-bisanja. Memandangi orang-orang ini
berkeringat, memusatkan tenaga dan terhunjung-hunjung itu memberikan kegembiraan kepadaku jang tak
ada taranja. Tjobalah bajangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah peloporpelopor revolusi. Bersumpah
untuk menggulingkan Pemerintah. Dan Sukarno—mendjadi duri jang paling besar. Setiap hari tadjuk-rentiana
menentangku dan tak pernah terluang waktu barang sedjam dimana aku tidak dikedjar-kedjar oleh dua orang
detektif atau beberapa orang mata-mata sematjam itu.Aku mendjadi sasaran utama bagi Belanda. Mereka
mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku
agar bisa luput dari intipan ini. Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mentjari tempat
rahasia untuk berbitjara. Seringkali aku mengadakan pertemuan penting dibagian belakang sebuah mobil
dengan merundukkan kepala. Dengan begini polisi tidak dapat mendengar atau melihat apa jang terdjadi.
Kami harus mendjalankan tjara penipuan jang demikian itu.Aku memikirkan siasat gila-gilaan untuk
membikin bingung polisi.
Tempat lain jang kami pergunakan untuk pertemuan ialah rumah pelatjuran. Aduh, ini luarbiasa bagusoja.
Hanja semata-mata untuk memenuhi kepentingan tugasku. Kemana lagi seseorang jang dikedjar-kedjar harus
pergi, supaja aman dan bebas dari ketjurigaan dan dimana kelihatannja seolah-olah kepergiannja itu tidak
untuk menggulingkan pemerintah? Tjoba....... dimana lagi ? Djadi berapatlah kami disana, ditempat BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 45 dari 109
pelatjuran, sekitar djam delapan dan sembilan malam, jaitu waktu jang tepat untuk itu. Kami pergi sendiri-
sendiri atau dalam kelompok ketjil. Setelah memperoleh kebulatan kata kami bubar; seorang melalui pintu
depan, dua orang agi melalui pintu samping, aku mengambil djalan belakang dan seterusnja.Selalu pada hari
berikutnja aku harus berurusan dengan Komisaris Besar Polisi, Albrechts. Setelah memeriksa tentang gerak-
gerikku ia menjerang ,,Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada disebuah
rumah pelatjuran semalam. Apakah tuan mengingkarinja ?" ,,Tidak, tuan" djawabku dengan suara rendah
sambil memandang seperti orang jang berdosa, hal mana sepantasnja bagi orang jang sudah kawin. ,,Saja
tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saja, saja kira."Kemudian ia menarik mulutnja kebawah
kedekat mulutku dan bersuara seperti menjalak, ,,Untuk apa? Kenapa tuan pergi kesana ?"Lalu kudjawab,
,,Apa maksud tuan ? Bukankah saja seorang lelaki ? Bukankah umur saja lebih dari 16 tahun ?",,Nah," ia
meringis, mermandang kepadaku dekat-dekat. ,,Kami tahu. Apa tuan pikir kami bodoh? Lebih baik terus-
terang. Tuan dapat mentjeritakan kepada kami mengapa tuan kesana. Apa alasannja ?",,Jaaahhh, dugaan
tuan untuk apa saja kesana ?" Kataku agak kemalu-maluan. ,,Untuk bertjintaan dengan seorang perempuan,
itulah alasann ja.",,Saja akan buat laporan lengkap mengenai ini.",,Untuk siapa ? Isteri saja ?",,Tidak, untuk
Pemerintah," dia membentak.,,O," kataku terengah mengeluarkan keluhan jang bersuara, .,Baiklah."Pelatjur
adalah mata-mata jang paling baik didunia.
Aku dengan segala senang hati mengandjurkan ini kepada setiap Pemerintah Dalam gerakan P.N.I.-ku di
Bandung terdapat 670 orang dan mereka adalah anggota jang paling setia dan patuh daripada anggota lain
jang pernah kuketahui. Kalau menghendaki mata-mata jang djempolan, berilah aku seorang pelatjur jang
baik. Hasilnja mengagumkan sekali dalam pekerdjaan ini.Tak dapat dibajangkan betapa bergunanja mereka
ini. Jang pertama, aku dapat menjuruh mereka menggoda polisi Belanda. Djalan apa lagi jang lebih baik
supaja melalaikan orang dari kewadjibannja selain mengadakan pertjintaan jang bernafsu dengan dia. 'kan ?
Dalam keadaan jang mendesak aku menundjuk seorang polisi tertentu dan membisikkan kepada bidadariku,
,,Buka kupingmu. Aku perlu rahasia apa sadja jang bisa kaubudjuk dari babi itu." Dan betul-betul ia
memperolehnja. Polisi-polisi jang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnja keterangan jang
kami peroleh. Tak satupun anggota partai jang gagah dan terhormat dari djenis laki-laki dapat mengerdjakan
tugas ini untukku ! Masih ada prestasi lain jang mengagumkan dari mereka ini.
Perempuan-perempuan latjur adalah satu-satunja diantara kami jang selalu mempunjai uang. Mereka
mendjadi penjumbang jang baik apabila memang diperlukan. Anggota-anggotaku ini bukan sadja penjumbang
jang bersemangat, bahkan mendjadi penjumbang jang besar. Sokongannja besar ditambah lagi dengan
sokongan tambahan. Aku dapat menggunakannja lebih dari itu.Sudah tentu tindakanku ini mendapat
ketjaman hebat karena memasukkan para pelatjur dalam partai. Sekali lagi Ali jang berbitjara. ,,Sangat
memalukan," keluhnja. ,,Kita merendahkan nama dan tudjuan kita dengan memakai perempuan sundal—
kalau Bung Karno dapat mema'afkan saja memakai nama itu. Ini sangat memalukan.",,Kenapa ?" aku
menentang. ,,Mereka djadi orang revolusioner jang terbaik. Saja tidak mengerti pendirian Bung Ali jang
sempit.",,Ini melanggar susila", katanja menjerang. ,,Apakah Bung Ali pernah menanjakan alasan mengapa
saja mengumpulkan 670 orang perempuan latjur ?" tanjaku kepadanja. ,,Sebabnja ialah karena saja
menjadari, bahwa saja tidak akan dapat madju tanpa suatu kekuatan. Saja memerlukan tenaga manusia,
sekalipun tenaga perempuan. Bagi saja persoalannja bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga jang
ampuh, itulah satu-satunja jang kuperlukan.",,Kita tjukup mempunjai kekuatan tanpa mendidik wanita
......... wanita ini," Ali memprotes. ,,P.N.I. mempunjai tjabang-tjabang diseluruh tanah-air dan semuanja ini
berdjalan tanpa anggota seperti itu. Hanja di Bandung kita melakukan sematjam ini." ,,Dalam pekerdjaan ini
maka gadis-gadis pesanan—pelatjur atau apapun nama jang akan diberikan kepadanja—adalah orang-orang
penting," djawabku. ,,Anggota lain dapat kulepaskan. Akan tetapi melepaskan perempuan latjur — tunggu
dulu. Ambillah misalnja Mme. Pompadour—dia seorang pelatjur. Lihat betapa masjhurnja dia dalam
sedjarah. Ambil pula Theroigne de Merricourt, pemimpin besar wanita dari Perantjis. Lihat barisan-roti di
Versailles. Siapakah jang memulainja ? Perempuan-perempuan latjur. "Kupu-kupu malam ini jang djasanja
diperlukan untuk mengambil bagian hanja dibidang politik, ternjata memperlihatkan hasil jang gilang-
gemilang pun dibidang lain.
Mereka memiliki daja-penarik seperti besi berani. Setiap hari Rabu tjabang partai mengadakan kursus politik
dan anggota-anggota dari kaum bapak akan datang berdujun-dujun apabila dapat melepaskan pandang pada
tentaraku jang tjantik-tjantik itu. Djadi, aku tentu harus mengusahakan supaja mereka datang setiap
minggu.Tidak sadja musuh-musuhku jang datang bertamu kepada gadis-gadis itu guna memenuhi
kebutuhannja, akan tetapi dari anggota kami sendiripun ada djuga. Dan mendjadi tanggung-djawab jang
paling besarlah untuk membasmi anasir-anasir dalam partai—baik laki-laki maupun perempuan—jang tidak
bisa menjimpan rahasia. Kamipun harus membasmi tjutjunguk-tjutjunguk—jaitu orang jang dibajar untuk
memata-matai partainja sendiri. Setiap tempat mempunjai tjutjunguk-tjutjunguk. Untuk mejakinkan,
apakah agen-agen kami djudjur dan dapat menutup mulutnja, kami mengudji mereka. Selama enam bulan
sampai setahun gadss-gadis pelatjur itu mendjadi ,,Tjalon Anggota". Ini berarti bahwa, sementara kami
memberi bahan dan mengawasinja, mereka tetap sebagai tjalon. Kalau sudah diangkat mendjadi mata-mata
jang diakui ketjakapannja, maka itu tandanja kami sudah jakin ia dapat dipertjaja penuh.Sebagai BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 46 dari 109
perempuan djalanan seringkali mereka harus berurusan dengan hukum dan dikenakan pendjara selama
tudjuh hari atau denda lima rupiah. Akan tetapi aku mendorongnja supaja mendjalani hukum kurungan
sadja.
Suatu kali diadakan razzia dan seluruh kawanan dari pasukan Sukarno diangkat sekaligus. Karena setia dan
patuh kepada pemimpinnja, maka ketika hakim meminta denda mereka menolak, ,,Tidak, kami tidak
bersedia membajar."Keempatpuluh orangnja dibariskan masuk pendjara. Aku gembira mendengarnja, oleh
karena pendjara adalah sumber keterangan jang baik. Tambahan lagi, ada baiknja untuk masa jang akan
datang sebab mereka sudah mengenal para petugas pendjara.Kemudian kusampaikanlah instruksi jang kedua
untuk didjalankan nanti setelah bebas. Misalkan setelah itu armadaku mentjari sasarannja disuatu malam.
Umpamakan pula disaat jang bersamaan kepala rumah pendjara sedang berdjalan-djalan makan angin
menggandeng isterinja. Pada waktu ia melalui salah seorang bidadari pilihanku ini, sigadis harus tersenjum
genit kepadanja dan menegur dengan merdu, ,,Selamat malam" sambil menjebut nama Belanda itu.
Beberapa langkah setelah itu tak ragu lagi tentu ia akan berpapasan dengan gadisku jang lain dan diapun
akan menjobut namanja dan meraju.,,Hallo.......Selamat malam untukmu." Isterinja akan gila oleh teguran
ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat-sjaraf kami.
Didjaman P.N.I. ini orang telah mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat.
Inggit mentjari penghasilan dengan mendjual bedak dan bahan ketjantikan jang dibuatnja sendiri didapur
kami. Selain itu kami menerima orang bajar-makan, sekalipun rumah kami di Djalan Dewi Sartika 22 ketjil
sadja. Orang jang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi jang memakai beranda muka
sebagai kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari. Kamar tengah mendjadi biro arsitek kami. Sewa
rumah seluruhnja 75 sebulan. Uang makan Suhardi kira-kira 35 rupiah. Kukatakan ,,kira-kira" oleh karena
selain djumlah itu aku sering memindjam beberapa rupiah ekstra. Bahkan Inggit sendiripun memindjam
sedikit-sedikit dari dia. Adalah suatu rahmat dari Tuhan Jang Maha Pengasih, bahwa kami diberi-Nja nafkah
dengan djalan jang ketjil-ketjil. Kalau ada kawan mempunjai uang kelebihan beberapa sen, tak ajal lagi
kami tentu mendapat suguhan kopi dan peujeum. Sekali aku mendjandjikan kepada Sutoto kawan sekelas,
bahwa aku akan mentraktirnja, oleh karena ia sering mengadjakku minum. Disore berikutnja ia datang
bersepeda untuk berunding dengan pemimpinnja. Rupanja ia kepanasan dan pajah setelah mendajung
sepedanja dengan tjepat selama setengah djam. Dan pemimpin dari pergerakan nasional terpaksa
menjambutnja dengan, ,,Ma'af, Sutoto, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan-rumah untukmu. Aku tidak
punja uang."Kemudian Sutoto mengeluh, ,,Ah, Bung selalu tidak punja uang."Selagi kami duduk-duduk
dengan muka suram ditangga depan, seorang wartawan lewat bersepeda.,,Heee, kemana?" aku
memanggil.,,Tjari tulisan untuk koranku," ia berteriak mendjawab.,,Aku akan buatkan untukmu.",,Berapa ?"
tanjanja mengendorkan djalan sepedanja.,,10 rupiah !" Wartawan itu seperti hendak mempertjepat djalan
sepedanja. ,,Oke, lima rupiah."Tidak ada djawaban. Aku menurunkan tawaranku. ,,Dua rupiah bagaimana ?
Akan kuberikan padamu. Pendeknja tjukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peujeum. Setudju ?",,Setudju
!"Kawanku itu menjandarkan sepedanja kedinding rumah dan sementara dia dan Sutoto duduk disamping aku
menulis seluruh tadjuk. Tambahan lagi dengan pena. Tak satupun jang kuhapus, kutjoret atau kutulis
kembali. Begitu banjak persoalan politik jang tersimpan diotakku. sehingga selalu ada sadja jang akan
ditjeritakan. 15 menit kemudian kuserahkan kepadanja 1.000 perkataan. Dan dengan seluruh uang bajaranku
itu aku membawa Sutoto dan Inggit minum kopi dan menikmati penjeum. Bagi kami kemiskinan itu bukanlah
sesuatu jang patut dimalukan.
Akan kutjeriterakan padamu, bagaimana kami hidup ditahun-tahun duapuluhan. Pada achir liburan Natal
saudara J.A.H. Ondang, seorang kawan, datang kerumah dilarut malam. ,,Bung," katanja. ,,Aku dalam
kesulitan. Apa Bung mau menolongku ?",,Tentu, akan kutolong, Bung", aku tersenjum. ,,Ketjuali kalau perlu
uang djangan tanja padaku, karena kami sendiripun butuh uang.",,Dengarlah," ia menerangkan, ,,Aku pulang
dalam libur ini dan kembali kesini dua hari lebih tjepat daripada dugaan semula. Rupanja njonja tempatku
bajar-rnakanpun pergi berpakansi dan dia belun pulang. Aku tidak bisa masuk kerumah.",,Kehotel sadja,"
saranku.,,Tidak bisa. Aku tidak sanggup membajarnja. Isi kantongku tjuma dua rupiah. Itulah seluruh
milikku. Aku sesungguhnja tidak mau mengganggu Bung, akan tetapi hanja Bung satu-satunja jang kukenal
baik di Bandung ini. Apa bisa aku bermalam disini ?",,Boleh sadja, tjuma rumah kami jang ketjil ini sudah
penuh. Kalau tidak keberatan sekamar dengan kami laki-isteri dan kalau mau tidur ditikar, ja, dengan senang
hati kami terima Bung menginap disini." Bukan main ! Dia berterima-kasih . Selama tiga malam ia tinggal
dengan kami. Kami saling bantu-membantu dihari-hari ini. Seringkali kami mendapat tamu. Para simpatisan
jang berada dalam pengawasan polisi ketika masih beladjar di Negeri Belanda, dengan diam-diam
diselundupkan ketanah-air dan dibawa kerumahku untuk minta pertimbangan.
Kadang-kadang bermalam ditempat kami orang jang membawa ,,Indonesia Merdeka" jang terlarang, jaitu
berkala jang ditjetak oleh kawan-kawan di Negeri Belanda, dan tidak boleh beredar di-tanah-air. Karena itu
kawan-kawan di Amsterdam menggunting artikel-artikel jang penting dan menjisipkannja kedalam madjalah
jang tidak terlarang. Dengan djalan demikian banjak bahan keterangan jang dapat dikirimkan pulang-pergi BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 47 dari 109
melalui samudra luas.Pada tanggal 28 Oktober tahun '28 Sukarno dengan resmi mengikrarkan sumpah
chidmat: ,,Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Ditahun 1928 untuk pertama kali kami menjanjikan lagu
Kebangsaan ,,Indonesia Raya". Dan ditahun 1928 itu pulalah aku didakwa didepan Dewan Rakjat. Gubernur
Djendral jang menjatakan kegiatanku sebagai persoalan jang serius memperingatkan, bahwa ia ,,sangat
menjesalkan sikap non-kooperasi dari P.N.I.," jang katanja ,,mengandung unsur-unsur jang bertentangan
dengan kekuasaan Belanda."Bulan Desember 1928 aku berhasil mengadakan suatu federasi dari partaiku
sendiri—Partai Nasronal Indonesia—dengan semua partaipartai utama jang berhaluan kebangsaan.
Permufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia ini, jang disingkat P.P.P. K.I.,
memungkinkan kami bergerak dengan satuan kekuatan jang lebih besar daripada jang pernah terdjadi
sebelumnja. Dan badan inipun memberikan kemungkinan bahaja jang lebih besar pula kepadaku sebagai
ketua daripada jang pernah kuhadapi sebelumnja.Maka mulailah Pemerintah Hindia Belanda mengadakan
pengawasan jang tak kenal ampun terhadap P.N.I. dan P.P.P.K.I. Pengaruh dari utjapan-utjapanku jang
sanggup menggerakkan rakjat-banjak merupakan antjaman jang njata bagi Belanda. Apabila Sukarno
berpidato, rakjat tentu berkumpul seperti semut.
Dengan tuntutanku kami selegggarakanlah kegiatan bersama diseluruh pulau. Rapat-rapat jang diadakan
pada umumnja dikendalikan oleh pembitjara-pembitjara dari P.N.I. dalam mana Sukarno mendjadi tokoh-
penarik jang paling banjak diminta. Pemerintah Hindia Belanda mendjamin apa jang dinamakannja
kemerdekaan berbitjara, asal pertemuan itu diselenggarakan ,,didalam ruangan dan tidak dapat didengar
dari luar" dan asal rapat diadakan ,,dibawah satu atap dan dibatasi oleh empat dinding" dan asal jang
mendengarkan ,,diatas umur 18 tahun".Merekapun menghendaki, supaja setiap pengundjung memperlihatkan
surat undangan. Djadi, kami tjetaklah sendiri undangan itu dan dengan diam-diam membagikannja pada
waktu orang masuk. Uang untuk biaja diterima dari orang-orang jang tidak dikenal. Seperti misalnja dari
amtenar bangsa Indonesia jang bersimpati dan setjara diam-diam menjerahkan sumbangannja kepada kami.
Untuk mengadakan rapat umum dilapangan terbuka kami harus minta izin dari Pemerintah seminggu
sebelumnja. Aturan jang menggelikan ini patut dihargai oleh karena kami dapat minta izin untuk mengutuk
pemerintah.Aku teringat akan peristiwa disuatu hari Minggu di Madiun. Seperti biasanja kalau Bung Karno
berbitjara, lapangan rapat begitu sesak sehingga ada diantaranja jang djatuh pingsan. Dibagian depan,
diatas kursi jang keras dengan sandarannja jang tegak kaku, duduklah empat orang inspektur polisi. Sudah
mendjadi kebiasaanku untuk memanaskan hadirin terlebih dulu dengan pidato orang lain sebelum tiba
giliranku. Kalau aku akan berbitjara selama satu djam, maka pembitjara sebelumku hanja berpidato lima
menit. Apabila aku berbitjara pendek sadja, orang jang berpidato sebelumku mengambil waktu 45 menit.Ali
djuga hadir. Kutanjakan kepadanja, apakah dia akan menjampaikan pidato pokok. ,,Tidak Bung, tidak !",
djawabnja menolak.
,,Bung tahu saja baru keluar dari pendjara. Saja harus mendjaga gerak-gerik saja. Kalau tidak begitu, polisi
akan bertindak lagi. Biarlah saja duduk sadja dan mendengarkan Bung Karno. Terlalu berbahaja kalau saja
bangkit dan berbitjara, sekalipun hanja mengutjapkan beberapa perkataan."Lautan manusia menunggu
giliranku. Mereka menunggu dengan hati herdebar-debar. Aku duduk dengan tenang diatas panggung,
mendo'a' seperti masih kulakukan sekarang sebelum mulai berpidato. Ketua memperkenalkanku, aku
meminum air seteguk dan melangkah menudju mimbar.,,Saudara-saudara," kataku. ,,Disebelah saja duduk
salah-seorang dari saudara kita jang baru sadja keluar dari pendjara, tidak lain karena ia berdjoang untuk
tjita-tjita. Tadi dia menjampaikan kepada saja keinginannja untuk menjampaikan beberapa pesan kepada
saudara-saudara."Rakjat gemuruh menjambutnja. Ali sendiri hampir mau mati. Mata hari menjinarkan panas
jang menghanguskan akan tetapi Ali berkeringat lebih daripada itu. Aku tidak mau mendjerumuskannja
kedalam kesukaran. Akan tetapi setjara psychologis hal ini penting buat jang hadir, supaja mereka melihat
wadjah salah-seorang dari pemimpinnja jang telah meringkuk dalam pendjara karena memperdjuangkan
kejakinannja dan masih sadja mau mentjoba lagi.Dengan hati jang berat Ali bangkit. Ia mengutjapkan
beberapa patah kata. Ialu duduk kembali dengan segera. Keempat inspektur polisi itu tidak mau melepaskan
pandangannja dari wadjah Ali. Kemudian aku berdiri dan mengambil-alih ketegangan dari Ali dan
menggelorakan semangat untuk berontak.,,Sendjata imperialisme jang paling djahat adalah politik ,,Divide
et Impera". Belanda telah berusaha memetjah-belah kita mendjadi kelompok jang terpisah-pisah jang
masing-masing membentji satu sama lain.
Kita harus mengatasi prasangka kesukuan dan prasangka kedaerahan dengan menempa suatu kejakinan,
bahwa suatu bangsa itu tidak ditentukan oleh persamaan warna kulit ataupun agama. Ambillah misalnja
Negara Swrss. Rakjat Swiss terdiri dari orang Djerman, orang Perantjis dan orang Italia, akan tetapi mereka
ini semna bangsa Swis. Lihat bangsa Amerika jang terdiri dari orang-orang jang berkulit hitam, putih, merah,
kuning. Demikian djuga Indonesia, jang terdiri dari berbagai matjam suku.,,Sedjak dunia terkembang, para
pesuruh dari Jang Maha-Pentjipta telah mengetahui bahwa hanja dalam persatuanlah adanja kekuatan.
Mungkin saja ini seorang politikus jang berdjiwa romantik, jang terlalu sering memainkan ketjapi dari pada
idealisme. Ketika orang Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah jang menggerakkan kesaktian ? Jang
menggerakkan kesaktian itu adalah Musa. Nabi Musa 'alaihissalam. Beliaupun bertjita-tjita tinggi. Dan apakah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 48 dari 109
jang dilakukan oleh Nabi Musa ? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh suku mendjadi satu kekuatan jang
bulat.
,,Nabi Besar Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam pun berbuat demikian. Nabi Besar Muhammad adalah
seorang organisator jang besar. Beliau mempersatukan orang-orang jang pertjaja, mendjadikannja satu
masjarakat jang kuat dan setjara gagah-perwira melawan peperangan peperangan, pengedjaran-pengedjaran
dan melawan penjakit dari djaman itu.,,Saudara-saudara, apabila kita melihat suatu gerakan didunia, mula
mula kita lihat timbulnja perasaan tidak senang. Kemudian orang bersatu didalam organisasi. Lalu
mengobarkan revolusi ! Dan bagaimana pula dengan pergerakan krta ? Pergerakan kitapun demikian djuga.
Maka oleh karena itu, saudara-saudara, marilah kita ikuti djedjak badan kita jang baru, jaitu P.P.P.K.I., iang
meliputi seluruh tanah-arr. Hajolah kita bergabung mendiadi keluarga jang besar dengan satu tudjuan jang
besar: menggulingkan Pemerintah Kolonial. Melawannja bangkit bersama-sama dan......... ''Inspektur Polisi
jang memakai tongkat memukulkan tongkatnja sambil berteriak, ,,Stop.... Stop.....''
Kemudian keempat-empatnja me-lompat dari tempat-duduk mereka. Rakjat jang sudah tegang
pikirannjaberada dalam suasana berbahaja karena polisi mengantjamku dan me-reka seperti hendal
menierang keempat inspektur itu ketika seorangmemandjat keatas panggung dan bertari kebelakang sambil
bersiulminta bantuan. Lima menit kemudian muntjullah sebuah bis membawa 40 orang polisi bersendjata
lengkap. Aku ditarik kebelakang panggung,turun tangga menudju kedjalanan dan diiringkan kekantor
polisi.Setelah mendapat peringatan jang sungguh-sungguh aku dibebaskan lagi. ,,Djangan mentjan perkara,
tuan Sukarno. Kalau terdjadi sekali lagi, kami akan giring tuan kedalam tahanan. Tuan akan meringkuli
dibelakang djeradjak-besr untuk waktu iang lama. Mulai sekarang ini djagalah langkah tuan. Tuan tidak akan
begitu bebas lagi lain kali "Malam itu Inggit mendapat suatu bajangan mimpi. Ia melihat polisi berpakaian
seragam menggeledah rumah kami. Penglihatan ini datang lagi kepadanja dengan kekuatan jang sama persis
sampai jang seketjilketjilnja selama lima malam berturut-turut. Dihari jang kelima aku harus pergi ke Solo
untuk menghadiri rapat umum. Dengan sedih ia mengikutiku sampai kepintu depan. Wadjahnja berkerut dan
tegang. Sewaktu aku pergi, suatu firasat telah menjekap batinja. Ia memanggil nama-kecilku dengan lembut.
,,Kus," katanja lunak, ,,Djangan pergi.........djangan kau pergi."
Bab 9
Masuk Tahanan
SEPANDJANG hari dan malam senantiasa melekat dikepala kami antjaman masuk pendjara. Didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana telah dinjatakan, bahwa: ,,Seseorang jang kedapatan mengeluarkan
perasaan-peraeaan kebentjian atau permusuhan setjara tertulis maupun lisan—atau seseorang jang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan jang menghasut untuk mengadakan
pengatjauan atau pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi-
tingginja tudjuh tahun pendjara." Dengan semakin pesatnja pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka pengawasan
terhadap Sukarno semakin diperkeras pula. Aku sudah mendapat peringatan dan aku menjadari sungguh-
sungguh akibat dan peringatan ini. Semua orang revolusioner bertindak demikian. Ini adalah bagian dari
peperangan hebat jang kami djalankan. Dalam perdjalanan ke Solo dengan salah seorang wakil dari P.N.I.,
Gatot Mangkupradja, aku menjinggung soal ini. ,,Bung, setiap agitator dalam setiap revolusi tentu
mengalami nasib masuk pendjara," aku menegaskan.
,,Disuatu tempat, entah dengan tjara bagaimana, suatu waktu tangan besi dari hukum tentu akan djatuh
pula diatas pundakku. Aku mempersiapkanmu sebelumnja.",,Apakah Bung Karno takut ?" tanja Gatot.
,,Tidak, aku tidak takut," djawabku dengan djudjur. ,,Aku sudah tahu akibatnja pada waktu memulai
pekerdjaan ini. Akupun tahu, bahwa pada satu saat aku akan ditangkap. Hanja soal waktu sadja lagi. Kita
harus siap setjara mental." ,,Kalau Bung, sebagai pemimpin kami, sudah siap, kamipun siap." katanja.
,,Seseorang hendaknja djangan melibatkan dirinja kedalam perdjuangan mati-matian, djika ia sebelumnja
tidak insjaf akan akibatnja. Musuh akan mengerahkan segala alat-alatnja berulang-ulang kali supaja dapat
terus-menerus memegang tjengkeramannja jang mematikan. Tapi, sekalipun berabad-abad mereka
mendjerumuskan puluhan ribu rakjat masuk bui dan masih sadja melemparkan kita kedalam pembuangan
ditempat-tempat jang tidak berpenduduk, djauh dari masjarakat manusia, saatnja akan tiba pada waktu
mana mereka akan musnah dan kita memperoleh kemenangan. Kemenangan kita adalah suatu keharusan
sedjarah—tidak bisa dielakkan.",,Kata-kata itu memberikan keberanian padaku, Bung Karno." kata Gatot.
,,Dalam perdjalanan diatas gerobak-sampah menudju ketiang-gantungan, Pemimpin Revolusi Perantjis
berkata kepada dirinja sendiri: 'Aurlace, Danton Toujours de l'audace'. Ia terus-menerus mengulangi kata-
kata itu: 'Beranikan dirimu, Danton. Djangan kau takut !' Karena ia jakin, bahwa perbuatan-perbuatannja
akan dilukis dalam sedjarah dan tantangan terhadapnjapun merupakan saat jang bersedjarah. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 49 dari 109
Dia tidak pernah meragukan akan datangnja kemenangan jang terachir dan gilang-gemilang. Djadi, akupun
begitu.",,Ada diantara pedjuang kita jang selalu keluar masuk bui setjara tetap," kata Gatot menerangkan.
,,Seorang pemimpin jang di Garut. Dia sudah masuk 14 kali. Pembesar disana menamakannja sebagai
pengatjau. Dalam djangka waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan didalam pendjara, setelah
itu bebas selama dua bulan, lalu masuk selama enam bulan dan keluar lagi tiga bulan, kemudian delapan
bulan dibelakang djeradjak besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengah tahun dan hukumannja jang
terachir adalah dua tahun."Kami berangkat dengan taksi. Supir kami, Suhada, tergolong sebagai simpatisan.
Dia sudah terlalu tua untuk dapat mengikuti kegiatan kami. Dia turut dengan kami tjuma untuk
mendengarkan dan menjaksikan sadja. Sedjak permulaan perdjalanan Suhada tidak membuka mulutnja, tapi
kini dia bertanja dengan ramah, ,,Berapa banjak saudara-saudara kita jang meringkuk dalam pembuangan
?"Aku tidak perlu berpikir mendjawabnja. Aku tahu djumlahnja diluar kepala. ,,Lebih dari duaribu dibuang di
Tanah Merah, ditengah-tengah hutan Boven Digul di Nieuw Guinea jang keadaannja masih seperti di Djaman
Batu. Dan pada waktu pembawa-pembawa obor kemerdekaan ini diusir masuk kedalam hutan lebat, mereka
pergi dengan tersenjum. Ketika mereka tidak mau mundur setapakpun dari kejakinannja, maka 300 orang
diantaranja dibawa ketempat jang lebih menjedihkan, jaitu kamp konsentrasi di Tanah Tinggi. Disitu
bertaburanlah kuburan mereka.
Dari jang 300 orang itu hanja 04 orang jang masih hidup.",,Pengorbanan seperti itu telah pula terdjadi
dipulau Muting dan pulau Banda," kataku melandjutkan. ,,Tapi ingatlah, tidak ada pengorbanan jang sia-sia.
Ingatkah engkau tentang keempat pemimpin jang digantung di Tjiamis ?"Mereka menganggukkan
kepala.,,Salah seorang dari mereka berhasil menjusupkan surat kepadaku dimalam sebelum mendjalani
hukumannja. Surat itu berbunji: 'Bung Karno, besok saja akan mendjalani hukuman gantung. Saja
meninggalkan dunia jang fana ini dengan hati gembira, menudju tiang-gantungan dengan kejakinan dan
kekuatan batin, oleh karena saja tahu bahwa Bung Karno akan melandjutkan peperangan ini jang djuga
merupakan peperangan kami. Teruslah berdjuang, Bung Karno, putarkan djalannja sedjarah untuk semua
kami jang sudah mendahului sebelum perdjuangan itu selesai.'"Keadaan dalam mobil mendjadi sunji. Tak
seorangpun jang hendak mengutjapkan sesuatu. Suhada terus mengemudikan kendaraan dengan air mata
berlinang. Satu-satunja suara ialah denjutan djantung kami jang menderap-derap serentak dalam satu
pukulan irama. Di Solo dan dekat Djogjakarta kami mengadakan beberapa rapat umum. Malam itu aku
berbitjara untuk pertamakali tentang ,,Perang Pasifik" jang akan berkobar. Tahun ini adalah 1929. Setiap
orang mengira aku ini gila. Dengan darahku jang mengalir tjepat karena golakan perasaan jang gembira dan
hampir tak tertahankan, keluarlah dari mulutku utjapan jang sekarang sudah terkenal: ,,Imperialis,
perhatikanlah !
Apabila dalam waktu jang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menjambar-njambar membelah
angkasa, apabila dalam waktu jang tidak lama lagi Samudra Pasifik mendjadi merah oleh darah dan bumi
disekelilingnja menggelegar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, maka disaat itulah rakjat Indonesia
melepaskan dirinja dari belenggu pendjadjahan dan mendjadi bangsa jang merdeka." Utjapan ini bukanlah
ramalan tukang-tenung, iapun bukan pantulan daripada harapan berdasarkan keinginan belaka. Aku melihat
Djepang terlalu agressif. Bagiku, apa jang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada perhitungan
berdasarkan situasi revolusioner jang akan datang. Rapat ini bubar pada waktu tengah malam. Kami
bermalam dirumah Sujudi, seorang pengatjara dan anggota kami di Djogja jang tinggal pada djarak kurang
dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat-tidur pada djam satu.Djam lima pagi, ketika dunia
masih gelap dan sunji, kami terbangun oleh suara jang keras. Ada orang menggedor pintu. Aku terbangun
begitu tiba-tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada tetangga jang berkelahi. Gedoran itu masih terus
terdengar. Ia semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak Gedoran ini diiringi oleh suara
jang kasar disekitar rumah Sujudi. ,,Inikah rumah tempat pemimpin revolusioner menginap ?" satu suara
bertanja. ,,Jah, inilah tempatnja," suara garang jang lain mendjawab. Kemudian lebih banjak suara
terdengar meneriakkan perintah-perintah. ,,Kepung rumah ini—halangi pintu—." Sementara itu bunji jang
meremukkan dari pukulan gada dipintu ............... semakin lama semakin keras, kian lama kian tjepat.
Dengan gemetar aku menjadari, bahwa inilah saatnja. Nasibku sudah pasti. Gatot Mangkupradja jang
pertama pergi kepintu. Ia membukanja dan masuklah seorang inspektur Belanda dengan setengah lusin polisi
bangsa Indonesia. Kami menamakannja ,,reserse". Semua berpakaian seragam. Semua memegang pistol
ditangan. Mereka ini adalah pemburu. Kami binatang buruan. Rentak sepatu jang menundjukkan kekuasaan
terdengar menggema keseluruh daerah sebelah-menjebelah, rentak sepatu pada waktu mereka menderap
sepandjang rumah.
Orang kulitputih jang bertugas itu berteriak, ,,Dimana kamar tempat Sukarno tidur ?"Kamarku sebelah-
menjebelah dengan kamar Sujudi. Ketudjuh orang itu berbaris melalui kamar Sujudi dan terus kekamarku.
Aku keluar dari tempat-tidur dan berdiri disana dengan pakaian pijama. Aku tenang. Sangat tenang. Aku
tahu, inilah saatnja. Inspektur itu berhadap-hadapan denganku dan berkata, ,,Atas nama Sri Ratu saja
menahan tuan." Aku telah mempersiapkan diri selalu untuk menghadapi kesulitan. Betapapun, pada waktu
tiba saatnja timbul djuga perasaan jang tidak enak.,,Kenakan pakaian tuan," ia memerintahkan. ,,Dan ikut
dengan saja." Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian. Aku tidak diizinkan membawa barang-BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 50 dari 109
barangku. Bahkan tas dengan pakaian penggantipun tidak boleh. Hanja jang lekat dibadanku.Diluar, dengan
senapan dalam sikap sedia, berdiri 50 orang polisi mengepung rumah dengan sekitarnja dan djalan jang
menudju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Jang tengah adalah kendaraan chusus dimana kami, pendjahat-
pendjahat jang berbahaja, dimasukkan dan diiringkan kekantor polisi. Kedalam mobil itu dimasukkan pula
Gatot dan supir taksi itu, jang samasekali tidak bersalah dalam menghasut rakjat. Kesalahannja hanjalah
karena ia terlalu mentjintai.
Ia mentjintai negerinja, dan ia mentjintai pemimpinnja. Suhada dibebaskan segera, akan tetapi sementara
itu mereka mentjatat namanja, karena orang inipun kelihatan seperti pendjahat besar dimata mereka.
Beberapa tahun kemudian ia meninggal. Permintaannja jang terachir ialah, ,,Tolonglah, saja ingin
mempunjai potret Bung Karno didada saja." Permintaannja itu dipenuhi. Ia lalu melipatkan tangannja jang
kerisut memeluk potretku dan kemudian berlalu dengan tenang. Dengan pendjagaan jang kuat, diiringkan
dikiri-kanan oleh sepeda motor dan dengan sirene meraung-raung dan lontjeng berdentang-dentang,
Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, pendjara untuk orang gila.Kami diperiksa satu demi
satu dan dimasukkan kedalam sel. Ketika pintu besi terkuntji rapat dimuka kami, seluruh dunia kami
tertutup. Kami berada dalam kesunjian. Segala sesuatu terdjadi begitu tjepat, sehingga kami tidak punja
kesempatan untuk menjelundupkan sepatah kata kepada pengikut kami. Tidak seorangpun jang mengetahui
dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mengadakan kontak dengan
Inggit. Tidak ada pertjakapan. Kami tidak diperbolehkan apa-apa. Sekalipun demikian, apa hendak dikata.
Kami tahu apa artinja ini dan masing-masing tenggelam dengan pikirannja sendiri. Apa jang terlintas dalam
pikiranku ialah, bahwa aku tidak memperoleh firasat. Tidak ada tanda-tanda bahaja.
Aku dengan mudah tertidur malam itu tanpa mengalami sesuatu sensasi, bahwa pada tanggal 9 Desember
1929 bagi kami akan mendjadi hari nahas. Semua ini mengedjutkanku. Seluruh gerakan telah mereka
rentjanakan dengan baik. Djam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan sesudah itu tidak ada hubungan
dengan seorangpun. Setelah satu hari satu malam penuh esok paginja seperti dipagi sebelumnja tepat djam
lima polisi datang. Mereka tidak berkata apa-apa. Pun tidak menjampaikan kemana kami akan dibawa.
Begitupun tentang apa jang akan diperbuat terhadap kami. Dua buah kendaraan membawa kami kestasiun.
Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk ditiap kendaraan itu. Pengangkutan ini direntjanakan
sampai kepada menit dan detiknja. Begitu kami sampai, sebuah kereta-api hendak berangkat. Kami
diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia buat kami. Pintu-pintu pada kedua udjungnja
dikuntji, setiap djendela ditutup rapat. Kami dilarang berdjalan-djalan atau berdiri untuk maksud apapun
djuga. Kalau kami akan pergi kebelakang seorang sersan mengiringkan kami.
Dengan diapit oleh polisi duduklah kami ditempat jang berhadap-hadapan. Selama 12 djam tidak boleh buka
mulut. Satu-satunja jang dapat kukerdjakan sehari penah ialah memandangi Belanda jang pandir itu. Djam
tudjuh malam kami diperintahkan turun di Tjitjalengka jang letaknja 30 kilometer dari Bandung. Mereka
dengan sengadja menurunkan kami disitu untuk menghindarkan ketegangan jang mungkin timbul. Disana satu
pasukan barisan pengawal telah menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara sepedamotor, setengah
lusin inspektur beserta arak-arakan kami jang terdiri dari sedan-sedan hitam meluntjur ke
Bandung.Perdjalanan itu tidak lama. Kami hanja sempat menggetar gugup sesaat ketika sampai dirumah
kami jang baru. Di-depannja tertulis: Rumah Pendjara Bantjeuj.
Bab 10
Pendjara Bantjeuj
BANTJEUJ adalah pendjara tingkat rendah. Didirikan diabad kesembilanbelas, keadaannja kotor, bobrok dan
tua. Disana ada dua matjam sel. Jang satu untuk tahanan politik, satu lagi untuk tahanan pepetek. Pepetek
— sebangsa ikan jang murah dan mendjadi makanan orang jang paling miskin — adalah nama djulukan untuk
rakjat djelata.
Pepetek tidur diatas lantai. Kami tahanan tingkat atas tidur diatas pelbed besi jang dialas dengan tikar-
rumput setebal karton. Makanannja makanan pepetek nasi merah dengan sambal. Segera setelah aku masuk,
rambutku dipotong pendek sampai hampir botak dan aku disuruh memakai pakaian tahanan berwarna biru
pakai nomor dibelakangnja.
Rumahku adalah Blok F. Suatu petak jang terdiri dari 36 sel menghadap kepekarangan jang kotor. 32 buah
masih tetap kosong. Mulai cari udjung maka empat buah nomor jang berturut-turut telah terisi. Aku tinggal
dinomor lima. Gatot tudjuh. Esok paginja Maksum dan Supriadinata, dua orang wakil P.N.I. lainnja,
dimasukkan berturut-turut kenomor sembilan dan sebelas. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 51 dari 109
Penahanan kami bukanlah keputusan jang mendadak. Ia telah dipersiapkan dengan baik—sampai kepada sel-
selnja. Berbulan-bulan sebelum kami ditangkap, kawan-kawan di Negeri Belanda telah menulis, ,,Hati-
hatilah. Pemerintah Belanda lebih mengetahui tentang kegiatanmu daripada jang kauketahui sendiri. Tidak
lama lagi engkau akan ditangkap."
Sebagaimana kuketahui dari Maskun dan Supriadinata, jang ditangkap di Bandung pada saat jang bersamaan
denganku, diminggu pagi itu telah diadakan penggeledahan diseluruh Djawa. Ribuan orang telah ditahan,
termasuk 40 orang tokoh P.N.I., dengan dalih bahwa Pemerintah telah mengetahui tentang rentjana
pemberontakan bersendjata jang katanja akan diadakan pada permulaan tabun 1930. Ini bohong. Ini adalah
tipu-muslihat, agar dapat mengeluarkan perintah segera untuk menangkap Sukarno. Malam itu kereta-api
didjaga, stasiun-stasiun bis dikepung, milik perseorangan disita dan diadakan penjergapan setjara
menjeluruh dan serentak dirumah-rumah dan kantor-kantor kami diseluruh Djawa dan Sumatra.
Usaha untuk memperingatkanku gagal. Polisi menjelidiki dimana aku berada. ,,Dimana Sukarno ?" tanja
mereka ketika datang memeriksa rumah Ali Sastroamidjojo di Solo dimana aku bermalam dihari sebelumnja.
Ali meneruskan berita ini, akan tetapi pada waktu ia mengadakan hubungan dengan Djogja, kepadanja telah
disampaikan, ,,Terimakasih atas peringatan itu. Mereka telah membawa Bung Karno sepuluh menit jang
lalu."
Gatot, Maskun, Supriadinata dan aku dipisahkan samasekali dan masjarakat luar. Tidak boleh menerima
tamu. Tidak ada hubungan. Tak seorangpun jang dapat kami lihat, termasuk tahanan jang lain. Tak
seorangpun jang dapat mendekati kami. Setelah beberapa hari datang seorang penjelidik chusus dan
berlangsunglah pemeriksaan. Ia menanjaku minggu demi minggu selama tiga bulan. Aku tidak mengerti,
mengapa dia begitu susah-susah. Persoalannja sudah tjukup djelas. Ini bukan perkara perampokan, dalam hal
mana mereka harus menjiasati dimana barang-barang rampokan itu disembunjikan. Ini bukan perkara
kedjahatan, dimana mereka harus mengetahui sebab-sebabnja. Mereka tahu apa jang kami lakukan dan
mengapa kami melakukannja.
Selku lebarnja satu setengah meter— separonja sudah terpakai untuk tidur— dan pandjangnja betul-betul
sepandjang peti-majat. Ia tidak berdjendela tempat mendjenguk dan tidak berdjeradjak supaja bisa
mengintip keluar. Tiga buah dinding dari kuburanku adalah semen mulai dari lantai sampai keloteng.
Pendjara Belanda didjaman kami tidak dapat disamakan dengan pendjara jang bisa disaksikan dilajarputih
dimana pendjahat didjebloskan kedalam sel jang luas berdjeradjak besi, pakai lampu dan masuk udara dari
segala pendjuru. Pintu kami terbuat dari besi hitam padat dengan sebuah lobang ketjil. Lobang ini ditutup
dari luar. Pendjaga dapat melihat kedalam, akan tetapi ia tertutup buat kami. Tepat setinggi mata ada
sebuah tjelah tempat mengintip lurus keluar. Dari tjelah itu aku tidak mungkin melihat arah kebawah,
keatas ataupun kesamping. Pun tidak mungkin melihat daerah sekitar itu seluruhnja ataupun melihat mata
lain jang mengerdip kepadamu dari balik pintu besi diseberangnja. Sesungguhnja tiada jang terlihat selain
tembok dan kotoran.
Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali menghadapi hal ini semua
dengan diam-diam djauh dalam kalbuku sebelum ini akan tetapi ketika pintu jang berat itu tertutup rapat
dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanja hendak mati. Pengalaman jang meremukkan. Aku adalah
seorang jang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah seorang jang suka memuaskan perasaan. Aku menjukai
pakaian bagus, makanan enak, mentjintai sesuatu dan tak dapat menahankan pengasingan, kekotoran,
kekakuan, penghinaan-penghinaan kedji jang tak terhitung banjaknja dari kehidupan tawanan. Aku
berdjingkat diudjung djari kaki mengintip melalui tjelah itu dan berbisik, ,,Engkau terkurung, Sukarno.
Engkau terkurung."
Hanja tjitjaklah jang mendjadi kawanku selama berada di Bantjeuj. Binatang ketjil jang abu-abu kehidjauan
itu dapat berobah warna menurut keadaan sekitarnja. Ia sering terlihat merangkak disepandjang loteng dan
dinding kalau hari sudah mulai gelap. Didaerah beriklim panas binatang - binatang ini merupakan penangkis
njamuk tjiptaan alam. Mungkin orang lain tidak menjukai binatang ini dan tidak menganggapnja lutju, tapi
bagiku ia adalah tjiptaan Tuhan jang paling mengagumkan selama aku berada dalam tahanan.
Makanan kami diantarkan kesel. Djadi apabila tjitjak-tjitjakku berkumpul, akupun memberinja makan.
Kuulurkan sebutir nasi dan menantikan seekor tjitjak ketjil merangkak dari atas loteng. Tentu ia akan
merangkak turun didinding, mengintip kepadaku dengan mata seperti butiran mutiara, kemudian melompat
dan memungut nasi itu, lalu lari lagi. Aku tetap duduk disana menantikannja dengan tenang tanpa bergerak
dan, lima menit kemudian ia datang lagi dan aku memberikan butiran nasi jang lain. Ja, aku menjambutnja
dengan senang hati dan mendjadi sangat terpikat kepada binatang ini. Dan aku sangat bersjukur, karena
masih ada machluk hidup jang turut merasakan pengasinganku ini bersama-sama. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 52 dari 109
Jang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali djauh tengah
malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak ketjil berdinding batu jang begitu sempit, sehingga kalau
aku merentangkan tangan, aku dapat menjentuh kedua belah dindingnja. Dan aku tidak dapat
menahankannja. Rasanja aku tidak dapat bernapas. Kupikir lebih baik aku mati.
Ketika keadaan ini semakin terasa menekan, suatu perasaan gandjil menjusupi diriku. Ada saat-saat dimana
badanku terasa membesar melebihi daripada biasa. Suatu perasaan mentjekam diriku, djauh samasekali
daripada keadaan normal. Aku berbaring diatas tempat tidurku jang keras dan memedjamkan mata. Tapi
keras, tertutup keras. Dengan pelahan, karena bajangan pikiran jang kuat, aku merasa tangan kananku
membesar. Ia semakin besar ........besar .........besar....... besar ........besar ........lebih besar dari pada
selku sendiri. Ia mengembang dan mengembang, dan membinasakan dinding sel. Tangan kanan adalah
lambang kekuatan, namun apakah ini sebagai pertanda daripada hari-depanku atau tidak, aku tidak
mengerti. Aku hanja tahu, bahwa hal ini datang menguasai diriku disaat aku berada dalam keadaan sangat
tertekan. Dan kemudian ia menjusut lagi setjara pelahan .........pelahan ........pelahan sekali sampai ia
mentjapai ukuran jang biasa lagi. Kadang-kadang dimalam itu djuga ia muntjul kembali. Aku tak pernah
melihat, akan tetapi aku merasakannja.
Aku mengalami suatu bajangan jang lain. Pendjara Bantjeuj terletak dipusat kota, tidak diluar ditengah-
tengah tempat jang lapang. Disana tidak ada burung. Sekalipun demikian, djauh ditengah malam, bila semua
sudah senjap ketjuali pikiranku, dan disaat Gatot, Maskun dan Supriadinata sudah tidur njenjak semua, aku
mendengar burung perkutut diatas atap kamarku. Kudengar burung-burung itu bersiul dan rnenjanji, begitu
djelas seakan ia hinggap dipangkuanku. Tak seorangpun pernah mendengarnja, ketjuali aku. Dan aku sering
mendengarnja.
Setelah empatpuluh hari, aku diizinkan untuk pertamakali bertemu dengan Inggit. Sampai saat itu tiada
hubungan apapun djuga. Bahkan suratpun tidak. Kami bertemu diruang tamu. Djaring kawat memisahkan
kami. Pendjaga-pendjaga berdiri disekeliling menuliskan segala jang kami utjapkan. Kami boleh berbahasa
Indonesia atau Belanda, dan tidak boleh dalam bahasa daerah. Kami tidak boleh saling berpelukan. Itu
terlarang. Dan jang kedua, bukanlah mendjadi kebiasaan orang Timur. Isteriku hanja memandang kedalam
mataku dan dengan seluruh kasih jang dapat ditjurahkannja ia berkata, ,,Apa kabar ?"
Aku tersenjum dan berkata, ,,Baik, terimakasih."
Apa lagi jang dapat kuutjapkan ? Demikian banjak jang harus ditjurahkan, sehngga apa lagi jang dapat
kuutjapkan? Dalam lima menit jang diberikan kepada kami, kami membitjarakan bajangan gaib jang
diperolehnja. lnggit senantiasa mendjadi djimat bagiku. Kemana sadja aku pergi, dia turut. Akan tetapi kali
ini adalah jang pertama kali ia tidak ikut denganku.
Baru sekarang setelah dalam tawanan ia menerangkan, ,,Aku tinggal diminggu itu karena aku kuatir, kalau-
kalau polisi-polisi jang kulihat dalam bajangan itu betul-betul datang dan menggerebek rumah. Memang
itulah jang terdjadi. Persis seperti jang kulihat dalam bajanganku itu."
Pendjaga memberi isjarat supaja berbitjara lebih keras. ,,Apakah hidupmu terdjamin ?" tanjaku.
,,P.N.I. memberiku uang dan kawan-kawanmu djuga mengirimi uang dan oleh-oleh kalau mereka datang
mendjengukku. Djangan susahkan tentang diriku.
Bagaimana keadaanmu ?" Bagaimana keadaanku ? Darimana aku akan mulai bertjeritera kepadanja. Kami
terlalu saling mentjintai satu sama lain untuk bisa rnemikul bersama-sama beban jang berat dalam hati
kami. Aku tidak ingin dia turut merasakan detik-detik jang berat dalam siksaan dan iapun tidak ingin aku
turut merasakan kesusahannja. Kami berbitjara bagai dua orang asing ditengah djalan. Aku ingin
menahannja. Aku ingin meneriakkan bahwa aku mentjintainja dan perlakuan terhadap kami tidak adil
samasekali. Akan tetapi dengan nada jang hambar tiada bergaja-hidup aku bersungut, ,,Semua baik. Aku
tidak mengeluh."
Pengawas pendjara di Bantjeuj orang Belanda semua. Ditingkat jang lebih rendah, jaitu mereka jang
sebenarnja memegang kuntji, adalah orang-orang Indonesia. Blok dari sel kami jang terpisah didjaga chusus
oleh seorang sipir jang tugasnja semata-mata mengawasi kami. Bung Sariko baik sekali terhadapku. Ia
mengakui tawanan jang istimewa ini sebagai pemimpin politiknja. Ia adalah pendjagaku, akan tetapi dalam
hatinja ia mengakui bahwa aku pelindungnja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 53 dari 109
Setjara diam-diam semua petugas pendjara berpihak kepadaku. Selalu mereka berbuat sesuatu untukku.
Sarikolah jang pertama-tama membuka djalan dengan memberiku rokok, buku-buku dan membawa berita
bahwa Iskaq, bendahara kami, telah ditahan. Setelah memperlihatkan kesungguhannja, disuatu pagi ia
berbisik, ,,Bung, kalau hendak menjampaikan pesan kedalam atau keluar, katakanlah. Saja akan bertindak
sebagai perantara. Inilah tjara saja untuk menjumbangkan tenaga."
Suratkabar tidak dibolehkan samasekali. Disaat itu keinginanku untuk memperolehnja melebihi daripada
segala sesuatu didunia ini, ,,Suratkabar, Bung," aku berbisik kembali. ,,Tjarikanlah saja suratkabar."
Dihari berikutnja aku berada dikamar-mandi mentjutji dibak. Pada waktu mengambil handuk aku dapat
merasakan ada suratkabar dilipatkan kedalamnja. Dihari selandjutnja ketika makananku diantarkan kedalam,
sebuah suratkabar diselipkan dibawah piring.
Aku memikirkan suatu akal, sehingga kami semua dapat membatjanja. Aku berhasil memperoleh benang-
djahit dan pada djam enam, sebelum dikurung untuk malam hari, aku merentangkan benang halus itu
ditanah sepandjang empat sel, sehingga ia merentang dari pintuku kepintu Supriadinata. Kalau aku sudah
selesai membatja suratkabar itu, kuikatkan ia keudjung benang, mengintai keluar, ragu-ragu sebentar untuk
melihat apakah ada orang jang datang, kemudian berteriak, ,,Vrij." Ini sebagai tanda bahwa blok kami
tertutup dan tidak ada pendjaga berdiri diposnja saat itu. Kemudian aku memanggil ,,Gatot !" sebagai tanda
untuk Gatot supaja menarik benangnja. Dengan menariknja setjara hati-hati suratkabar itu sampai
kepintunja dan kemudian menariknja melalui bawah pintu. Begitupun tjaranja untuk Maskun dan
Supriadinata. Kalau sekiranja pendjaga kami melihat benang itu ditjahaja sendja, ia melengah.
Sarikopun memberitahu kepadaku kapan akan diadakan pemeriksaan. Kalau sel kami kotor pada waktu
pengawas kami lewat untuk memeriksa, kami mendjadi sasaran hukuman. Djam lima tigapuluh setiap pagi
tugas kami jang pertama ialah membersihkan sel dan mengosongkan kaleng tempat buang-air. Aku selalu
kuatir terhadap Maskun, karena dia jang paling muda dan agak serampangan. Kuperingatkan dia. ,,Maskun,
kau harus melatih diri untuk kebersihan, karena engkau bisa djadi korban pertjuma karena ini."
Ia menjeringai, ,,Bung terlalu hati-hati dengan segala sesuatu dan ini disebabkan karena Bung orang tua.
Bung sudah 28 tahun. Alasanku bersifat lebih serampangan karena aku baru 21. Masih muda !",,Baiklah, anak-
muda-pengatjau," djawabku kepadanja. ,,Baik kita lihat siapa jang dapat hukuman siapa jang tidak."
Pada pemeriksaan selandjutnja tidak lama setelah itu Maskun dihukum tiga hari ditempat. Ini berarti, bahwa
dia tidak dapat membatja buku dan rekreasi. Ia terpaksa tinggal terasing dalam kamarnja. Untuk mentjegah
hal ini djangan terdjadi lagi aku memikirkan satu tanda. Perhubungan hanja dapat dilakukan dengan bunji,
karena kami tidak dapat saling melihat. Kami menggunakan tanda-tanda ketokan. Misalkan aku mendapat
berita, bahwa esok paginja akan diadakan pemeriksaan mendadak. Aku mengetok pada daun pintu besi jang
menggetar tok ......tok. Dua ketokan berat berarti,,,Besok pengawas datang, djadi bersihkan selmu."
Ada diantara petugas bangsa Belanda jang merasa, bahwa kami tidak patut dipersalahkan melakukan
kedjahatan, karena mentjintai kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Disamping itu, ia mau
melakukan sesuatu asal diberi uang. Apa sadja. Bahkan tidak perlu diberi banjak-banjak. Mula-mula aku
menjangka, bahwa mereka sangat takut pada djabatannja untuk mau menerima suap, tapi ternjata mereka
ini termasuk dalam djenis jang rendah, jang mau mengchianati prinsip-prinsip mereka dengan sangat murah.
Seharga sebotol bir.
Ketika aku berhadapan dengan seorang jang baik hati, aku menerangkan, ,,Saudara, saja bekerdja untuk
rakjatku. Itulah satu-satunja kedjahatanku. Mengapa saudara mendjaga saja begitu teliti ? Tjobalah
melengah sedikit." Terkadang ini berhasil, terkadang tidak. Tapi kebanjakan ada hasilnja. Itulah sebabnja
mengapa aku berkawan dengan pengawas bui bernama Bos. Tuan Bos adalah seorang Belanda jang baik tapi
goblok. Aku tak pernah mentjoba mempengaruhi pikirannja dalam pandangan politik. Aku sudah tjukup
bersjukur dapat mempergunakannja kadang-kadang untuk suatu kesenangan. Pada suatu hari Bos datang
dengan menjeret-njeretkan kakinja ketempatku jang gelap dan aku dapat melihat sebelah matanja bengkak
seperti balon. ,,Hee, Bos," aku berteriak, ,,Kenapa matamu ? Bengkak dan biru !"
Ia berdiri disana terhujung-hujung dan memegang mata jang sakit itu. ,,Oooooohhh," ia mengeluh kesakitan,
,,Pernah kau lihat jang keterlaluan begini. Oooohhhh, aku sakit sekali. Rasanja sakit sekali."
Orang jang malang itu betul-betul sangat menderita. ,,Katakanlah, Bos." kataku. ,,Kenapa kau?" Ia mengintip
kepadaku dengan matanja jang satu lagi dan mengeluh, ,,Oooohhhh, ooooohhh, Sukarno, kenapa aku ! Tiga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 54 dari 109
hari jang lalu aku bertjintaan dengan seorang pelatjur. Dan pada waktu aku selesai aku menghapus badanku
dengan saputangan."
,,Apa hubungannja dengan matamu ?"
,,Ja, tentu sadja ada hubungannja, kumasukkan saputanganku kembali kedalam kantong sewaktu sudah
selesai sewaktu sudah selesai. Beberapa djam kemudian, tanpa berpikir, aku mengeluarkan saputanganku
lagi dan menggosok mataku dengan itu. Nah, inilah hasilnja. Gadis itu tentu tidak bersih dan mataku infeksi,
jang berasal dari gadis itu. Dan sekarang......sekarang......kaulihat aku ini ! !"
,,Aah, kasihan. Bos, kasihan, kasihan," kataku seperti ajam berkotek. ,,Aku merasa kasihan padamu." Dan
memang sesungguhnja aku kasihan kepadanja. Aku tawanannja. Dia berkelujuran diluar, telah melepaskan
hawa-nafsunja pada seorang perempuan latjur, sedang aku dikurung dalam sel jang dingin dan tak pernah
diberi kesennpatan sekalipun memegang tangan isteriku .....dan aku....kasihan kepadanja.
Ketika Bos menjusup pergi sambil mengeluh dan merintih, aku gembira, karena Bos tidak mengatakan padaku
bahwa gadis itu adalah salah-seorang anggota partaiku. Hal jang demikian dapat meruntuhkan persahabatan
kami. Ketika aku tak dapat lebih lama lagi menelan kesepian, kegelapan dan keadaan kotor, maka aku mulai
bermain dengan Gatot. Aku berhasil mendapat buku wajang. Wajang ini adalah bentuk seni jang paling
populer di Indonesia. Dengan menggunakan bentuk-bentuk dari kulit jang memberikan bajangan pada lajar-
putih maka dalang menggambarkan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, kisah-kisah Hindu klasik dari
masa lampau. Ini adalah drama keramat dari Indonesia.
Gatot kusuruh membatja buku ini. Aku sudah hafal semua kisah-kisah itu. Semendjak ketjil aku mengagumi
tjerita wajang. Sewaktu masih di Modjokerto aku menggambar-gambar wajang dibatu-tulisku. Di Surabaja
aku tidak tidur semalam suntuk sampai djam enam esok paginja mendengarkan dalang mentjeritakan kisah-
kisah jang mengandung peladjaran dan sedikit bersamaan dengan dongeng kuno di Eropa. Setelah Gatot
dengan tekun mempeladjari buku itu, aku menjuruhnja, ,,Sekarang letakkan buku itu dan tjeritakan kembali
dengan suara keras apa jang sudah kau batja tanpa melihat kebuku."
,,Djadi Bung meminta aku memerankan bagian-bagiannja ?"
,,Ja," aku berteriak kembali. ,,Djadi dalang." Pertjakapan kami dilakukan dengan suara keras sekali, karena
sel kami terpisah empat meter djauhnja dan setiap satu meter dibatasi oleh dinding-batu jang padat.
Gatot mulai. Aku mendengarkan sambil menahan napas, sehingga ia sampai pada bagian jang mengisahkan
pahlawan kegemaranku, Gatotkatja. ,,Gatotkatja lalu berhadapan dengan Buta," teriak Gatot. ,,Dia kalah
dalam pertarungan dan dia djatuh. Gatotkatja dikalahkan sementara."
,,Ja," aku berteriak jakin. "Tapi itu hanja untuk sekali. Dia akan bangkit lagi. Dia akan menang sekali lagi.
Engkau tidak bisa membiarkan pahlawan djatuh. Tunggulah saatnja."
Gatot Mangkupradja melandjutkan, menguraikan pertempuran. Achirnja ia sampai pada: ,,Gatutkatja sudah
bangkit lagi. Gatutkatja sudah berdiri. Dia membunuh Buta itu."
Oooooo ! Aku gembira ! Aku berteriak tak terkendalikan. ,,Haaa ! Aku tahu itu. Bukankah sudah kukatakan ?
Seorang pahlawan jang hanja mau mengerdjakan jang baik tidak pernah kalah untuk selama-lamanja."
Kelakuan kami dengan melakonkan wajang ini tidak hanja menjenangkan dan menghiburku, akan tetapi ia
djuga meringankan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bajangan-bajangan hitam dikepalaku
melebur bagai kabut dan aku bisa tidur pulas dengan rasa puas akan kejakinanku, bahwa jang baik akan
mengungguli jang djahat.
Bab 11
Pengadilan
16 DJUNI 1930, berita suratkabar tentang pidato Gubernur Djendral pada pembukaan sidang Dewan Rakjat
memuat pengurnuman bahwa ,,Sukarno akan dihadapkan dimuka pengadilan dengan segera." Tanggalnja
sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanja tiga minggu sebelum aku bertemu dengan pembela-pembelaku
jang kupilih sendiri: Sujudi S.H., ketua P.N.I. tjabang Djawa Tengah, jaitu tuan rumah dimana aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 55 dari 109
ditangkap; Sartono S.H., seorang rekan dari Algemeene Studieclub jang lama dan tinggal di Djakarta dan
mendjadi Wakil Ketua jang mengurus soal keuangan partai; Sastromuljono S.H., seorang kawan dan patriot
jang tinggal di Bandung. Tidak dengan bajaran. Dan memang tidak ada uang untuk membajar. Para
pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masing-masing.
Dalam pertemuanku jang pertama dengan Sartono aku mengatakan, ,,Terlintas dalam pikiran saja bahwa
mendjadi kewadjibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri."
,,Bung maksud dari segi politik?"
,,Ja, sedang tanggung-djawab Bung mempersiapkan segi juridisnja."
Ia kelihatan memikirkan soal itu. ,,Saja tahu," ia mengerutkan dahi, ,,bahwa dalam kedudukan Bung sebagai
Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun jang sanggup mempersiapkan pokokpokok persoalan
seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat Bung, apakah prosedur ini lazim dalam pengadilan ?"
Aku memandang dalam kemata kawanku jang kelihatan suram memikirkan soal ini. Ia kelihatan seperti
memerlukan lebih banjak bantuan daripada jang kuperiukan. Aku menempatkan sebelah tanganku keatas
bahunja untuk menjenangkan hatinja. ,,Sartono," kataku, ,,bukan maksud saja untuk membanggakan diri
saja. Akan tetapi ketika saja masuk bui, begitulah jang kuputuskan. Kalau sudah nasib saja untuk
menahankan siksaan, biarkanlah saja. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk sementara daripada
Indonesia menderita untuk selama-lamanja ?"
,,Saja masih berpikir apakah ini djalan jang paling baik agar Bung bebas dari tuntutan hukum," katanja
dengan sedih.
Ia tahu dan aku tahu, bahwa aku takkan bisa bebas. Kami di zinkan untuk bertemu antara empat mata
disuatu ruangan tersendiri selama satu djam dalam seminggu. Tiada seorangpun jang mendengarkan kami,
djadi akulah jang pertama harus mengadjak untuk membitjarakan apa jang terselip dalam pikiran kami
berdua. ,,Bung tahu betul," aku mulai dengan lunak, ,,bahwa semuanja hanja akan berpura-pura sadja.
Berita bahwa kepada saja sudah didjatuhkan hukuman, telah menetes dari kawan-kawan kita di Negeri
Belanda. Sekalipun informasi jang demikian tidak dikirimkan kepada saja, tapi saja tahu bahwa pengadjuan
kedepan pengadilan ini hanja sandiwara sadja. Bung pun tahu. Mereka harus menghukum kita. Terutama
saja. Saja adalah biangkeladinja."
,,Ja," keluhnja, ,,Saja sudah membatja berita pers disuratkabar.",,Seperti misalnja kepala berita harian
'Sukarno PASTI dihukum' dan 'Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para pembesar.' Saja
tahu. Sajapun membatjanja." Sartono membuka katjamatanja, membersihkannja lalu memakainja kembali.
,,Semendjak tanggal 29 Desember suasana hangat dari masjarakat disini dan di Negeri Belanda tidak henti-
hentinja menghasut," aku menjatakan, ,,Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku tidak dapat
menjerahkan hal ini kepada orang lain. Ja, memang ada Bung dan pehasehat-penasehat lainnja, akan tetapi
saudara-saudara mempunjai segi-segi hukumnja sendiri untuk diadjukan. Tinggal dua minggu lagi kedepan
pengadilan."
,,Saja tjepat-tjepat datang kemari, segera setelah mendengar kabar," ia minta maaf, ,,Akan tetapi polisi
mempersulit persoalannja. Nampaknja untuk beberapa waktu seakan-akan saja sendiri berada dalam bahaja
penahanan."
Aku melihat kepadanja dengan mata berlinang karena terimakasih. ,,Sartono, saja menghargai segala
usahamu. Namun, tjara ahli hukum bekerdja tidak menjimpang dari ketentuan hukum. Dia sangat terikat
untuk mendjalankan hukum. Suatu revolusi melemparkan hukum jang ada dan madju terus tanpa
menghiraukan hukum itu. Djadi sukar untuk merentjanakan suatu revolusi dengan ahli hukum. Kita
memerlukan getaran perasaan kemanusiaan. Inilah jang akan saja kemukakan."
Aku menjediakan kertas dari rumah. Tinta dari rumah. Sebuah kamus dari perpustakaan pendjara.
Pekerdjaan ini sungguh meremukkan tulang-punggung. Aku tidak punja medja untuk dapat bekerdja dengan
enak. Selain daripada tempat-tidur, satu-satunja perabot jang ada dalam selku adalah sebuah kaleng
tempat-buang-air. Kaleng jang menguapkan bau tidak enak itu adalah perpaduan dari tempat buang-air-
ketjil dan tempat melepaskan hadjat-besar. Ia terbagi dua untuk masing-masing keperluan itu. Perkakas jang
buruk ini tingginja sekira dua kaki dan lebar dua kaki. Setiap pagi aku harus menjeretnja dari bawah tempat-
tidur, kemudian mendjindjingnja kekakus dan membersihkan kaleng itu. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 56 dari 109
Malam demi malam dan tak henti-hentinja selama sebulan setengah aku mengangkat kaleng itu keatas
tempat-tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannja dihadapanku.
Ia kualas dengan beberapa lapis kertas sehingga tebal dan aku mulai menulis. Dengan tjara begini aku
bertekun menjusun pembelaanku jang kemudian mendjadi sedjarah politik Indonesia dengan nama
,,lndonesia Menggugat'. Dalam buku ini aku mengungkapkan setjara terperintji penderitaan jang
menjedihkan dari rakjatku sebagai akibat penghisapan selama tiga setengah abad dibawah pendjadjahan
Belanda. Thesis tentang kolonialisme ini, jang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa dibeberapa negara
dan jang diguratkan dengan kata jang bernjala-njala, adalah hasil penulisan diatas kaleng tempat-buangair
jang bertugas ganda itu.
18 Agustus 1930, setelah delapan bulan meringkuk dalam tahanan. perkara ini dihadapkan dimuka
pengadilan. Setjara formil aku dituduh melanggar Pasal 169 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
menjalahi pasal 161,-171 dan 153. Ini adalah 'de Haatzaai Artikelen' jaitu pasal-pasal pentjegah penjebaran
rasa bentji. Setjara formil aku dituduh ,,mengambil bagian dalam suatu organisasi jang mempunjai tudjuan
mendjalankan kedjahatan disamping........ usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda............"
Gedung pengadilan jang terletak di Djalan Landraad penuh sesak oleh manusia. Udara didalam terasa
menjesakkan. Langit-langit papan jang berwarna suram bahkan menambah pekatnja kesuraman dari udara
jang melemaskan dalam ruang pengadilan itu. Ketika aku memulai pidatoku tiada satupun terdengar suara.
Tiada satupun jang bergerak. Tiadaa gemerisik. Hanja putaran lembut dari kipas-angin diatas kepala
terdengar merintih. Sambil berdiri diatas bangku-pesakitan jang ditinggikan aku menghadap kemedja-hidiau
hakim dan aku mulai berbitjara. Aku berbitjara berdjam-djam. Pokok-pokok dakwaan terhadap Belanda
kukemukakan menurut jang sesungguhnja. Setelah hampir mendekati achir, ketenanganku jang biasa
melebur mendjadi pernjataan keketjewaan. Aku teringat kembali ketika terpaksa berhenti sebentar dan
berusaha menguasai pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu mentjetuskan perasaan.
,,Pengadilan menuduh kami telah mendjalankan kedjahatan. Kenapa ? Dengan apa kami mendjalankan
kedjahatan, tuan-tuan Hakim jang terhormat ? Dengan pedang ? Dengan bedil ? Dengan bom ? Sendjata kami
adalah rentjana, rentjana untuk mempersamakan pemungutan padjak, sehingga rakjat Marhaen jang
mempunjai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani padjak jang sama dengan orang
kulitputih jang mempunjai penghasilan minimum 9.000 setahun.
,,Tudjuan kami adalah exorbitante rechten, hak-hak luarbiasa dari Gubernur Djendral, jang singkatnja
setjara peri-kemanusian tidak lain daripada pengatjauan jang dihalalkan. Satu-satunja dinamit jang pernah
kami tanamkan adalah suara djeritan penderitaan kami. Medan perdjoangan kami tak lain daripada gedung-
gedung pertemuan dan surat-suratkabar umum.
,,Tidak pernah kami melanggar batas-batas jang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pernah kami
mentjoba membentuk pasukan serdadu-serdadu rahasia, jang berusaha atas dasar nihilisme. Kami punja
modus operandi ialah untuk menjusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam tjara-tjara jang legal.
,,Ja, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau
mengadakan perobahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan
kata 'sedang'. Tuan-tuan Hakim jang terhormat, sedangkan seekor tjatjing kalau ia disakiti, dia akan
menggeliat dan berbalikbalik. Begitupun kami. Tidak berbeda daripada itu..,Kami mengetahui, bahwa
kemerdekaan memerlukan waktu untuk mentjapainja.
Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tertjapai dalam satu helaan nafas sadja. Akan tetapi
kami masih sadja dituduh, dikatakan 'menjusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan
terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh ditahun 30'. Djikalau ini memang benar,
penggeledahan massal jang tuan-tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat
persembunjian sendjata-sendjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun jang dapat diketemukan.
,,Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan ! Seperti tidak ada sendjata jang lebih tadjam lagi daripada golok, bom
dan dinamit itu. Semangat perdjoangan rakjat jang berkobar-kobar akan dapat menghantjurkan manusia
lebih tjepat daripada ribuan armada perang jang dipersendjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa
tank dan meriam. Akan tetapi suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepertjajaan. Ja, kepertjajaan,
dan itulah jang kami punjai. Itulah sendjata rahasia kami.
,,Baiklah, tentu orang akan bertanja, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan jang engkau
perdjoangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersendjata ?' BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 57 dari 109
,,Saja akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim jang terhormat, dengan segala kedjudjuran hati kami tidak tahu
bagaimana atau dengan apakah langkah terachir itu akan dilakukan. Mungkin djuga Negeri Belanda achirnja
mengerti, bahwa lebih baik mengachiri kolonialisme setjara damai. Mungkin djuga kapitalisme Barat akan
runtuh.
,,Mungkin djuga, seperti sudah sering saja utjapkan, Djepang akan membantu kami. Imperialisme bertjokol
ditangan bangsa kulitkuning maupun ditangan bangsa kulitputih. Sudah djelas bagi kita akan kerakusan
keradjaan Djepang dengan menaklukkan semenandjung Korea dan mendjalankan pengawasan atas Manchuria
dan pulau-pulau di Lautan Pasifik. Pada suatu saat jang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaja
penjembelihan besar-besaran dari Djepang. Saja hanja mengatakan, bahwa ini adalah kejakinan saja
djikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul kekiri dan kekanan, maka Pemerintah Kolonial
tidak akan sanggup menahannja.
,,Oleh karena itu, siapakah jang dapat menentukan terlebih dulu rentjana kemerdekaan dari negeri kami,
djikalau kita tidak tahu apa jang akan terdjadi dalam masa jang akan datang. Jang saja ketahui, bahwa
pemimpin-pemimpin P.N.I. adalah pentjinta perdamaian dan ketertiban. Kami berdjoang dengan
kedjudjuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanja menghendaki
kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakjat kami.
,,Saja menolak tuduhan mengadakan rentjana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersendjata.
Sungguhpun begitu, djikalau sudah mendjadi Kehendak Jang Maha-Kuasa bahwa gerakan jang saja pimpin
akan memperoleh kemadjuan jang lebih pesat dengan penderitaan saja daripada dengan kebebasan saja,
maka saja menjerahkan diri dengan pengabdian jang setinggi-tingginja kehadapan Ibu lndonesia dan mudah-
mudahan ia menerima nasib saja sebagai pengorbanan jang harum-semerbak diatas pangkuan persadanja.
Tuan-tuan Hakim jang terhormat, dengan hati jang berdebar-debar saja, bersama-sama dengan rakjat dari
bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim !"
Ketika aku dibawa kembali kerumah pendjara, wakil penuh dari Pemerintah menundjukkan keramahannja
dengan mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginja sebuah suratkabar menulis tentang kedjadian ini dengan
djudul ,,Meester ir. Kievet de Jonge kelihatan berdjabatan tangan dengan pengatjau kotor". Sesudah tiap
sidang jang banjaknja 19 kali itu, maka ada seorang Belanda jang berani memuat tulisantulisan
disuratkabarnja Het Indische Volk mengenai perlakuan jang sungguh-sungguh tidak adil terhadapku. Dengan
semakin hangatnja tadjuk rentjana jang dibuatnja, maka kerut dahi rekan-rekannja semakin dalam. Mr. J.E.
Stokvis banjak kehilangan kawan karena persoalanku.
Dimalam akan didjatuhkan putusan pengadilan, enam orang kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu pergi
kerumah Dr. Sosrokartono, seorang ahli kebatinan jang sangat dihormati di Bandung. Kemudian ditjeritakan
kepadaku, bahwa keenam orang itu ngin menenangkan pikirannja dan sungguhpun hari sudah lewat malam,
mereka datang djuga kerumah ahli kebatinan itu, tanpa ada perdjandjian terlebih dulu. Sesampai disana
seorang pembantu membukakan pintu dan menjampaikan, ,,Pak Sosro sudah menunggu- nunggu" dan
mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah korsi dalam setengah lingkaran.
Kawan-kawanku itu tentu heran. Dengan tidak bertanja terlebih dulu akan maksud kedatangan mereka, ahli
kebatinan itu hanja mengutjapkan tiga buah kalimat: ,,Sukarno adalah seorang Satria. Pedjoang seperti
Satria boleh sadja djatuh, akan tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunja tidak lama lagi."
Dihari berikutnja Gatot Mangkupradja, Maskun, Supriadinata dan Sukarno didjatuhi hukuman. Hukuman
Sukarno jang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran satu setengah kali
dua seperempat meter. Empat tahun lamanja aku tidak melihat matahari.
Pembela-pembelaku naik banding ke Rand van Justitie, akan tetapi pengadilan tinggi ini tetap berpegang
kepada keputusan hukuman. Tidak lama setelah itu kami dipindahkan kedalam lingkungan dinding tembok
jang tinggi dari pendjara Sukamiskin.
Bab 12
Pendjara Sukamiskin
DELAPAN bulan lamanja aku berada dalam penahanan keras. Jang dapat kulihat hanja pendjaga selku. Kalau
tawanan-tawanan lain tidak ada lagi dipekarangan, aku baru dibawa keluar sarangku selama setengah diam
pagi dan sekali lagi setengah djam diwaktu sore. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk berbitjara
dengan Gatot. Belanda dengan sengadja memisahkan kami. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 58 dari 109
Aku tidak pernah mendapat perlakuan jang kedjam. Sesungguhnja aku selalu diperlakukan terlalu baik. Kalau
tadinja pedjabat pemerintah selalu mentjatat segala gerak-gerikku, maka sekarang petugas pendjara selalu
mendjaga supaja aku tidak mengadakan protes terhadap segala sesuatu. Perlakuan jang berlebih-lebiban
demikian itu sama sadja hebatnia dengan kekedjaman, oleh karena jang terachir ini masih memberi
kesempatan untuk berhubungan dengan manusia.Karena mereka kuatir aku akan berhubungan dengan kawan-
kawan senasib dan merusakkan tjara mereka berpikir, aku dipekerdjakan dekat Direktur pendjara. Dengan
demikian pendjagaan terhadap diriku lebih diperkuat. Aku dipekerdjakan dipertjetakan dimana aku
membanting-tulang memeras keringat dalam puluhan rim kertas untuk didjadikan buku-tjatatan. Aku
menjeret kertas itu mengempanja, memuat dan membongkar mesin-penggaris-dan-potong jang besar dan
penuh gemuk itu. Mulai dari matahari terbit aku membuat garis diatas kertas. Sehari penuh, hari berganti
hari, kerdjaku tidak lain dari membuat garis-garis itu. Pekerdjaan jang membosankan untuk orang seperti
Sukarno. Sehari-hari hanja membuat garis.
Diwaktu djam makanpun dianggap terlalu berbahaja untuk mentjampurkan ,,Sukarno orang berbahaja"
dengan orang Indnnesia lainnja. Aku ditjampurkan dengan orang Belanda hukuman tingkat tinggi, seperti
mereka jang dihukum karena penggelapan uang djabatan atau korupsi. Satu-satunja jang dapat kubitjarakan
dengan Belanda kelas tinggi ini adalah mengenai makanan atau keadaan tjuatja. Para petugas tetap
mendjaga agar aku tidak membitjarakan soal-soal politik.
Di Sukamiskin aku membiasakan diri makan tjepat. Bahkan sekarangpun, kalau aku mengadakan djamuan-
makan kenegaraan, aku sudah selesai makan sebelum setengah dari para tetamuku dilajani. Tjoba pikir,
kami semuanja ada kira-kira 900 orang. Kamar-makan jang berukuran ketjil itu hanja mempunjai 25 medja
kaju, masing-masing memuat sepuluh orang. Kami makan setjara bergiliran. Gong berbunji, setiap orang
masuk dengan membawa piring aluminium, tempat sajur alumimum, tjangkir dan sendok. Enam menit
kemudian kelompok ini berbaris menudju kran-air diluar untuk mentjutji alat makannja dan sementara itu
rombongan 250 orang jang lain berbaris masuk. Enam menit kemudian rombongan jang lain lagi. Tak ubahnja
seperti membuat barang dalam pabrik sadja setjara berurutan.
Kami mandi menurut waktu. Aku diberi waktu enam menit untuk rnembersihkan seluruh badan, penuh
dengan minjak dari kepaia sampai kekaki jang melekat ditangan, kaki dan pipi. Setiap enam menit giliran
jang lain. Dan kami ada setengah lusin orang jang berebut air dibawah satu pantjoran.
Banjak kebiasaan-kebiasaan siang dan malam dalam bui masib terbawa-bawa olehku dalam 35 tahun ini. Aku
sudah terbiasa berbaring diatas tempat jang keras dan tipis, begitupun sekarang Sebagai Kepala Negara aku
tidak tidur diatas alas sutera dan kasur empuk. Sesungguhnja aku sering turun dari tempat-tidur jang enak
dan menggeletak diatas lantai. Aku lebih enak tidur dengan tjara begitu.
Setelah beberapa bulan dalam pengasingan ini, aku dibolehkan menerima kue dan telor dari luar. Makanan
ini mula-mula diperiksa dengan teliti oleh pendjaga. Sungguhpun demikian, berita masih dapat lolos dengan
pengiriman makanan ini, oleh karena sebelum masuk tahanan aku sudah mengatur tanda-tanda, sehingga
djikalau terdjadi sesuatu jang tak dapat dihindarkan, maka orang jang paling dekat kepadaku masih dapat
mengadakan hubungan. Dalam hal kabar buruk Inggit mengirimkan telor-asin. Ini terdjadi beberapa kali.
Akan tetapi jang kuketahui hanjalah bahwa ada kabar buruk. Hanja itu. Dan ini pulalah jang membikinku
seperti orang gila, karena tidak mengetahui bala apa jang telah menimpa. Rupanja sudah mendjadi sifat
manusia untuk bertahan terhadap kesulitan. Inilah saat-saat jang menjiksa diriku.
Isteriku diberi kelonggaran untuk berkundjung hanja dua kali dalam seminggu dan surat-suratku selalu
diteliti. Djadi, saluran informasi jang paling banjak bagiku adalah buku-buku agama jang diperkenankan
dibawa dari luar. Aku mengakali suatu tjara dengan menggunakan lobang-lobang djarum. Umpamakan Inggit
mengirimiku Quran pada tanggal 24 April. Aku harus membuka Surah 4 halaman 24 dan dengan udjung-djari
aku meraba dengan teliti. Dibawah huruf-huruf tertentu terdapatlah bintik bekas lobang djarum. Tjaranja
seperti huruf braille. Dibawah huruf A terasa bintik ketjil. Dibawah huruf N sebuah bintik lagi dan seterusnja.
Dengan djalan demikian aku dapat mengetahui isi berita dihari-hari selandjutnja.
Kalau isteriku membawakan telor biasa, aku meneliti kulitnja teriebih duiu sebelum memakannja. Satu
tusukan peniti berarti ,,kabar baik". Dua tusukan ,,seorang kawan ditangkap". Tiga tusukan berarti
,,Penjergapan besar-besaran. Semua pemimpin ditangkap''.
Ibu dan bapakku tidak pernah datang. Mereka tidak akan sanggup memandangi sianak-sajang terkurung
dalam kandang jang sempit, jang pandjangnja hanja limabelas ubin dan lebar duabelas ubin itu. Mereka
tidak akan sanggup melihat aku dikeluarkan seperti binatang jang digiring untuk diangin-anginkan. Kakakku
Sukarmini datang dua kali, ia bekerdja dengan semangat jang bernjala-njala untuk P.N.I. Kami menggunakan
gerakan tangan atau lain-lain sebagai tanda pemberitaan. Kalau ia menarik telinganja, menjilangkan djarinja BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 59 dari 109
aku mengerdipkan mata, ataupun menggerakkan salahsatu tangan jang kelihatannja kosong sadja atau
menggerakkan mukanja, semua ini membawa artinja sendiri-sendiri. Ia bisa banjak berbitjara dengan djalan
ini.
Ketika pertamakali melihatku ia surut memandangi wadjahku. Selain dari berat badanku jang semakin
berkurang, iapun kaget melihat kulitku. Dua kali ia datang, dua kali pula ia memberikan komentar jang
sama. ,,Karno, kau sudah djadi hitam!"
,,Memang," aku tersenjum lesu. ,,Aku sudah djauh lebih hitam dari biasa."
,,Kenapa begitu ?" ia berteriak. ,,Kau diapakan oleh mereka ?"
,,Tidak diapa-apakan, tapi aku jang mernbikin kulitku begini." djawabku. ,,Dua kali dalam sehari kami diberi
kesempatan keluar sel selama beberapa menit. Ada jang menggunakan kesempatan ini untuk berdjalan-
djalan atau gerak-badan atau bermain seperti main bola. Ada lagi jang duduk-duduk berteduh dibawah
pohon."
,,Kau bagaimana !" tanjanja.
,,Aku berbaring-baring ditanah untuk meresapkan kedalam tubuhku chasiat dari sinar matahari jang
membakar.''
,,Aku tak pernah melihatmu berdjemur begitu.",,Memang selama ini tidak. Sebetulnja aku pusing karena
terlalu banjak tjahaja matahari. Tapi aku harus mengeringkan tubuhku. Sel itu sangat dingin, gelap dan
lembab, djadi inilah satu-satunja djalan untuk memanaskan tulang-tulangku jang didalam sekali."
Kekedjaman jang paling hebat jang dapat rnengganggu pikiran manusia adalah pengasingan. Sungguh hebat
akibatnja ! la dapat menggontjangkan dan membelokkan kehidupan orang. Aku menjaksikan kedjadian-
kedjadian jang memilukan hati Aku menjaksikan kawan setahanan mendjadi gila karena sjahwatnja. Dengan
mata kepalaku sendiri aku melihat mereka melakukan ,,onani". Pemuasan nafsu terhadap diri sendiri. Aku
mengetahui dan telah menjaksikan akibat jang menakutkan daripada pengasingan terhadap laki-laki jang
normal.
Dihadapanku laki-laki melakukan pertjintaan dengan laki-laki lain. Seorang Belanda jang tjerdas dan
potongan orang gede-gede membanting-tulang seperti budak dibagian benatu pendjara. Aku sedang berada
dekatnja ketika pendjaga pendjara menjampaikan kepadanja bahwa ia akan dipindahkan bekerdja ketempat
jang lebih tjotjok dengan pembawaan mentalnja daripada pekerdjaan membudak jang telah dilakukannja
begitu lama. ,,Kami akan dipindahkan tuan besok," kata pendjaga itu. ,,Mulai dari sekarang tuan tidak perlu
lagi membungkuk dibak-uap dan tangan tuan tidak akan mengelupas lagi dalam air jang mendidih. Karena
kelakuan tuan jang baik, tuan diberi pekerdjaan ringan dirumah-obat."
Belanda itu mendjadi takut. Mulutnja bergerak gugup. ,,0 tidak. teriaknja sambil menggapai tangan
pendjaga itu. ,,Tidak ......... tidak......ach, tidak. Djangan aku dipindahkan kesana."
Pendjaga jang keheranan itu menjangka orang tahanan itu salah dengar. ,,Tuan tidak mengerti," kata
pendjaga mengulangi. ,,Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerdjakan jang lebih mudah."
,,Djangan........ djangan," orang tahanan itu membela pendiriannja. ,,Pertjajalah padaku, aku tidak mau
keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerdja dibagian benatu. Biar bekerdja keras."
,,Kenapa ?" tanja pendjaga tidak pertjaja.
,,Karena," bisiknja, ,,Tempatnja tertutup disini dan aku selalu dilingkungi orang sepandjang waktu. disini aku
bisa berhubungan rapat dengan orang-orang disekelilingku. Sedang dirumah-obat aku tak mendapat
kesempatan ini dan tidak akan bisa menggeser pada laki-laki lain. Djangan.......djangan pindahkan aku
kesana. Inilah akibat pengurungan terhadap manusia.
Sungguh banjak persoalan homoseksuil diantara orang kulitputih. Seorang Belanda berambut keriting, dengan
pundaknja jang lebar dan sama seperti laki-laki lain jang bisa dilihat dimana-mana, telah didjatuhi hukuman
empat tahun kerdja berat. Kedjahatannja, karena bermain-main dengan anak-anak muda. Tapi walaupun
dihukum berkali-kali untuk menginsjafkannja, namun nampaknja ratusan anak laki-laki jang berada BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 60 dari 109
disekelilingnja adalah satu-satunja obat bagi penjakitnja, wallahu'alam. Hukumannja telah habis dan dipagi
ia meninggalkan pendjara, kukira dia bisa baik lagi.
Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk dibangku depan dikelilingi oleh delapan atau sembilan
anak-anak muda. Orang kulitputih berambut pirang dan berbadan besar duduk dikelas kamhing jang
disediakan untuk orang Bumiputera tentu mudah diketahui orang. Terutama kalau perhatiannja tidak
terpusat kepada film. Djadi, kembalilah ia mengajunkan langkah menudju bui. Pendjara bukanlah obatnja. Ia
kembali keselnja jang lama sebelum keadaannja berobah.
Djenis manusia jang begini berkumpul disuatu tempat dikota. Suatu hari terdjadi ribut-ribut disebuah hotel
dan polisi datang. Seorang pemuda kedapatan terbaring dilantai disalahsatu kamar menangis dan mendjerit.
Ia dalam keadaan telandjang dan mendjadi apa jang disebut pelatjur. Langganannja adalah tiga orang
Belanda berbadan tegap dan kekar. Apakah jang mendjadi sebab dari kegemparan ini ? Anak pelatjur itu
kemudian menerangkan sambil tersedusedu, ,,Mula-mula jang satu itu dari Korps Diplomatik ingin dengan
saja, lalu kawannja. Sekarang jang ketiga mau dengan saja lagi. Saja tjapek. Saja katakan, saja tidak
sanggup lagi dan apa tindakannja ? Dia memukul saja !"
Orang kulitputih itu dimasukkan kesel dibawahku. Disini ia berusaha lagi menawarkan kegemarannja itu.
Pada waklu tidak ada orang disekelilingku, kutanjakan hal in kepadanja. ,,Kenapa?" tanjaku. ,,Kenapa
engkau mau bertjinta denganku ?" Dan ia mendjawab, ,,Karena disini tidak ,ada perempuan."
Aku mengangguk, ,,Memang benar. Aku sendiri djuga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana bisa
..........
"Kemudian ia menambahkan, ,,Jah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?"
,,Ooooh," kataku terengah. ,,Kau sakit !"
Sudah tidak ragu lagi bahwa, kehidupan dalam kurungan menghantjurkan, merobek-robek kehendak jang
normal daripada daging. Ja, bahkan Kitab Indjil menjatakan, bahwa seorang Laki-laki akan melekat. pada
isterinja. Aku senang berada dalam usia jang masih muda dan berkembang dalam kehidupan ini; seorang jang
kuat dan perasa ketika pintu-besi menutup dibelakangku. Badanku ditawan. tapi semangatku mendjerit-
djerit didalam. Uratsjarafku berteriakteriak oleh siksaan dikesunjian malam. Keinginan biasa untuk
memuaskan diri jang dimiliki oleh laki-laki atas karunia Tuhan jang Maha-Pemurah, tidak padam-padamnja,
hanja disebabkan oleh karena seorang hakim memukulkan palu dan berkata, ,,Perkara ditutup !"
Setiap hari Natal orang-orang dari Bala Keselamatan menjumbangkan makanan jang dibungkus untuk orang
tahanan jang diserahkan oleh lelaki dan perempuan berpakaian sopan jang tidak akan membangkitkan berahi
kami orang kurungan. Diminggu terachir tahun 1930 seorang perempuan tua djelek-kotor lagi gemuk jang
berumur lebih dari 60 tabun terhujung-hujung masuk selku menjampaikan kemurahan hatinja. Ia
memberikan roti Natal. Aku sadar bahwa aku berada dalam keadaan parah, ketika wanita gemuk seperti babi
itu kelihatan indah diruang-mataku. Selama satu saat dalam perdjoangan batin, maka dalam pikiranku ia
adalah wanita paling tjantik jang pernah kudjumpai.
Aku dikurung dengan sungguh-sungguh di Sukamiskin dengan perlakuan jang sama dengan pelanggar hukum
berkebangsaan Belanda, supaja aku tidak ,,meratjuni" udara masjarakat tahanan Indonesia. Sukamiskin
adalah tempat bagi pendjahat-pendjahat besar dan terbagi dalam tiga kelas. Mereka jang terkena satu tabun
pendjara, termasuk Gatot, Maskun dan Supriadinata. Kemudian terdapat kelas untuk hukuman dari satu
sampai sepuluh tahun dan kelompok jang terbesar mendjalani hukuman lebih dari sepuluh tahun. Ada
seorang pembunuh jang satu medja denganku, akan tetapi dia hanja dikenakan duapuluh tahun. Dan tidak
dikenakan seumur hidup, karena jang dibunuhnja hanja seorang Indonesia. Jang seorang lagi dihukum 15
tahun bersama-sama dengan saudaranja karena perampokan bersendjata dan melakukan kekedjaman diluar
peri-kemanusiaan.
Nomor selku 233. Menaiki tangga-besi ditingkat kedua disudut. Seluruh blok itu dikosongkan buatku.
Tetanggaku jang terdekat adalah seorang pembunuh jang merampas seorang wanita, kemudian
membunuhnja dengan tga orang anaknja.
Kawanku jang paling rapat ialah seorang Indo, bapaknja Belanda totok dan ibunja seorang Indonesia dari
Priangan. Setiap kali mendekatiku ia selalu mentjoba memperlihatkan keramahannja. ,,Kawan" ini jang
sangat sajang kepadaku dihukum karena membunuh ajahnja jang selalu menjiksa ibunja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 61 dari 109
Di Sukamiskin njawa manusia tidak ada harganja, karena ia bisa. melajang untuk memperoleh sebungkus
rokok. Setiap orang berada dalam kekurangan dan memerlukan begitu banjak, sehingga orang dapat
menjuruh penggal musuhnja hanja dengan menjodorkan dua batang rokok dan membisikkan, ,,Kelihatan
orang disana itu jang pakai tanda dikuduknja ? Bunuh dia dan ini bagianmu." Pertjakapan selandjutnja tidak
perlu. Dengan djawaban ,,Baik" jang gembira orang itu lalu berdjalan-djalan mendekati sasarannja dan
menanamkan pisau kedalam perut orang jang dimaksud. Sukamiskin penuh dengan orang jang kehilangan
semangat hidup sebagai tahanan. Ada seorang jang dikenakan 53 tahun pendjara. Orang seperti dia ini tidak
akan rugi apa-apa kalau membunuh seorang kawan dalam kurungan. Terutama kalau dia bisa memperoleh
barang mewah dengan tjara itu. Begitulah lingkungan dimana putera sang fadjar berada.
Para pembelaku mentjoba meminta, agar aku mendjalani hukuman diluar dinding tembok itu seperti djuga
orang hukuman jang lain, akan tetapi permohonan ini ditolak. Hindia Belanda tidak keberatan memberi
kesempatan kepada Jack si Tukang Bunuh untuk mendjalani hukuman diluar, akan tetapi untuk Singa Podium
hal ini terlalu berbahaja.
Ternjata bahwa masuk bui disuatu saat sama sadja dengan jang lain. Otakku menderita kekurangan darah.
Kepalaku lekas sekali penuh dan selalu lelah. Sekalipun mereka mentjoba untuk menghantjurkan otak kami
sampai tak seorangpun jang mempunjai kemauan sendiri, namun aku tidak mau mentalku dirobek-robek oleh
pendjara. Bagaimanapun djuga aku membikin hari-hariku sendiri. Orang dapat melakukan hal ini kalau kuat
mentalnja. Djikalau orang menggantungkan tjita-tjitanja setinggi bintang-bintang dilangit. Aku memaksakan
diriku untuk menjadari bahwa tjita-tjita jang besar datangnja pada saat-saat jang sepi, lalu aku mentjoba
membuktikan kebenaran dari kata-kata mutiara, ,,Tjita-tjita jang besar dapat membelah dinding pendiara."
Ketika membangkitkan diri setjara mental, aku tidak sadja mendjadi biasa dengan keadaanku, akan tetapi
djuga kupergunakan keadaan itu untuk menjusun rentjana-rentjana dimasa jang akan datang.
Aku bahkan dapat berkata, bahwa aku berkembang dalam pendjara. Ketetapan hatiku semakin kuat. Ruang
pendjara adalah ruang sekolahku.
Karena dilarang membatja buku-buku jang berbau politik, maka aku mulai mendalami Islam. Pada dasarnja
bangsa kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakjat jang tahu akan kewadjiban kami terhadap Tuhan.
Ini dapat disaksikan di Bali, dimana seni dan tradisi samasekali dipersembahkan kepada Jang Maha Kuasa.
Kalau orang berdjalan-djalan dikampung-kampung di Djawa Barat, akan terdengar rakjat menjanjikan ajat-
ajat Al-Quranulkarim disore hari. Di Djawa Tengah berdiri sebuah monumen dari kehidupan kerohanian jang
tinggi dari nenek-mojang kami. Ia itu tjandi Prambanan sebagai lambang dari puntjak peradaban Hindu. 50
kilometer darisitu mendjulang tjandi Borobudur, tjandi Buddha jang terbesar diseluruh dunia. Orang
mendjumpai mesdjid dan geredja disetiap kampung. Bangsa Indonesia semendjak lahirnja mengabdi kepada
Tuhan. Tidak mendjadi soal djalan kepertjajaan mana jang ditempuh, kami mengakui bahwa hanja
kekuasaan Divina Providensia-lah jang dapat melahirkan kami melalui abad-abad penderitaan. Kami adalah
bangsa jang hidup dari pertanian dan siapakah jang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Chalik, Jang Maha
Pentjipta. Kami terima ini sebagai kenjataan hidup.
Djadi aku adalah orang jang takut kepada Tuhan dan tjinta kepada Tuhan sedjak dari lahir dan kejakinan ini
telah bersenjawa dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama jang teratur karena bapak tidak
mendalam dibidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani
keluarga Tjokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadijah. Gedung pertemuannja
terletak diseberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan dari djam delapan sampai djauh tengah
malam 100 orang berdesak-desak untuk mendengarkan peladjaran agama dan ini disusul dengan tanja-
djawab. Sungguhpun aku asjik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betul-betul dan
sungguh-sungguh sampai aku masuk pendjara. Didalam pendjaralah aku mendjadi penganut jang sebenarnja.
Tak pernah orang meragukan adanja Jang Maha Esa kalau orang bertahun-tahun lamanja terkurung dalam
dunia jang gelap. Seseorang merasa begitu dekat kepada Tuhan pada waktu ia mengintip melalui lobang
ketjil dalam selnja dan melihat bintang-bintang, kemudian merunduk disana selama berdjam-djam dalam
kesunjian jang sepi memikirkan akan suatu jang tidak ada batasnja dan segala sesuatu jang ada. Pengasingan
jang sepi mengurung seseorang samasekali dari dunia luar. Karena pengasingan jang sepi inilah aku semakin
lama semakin pertjaja. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinja bersembahjang dengan tenang.
Kepadamu kukatakan, saudara-saudaraku jang membatja buku ini—harapanku, sebagai usaha untuk dapat
memahami Sukarno sedikit lebih baik—lima kali sehari aku sudjud setjara lahir dan batin dalam mengadakan
hubungan dengan Maha Pentjipta. Mungkinkah orang seperti itu djadi Komunis ? Dimanapun aku berada
didunia ini aku sudjud menghadap ke Ka'bah disaat datangnja waktu Subuh, Lohor, Asar, Magrib dan Isa—dan
menjembahNja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 62 dari 109
Segala sesuatu kudjawab dengan ,,Insja Allah" — kalau Tuhan menghendaki. Tanjalah, ,,Hei Sukarno, apakah
engkau pergi ke Bogor minggu ini ?" Aku akan mendjawab, ,,Insja Allah. Kalau Tuhan mengizinkan, saja
pergi." Mungkinkah orang jang demikian dapat mendjadi seorang Komunis ?
Aku sungguh-sungguh mulai menelan Al Quran ditahun 28. Jaitu, bila aku terbangun aku membatjanja. Lalu
aku memahami Tuhan bukanlah suatu pribadi. Aku menjadari. Tuhan tiada hingganja, meliputi seluruh
djagad. Maha Kuasa. Maha Ada. Tidak hanja disini atau disana, akan tetapi dmana-mana. Ia hanja satu—
Tuhan ada diatas puntjak gunung, diangkasa, dibalik awan, diatas bintang-bintang jang kulihat setiap
malam. Tuhan ada di Venus, dalam radius dari Saturnus. Ia tidak terbagi-bagi dimatahari dan dibulan. Tidak.
Ia berada dimana-mana, dihadapanku, dibelakangku, memimpinku, mendjagaku. Ketika kenjataan ini
hinggap dalam diriku, aku nsjaf bahwa aku tidak perlu takut-takut lagi, karena Tuhan tidak lebih djauh
daripada kesadaranku. Aku hanja perlu memandjat kedalam hatiku untuk menemuiNja. Aku menjadari
bahwa aku senantiasa dilindung-Nja untuk mengerdjakan sesuatu jang baik. Dan bahwa Ia memimpin setiap
langkahku menudju kemerdekaan.
Suatu malam, djauh dilarut malam, sambil bersudjud aku membisik kepada-Nja, ,,Tuhan," aku mendo'a,
,,setiap manusia dapat mendjadi seorang pemimpin asal sadja dari keluarganja sendiri. Akan tetapi saja
mengetahui bahwa Engkaulah Gembala jang sesungguhnja. Saja insjaf bahwa satu-satunja suara kemanusiaan
adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnja saja telah bersiap memikul tanggung-djawab dari
segala apa jang saja kerdjakan—tidak sadja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang djuga terhadap-Mu."
Orang Belanda memandang kami, orang Islam, sama dengan penjembah berhala. Dalam bahasa Indjil kami
adalah ,,keturunan jang sesat dan hilang", kata mereka. Jah, penjembah berhala atau tidak, aku seorang
Islam jang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali jang tertinggi dari Vatikan. Bahkan Presiden
dari Irlandiapun mengeluh padaku bahwa ia hanja memperoleh satu.
Dalam pendjaraku aku mempeladjari semua agama untuk melihat apakah aku ini termasuk salah seorang
jang ,,sesat dan hilang". Kalau ia lebih baik untukku, aku akan mengambilnja. Kupeladjari agama Kristen
pada Pendeta Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada ,,Chotbah diatas Bukit". Inspirasi Jesus
menjemangati orang-orang sjahid jang mula-mula, karena itu mereka berdjalan menudju kematiannja sambil
menjanjikan Zabur pudjian untukNja, karena mereka tahu ,,Kami meninggalkan Keradjaan ini, akan tetapi
kami akan memasuki Keradjaan Tuhan". Aku berpegang teguh pada itu. Aku membatja dan membatja
kembali Indjil. Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali mengulang
mempeladjarinja.
Kemudian aku membatja Al Quran. Dan hanja setelah meneguk pikiran-pikiran Nabi Muhammad s.a.w. aku
tidak lagi mentjari-tjari buku sosiologi untuk memperoleh djawaban atas bagaimana dan mengapa segala-
galanja ini terdjadi. Aku memperoleh seluruh djawabannja dalam utjapan-utjapan Nabi. Dan aku sangat
puas.
Untunglah aku telah menemukan Tuhan dan djadilah Ia kawan jang paling kusajangi dan kupertjajai
bilamana aku menderita pukulan jang hebat. Suatu pendjara tak obahnja bagai sebuah djala ikan. Ia
mempunjai lobang-lobang. Melalui salahsatu lobang datanglah berita? bahwa P.N.I.—anak jang dilahirkan dan
aku sebagai bapaknja, kuasuh dan besarkan sehingga dewasa—telah terpetjah mendjadi dua dan persatuan
terpetjah-belah. Aku tak sanggup mendengarnja. Untuk inilah kiranja aku dipendjarakan, untuk inilah
kiranja aku harus mengalami penahanan jang keras. Aku sudah sanggup melalui siksaan batin, penghinaan
dan pengasingan, karena aku senantiasa dapat melhat diruang mataku tudjuan jang sutji. Tapi sekarang—
keadaan ini melebihi kekuatanku. Aku melakukan sesuatu jang tidak biasa kulakukan dalam hidupku. Aku
menangis.
Aku tidak menangis pada waktu drtangkap. Aku tidak mentjutjurkan airmata ketika aku dipendjarakan. Aku
tidak patah hati ketika anak kuntji berputar dan rnengurungku dari dunia bebas. Pun tidak barangkali kalau
aku merasa tertekan dan menjesal terhadap diriku sendiri dalam liang kuburku. Akupun tidak meratap bila
menerima kabar bahwa orangtuaku sakit. Akan tetapi ketika aku mendengar partaiku petjah dan kesempatan
ketjil bagi tanah-airku semakin menipis, kukatakan padamu saudara, aku tak dapat menerimanja. Aku
meratap seperti anak ketjil.
Namun tak sekalipun aku mempunjai pikiran untuk menjerah. Tidak pernah. Kekalahan tak pernah memasuki
pikiranku. Aku hanja mendoa, ,,Insja Allah, saja akan mempersatukannja kembali."
Sementara itu, ,,Indonesia Menggugat" telah tersebar keseluruh pengadilan di Eropa dan banjak protes resmi
datang dari ahli-ahli hukum. Pengadilan Austria mengemukakan bahwa, karena tuduhan terhadapku tidak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 63 dari 109
pernah dibuktikan, maka putusan hukuman terhadap Sukarno sangat tidak berperikemanusiaan. Para ahli-
hukum Belandapun mengeluarkan pendapatnja. Seorang professor hukum di Djakarta, karena kaget oleh
kekerasan itu, mengeluarkan pendapatnja dalam sebuah madjalah. Ia dipanggil setelah itu oleh Direktur
Kehakiman jang marah kepadanja dan menegurnja karena telah berani menentang keputusan Agustus dari Sri
Ratu dimuka umum. Demikian banjak tekanan telah dilakukan, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga
Gubernur Djendral merobah hukumanku mendjadi dua tahun.
Sesaat sebelum aku dibebaskan, ada sebuah tulisan dengan djudul ,,Saja Memulai Kehidupan Baru" jang
menguraikan tentang diriku dan disebarkan setjara luas. Dipagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada waktu
aku dalam pakaian preman untuk pertamakali selama dua tahun, Direktur Pendjara mengir:ngkanku kepintu
keluar dan bertanja, .
lr. Sukarno, dapatkah tuan menerima kebenaran dari kata-kata ini ? Apakah tuan betul-betul akan memulai
kehidupan baru ?" Sambil memegang dengan tangan kananku tiang pintu menudju kemerdekaan, aku
mendjawab, ,,Seorang pemimpin tidak berobah karena hukuman. Saja masuk pendjara untuk
memperdjoangkan kernerdekaan, dan saja meninggalkan pendjara dengan pikiran jang sama."
Bab 13
Keluar Dari Pendjara
BELANDA telah mendjalankan daja-upaja untuk mentjegah agar kebebasanku djangan menimbulkan pawai
dari rakjat. Dimana-mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tertjapai maksud tersebut, maka djalanan
disekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menjampaikan supaja bertindak lebih bidjaksana menghadapi
ini dan tidak mengadakan penjambutan setjara besar-besaran. Sungguhpun demikian Inggit dan beberapa
ratus pengikut jang setia berbaris dengan rapi dipinggir djalan pada djam tudjuh pagi jang tjerah, ketika aku
mengachiri tugasku dengan masjarakat Belanda.
Sudah mendjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan, apabila seseorang keluar dari
pendjara. Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang Indonesia bila keluar dari pendjara sadja. Jang
kumaksud, segala kedjadian—seperti dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ja, malah
keluar dari pendjarapun—ditandai oleh suatu pesta-kedamaian. Karena itu penjesuaian diriku kepada
masjarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan setjara berangsur-angsur. Dari kakus jang gelap dan sepi
langsung melompat kerumah Inggit, tempat bajar-makan jang ribut.
Peristiwa itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, disaat
itu jang pertama-tama kuinginkan bukanlah pesta jang gembira atau alas tempat-tidur sutera jang
mentereng maupun mandi jang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Jang pertama-tama kuinginkan adalah
seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanja kehendak ini terpaksa mengalah dulu. Karena
soal-soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menjerbu siang dan malam hendak melihat
wadjahku. Dimalam itu, kawanku Bung Thamrin menjatakan kepadaku, ,,Mata Bung Karno menjinarkan
tjahaja baru."
,,Tidak," djawabku. ,,Mata saja menondjol karena saja semakin kurus. Kalau muka kurus, mata kelihatan
tjekung."
,,Tidak," ia mehegaskan., Mata Bung djadi sangat besar. Biar gemuk sekalipun dia tetap bersinar menjala-
njala. Saja melihat ada tjahaja baru didalamnja."
,,Entahlah," djawabku, ,,Saja hanja merasa bahwa saja betul-betul dikuasai oleh suatu semangat."
Pidatoku jang paling terkenal jang pernah kuutjapkan selama hidupku adalah pidato jang kusampaikan
dimalam berikutnja. Aku berangkat ke Surabaja dengan kereta ekspres untuk menjampaikan kepada Kongres
Indonesia Raya supaja mereka tetap membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang sudah kembali
lagi dan sudah siap untuk berdjoang disisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata jang berlinang-linang, aku
mengachiri pidato itu dengan menjatakan ,,Ketjintaanku terhadap tanah-air kita jang tertjinta ini belumlah
padam. Pun tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,. Tidak. Tekad saja hendak
berdjoang. Insja Allah, disatu saat kita akan bersatu kembali." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 64 dari 109
Menghukum Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk
pendjara Sukamiskin, P.N.I. dengan resmi dinjatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil-wakilku
mendirikan Partai Indonesia, jang disingkat Partindo, akan tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaja.
Kegiatannja terbatas, djarang mengadakan pertemuan-pertemuan dan kalaupun diadakan, sedikit sekali
dikundjungi orang, karena tidak adanja tokoh jang mendjadi lambang kekuatan.
Karena tidak adanja kepemimpinan jang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh berpendidikan
Negeri Belanda jaitu Sutan Sjahrir dan Hatta, tidak menjetudjui tjara-tjara bergerak dari kawan-kawan
seperdjoangannja. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut Sukarno. Akibatnja
adalah perpetjahan jang tak dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan Gatot, jang dibebaskan
beberapa bulan sebelumku, untuk membenteng djurang jang timbul itu. Mereka tak sanggup. Maskun lalu
mengirimkan pesan kedalam pendjara, ,,Saja terlalu muda. Saja tidak dapat melakukannja." Gatot kemudian
memberi kabar lagi, ,,Kami berdua terlalu ketjil untuk dapat melakukan pekerdjaan ini. Lebih baik kami
tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar."
Segera setelah aku keluar dari pendjara, ketika anggota-anggotaku jang lama meminta supaja aku memasuki
Partindo, aku menolak. ,,Tidak," kataku dengan tegas. ,,Pertama saja harus berbitjara dengan Hatta dulu.
Saja ingin mendengar isi-hatinja."Mereka menjatakan kepadaku, ,,Rakjat akan mengikuti kemana Bung Karno
pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari Bung Hatta ?"
,,Tidak ada pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saja lebih tjondong untuk menempa kedua-duanja
kembali mendjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan kejakinanku untuk persatuan. Perpetjahan
ini hanja menguntungkan pihak lawan."
Aku bertemu dengan pihak jang bertentangan dirumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. ,,Baiklah
saudara-saudara, sekarang apa sesungguhnja jang mendjadi perbedaan pokok kita," kataku ketika kami
bertemu pertamakali.
Dengan tjara Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil," Hatta mengemukakan, seorang jang berlainan
samasekali denganku dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi
dagang dan pembawaannja. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang lulusan Fakultas
Ekonomi di Rotterdam, tjara berpikirnja masih sadja menurut buku-buku, mentjoba menerapkan rumus-
rumus ilmiah jang tidak dapat dirobah kedalam suatu revolusi. Seperti biasa ia langsung memasuki pokok
persoalan tanpa omong-iseng setjara berolok-olok sebelumnja. ,,Pada waktu Bung Karno dengan ketiga orang
kawan kita lainnja masuk pendjara, seluruh pergerakan bertjerai-berai. Saja mempunjai ide untuk
mengadakan suatu inti dari organisasi jang akan melatih kader jang digembleng dengan tjita-tjita kita."
,,Apa gunanja kader ini ? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakjat-djelata dan membakar hati
mereka, seperti selama ini telah saja kerdjakan ?"
,,Tidak," katanja. ,,Konsepsi saja kita mendjalankan perdjoangan melalui pendidikan praktis untuk rakjat, ini
lebih baik daripada kita bekerdja atas dasar daja penarik pribadi dari satu orang pemimpin Dengan djalan
demikian, kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berdjalan dengan pimpinan bawahan
jang sudah sadar betul-betul untuk apa kita berdjoang. Dan menurut gilirannja, mereka akan menjampaikan
tjita-tjita ini kepada generasi jang akan datang, sehingga untuk seterusnja banjak tenaga jang akan
melandjutkan tjita-tjita kita. Kenjataannja sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak ada partai.
Ia terpetjah samasekali oleh karena tidak adanja kepertjajaan rakjat kepada partai itu sendiri Iang ada hanja
kepertjajaan terhadap Sukarno."
,,Mendidik rakjat supaja tjerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun, Bung Hatta. Djalan jang Bung
tempuh baru akan tertjapai kalau hari sudah kiamat," kataku.
,,Kemerdekaan tidak akan tertjapai selagi saja masih hidup" katanja mempertahankan. ,,Tapi setidak-
tidaknja tjara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berdjalan selama bertahun-tahun."
,,Siapakah jang akan djadi pimpinan Bung ? Bukukah ? Kepada siapakah djutaan rakjat akan berpegang ?
Kepada kata-katakah ? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata-kata. Kita tidak mungkin memperoleh
kekuatan dengan kata-kata dalam buku peladjaran. Belanda tidak takut pada kata-kata itu. Mereka hanja
takut kepada kekuatan njata, jang terdiri dari rakjat jang menggerumutinja seperti semut. Mereka tahu,
bahwa dengan djalan mentjerdaskan rakjat kekuasaan mereka tidak akan terantjam. Memang dengan
mentjerdaskan rakjat kita terhindar dari pendjara, akan tetapi kita djuga akan terhindar dari kemerdekaan." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 65 dari 109
,,Rakjat akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk pendjara sekali lagi," djawab Hatta. ,,Rakjat akan
mengatakan: Itu salahnja sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka, sedang dia
tahu bahwa Belanda akan menjetopnja. Dia itu gila. Djadi perdjoangan untuk kemerdekaan masih akan
memakan wakru bertahun-tahun lagi. Rakjat harus dididik dulu kearah itu."
Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati jang tawar aku meninggalkan pertemuan jang berlangsung
selama beberapa djam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta samasekali tidak berobah
pendiriannja. Masih aku mentjoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa bulan aku
mentjoba. Pada pertemuan kami selandjutnja Hatta mengatakan, ,,Saja hendak memberikan djandji kepada
para pengikut kita. Kalau Belanda menghalang-halangi generasi kita ini untuk bergerak—dan tiap gerakan
selandjutnja daripada para pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan jang demikian—maka tak
usahlah generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinja kita mengadjar para intellektuil jang muda-muda
jang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan adjaran-adjaran kita dan jang nanti
dibelakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni adalah djandji kepada tanah-air kita. Ia
merupakan soal prinsip. Soal kehormatan."
Aku tak pernah mengerti samasekali perkara tetek-bengek setjara intellektuil jang chajal ini. Hatta dan
Sjahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa jang mereka kerdjakan hanja bitjara. Tidak ada tindakan,
hanja bersoal-djawab. Aku mentjoba usaha jang terachir. ,,lni adalah peperangan," kataku. ,,Suatu
perdjoangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi jang akan datang ataupun
suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan jang lebih bawah dapat memegang tegah
prinsip-prinsip jang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui. Kehormatan tidaklah pada
tempatnja dalam perdjoangan mati-matian ini. Ini adalah semata-mata persoaian kekuatan. Disaat Bung
Hatta dan Sjahrir madju terus dengan usaha pendidikan pada waktu itu pula kepala saudara-saudara akan
dipukul oleh musuh.
,,Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending—pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan.
Dengan tenaga jang terhimpun kita dapat mendesak musuh kepodjok dan kalau perlu menjerangnja.
Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebidjaksanaan penting jang berasal dari buku-buku tidaklah
praktis. Saja kuatir, Hatta, saudara berpidjak diatas landasan revolusioner jang chajal."
Pada tahun-tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku mendjadi eksponen-utama
dari non-kooperasi, sedang dia sebagai eksponen-utama dengan pendirian bahwa kerdja-sama dengan
Pemerintah tidak mendjadi halangan untuk mentjapai tudjuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam
getaran-gelombang jang sama. Tjara jang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah dengan
mentjeritakan tentang kedjadian disuatu sore, ketika dalam perdjalanan kesuatu tempat dan satu-satunja
penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis jang tjantik. Disuatu tempat jang sepi dan
terasing ban petjah. Djedjaka Hatta adalan seorang jang pemerah muka apabila bertemu dengan seorang
gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.
Ketika dua djam kemudian supirnja kembali dengan bantuan ia mendapati gadis itu berbaring enak disudut
jang djauh dalam kendaraan itu dan Hatta mendengkur disudut jang lain. Ah, susah orangnja. Kami tak
pernah sependapat mengenai suatu persoalan.
Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua.
Pergerakan ini hidup kembali.
Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi dimasa jang
akan datang, aku memperoleh kemadjuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku duduk
dimuka lajarputih. Maskun dan aku djuga mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin bersama-sama
koran partai, ,,Fikiran Rakjat", jang diselenggarakan dirumahku. Kemudian ada lagi orang jang bajar-makan.
Sudah tentu orang-orang seperti Maskun tidak bajar. Bagaimana aku bisa minta uang-makan daripadanja ?
Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannja kepada isterinja.
Kuingat betul dihari perkawinannja akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak berbulan
madu ketjuali mungkin dibawah pohon kaju disuatu tempat, karena segera setelah perkawinan mereka
tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah mendjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak bila orang
mengadakan pertjintaan dengan gadis itu. Dan karena kami tidak mempunjai kasur dihari-hari itu, djadi
tidak ada jang akan berderak-derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanja dipisahkan oleh dinding bilik,
kami tidak terganggu satu sama lain. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 66 dari 109
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa jang sulit dengan biro arsitek ini,
karena orang lebih menjukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan dengan kedua
bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Djadi setidak-tidaknja kami harus mendapatkan
271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami tidak menerimanja. Penghasilan Rooseno jang
terutama didapatnja dari mengadjar. Oleh karena kantongnja selalu lebih penuh daripada kami, kebanjakan
pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanja.
Sekali sebulan aku muntjul untuk menanjakan bagian keuntunganku. Karena aku mentjukupi kebutuhanku
dari kantongnja, aku akan bertanja, ,,Berapa kau berutang padaku ?"
Dan dia akan mendjawab, ,,Bagian Bung 15 rupiah."
Kataku, ,,Baik." Aku tidak pernah memeriksanja. Apa jang dikatakannja aku pertjaja sadja.
Kami mengadakan pembagian kerdja jang adil dan tjukup beralasan. Rooseno mendjadi insinjur-
kalkulatornja. Dia mengerdjakan soal-soal detail. Dia jang membuat perhitungan dan kalkulasi dan
mengerdjakan perhitungan ilmu pasti jang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur bentuk-bentuk
jang baik dari gedung-gedung. Sudah tentu tidak banjak perlu diatur, akan tetapi sekalipun demikian ada
beberapa buah rumah jang kurentjanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rentjanaku bagus-
bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah.
Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanja orang-orang jang tidak pernah
menghirup apinja nasionalisme jang dapat melibatkan dirinja dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan
adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada djiwaku. Inilah semua jang kumakan. Aku
sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnja ? Mendajungkan partaiku dan rakjatku setjara
bersama-sama kepulau harapan, untuk itulah aku hidup.
Sesuai dengan tjita-tjita dari P.N.I., partaiku jang lama, tentang bagaimana seharusnja seorang pemimpin
berpakaian, maka anggota-anggota mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti kain
katun atau linnen, Sukarno tiba-tiba diberi kain shantung Ganti kemedja-sport dengan leher terbuka,
Sukarno mulai memakai dasi jang bagus. Pergerakan kami begitu pertjaja padaku, sehingga pakaian ini
diusahakan mereka setjara sukarela. Aku teringat badju suteraku jang pertama. Pembelinja bernama
Saddak. O. dia sungguhsungguh memudjaku.
Ini seperti jang dikatakan oleh Indjil, ,,Jang kaja djiwanja membantu jang miskin dalam satu persaudaraan
jang besar." Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian—atau uang Dipagi hari aku keluar
dari pendjara sebagai seorang bebas, seorang laki-laki jang belum pernah kulihat sebelumnja,
menggenggamkan kepadaku dengan begitu sadja uang empatratus rupiah, lain tidak karena aku tidak
mempunjai uang. Pada waktu sekarang orang ini, jang bernama Dasaad , adalah seorang kapitalis-sosialis
jang paling kaja di Indonesia dan kawanku jang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menjodorkan redjeki jang
ketjil itu kepadaku, ia tak mengharapkan akan memperolehnja kembali. Seingatku ia tak pernah menerima
uang itu kembali. Aku masih sadja memindjam-mindjam kepadanja.
Dalam masa ini aku menjadari untuk lebih berhati-hati dengan utjapan-utjapanku. Pengaruhku terhadap
rakjat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata, ,,Makan batu", mereka akan memakannja.
Kukira ini timbul disebabkan karena apa jang kuutjapkan dengan keras sesungguhnja adalah apa jang mereka
sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati-sanubarinja. Aku merumuskan perasaan-perasaan jang tersembunji
dari rakjatku mendjadi istilah-istilah politik dan sosial, jang tentu akan mereka utjapkan sendiri kalau
mereka dapat. Aku menggugat jang tua-tua untuk mengingat kembali akan penderitaan-penderitaannja dan
melenjapkan penderitaan-penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk memikirkan nasib mereka
sendiri dan bekerdja keras untuk masa depan. Aku mendjadi mulut mereka.
Sebagai pemuda aku mula-mula mengisap kata-kata jang tertulis dari negarawan-negarawan besar didunia,
kemudian kuminum utjapan-utjapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok semua ini
dengan falsafah dasar jang digali dari hati rakjat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakjat Indonesia, lalu
mendjadi Bung Karno, penjambung lidah rakjat Indonesia.
Aku berbitjara kapan sadja dan dimana sadja. Didalam dan diluar. Dibawah teriknja sinar matahari dan
dimusim hudjan. Pada suatu kali air hudjan sudah sampai kemata-kakiku dan oleh karena banjak tempat jang
tidak bisa ditempuh, maka aku baru sampai djam tiga pada rapat jang seharusnja diadakan mulai djam
sembilan pagi. Rakjat jang sudah bertjerai-berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpajung daun pisang dan
lain-lain jang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat tjuatja demikian buruknja, sehingga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 67 dari 109
sekalipun pakai djashudjan aku basah-kujup oleh air jang mentjutjur dari langit. Diwaktu itulah aku
mengadjak, ,,Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menjanji bersama-sama ?"
Disela-sela petir jang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian jang lain. Lalu ratusan
suara berpadu. Dan tidak lama antaranja menggemalah 20.000 suara mendjadi satu paduan jang gembira.
Dilapangan terbuka jang sederhana ini di Djawa Tengah maka njanjian-njanjian rakjat mengikat kami
mendjadi satu, ikatannja lebih erat daripada rantai besi. Ketika hudjan semakin reda, aku mengachiri
wedjanganku. Tak seorangpun jang meninggalkan tempat itu.
Salah seorang pengikut kemudian setelah itu memberikan komentarnja, ,,Ini adalah suatu kedjadian jang
tidak dapat dilakukan oleh orang semata-mata. Bakat jang demikian itu terletak Antara Bung dan alam."
Kusampaikan kepadanja, ,,Sebabnja ialah karena ini bukanlah kemauan saja pribadi untuk memperdjoangkan
kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saja mendjalankan kata-kata Tuhan. Untuk pekerdjaan inilah saja
dilahirkan.''
Pada waktu sekarang, orang-orang anti-Sukarno tertawa mengedjek bahwa segala sesuatu diatur terlebih
dulu untuk Sukarno sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanja mengatakan, memang benar bahwa rakjat
berdjedjal-djedjal dikiri-kanan djalan kalau Bapak akan berpidato. Djuga adalah benar, bahwa orang dapat
memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak akan dapat dipaksa untuk tersenjum dengan penuh
kepertjajaan atau memandang dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira. Aku
meminta kepada manusia umumnja untuk menjelidiki muka-muka jang menengadah dari rakjatku kalau aku
berpidato. Mereka melihat tersenjum kepadaku. Mendo'akan, Menjintaiku. Ini semua tidak dapat dipaksakan
oleh pemerintah.
Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda tidak
dapat menjuruh mereka BERHENTI tersenjum kepadaku dimasa tahun-tahun tiga-puluhan. Dengan tiba-tiba
semangat nasional mendjalari seluruh tanah-air. Dengan tiba-tiba keinginan merdeka menular kembali.
Aku berpidato di Solo dimana puteri-puteri dari kraton jang tjantikjantik pada keluar untuk
mendengarkanku. Wanita-wanita jang dipingit, dimuliakan dan jang halus ini begitu tertarik sehingga salah
seorang jang hamil memukul-mukul perutnja berkali-kali dan mendengungkan, ,,Saja ingin seorang anak
seperti Sukarno." Mendadak aku mendapat ilham. Aku menjerahkan kepada mereka beberapa petji dan
meminta mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk pergerakan kami. Ah,
Bung, sungguh menggemparkan.
Aku malahan mentjaplok terhadap Belanda. Seorang pemuda bernama Paris mendjadi muridku dan pindah
samasekali kepihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Djawa Timur. Patih ditempat
itu djuga hadir. Sebagai seorang pedjabat kolonial, adalah mendjadi kewadjibannja jang tak dapat disangkal
lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang jang sangat baik hati ini berdiri
mendengarkan pidatoku dengan sungguh-sungguh dan dengan seluruh hatinja. Tanpa berpikir dia lupa pada
dirinja sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk mendengarkan pidaboku. Diantara orang
banjak itu terdapat djuga Van der Plas, Direktur Urusan Bumiputera. Dan itulah kami. Kamilah orang
Bumiputera. Pekerdjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi orang-orang jang mengawasi kami—termasuk
patih itu.
Patih itu seketika djuga diperhentikan. Timbullah pertengkaran jang hebat didalam Dewan Rakjat. Thamrin
mentjoba untuk mempertahankannja. Dia mengemukakan alasan, ,,Apa salahnja dia turut bersorak?
Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak ? Mengapa dia harus
kehilangan djabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan diri ?"
Thamrin mentjoba dengan gagah-berani, sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan djabatannja. Ini
adalah djabatan jang penting dan dia orang jang penting. Orang jang baikhati ini mempunjai anak dan isteri
jang harus ditanggungnja. Akupun susah memikirkannja.
Polisi mulai memperkeras djaring-djaring mereka. Surat-suratkabar ketika itu penuh dengan berita
pemberontakan diatas kapal Zeven Provincien, jaitu sebuah kapal-perang jang para opsirnja terdiri dari
Belanda dan orang-bawahannja orang-orang Indonesia. Belanda, karena mengetahui tentang tjaraku
mempergunakan suatu keadaan. Pada waktunja, mengeluarkan larangan untuk mengadakan pembitjaraan
setjara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang rakjat untuk bangkit dan
memberontak. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 68 dari 109
Persoalanku adalah, bagaimana tjaranja untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato berikutnja.
Tangan polisi sudah gatalgatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan gelisah. kamipun
tegang dan gelisah. Kami mengatur atjara sehingga aku mendjadi pembitjara pertama. Ini maksudnja untuk
membikin bingung polisi, jang tentu tidak akan menjangka bahwa aku akan memberanikan diri untuk
menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan djalan ini, sekalipun mereka akan
menghentikan rapat kami, aku telah menjampaikan pesan-pesanku dan rakjat tentu sudah akan puas
melihatku. Djadi, berdirilah aku dan langsung berbitjara tentang peristiwa kapal Zeven Provincien itu. Polisi
langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup.
Aku kembali lagi ketempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar-hitam mereka, seperti aku takkan
lepas-lepas dari daftar itu.
Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa jang membatja ,,Fikiran Rakjat" atau memakai
petji akan dikenakan tahanan.
Kemudian aku menulis brosur jang bernama ,,Mentjapai Indonesia Merdeka". Brosur tersebut dianggap sangat
menghasut, sehingga ia dirampas dan dinjatakan terlarang segera setelah ia mulai beredar. Banjak jang
disita. Rumah-rumah digeledahi. Kumpulan jang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung. Perangkap
diperkeras.
Tanggal satu Agustus kami mengadakan pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Djakarta. Pertemuan ini
selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menudju djalan raja, disana sudah berdiri
seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang didepan rumah. Kedjadian ini adalah pengulangan
kembali dari penangkapan jang terdahulu. Dia rnengutjapkan kata-kata jang sama, ,,Tuan Sukarno, atas
nama Sri Ratu saja menangkap tuan."
Bab 14
Masuk Kurungan
Tepat delapan bulan sampai kepada hari-harinja aku sudah berada lagi dalam tahanan. Penahanan kembali
ini tidak disebabkan oleh satu kedjadian jang chusus. Kesalahanku tjuma oleh karena aku tidak menutup
mulutku jang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari pendjara.
Komisaris itu membelebab kepadaku. ,,Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berobah. Tidak ada harapan tingkah-
laku tuan bisa baik lagi. Menurut tjatatan kami, tuan hanja beberapa djam sadja sebagai orang bebas ketika
tuan naik kereta-api menudju Surabaja, lalu tuan kembali bikin katjau lagi dan sedjak waktu itu tidak
berhenti-henti bikin ribut. Djadi djelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa mendjadi
pengatjau."
,,Kemana tuan bawa saja ?" tanjaku. ,,Masuk tahanan." ,,Di Bandung lagi?"
,,Sekarang tidak. Sekarang ini tuan kami tahan di Hopbiro Polisi drsini."
Dikantor Polisi mereka tidak mengurungku. Kepadaku hanja ditundjukkan sebuah bangku pandjang dan
membiarkanku disana. Aku bertanja hepada perwira pengawas,
,Tuan, apakah bisa saja memanggil isteri saja ?" Dia tidak mendjawab.
,,Dapatkah saja menjampaikan `pesan kepada pembela saja?" Ia masih tidak mendjawab.
,,Bolehkah saja bertemu dengan salah seorang anggota Volksraad atau salah seorang pemimpin dari partai
saja ?" Tidak ada djawaban.Dia hanja menarik korsi kemedjanja dan menulis, terus menulis suatu dokumen
jang berisi tidak kurang dari seribu halaman dakwaan kepadaku. Karena aku seorang djahat jang begitu
berbahaja, mereka tidak membiarkanku seorang diri. Polisi jang bersendjata lengkap mengawalku dibangku
itu.
Aku nongkrong disana berdjam-djam lamanja. Dan aku mulai memikir. Selama saat-saat jang tegang dalam
kehidupan orang, seringkali pikiran manusia memusatkan diri kepada soal-soal jang paling tidak berarti atau
matjam soal-soal jang kelihatannja tidak ada sangkutpautnja. Ia seakan-akan mendjadi pintu pengaman
daripada tabi'at manusia untuk mengeluarkan tekanan ketakutan jang bertjokol dalam airinja. Disini aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 69 dari 109
mendjadi seorang jang kalah dua kali. Apakah jarg akan terdjadi terhadap diriku ? Apakah aku hanja akan
didjebloskan kedalam pendjara ? Apakah mereka melemparkanku ketempat pengasingan ? Atau
menggantungku ? Apakah sesungguhnja ? Apa ? Dalam usia 32 tahun maka seluruh kehidupanku ini sudah
menjelesaikan lingkarannja.
Satu-satunja jang dapat kulihat dalam pikiranku hanjalah permainan bulutangkis dan bolanja jang terbang
kian kemari menurut kemauan dari para pemainnja. Nehru jang telah sebelas kali keluar-masuk pendjara
pada suatu waktu menjamakan dirinja dengan bola bulutangkis. Sambil duduk disana aku berkata pada diriku
sendiri. ,,Tidak karno, engkau lebih menjerupai sebuah ranting dalam unggun kajubakar jang sedang
menjala." ,,Kenapa begitu ?" Aku bertanja pada diriku sendiri. ,,Karena," datang djawabnja, ,,ranting itu
turut mengambil bagian dalam menjalakan api jang berkobar-kobar, akan tetapi dibalik itu iapun dimakan
oleh apa jang hebat itu. Keadaan ini sama dengan keadaanmu. Engkau turut mengambil bagian dalam
mengobarkan apinja revolusi, akan tetapi..........
"Pertjakapan dengan diriku sendiri terputus dengan tiba-tiba. Djelas bahwa aku sesungguhnja dapat
disamakan dengan sepotong kajubakar, karena tiba-tiba—achirnja—nampaknja akupun dimakan oleh djilatan
api jang menggelora itu dalam mana aku turut mengambil bagian sebagai kaju pembakarnja.
Aku menghilangkan pikiran ini dari ingatanku dan mentjoba memikirkan soal jang lain. Tidak lama kemudian
aku dikuasai oleh kelelahan, lalu tertidur diatas bangku kaju jang keras itu. Ketika tjahaja diluar masih
keabu-abuan, mereka memasukkanku kedalam kereta-api. Tempat selandjutnja adalah Sukamiskin. Tetapi
mereka tidak perasa. Aku tidak dimasukkan kedalam selku jang lama.
Mereka mengurungku dalam sebuah sel chusus, dibuat ditengah-tengah ruangan besar jang telah
dikosongkan. Disitulah aku terkurung disebuah sel sempit dalam ruangan jang besar. Dan seorang diri.
Delapan bulan lamanja aku hidup seperti seorang pertapa jang bisu.
Kemudian mulai lagi pemeriksaan. Tjara bekerdjanja adalah demikian, mula-mula orang ditahan, dihudjani
dengan ribuan pertanjaan. lalu dikirim djauh-djauh—untuk tidak kembali lagi. Sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam undang-undang luarbiasa, maka tidak perlu lagi d adakan pemeriksaan menurut hukum atau
pengesahan hukuman. Dengan hanja membuat keputusan sendiri untuk pembuangan, maka Gubernur
Djendral memerintahkan ribuan manusia untuk dibuang djauh-djauh untuk hilang begitu sadja tak tentu
rimbanja. Nampaknja Sukarno akan mengalami nasib jang demikian itu. Dengan tidak diadili terlebih dulu
hukuman sudah didjatuhkan kepadaku. Aku akan dibuang kesalahsatu pulau jang paling djauh. Berapa
lamakah ? Hingga semangatku dan djasadku mendjadi busuk.
Aku akan menghadapi pembuangan ini. Setelah pendjara, maka langkah selandjutnja akan menjusul setjara
otomatis. Sikapnja seakan-akan mereka sudah tjukup baik hati terhadapku dengan membebaskanku boberapa
bulan jang lalu. Dan aku membalas kebaikan mereka dengan berbuat hal-hal jang tidak baik seperti dahulu.
Nampaknja mirip seperti aku tak tahu berterimakasih.
Djam lima-tigapuluh disuatu pagi aku dimasukkan tjepat-tjepat kedalam kereta akspres dan dikurung dalam
kamar jang ketjil dari salahsatu gerbong jang sengadja dikosongkan. Dua orang berpakaian seragam
mengawalku. Seorang didalam. Seorang lagi diluar pintu. Sungguhpun aku tidak melihat tanda-tanda
kehadiran orang lain, kepadaku disampaikan bahwa keluargakupun ada dalam kereta-api itu. Keluargaku jang
baru bertambah terdiri djuga dari Ibu Amsi, mertuaku, dan Ratna Djuami, jaitu kemenakan Inggit jang masih
ketjiil dan mendjadi anak angkat kami. Menurut kebiasaan kami pengambilan anak angkat tidak memerlukan
pengesahan. Ia berarti bahwa seseorang tinggal denganmu dan engkau mentjintainja.
Sesampai di Surabaja keluargaku dipisahkan kehotel sedangkan aku disimpan lagi diantara empat dinding
tembok selama dua hari dua malam berada disana. Disinilah bapak dan ibu bertemu dengan si anak
tersajang, untuk mana mereka telah membina harapan-harapan jang begitu besar. Inilah pertamakali mereka
melihatku dibelakang djeradjak-besi dan aku kelihatan tidak banjak menjerupai Karno, pradjurit-pahlawan
besar dari Mahabharata itu. Pengalaman ini sangat menjajat hati mereka, hingga mereka hampir tak sanggup
memandangi keadaanku. Kedjadian ini sudah lebih dari tigapuluh tahun jang lalu, akan tetapi rasa pedih
jang meremukkan dari pertemuan kami itu masih tetap melekat dalam djiwaku sampai sekarang.
,,O, Karno........anakku Karno," bapakku tersedu-sedu, mentjurahkan seluruh kepiluan hatinja, ,,Apa jang
dapat kulakukanmengenai dirimu? Apa jang dapat kami kerdjakan untukmu ? Pertama, engkau meringkuk
beberapa tahun dalam tahanan, jang menjebabkan kesedihan hati kami jang amat sangat. Dan sekarang lagi
engkau dibuang djauh-djauh keluar Djawa. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 70 dari 109
"Pipikupun basah dengan airmata, akan tetapi aku berusaha untuk tersenjum sedikit. ,,Akan kuberikan segala
sesuatu, Pak, sekiranja saja mendapat kedudukan jang baik, jang akan memberikan kegembiraan kepada
orangtuaku sebagaimana sepantasnja dengan pendidikan jang diberikan kepada saja. Akan tetapi, rupanja
Tuhan tidak menghendakinja."
Sementara airmata mengalir diwadjahnja jang manis ibuku jang lembut hati itu membisikkan, ,,Sudah
suratan takdir bahwa Sukarno menjusun pergerakan jang menjebabkan dia dipendjarakan, lalu dibuang dan
kemudian dia akan membebaskan kita semua. Sukarno tidak lagi kepunjaan orangtuanja. Karno sudah
mendjadi kepunjaan rakjat Indonesia. Kami mau tidak mau menjesuaikan diri dengan kenjataan ini."
Kami hanja diizinkan bertemu selama tiga menit. Aku tjukup lama dibawa keluar sel untuk mendjabat tangan
bapak dan mentjium ibu. Kami merasa takut kalau pertemuan ini akan memisahkan kami untuk selama-
lamanja, kami takut kalau perpisahan jang tergesa-gesa ini adalah detik jang terachir kami dapat saling
memandangi wadjah satu sama lain.
Hari berikutnja, dengan roda-roda jang mentjiut melalui tikungan, aku dilarikan kepelabuhan dimana orang
telah berdjedjal-djedjal dipinggiran djalan untuk melambaikan utjapan selamat djalan dengan bendera-
bendera Merah-Putih dari kertas jang mereka buat sendiri. Dengan didampingi dikiri-kanan oleh dua orang
reserse, aku dibawa naik keatas kapal barang dan ditahan dikamar kelas dua disebelah kandang ternak.
Delapan hari kemudian kami sampai ketempat tudjuan: Pulau Bunga, pulau jang terpentjil.
Bab 15
Pembuangan
ENDEH, sebuah kampung nelajan telah dipilih sebagai pendjara terbuka untukku jang ditentukan oleh
Gubernur Djendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunjai
penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannja masih terbelakang. Mereka djadi nelajan. Petani kelapa.
Petani biasa.
Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia baru dapat ditjapai dengan djip selama delapan djam
perdjalanan dari kota jang terdekat. Djalan rajanja adalah sebuah djalanan jang tidak diaspal jang ditebas
melalui hutan. Dimusim hudjan lumpurnja mendjadi bungkah-bungkah. Dan apabila matahari jang
menghanguskan memantjar dengan terik, maka bungkah-bungkah itu mendjadi keras dan terdjadilah lobang
dan aluran baru. Endeh dapat didjalani dari udjung keudjung dalam beberapa djam sadja. Ia tidak
mempunjai telpon, tidak punja telegrap. Satu-satunja hubungan jang ada dengan dunia luar dilakukan
dengan dua buah kapal pos jang keluar-masuk sekali sebulan. Djadi, dua kali dalam sebulan kami menerima
surat-surat dan surat kabar dari luar.
Didalam kota Endeh terdapat sebuah kampung jang lebih ketjil lagi, terdiri dari pondok-pondok beratap
ilalang, bernama Ambugaga. Djalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan dimana
terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air-leding. Kalau hendak mandi aku membawa
sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnja jang dingin dan ditengah-tengahnja berbingkah - bingkah
batu. Disekeliling dan sebelah-menjebelah rumah ini hanja terdapat kebun pisang, kelapa dan djagung.
Diseluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun matjam hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga jang terpentjil itu, bagiku mendjadi udjung dunia.
,,Kenapa, ja ? Kenapa disini ?" Inggit bertanja.
,,Pulau Muting, Banda atau tempat jang djelek seperti itu, ketempat-tempat mana rakjat kita diasingkan,
tidak akan lebih baik daripada ini," keluhku dengan berat ketika kami memeriksa rumah jang gelap dan
kosong dimalam hari kami sampai disana. ,,Diwaktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan pembuangan,
mula-mula orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menjadari, biar kemanapun kita
dieksternir, kita dapat menjusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda achirnja memutuskan untuk
mengasingkan para pemberontak didalam negeri sadja, dimana mereka langsung dapat mengawasi kita.
,,Kenapa dipilih Flores ?" Inggit mengulangi ketika membuka kerandjang buku, satu-satunja kekajaan
pribadiku jang kami bawa. ,,Kebanjakan para pemimpin diasingkan ke Digul." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 71 dari 109
,,Itu makanja," kuterangkan sambil mengeluarkan buku-buku sekolah jang kubawa, sehingga setiap pagi dan
malam aku dapat mengadjar Ratna Djuami dirumah. ,,Di Digul ada 2.600 orang jang dibuang. Tentu aku akan
memperoleh kehidupan jang enak disana. Dapatkah kaubajangkan, apa jang akan diperbuat Sukarno dengan
2.600 pradjurit jang sudah disiapkan itu ? Aku akan merobah muka Negeri Belanda dari New Guinea jang
terpentjil itu."
Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah mendjadi nasibnja dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan
pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan. Akan tetapi aku djuga
dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinja sendiri. Dia susah mengenai diriku. Memang
terasa lebih berat untuk memandang seseorang jang ditjintai kena siksa daripada mengalami sendiri siksaan
itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menjaksikan suaminja direnggutkan dari kekuatan hidupnja, dari
tjita-tjitanja, dari kegembiraan hidupnja, bahkan direnggutkan sedikit dari kelaki-lakiannja. Aku mendjadi
seekor burung elang jang telah dipotong sajapnja. Setiap kali Inggit memandangiku, setiap kali itu pula
setetes darah menitik dari uratnja.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami djarang membitjarakan soal
jang rumit dari hati kehati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputus-asaan, namun aku mentjoba
menggembirakan hatinja. Aku selalu memperlihatkan wadjah jang baik, sehingga wadjah itu tidak
menundjukkan apa jang sesungguhnja tergurat dalam hatiku.
Ach, saat jang sangat tidak menjenangkan bagiku. Kedua reserse jang mengantarku menjerahkanku dari
kapal seperti menjerahkan muatan ternak jang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat sauh, kedua
orang dengan siapa aku hanja boleh berbitjara, diluar keluargaku, sudah pergi. Setiap orang menjingkir
daripadaku. Endeh kembali mendjadi pendjaraku, hanja lebih besar dari jang sudah-sudah. Disini bukan
sadja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang jang turut dengan
kami. Mertuaku, Ibu Amsi jang baik dan tersajang itu meninggal diatas pangkuanku. Akulah jang
membawanja kekuburan. Ia menderita sakit arterio-sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok paginja
ia tidak bangun-bangun. Keesokan harinja tidak bangun. Dihari berikutnjapun tidak. Aku menggontjang-
gontjang badannja dengan keras, akan tetapi dipagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah lima hari dalam
keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Dibulan-bulan pertama jang sangat menjiksa, ditempat pembuangan
itu dikala batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap djam setiap detik, diwaktu itu tidak satupun
perkataan jang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat tinggal bersama
dengan rukun adalah karena kami orang baik-baik. Aku djuga sedikit, barangkali. Ibu Amsi lebih sederhana
lagi daripada anaknja. Ia tidak bisa tulis-batja. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mentjintainja setulus hati.
Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannja. Aku sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu
tembok. Aku seorang diri mentjari batu-kali, memotong dan mengasahnja untuk batu-nisan. Dipekuburan
kampung jang sederhana melalui djalanan sempit djauh ditengah hutan berkumpullah beberapa gelintir
manusia untuk memberikan penghormatannja jang terachir. Ini adalah kemalanganku jang pertama. Dan,
terasa berat.
Satu-satunja manusia jang tinggal, dengan siapa aku dapat berbitjara, adalah Inggit. Disuatu malam ketika
kami duduk berdua diberanda ketjil, hanja berdua — seperti biasanja — Inggit mengalihkan pandangannja
sebentar dari djahitannja untuk mengungkapkan, ,,Tidak mungkin orang-orang disini tidak mengenalmu.
Mereka tentu sudah membatja tentang dirimu atau melihat gambarmu disuratkabar. Sudah pasti banjak
orang sini jang sudah mengenalmu. Sudah pasti banjak."
,,Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranja mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu
Belanda tidak mendjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakjat tidak tahu
samasekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini."
Aku mengerti kemana tudjuan Inggit. Ia ingin memperoleh djawaban, mengapa setiap orang menjingkir,
seperti aku ini hama penjakit. ,,Orang-orang jang terkemuka disini, tidak mengatjuhkanku, bukan karena
tidak kenal. Akan tetapi djustru karena mereka mengenalku," kataku. ,,Orang-orang terpandang disini terdiri
dari orang Belanda, amtenar-amtenar bangsa kita dan orang-orang jang memerintah seperti Radja. Mereka
samasekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama-sama denganku. Aku tentu
akan menjebabkan mereka kehilangan kedudukannja."
,,Lagi pula, negeri ini terlalu ketjil," bisiknja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 72 dari 109
,,Jah," aku mengangguk dengan lesu, ,,negeri ini terlalu ketjil.?"
Kami keduanja membisu, akan tetapi bau dari pokok persoalan itu masih sadja mengapung dengan berat
dalam ruangan itu, seperti bau wangi-wangian jang murah. Akulah pertama memetjah kesunjian jang pekat
itu.
,,Orang tinggi-tinggi ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, ketjuali untuk memata-
mataiku. Bahkan kaum keluarganja dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka tidak mau
melanggarnja, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut."
Inggit menambahkan, ,,Kudengar adik Radja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda
mengusirnja dari sekolah di Surabaja. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapa;t lagi
mempeladjari politik."
,,Itulah jang kumaksud," kataku. ,,Mana mungkin ia djadi kawanku. Dia berada disini karena alasan jang
sama denganku — sebagai hukuman."
,,Tapi rakjat biasapun menjingkir dari kita," Inggit menegaskan dengan suara ketjil.
,,Aku tahu."
,,Djadi bukan karena kita tidak mau kenal."
,,Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal."
Inggit sedang mendjahit badju kebaja untuk dia sendiri. Sambil meletakkan djahitannja ia memandang
kepadaku.
,,Tjoba," aku merenung dengan keras, ,,di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada dalam
kurungan. Disini aku diasingkan dari masjarakat, diasingkan dari orang-orang jang dapat mempersoalkan
tugas hidupku. Orang disini jang mengerti, takut untuk berbitjara. Mereka jang mau berbitjara, tidak
mengerti. Inilah maksud jang terutama dari pembuangan ini. Baiklah ! Kalau begitu keadaannja, aku akan
bekerdja tanpa bantuan orang-orang terpeladjar jang tolol ini. Aku akan mendekati rakjat djelata jang
paling rendah. Rakjat-rakjat jang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakjat-rakjat jang
tak dapat menulis dan jang merasa dirinja tidak kehilangan apa-apa. Dengan begini, setidak-tidaknja ada
orang dengan siapa aku berbitjara."
Aku membentuk masjarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, budjang jang tidak bekerdja — inilah
kawan-kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelajan. Kukatakan padanja bahwa
tidak ada larangan berkundjung kerumahku. Dia datang kerumahku. Kemudian dia membawa Darham tukang-
djahit. Setelah itu aku datang ketempat mereka. Dan begitulah mulanja.
Aku mendekat kepada rakjat djelata, karena aku melihat diriku sendiri didalam orang-orang jang melarat ini.
Seperti dipagi jang berhudjan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri disudut beranda jang ketjil itu.
Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku ! Aku merindukan pulau Djawa, aku merindukan kawan-kawan untuk
mentjintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu jang dirampas dariku. Selagi duduk disana aku melihat
seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah-kujup. Tiba-tiba ia menggigil. Kukira belas-kasihku meliputi
seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun badanku kering,
aku serta-merta merasa basah-kujup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan
tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang jang miskin — baik dia miskin harta maupun
miskin dalam djiwanja.
Disamping kekosongan kerdja, kesepian dan ketiadaan kawan aku djuga menderita suasana tertekan jang
hebat sekali. Flores adalah puntjak penganiajaan pada hari-hari pertama itu. Aku memerlukan suatu
pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnja aku mulai menulis tjerita sandiwara.
Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah.
Karjaku jang pertama didjiwai oleh Frankenstein, bernama ,,Dr. Setan". Peran utama adalah seorang tokoh
Boris Karloff Indonesia jang menghidupkan majat dengan memindahkan hati dari orang jang hidup. Seperti
semua karjaku jang lain, tjerita ini membawakan suatu moral. Pesan jang tersembunji didalamnja adalah,
bahwa tubuh Indonesia jang sudah tidak bernjawa dapat bangkit dan hidup lagi. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 73 dari 109
Aku menjusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau jang mempunjai air tiga
warna di Pulau Bunga. Aku mendjadi direkturnja. Setiap tjerita dilatih malam hari selama dua minggu
dibawah pohon kaju, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanja mempunjai satu naskah, karena itu aku
membatjakan setiap peran dan para pemainku jang bermain setjara sukarela mengingatnja dengan
mengulang-ulang. Kalau orang dalam keadaan ketjewa, betapapun besarnja rintangan akan dapat
disingkirkannja. Inilah satu-satunja napas kehidupanku. Aku harus mendjaganja supaja ia hidup terus. Kalau
salah seorang tidak dapat memainkan perannja dengan baik, aku melatihnja sampai djauh malam. Aku
malahan berbaring berkalikali dilantai untuk memberi tjontoh kepada Ali Pambe, seorang montir mobil,
bagaimana memerankan dengan baik seseorang jang mati.
Untuk melatih anggota-anggota sehingga mentjapai hasil baik sungguh banjak kesukaran jang harus
ditempuh. Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan djurubahasa dari bahasa Endeh kebahasa Indonesia.
Tetapi Ali butahuruf. lidah Indonesianja masih kaku. Karena itu aku harus mengadjarnja dulu berbahasa
Indonesia sebelum aku dapat mengadjarkan perannja.
Perkumpulan semua terdiri dari laki-laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Tjukup aneh,
di Pulau Bunga jang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah— bernama Keo — dimana sampai
sekarang anak-anak gadis diizinkan mengadakan hubungan djasmaniah dengan laki-laki. Dan jang paling baik
diantara mereka — paling pandai dalam memuaskan laki-laki — itulah jang paling diidamkan untuk
perkawinan. Dalam umur dua-puluhan gadis-gadis ini adalah jang kuberi istilah ,,djenis Afrika-jang-belum-
beradab, liar dan tidak dapat didjinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua. Dalam umur
tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia empatpuluh ia adalah Amerika —
unggul dan djagoan. Sampai pada umur limapuluh tabun ia menjamai Eropa— laju dan berdjatuhan.
Lepas dari persamaan setjara ilmu bumi jang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang
peranan diatas panggung. bahkan djuga tidak nenek-nenek jang sudah berumur enampuluh tahun jang
mengingatkanku pada benua Australia — djustru terlalu djauh dari djalan jang ditempuh ! Alasan jang
pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bajangan. Jang kedua, wanita ini takut kepadaku. Dari
itu, aku memetjahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia
dimainkan oleh laki-laki.
Aku sendiri menjewa sebuah gudang dari geredja dan menjulapnja mendjadi gedung kesenian. Aku sendiri
jang mendjual kartjisnja. Setiap pertundjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain dihadapan 500
penonton. Ini adalah suatu kedjadian besar dalam masjarakat disana. Orang-orang Belanda djuga membeli
kartjis. Hasilnja dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami.
Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia
terlihat seperti hutan atau istana atau apa sadja jang hendak kami lukiskan. Aku membuat pita-pita reklame
dari kertas dan menggantungkannja ditempat-tempat umum seperti pasarmalam. Aku membuat alat dan
perabot kami. Aku melatih dua orang laki-laki dan dua wanita untuk menjanjikan kerontjong— lagu-lagu
gembira — jang diperdengarkan didalam waktu istirahat. Dan aku bersjukur atas usaha ini semua. Ia
memberikan keasjikan padaku. Ia mengisi detik-detik jang suram ini.
Setelah tiap kali pertundjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ja, aku bekerdja keras sekali untuk
menjelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menjenangkan hati pemain-pemainnja. Ini besar artinja bagiku.
Tidak ada jang dapat menghalang-halangiku bertindak. Aku mendjadi seorang penjelundup terkenal dan
berpengalaman dan aku djuga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelajaran antar-
pulau awak kapalnja adalah orang-orang Indonesia dan semua mereka mendjadi simpatisan. Ketika terdengar
bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi setjara pribadi menjelundupkan satu untukku dalam
pelajaran selandjutnja. Tidak ada kesukaran dalam hal ini.
Disuatu pagi jang saju turunlah dari sebuah kapal jang akan menudju Surabaja seorang stokar berbadan
tegap lagi kekar. Ia datang kepadaku didermaga jang penuh-sesak, seperti biasanja kalau kapal datang.
Dengan diam-diam dia membisikkan kepadaku, ,,Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menjelundupkan
Bung Karno. Tidak ada orang jang akan tahu."
,,Terimakasih, saudara. Lebih baik djangan," aku memandang kepadanja dengan perasaan terirnakasih.
,,Memang seringkali terbuka djalan seperti jang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran menggoda,
untak lari setjara diam-diam dan kembaili bekerdja bagi rakjat kita." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 74 dari 109
,,Kalau begitu mengapa tidak ditjoba sadja ?" ia mendesak. ,,Kami akan sembunjikan Bung Karno dan memb
awa Bung ke tempat kawan-kawan. Kami djamin selamat."
,,Kalau saja lari, ini hanja saja lakukan untuk memperdjoangkan kemerdekaan. Begitu saja mulai bekerdja,
saja akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Djadi tidak ada gunanja."
,,Apakah Bung Karno tidak bisa bekerdja setjara rahasia ?"
,,Itu bukan tjaranja Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang diatas. Dengan tetap tinggal disini rakjat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnja djuga menderita untuk tjita-tjita. Saja telah memikirkan
budjukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk-baiknja. Nampaknja lebih baik bagi Sukarno untuk
tetap mendjadi lambang daripada pengorbanan menudju tjita-tjita."
,,Sekiranja disuatu saat berobah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami."
Aku merangkul kawanku itu kedadaku dan tanpa ragu-ragu mentjiumnja pada kedua belah pipinja.
,,Terimakasih, disatu masa kita semua akan merdeka, begitupun saja."
,,Bung betul-betul jakin ?" stokar itu bertanja.
Djawabanku chas menurut tjara Djawa. Aku mendjawab dengan kiasan. ,,Kalau ada asap dibelakang kapal
ini, tentu ada apinja. Kejakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal.'llmu'ljakin. Kalau saja berdjalan
dibelakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka kejakinanku berdasarkan
penglihatan.'Ainu'Ijakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saja salah. Kalau saja memasukkan tangan saja
kedalam api itu dan tangan saja hangus, maka ini adalah kejakinan jang sungguh-sungguh berdasarkan
kebenaran jang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku'ljakin inilah saja memahami, bahwa kita akan
merdeka.
,,Belanda berbaris berdampingan dengan kedju dan mentega, sedang kita berbaris bersama-sama dengan
mataharinja sedjarah. Disatu hari, betapapun djuga, kita akan menang. Dalam fadjar itu, saudara, saja tidak
akan lari dengan diam-diam, akan tetapi saja akan berpawai keluar dari sini dengan kepala jang tegak."
Dikurangi dengan padjak, maka hasilku dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar
seminggu. Kemari kami karenanja sering kosong. Karena itu aku mentjari uang tambahan dengan
mendjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap
barang jang kudjualkan. Dengan mendjadjakannja dari rumah kerumah membawa tjontoh, aku berkata,
,,Njonja, harga saja lebih murah dari toko-toko disini. Apa njonja mau memesan sama saja ?"
Kemudian kukirim poswisel ketoko ini dan setelah selang boberapa kapal kain itu datang. Lamanja sampai
berbulan-bulan, akan tetapi satu hal jang ada padaku, jaitu waktu. Apa perlunja aku tjepat-tiepat ? Aku
malahan mendapat bagian jang ketjil dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat harga rahasia
antara kami berdua. Berapa lebih jang dia peroleh itu mendjadi bagiannja. Dengan djalan begini dia
mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknja djangan ada diantara kawan-kawanku di Djawa jang membanggakan diri, bahwa dia terus-
menerus membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa ini. Ja, mungkin ada satudua,
akan tetapi djarang sekali. Kalaupun ada kiriman jang datang, aku segera meneruskan sebagian besar dari
isinja kepada kawan-kawan jang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan djuga kalau aku memperoleh sisa
uang boberapa rupiah.
Sekalipun kami hanja punja uang sedikit, kami berhasil mentjukupi diri sendiri. Aku orang jang sederhana.
Kebutuhanku sederhana. Misalnja, aku tidak minum susu atau minuman lain jang datang dari luarnegeri, pun
tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sajur, buah-buahan, terkadang
ajam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sajuran diambil dari jang kutanam dipekarangan samping
rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelajan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, djuga untuk menikmati kesenangan jang ketjil-ketjil. Aku dibolehkan pergi
ketepi pantai untuk menjaksikan kawan-kawanku para nelajan, akan tetapi tidak boleh naik perahu untuk
berbitjara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku djuga boleh berkeliaran dalam
batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap sadja, aku djadi sasaran hakuman. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 75 dari 109
Dikota ini ada delapan orang polisi, djadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu.
Disamping itu, hanja mereka jang memakai sepeda hitam dengan merek ,,Hima". Jang terlalu djelas adalah
bahwa mereka berada pada djarak jang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda jang misterius
selalu berada pada djarak 60 meter dibelakangku, maka tahulah aku.
Aku teringat disuatu sore ketika seorang ,,preman" membuntutiku didjalan-raja jang djuga didjalani oleh
angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah panggung dan menudju kesungai.
Djalan menudju kesitu pendek, djadi dia lalu mendajung mengembus-ngembus hampir bahu-membahu
denganku. Pada waktu dia berhenti disana untuk mendjalankan mata-mata, dua ekor andjing melompat
padanja sambil menjalak dan menggeram-geram. Pemaksa hukum jang tinggi kedjam ini karena kagetnja
memandjat keatas sepedanja dan berdiri diatas tempat duduk dengan kedua belah tangannja berpegang erat
kepohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor diwaktu itu, namun pemandangan ini lebih
menjegarkan badanku daripada air sungai jang sedjuk.
Setelah itu aku memprotes kepada kepalanja, ,,Saja tidak peduli apakah anak-buah tuan 'setjara rahasia'
membajangi saja, akan tetapi saja tidak ingin dia terlalu dekat."
Orang itu menjampaikan penjesalannja. ,,Ma'af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanja untuk
tetap berada dalam djarak 60 meter."
Aku berada dalam pengawasan tetap. Disuatu sore aku mengadjar sekelompok pemuda menjanjikan lagu
kebangsaan ,,Indonesia Raya". Karena ia terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat diluar
rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anak-anak ini. Masih sadja
ada orang jang melaporkan kedjahatan jang sungguh-sungguh ini.
Saudara dari Radja lalu diperintahkan untuk memperoleh kepastian, kedjahatan apa jang telah dilakukan
oleh Sukarno dengan tindakan pengkhianatannja merusak anak-anak dibawah umur. Dengan patuh dia
menjuarakan akibat psychologis terhadap penduduk preman. Djawabnja adalah, ,,Tidak ada samasekali.
Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia Raya'."
Sekalipun demikian, aku dipanggil kekantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F5,-—jaitu dua dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Disinilah aku mendengar,
bahwa Pak Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit keras, aku
menulis surat kepadanja, ,,Bapak, sebagai patriot besar jang menghimpun rakjat kita dalam perdjoangan
untuk kemerdekaan, tidak akan kami lupakan untuk selama-lamanja. Saja mendo'akan agar bapak segera
sembuh kembali." Berminggu-minggu kemudian, ketika kapal datang membawa suratkabar kami,
disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan
surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku jang tertjinta itu.
Djuga terdjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahjul. Selamanja aku pertjaja pada hari
baik dan hari nahas, aku pertjaja pada djimat jang membawa rahmat dan djimat jang mempunjai pengaruh
djahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk tjintjin pakai batu. Dalam batu itu terlihat lobang
berisi tjairan hitarn jang tidak pernah tenggelam. Seperti bidji ketjil jang mengapung dan selalu berada
diatas. Seorang pengagum memberikan benda jang aneh ini kepadaku dengan utjapan, ,,Sukarno, semoga
engkau tetap berada diatas seperti bidji jang mengapung ini." Ia dinodai oleh kekuatan guna-guna, tapi aku
mempertjajainja. Diwaktu itu aku mempertjajai apa sadja, karena aku memerlukan segala kekuatan jang
bisa kuperoleh.
,,Djangan lupa, Sukarno," katanja, ,,Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung."
Baiklah, aku pertjaja. Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu pertjaja lagi
kepadanja. Demikianlah, ketika kujakinkan pada diriku sendiri, kepertjajaan jang kegila-gilaan ini harus
dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, ,,Engkau sudah melihat, penjakit tahjul jang djahat, akan tetapi
mengapa engkau tidak pernah makan dipiring retak, oleh karena engkau pertjaja bahwa bentjana akan
menimpamu kalau engkau melakukannja ?"
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku sengadja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena
pikiran sudah tjukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepertjajaan jang kuat ini.
Akan tetapi kuletakkan djuga piring itu diatas medja dan memandangnja. Kemudian aku berpidato kepada
piring jang gandjil ini jang begitu berkuasa terhadap djiwaku. Kataku, ,,Hei engkau ............... engkau BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 76 dari 109
barang jang mati, tidak bernjawa dan dungu. Engkau tidak punja kuasa untuk menentukan nasibku.
Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu."
Beginilah tjaranja aku mengatasi tiap-tiap rasa takut jang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut ini
dengan tenang dan sedjak itu tidak takut lagi.
Aaaah, masih sadja batu itu ada padaku. Aku sangat ingin mempunjai keberanian untuk melepaskan
pembawa untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah
mendjadi sedjarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punja uang, sedangkan ini adalah harta jang senantiasa
diperlukannja. Sampai kini keadaannja sama sadja. Keadaanku sangat melarat ketika aku berkenalan dengan
seorang saudagar kopra jang makmur dikota itu. Aku memutuskan untuk mendjual pembawa untung jang
besar ini kepadanja.
Dan sebagai pendjual jang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan jang muluk-muluk.
,,Tjoba lihat," kataku mengadu untung, ,,Saja punja barang jang susah didapat. Orang akan selalu beruntung
besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanja ada satu-satunja. Tidak ada duanja didunia."
Kebetulan utjapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanjak mungkin dari dia.
Kemudian aku menekan gas jang terachir, ,,Dengarlah, begini. Saudara saja lihat adalah orang jang
mempunjai sifat-sifat baik, maka dari itu saja menawarkan suatu kesempatan jang sangat istimewa. Kalau
saudara menjerahkan seratus limapuluh rupiah, jang tidak berarti bagi saudara, saja akan berikan batu ini."
,,Setudju," teriaknja dan segera mengadakan pertukaran. Tjaraku melakukan djual-beli begitu berhasil,
sehingga ia betul-betul takut aku akan merobah pendirian lagi.
Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku jang terachir itu, benda pembawa untung dan terdjamin
kekuatannja. Tidakkah aku harus berienma-kasih kepada Puilau Bunga, karena aku dibebaskan dari belenggu
tahjul ?
Di Endeh jang terpentjil dan membosankan itu banjak waktuku teriuang untuk berpikir. Didepan rumahku
tumbuh sebatang pohon keluih. Djam demi djam aku lalu duduk bersandar disitu, berharap dan berkehendak.
Dibawah dahan-dahannja aku mendo'a dan memikirkan akan suatu hari ............... suatu hari ...............
Ia adalah perasaan jang sama seperti jang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan menggetarnja
setiap djaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan kejakinanku, bahwa bagaimanapun djuga —
disuatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanja patriotisme jang berkobar-kobarlah dan jang masih
tetap membakar panas dadaku didalam, jang menjebabkan aku terus hidup.
Inggit selamanja menjakinkan padaku, bahwa dia merasakan didalam tuiang-tuiangnja aku disatu hari akan
mendjadi orang jang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannja. Aku tidak pernah
berbitjara tentang masa depan, aku hanja memikirkannja. Pada setiap djam aku dalam keadaan bangun aku
memikirkannja.
Kukira, selama tiga setengah abad dibawah pendjadjahan Belanda dunia-iuar hanja satu kali mendengar
tentang negeri kami. Ditahun 1883 Rakata, gunung kami jang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan batu,
kerikil dan abu menempuh orbit jang mengelilingi bumi selama bertahun-tahun. Lama setelah itu, ketika
langit di Eropah mendjadi merah, orang menundjuk kepada gunung Rakata. Ini sama halnja denganku. Aku
telah membikin ribut-ribut dan sekarang aku disuruh diam.
Ketika sekawanan kutjing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku
lalu berdjalan-djalan kedalam hutan. Aku mentjari tempat jang tenang dimana angin mendesirkan daun-
daunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti njanjian nina-bobok ditelingaku. Ialah
njanjian dari pulau Djawaku jang tertjinta.
Tempat pelarian menjendiri jang kugemari adalah dibawah pohon sukun jang menghadap kelaut. Sukun,
sedjenis buah-buahan seperti avocado, adalah sematjam buah jang kalau dikupas, diiris pandjang-pandjang
seperti ketimun, rasanja menjerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat
pekerdjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Jang Maha Pentjipta dalam tunas
jang berketjambah dikulit kaju jang keabu-abuan itu.Aku melihat Wishnu Jang Maha Pelindung dalam buah
jang londjong berwarna hidjau. Aku melihat Shiwa Jang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati jang gugur BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 77 dari 109
dari batangnja jang besar. Dan aku merasakan djaringan-djaringan jang sudah tua dalam badanku mendjadi
rontok dan mati didalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penjakit kepala dan merasa tidak sehat samasekali. Tapi setiap pagi aku masih
merangkak keluar tempattidur untuk duduk-duduk dibawah pohon sukun djauh dari rumah. Pohon sukun itu
berdiri diatas sebuah bukit ketjil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan kelaut lepas tiada jang
menghalangi, dengan langit biru jang tak ada batasnja dan mega putih jang menggelembung dan dimana
sesekali seekor kambing jang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun djam
demi djam.
Terkadang terasa udara jang dingin ditepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin,
sedang keadaan udara tidak dingin samasekali. Tapi masih sadja aku duduk disana. Suatu kekuatan gaib
menjeretku ketempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnja jang besar memukul pantai dengan
pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinja. Pasang naik dan pasang
surut, namun ia terus menggelora setjara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi
kami tidak mempunjai titik batasnja. Revolusi kami, seperti djuga samudra luas, adalah hasil tjiptaan Tuhan,
satu-satunja Maha-Penjebab dan Maha Pentjipta. Dan aku tahu diwaktu itu ............... aku harus tahu
sekarang ............... bahwa semua tjiptaan dari Jang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah-airku,
berada dibawah aturan hukum dari Jang Maha Ada.
Disuatu hari aku tidak mempunjai kekuatan untuk duduk dibawah pohon itu seperti biasanja. Aku tak dapat
bangun dari tempat-tidur.
Jaitu dihari dokter menjampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.
Bab 16
Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Djakarta, bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin lalu mengadjukan
protes dalam Dewan Rakjat. Katanja, ,,Pemerintah harus bertanggung-djawab atas keselamatan diri
Sukarno. Dia harus dipindahkan kenegeri jang lebih besar dan lebih sehat, dan keadaannja hendaklah
mendapat perhatian jang lebih besar."
,,Kita harus mentjari lebih dulu tempat lain dimana rakjatnja tidak berpolitik," djawab ketua berlindung.
,,Ja, ja, dan jang djuga primitif dan terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan. Ja, saja
mengetahui semua itu. Akan tetapi saja memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata Sukarno mati,
maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang jang bertanggung-djawab atas
pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit pajah. Hidup-matinja sekarang terletak
ditangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan setjepat mungkin."
Den Haag serta-merta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui disuatu malam seminggu kemudian. Aku sedang
berbaring dengan tenang dirumah ketika Darham, tukang djahit, tiba-tiba masuk dengan tjepat. la terengah-
engah karena berlari.
,,Saja baru dari toko De Leeuw", katanja dengan napas turun-naik.
,,Toko rempah-rempah itu dari sini ada satu kilometer djauhnja. Kau berlari sedjauh itu ?" tanjaku.
,,Ja," katanja masih terengah. ,,Bung Karno tentu tahu, toko itu kepunjaan Lie Siang Tek saudagar kopra
jang sangat kaja."
,,Ja, ja," djawabku hendak mengetahui persoalannja, ,,tapi apa hubungannja sampai engkau berlari-lari
kesini ?"
,,Orangnja tjukup kaja untuk dapat memiliki radio," Darham melandjutkan tanpa menghiraukan ketidak-
sabaranku. ,,Tadi djam setengah delapan, sewaktu berbelandja, saja mendengar berita radio jang
menjatakan bahwa Ir. Sukarno akan dipindahkan ketempat lain." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 78 dari 109
Kudengarkan berita itu dengan tenang. Sesungguhnja aku terdiam sebentar oleh karena bersjukur kepada
Tuhan. Kemudian kutanjakan dengan segala ketenangan hati, ,,Kemana katanja ?"
,,Bengkulu."
,,Di Sumatera Selatan ?"
,,Ja."
,,Apakah disebutkan kapan ?"
,,Tidak, hanja itu jang diumumkan."
Ini terdjadi dibulan Februari 1938. Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga.
Disaat kami meninggalkan Endeh banjak orang datang untuk melepasku. Ada jang datang untuk
mengutjapkan selamat djalan. Ada lagi jang mendo'akanku jang tidak baik. Jang lain lagi hanja sekedar
untuk melihat-lihat sadja. Beberapa diantaranja malahan meminta untuk bisa ikut. Salah seorang dari
mereka adalah pelajan kami. Selama dalam perdjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang tidur dilantai
dekat tempat-tidurku dan selalu berada disitu seperti seekor andjing jang memperlihatkan kesetiaannja.
Jang seorang lagi adalah Darham jang tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemedja dan sepasang pijama
berwarna kuning-gading sebagai hadiah perpisahan, tapi kemudian diapun berlajar bersama-sama dengan
kami.
Belanda berusaha sebaik-baiknja mengelabui saat kedatangan kami, karena takut rakjat akan datang
beramai-ramai. Dalam siaran radio diberitakan, bahwa kedatangan kami diharapkan djam empat sore,
sedangkan dipagi hari itu sesungguhnja kami sudah sampai. Surabaja, pelabuhan jang biasa ramai, masih sepi
seperti dikesunjian malam ketika kapal kami menurunkan sauh. Polisi menutup daerah tjerotjok, sehingga
rakjat tidak dibolehkan berada didaerah sekitar itu. Ketika aku memidjakkan kaki keanak-tangga jang paling
bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas pandjang jang pertama dari negeri kelahiranku jang
tertjinta, pintu dari kendaraan jang telah menunggu terbuka dan aku dimasukkan kedalam. Aku dilarikan
dengan keretaapi malam menudju Merak, negeri jang paling udjung di Djawa Barat. Disana, dengan setjara
tjepat dan diam-diam, aku ditolakkan keatas kapal dagang menudju Bengkulu.
Bengkulu adalah negeri jang bergunung-gunung dilingkungi oleh Bukit Barisan dan merupakan kota pedagang
ketjil dan pemilik perkebunan ketjil. Disamping kembang raksasanja, Raflesia Arnoldi jang lebarnja sampai
tiga kaki, negeri ini tidak mempunjai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan.
Daerah jang merupakan benteng Islam itu masih sangat kolot. Wanitanja menutupi badannja dengan rapi.
Mereka djarang menemani suaminja. Pada waktu aku pertama menghadiri pertemuan kekeluargaan, aku
bertanja, ,,Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dari laki-laki ?" Tidak seorang djuga jang
mendjawab, karena itu aku menjingkirkan penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir memisahkanku
dari penduduk kota itu.
Mesdjid kami keadaannja kotor, kolot dan tua. Aku kemudian membuat rentjana sebuah mesdjid dengan
tiang-tiang jang tiantik, dengan ukiran timbul sederhana dan pagar tembok putih jang tidak ruwet dan
kubudjuk mereka untuk mendirikannja. Orang tua-tua dikota itu tidak suka kepada orang jang menginginkan
perobahan. Keluarlah utjapan-utjapan jang tidak enak diantara kami dan pada permulaan aku membuat
musuh. Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama karena aku begitu haus akan kawan.
Polisi keamanan tetap mengawasi rumahku siang-malam. Setiap tamu ditjatat namanja, esok harinja
dipanggil menghadap untuk ditanjai, kemudian dibajangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu heberanian
untuk dapat memperlihatkan keramahan pada Sukarno. Kawanku jang satu-satunja adalah seorang kepala
sekolah rakjat jang seringkali datang meskipun tahu bahwa ia ditandai oleh Pemerintah,— dan membawa
seorang anak gadis tjilik jang selalu kupeluk diatas pangkuanku.
Aku tak pernah melupakan keramahannja ini. Pada waktu aku sudah mendjadi Presiden, kepadanja
kutanjakan, ,,Apa jang dapat saja lakukan untuk saudara ? Katakanlah keinginan saudara." Temanku sedang
mendekati adjalnja, tapi djawabnja hanja, ,,Tolonglah keluarga saja kalau saja pergi. Lindungilah anak gadis
saja." Pesannja ini kupenuhi sebaik-baiknja. Aku bahkan mentjarikan suami buat anaknja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 79 dari 109
Banjak baji jang dulu pernah kutimang diatas pangkuanku sekarang sudah mendjadi wanita-wanita tjantik
dan kemudian orangtuanja datang kepadaku memohon, ,,Tolonglah, Pak, tolong pilihkan djodoh buat anak
saja." Aku telah mentjarikan isteri Hatta untuknja. Aku mentjarikan isteri kawanku Rooseno untuknja.
Sekarang aku rnempunjai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satusatunja Kepala Negara
jang djuga mendjadi tjalo dalam mengatur perkawinan, kukira.
Kebetulan dalam masa-masa itu perkawinanku sendiripun perlu diatur kembali. Kemungkinan disebabkan
oleh tjara hidup orang Indonesia jang merasa tidak sernpurna kalau tidak memperoleh keturunan dari
perkawinannja. Malahan kebanjakan dari orang Indonesia jang beristeri satu, anaknja segerobak. Setiap
tahun djumlah djiwa kami bertambah dengan dua djuta lebih. Barangkali tidak ada hal lain jang dapat
diperbuat oleh rakjat kami jang miskin. Barangkali djuga karena kami adalah bangsa jang bernafsu besar dan
berdarah panas, dan mengisi malam-rnalam kami jang panas itu dengan berkasih-kasihan. Pada suatu kali
Djendral Romulo menjatakan, ,,Saja kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah bangsa jang paling
bagus.'' Djawabku, ,,Mungkin djuga, akan tetapi diantaranja orang Indonesialah jang paling bernafsu !"
Diantara kami terdapat keluarga jang mempunjai 11, 13, 18 orang anak. Saudara perempuan bapakku
melahirkan 23. Setiap orang mempunjai anak. Setiap orang, ketjuali Sukarno. Inggit tidak dapat melahirkan,
karena itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku tetap dalam keadaan kosong. Kehendakku belum
terpenuhi. Sudah hampir 20 tahun kami kawin. Namun masih belum memperoleh seorang putera. Terasa
olehku, bahwa selama ini sudah begitu banjak kebahagiaan jang telah dirampas dari diriku ...............
Mengapa keinginan inipun harus didjauhkan pula ?
Ketika perasaan jang menekan ini mulai memukul-mukul dadaku selama 24 djam dalam sehari, kutjoba
menghilangkannja dengan merapati anak-anak pada setiap kesempatan jang kuperoleh. Di Pulau Bunga aku
mengambil dua orang anak angkat lagi—Sukarti, anak seorang pegawai berasal dari Djawa dan Jumir, anak
keluarga djauh Inggit, jang pada waktu sekarang sudah mempunjai enam orang anak. Di Bengkulu aku
memperlakukan anak orang lain seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo, mempunjai
seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Berdjam-djam lamanja aku menghabiskan waktu bersama-sama
dengan Ahmad ini. Kalau ada anak Belanda meludahinja, akulah jang mengeringkan air-matanja dan
menguatkan hatinja dengan kata-kata, ,,Ahmad, negeri ini kita punja. Disatu waktu kita djadi tuan dinegeri
kita sendiri. Disatu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan kita, bukan menurut jang diperintahkan
kepada kita. Djangan kuatir."
Kemudian aku mendjadi seorang pendidik. Ketua Muhammadijah setempat, Pak Hassan Din, datang disuatu
pagi dengan tidak memberi tahu lebih dulu, seperti jang telah mendjadi kebiasaan kami. ,,Disini," ia
memulai, ,,Muhammadijah menjelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru.
Selama di Endeh kami tahu Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan 'Persatuan Islam' di
Bandung dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru jang tjerdas itu. Apakah Bung
bersedia pula membantu kami sebagai guru ?"
,,Saja menganggap permintaan ini sebagai rahmat," djawabku.
,,Tapi ............... ingatlah ............... djangan membitjarakan soal politik."
,,Ah, tidak," aku tersenjum menjeringai, ,,hanja saja akan menjinggung tentang Nabi Besar Muhammad jang
selalu mengadjarkan ketjintaan terhadap tanah-air."
Dalam kelasku terdapat Fatmawati, puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti ,,Teratai".Wati": ,,kepunjaan".
Rambutnja jang seperti sutera dibelah ditengah dan mendjurai kebelakang berdjalin dua. Fatmawati berasal
dari keluarga biasa di Tjurup, sebuah kampung beberapa kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih muda dari
Ratna Djuami. Dan ketika ia mengikuti Ratna Djuami memasuki sekolah rumah tangga di Bengkulu— jang
merupakan sekolah tertinggi jang ada didaerah itu — ia mentjari tempat tinggal. Dengan senang hati aku
menjambutnja sebagai anggota keluarga kami.
Aku senang terhadap Fatmawati. Kuadjar dia main bulutangkis. Ia berdjalan-djalan denganku sepandjang
tepi pantai jang berpasir dan, sementara alunan ombak jang berbuih putih memukul-mukul kaki, kami
mempersoalkan kehidupan atau mempersoalkan Ketuhanan dan agama Islam. Dalam kesempatan jang
demikian itulah ia menanjakan, ,,Mengapa orang Islam dibolehkan mempunjai isteri lebih dari satu ?" BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 80 dari 109
,,Ditahun 650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannja terhadap orang
Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganja sendiri," djawabku. ,,Sembojan jang dipakai didjaman
itu 'Pedang disatu tangan dan Al Quran ditangan jang lain'. Diantara laki-laki banjak terdapat korban."
,,Ini berarti banjak djanda," kata Fatmawati pelahan-lahan.
,,Pasti," kataku, ,,Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan
diantara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahju dari Tuhan jang mengizinkan laki-laki mempunjai isteri
sampai empat orang agar tertjapai suasana jang tenang. Tapi di Bali orang mendjalankan poligami jang tidak
terbatas. Seorang pangeran jang sudah berumur 76 tahun belum lama ini miengawin; isterinja jang ke-36.
Umurnja 16."
,,Usia jang tjotjok untuk perkawinan," kata Fatmawati jang berumur limabelas setengah tahun
mengemukakan pendapatnja.
Di Bante Pandjang arusnja didalam deras sekali dan banjak terdapat ikan ju. Orang tidak dibolehkan
berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu-karang jang bersegi-tiga jang merupakan kolam. Pada waktu
kami mengarunginja ia bertanja, ,,Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan ?"
,,Sebaliknja, adjaran Nabi menaikkan deradjat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan seperti
dalam neraka. Orang tua menguburkan anak-anak gadis hidup-hidup oleh karena dianggap tidak penting.
Laki-laki hanja menjerahkan mas-kawin kepada sibapak dan membeli anak gadisnja untuk didjadikan isteri.
Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang mendjadi
teman-hidup jang sama kedudukannja dalam perkawinan.
,,Hukum perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banjak djumlah perempuan
daripada laki-laki. Perempuan jang kelebihan ini berhak atas kehidupan perkawinan, karena itu Islam
memberi kesempatan kepada mereka untuk mendjadi isteri-isteri jang sjah dan terhormat dalam
masjarakat. Akan tetapi di Tibet, dimana laki-laki lebih banjak daripada perempuan, mereka
mempraktekkan polyandri. Inilah bukti penjesuaian hukum agama dengan hukum masjarakat di Timur."
,,Bagaimana orang Barat mengatasinja ?",,Seringkali orang Barat mempunjai njai. Kerugiannja, anak-anak
jang mereka peroleh disingkirkan dimasjarakat atau ditutup-tutup atau mendapat nama jang djelek seumur
hidupnja. Dalam masjarakat kita anak dari isteri kedua dan selandjutnja mendapat kedudukan jang baik dan
dihormati dalam masjarakat."
Fatmawati bungkem sambil berdjalan sepandjang pantai, kemudian bertanja, ,,Perlukah seorang Islam
mendapat persetudjuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri jang kedua ?"
,,Tidak wadjib. Hal ini tidak disebut-sebut dalam Quran. Ini ditambahkan kemudian dalam Fiqh,
..............."
,,............... hukum-hukum jang ditambah oleh manusia ditahun-tahun 700 dan 800-an jang, menurut
pertimbangan akal, didasarkan pada A1 Quran dan Hadith, jaitu qijas."
,,Benar" kataku tersenjum kepada muridku jang ketjil itu lagi tjerdas.
Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang tjerdik-pandai dari
kampung. Orang datang, kepadaku untuk minta nasehat. Seperti misalnja persoalan kerbau kepunjaan
seorang Marhaen jang dituntut oleh seorang pegawai. Marhaen. itu mendjadi hampir putus asa, karena
kerbau ini sangat besar artinja baginja. Ia datang padaku sebagai ,,Dukun"-nja. Aku menasehatkan
kepadanja, ,,Adjukan persoalan ini kepengadilan dan saja akan mendo'akan.'' Tiga hari kemudian kerbau itu
kembali.
Ada lagi perempuan jang datang menangis-nangis kepadaku, ,,Saja sudah tudjuh bulan tidak haid."
,,Apa jang dapat saja lakukan ? Saja bukan dokter," kataku.
,,Bapak menolong semua orang. Bapak adalah djuruselamat kami. Saja pertjaja kepada bapak dan saja
merasa sangat sakit. Tolonglah ............... tolonglah ............... tolonglah saja." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 81 dari 109
Kepertjajaannja kepadaku luarbiasa, dan aku tidak dapat berbuat sesuatu jang akan menimbulkan
keketjewaannja. Karena itu kubatjakan untuknja Surah pertama dari Quran ditambah dengan do'a jang
maksudnja sama dengan 'Bapak kami jang ada disorga'. Kemudian perempuan itu sembuh dari penjakitnja.
Tetanggaku, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Dia jakin, bahwa dengan mengemukakan
persoalannja itu kepadaku, bagaimanapun djuga akan dapat dipetjahkan. Memang ia benar. Aku keluar dan
menggadaikan badjuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen jang diperlukannja.
Djadi dimata orang kampung jang bersahadja itu lambat-laun aku dipandang seperti Dewa. Apa jang
ditundjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemudjaan kepahlawanan. Umurku lebih dari 20 tahun
daripadanja dan ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnja. Bagiku ia hanja seorang anak jang
menjenangkan, salah-seorang dari begitu banjak anak-anak jang mengelilingiku untuk menghilangkan
kesepian jang djadi melarut dalam hatiku. Jang kuberikan kepadanja adalah kasih-sajang seorang bapak.
Inggit tidak melihat hal itu dengan tjara jang demikian. Kami mempunjai radio dikamar belakang. Disuatu
malam kawan-kawan mendengarkannja bersama-sama kami. Fatmawatipun datang mendengarkan. Ada
tempat kosong disebelahku diatas divan, djadi ia duduk dekatku. Malam itu djuga Inggit menjatakan, ,,Aku
merasakan ada pertjintaan sedang menjala dirumah ini. Djangan tjoba-tjoba menjembunjikan. Seseorang
tidak bisa membohong dengan sorotan matanja jang rnenjinar, kalau ada orang lain mendekat."
,,Djangan begitu," djawabku dengan bernafsu. ,,Dia itu tidak ubahnja seperti anakku sendiri."
,,Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis menurut kebiasaan
lebih rapat kepada siibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Sukarno, supaja mendudukkan hal ini menurut
tjara jang sepantasnja."
Maka terdjadilah, kalau ada pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit selalu
memihak kepada anak jang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak mau berdiri difihaknja.
Lalu mendjulanglah suatu dinding pemisah jang tidak terlihat, antara kami, dan aku didesak memihak
kepada Fatmawati.
Setelah dua tahun ia pindah kerumah neneknja tidak djauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih sadja
dalam satu lingkungan, karena bibinja kawin dengan kemenakanku dan adanja pesta-pesta, kemudian
berkumpul bersama-sama dihari libur dan sebagainja.
Tahun herganti tahun dan Fatmawati tidak lagi anak-anak. Ia sudah mendjadi seorang perempuan tjantik.
Umurnja sudah 17 tahun dan terdengar kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia 53
tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia jang utama dalam kehidupan. Aku menginginkan
anak. lsteriku tidak dapat memberikannja kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi
memikirkan soal-soal jang demikian. Disuatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menjadari
bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku memerlukannja. Kemudian aku menjadari pula,
bahwa aku berbalik kembali kemasa duapuluh tahun jang silam. Kembali ketengah kantjah perdjoangan itu-
itu djuga, perdjoangan antara baik dan djahat. Aku memikirkan tentang Ardjuna, pahlawan Mahabharata,
jang bertanja kepada Dewa, Batara Krishna, ,,Hai, dimana engkau ?" Maka Krishna mendiawab ,,Aku berada
didalam sang baju. Aku ada didalam air. Aku berada dibulan. Aku ada didalam sinarnja sang tjandra. Akupun
ada dalam senjumnja gadis jang menjebabkan engkau tergila-gila."
Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau didalam senjuman indah dari gadis tjantik itu terdapat pula
Tuhan apakah dengan mengagumi senjuman itu aku berdosa karena berbuat kedjahatan ? Tidak. Kalau
begitu, apabila aku mentjintai senjuman indah gadis tjantik itu, apabila senjum itu suatu pantjaran dari
Tuhan dan Dia mentjiptakan gadis tjantik itu sedangkan aku hanja mengagumi tjiptaanNja itu, mengapalah
dianggap dosa kalau aku memetiknja !
Sekali lagi, ini adalah peperangan kekal antara baik dan djahat, mentjoba memakan habis kesenangan ketjil
jang kuperoleh ditengah-tengah kekosongan dalam hidupku. Ketika berdjalan-djalan disuatu sore, Fatmawati
bertanja kepadaku, ,,Djenis perempuan mana jang Bapak sukai ?"
Aku memandang kepada gadis desa ini jang berpakaian badjukurung merah, dan berkerudung kuning
diselubungkan dengan sopan. ,,Saja menjukai perempuan dengan kasliannja. Bukan wanita modern pakai rok
pendek, badju ketat dan gintju bibir jang menjilaukan. Saja lebih menjukai wanita kolot jang setia mendjaga
suaminja dan senantiasa mengambilkan alas kakinja. Saja tidak menjukai wanita Amerika dari generasi baru,
jang saja dengar menjuruh suaminja mentjutji piring." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 82 dari 109
,,Saja setudju," dia membisikkan, mengintip kemalu-maluan padaku melalui bulu-mata jang merebah.
,,Dan saja menjukai perempuan jang merasa berbahagia dengan anak banjak. Saja sangat mentjintat anak-
anak."
,,Saja djuga," katanja.
Minggu berganti bulan dan bulanpun silih berganti, perasaan tjoba-tjoba dalam hati bersemi mendjadi kasih.
Walaupun bagaimana kutjoba sekuatku memadamkan hati muda jang sedang bergolak, karena rasa
penghargaan jang besar terhadap Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinja.
,,Ini semua kesalahanku," dia mengulangi berkali-kali ketika mengemukakan persoalan ini disuatu malam
jang tidak menjenangkan. ,,Inilah djadinja, kalau menaruh anak orang lain dirumah. Tapi aku tak pernah
membajangkan akan kedjadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri."
,,Aku sangat bersjukur mengenai kehidupan kita berdua," aku menerangkan. ,,Selama ini kau djadi tulang-
punggungku dan mendjadi tangan kananku selama separo dari umurku. Tapi bagaimanapun djuga, aku ingin
merasakan kegembiraan mempunjai anak. Terutama aku berdo'a, disatu hari untuk memperoleh anak laki-
laki."
,,Dan aku tidak bisa beranak, itukah jang dimaksud ?"
,,Ja," aku mengakui.
,,Aku tidak bisa menerima isteri kedua. Aku minta tjerai."
Kami tahu, bukanlah dia jang menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan sendiri.
,,Aku tidak berrnaksud mentjeraikanmu,'' kataku.
,,Aku tidak memerlukan kasihanmu," bentaknja.
,,Tidak ada maksudku untuk menjingkirkanmu," aku melandjutkan, ,,Adalah keinginanku untuk
menempatkanmu dalam kedudukan jang paling atas dan keinginankulah supaja engkau tetap mendjadi isteri
jang pertama, djadi memegang segala kehormatan jang bersangkut dengan ini dalam kebiasaan kita,
sementara aku mendjalankan hukum agama dan hukum sipil dan mengambil isteri jang kedua untuk
melandjutkan keturunanku."
,,Tidak."
,,Untuk kawin lagi adalah suatu keharusan bagiku, akan tetapi aku mengadjukan satu usul. Sekalipun aku
tjinta terhadap Fatmawati, akan kulupakan dia kalau kaudapatkan perempuan lain jang menurut
perkiraanmu lebih tjotjok untukku. Tundjuklah seorang jang tidak seperti anak lagi dan dengan demikian
dapat membebaskanmu dari kebentjian jang kaurasakan sekarang."
Airmata menggenangi mataku pada waktu aku bersoal dengan dia. ,,Kalau sekiranja aku mendjalani hidup
jang normal dengan kegembiraan jang normal pula, mungkin aku dapat menerima kekosongan ini tanpa
keturunan. Akan tetapi aku tidak mengalami selain daripada kemiskinan dan kesukaran-kesukaran hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam usia 28 aku sudah disingkirkan. Duabelas tahun dari masa muda seorang
laki-laki kuhabiskan dalam kehidupan pengasingan. Di suatu tempat ............... dengan djalan apapun
............... tentu akan ada imbalannja. Kurasakan, bahwa aku tidak dapat menahankan djika jang inipun
dirampas dariku."
Ratna Djuami kembali ke Djawa untuk melandjutkan sekolahnja. Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian.
Hubungan kami tegang, akan tetapi ia kami landjutkan djuga. Aku tidak tahu apa jang harus diperbuat oleh
karena itu kutjari keasjikan dengan bekerdja. Aku mengerdjakan rentjana rumah untuk rakjat. Aku
mengadjar guru-guru Muhammadijah. Aku mengorganisir Seminar Alim-Ulama AntarPulau Sumatera-Djawa
dan berhasil mengemukakan kepada mereka rentjana memodernkan Islam.
Akupun menerima tjalon menantu dari Residen sebagai murid dalam peladjaran bahasa Djawa, karena dia
bekerdja sebagai asisten kebun disuatu perkebunan teh dan para pekerdjanja berasal dari Djawa. Dan di
Bengkulu hanja Sukarno jang menguasai bahasadaerah itu. Pemuda ini dan aku mendjadi sahabat karib. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 83 dari 109
Ketika Jimmy achirnja melangsungkan perkawinannja aku ditundjuknja untuk bertindak sebagai walinja,
akan tetapi Residen itu rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan, ,,Tidak mungkin seorang tawanan-
utama dari negeri ini mendjadi wali dalam perkawinan anak saja." Sekalipu, demikian dia mengundangku
menghadiri upatjara perkawinan itu.
Setelah satu tahun, dalam waktu mana aku tidak mau menerima pembajaran, Jimmy menghadiahkan
kepadaku dua ekor Dachshaund. Aku sajang sekali kepada andjing-andjing itu. Ia kubawa tidur. Aku
memanggilnja dengan mengetuk-ngetukkan lidahku. ,,Tuktuktuktuk" dan karena aku tidak pernah
memberinja nama, lalu binatang-binatang ini dikenal sebagai ,,Ketuk Satu" dan ,,Ketuk Dua".
Aku mentjoba mengalihkan pikiranku dari persoalan pribadi dengan memelihara hewan-hewan lain. Aku
memperoleh 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah. Kemudian kubeli sangkar jang besar dan
menambahkan burung barau-barau sepasang, djadi dia tidak kesepian. Tapi kesenangan inipun tidak
menjenangkan hatiku. Kulepaskan binatang-binatang ini. Aku tidak sampai hati melihat machluk jang
dikurung dalam sangkar.
Karena sekumpulan binatang ini tidak memuaskan hatiku, aku berpindah pada pekerdjaan memperindah
halaman belakang. Djalanan menudju kedjalan besar ditutupi dengan batu-karang. Aku mempekerdjakan dua
orang kuli untuk mengangkatnja. Ketua organisasi pemuda setempat mengetahui apa jang kukerdjakan dan
disuatu hari Minggu dia datang dengan selusin kawan-kawan dan dalam tempo dua djam mereka
menjelesaikan segala-galanja.
Ketika pekerdjaan ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang, aku mengadakan kelompok
perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan ,,Teori Evolusi D?rwin" atau ,,Mana jang lebih baik,
beras atau djagung — dan mengapa ?" atau pokok pembitjaraan seperti ,,Apa pengaruh bulan terhadap
tingkah-laku perempuan". Aku menjusun pendapatku sambil berdebat. Terkadang aku pertjaja apa jang
kuutjapkan, terkadang tidak. Terkadang aku hanja mentjoba untuk menjalakan api dibawah semangatku
sendiri.
Aku djuga meminjaki otakku dengan menulis artikel. Karena ini terlarang, kupergunakan nama samaran
Guntur atau Abdurrachman. Satu kesukaranku ialah karena aku tidak mengetik dan tulisanku jang sangat
djelas dan mudah dibatja sudah diketahui orang. Tulisan tangan membukakan watak seseorang. Usaha untuk
merobahnja sedikit masih memperlihatkan tulisan jang sarna, karena itu aku merobahnja samasekali dengan
huruf tjetak atau menulisnja dengan tangan kiri.
Dibulan Mei 1940 Hitler menjerbu Negeri Belanda. Pemerintah segera memanggilku kemarkas di Fort
Marlborough, sebuah benteng dari batu dan besi menghadap kesebuah tebing jang tjuram. Muka-muka
mereka kelihatan suram. ,,Insinjur Sukarno," mereka berkata. ,,Kami hendak memperingati kedjadian jang
menjedihkan ini. Sebagai satu-satunja seniman di Bengkulu tuan ditundjuk untuk membuat tugu
peringatan.",,Maksud tuan, setelah menguber-uber saja karena saja menghendaki kemerdekaan untuk rakjat
saja, tiba-tiba sekarang meminta saja, sebagai tawanan tuan, untuk membuat tugu karena bangsa lain
merebut kemerdekaan negeri tuan ?"
,,Ja."
Betapapun aku berhasrat hendak memuaskan selera seniku, namun apa jang kuperbuat hanjalah
menumpukkan tiga buah batu, jang satu diatas jang lain. Dan itulah seluruhnja jang kukerdjakan. Untuk
menjatakan pendapat Belanda itu dengan kata-kata manis: mereka djidjik melihatnja. Akan tetapi
sebenarnja tidak timbul perasaanku untuk mentjiptakan suatu jang indah bagi mereka.
Menjinggung tentang peperangan, sewaktu masih di Bandung aku telah melihat lebih dulu pengaruh dari
ketegangan-ketegangan di Eropa dan berkembangnja Hitlerisme. Pada pertengahan tahun-tahun tigapuluhan
aku meramalkan bahwa Djepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh
dan bahwa dengan lindungan peristiwa ini Indonesia akan memperoleh kemerdekaannja. Sedjak dari waktu
itu aku memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung dan aku
menjirnpulkan, bahwa matarantai jang lemah dari rantai imperialisme Djepang adalah Indonesia. Negeri
kami jang terbentang luas adalah jang paling mudah untuk diputuskan. Lalu di Flores, ditahun 1938 aku
meramalkan bahwa Indonesia akan mendesak kedepan dan memutuskan belenggunja ditahun 1945. Aku
bahkan menulis suatu tjerita sandiwara mengenai kejakinanku berdjudul ,,Indonesra '45". Sementara aku
menunggu, menahankannja dengan sabar, aku gelisah dan takut. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 84 dari 109
Aku mendjadi pembantu tetap dari suratkabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis dengan memakai
namaku sendiri, karena walaupun hanja untuk sementara waktu, perasaanku membawaku kesatu pihak jang
sama dengan Negeri Belanda. Dibulan Djuli 1941 aku menulis dalam ,,Harian Pemandangan" sebagai berikut:
,,Patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalismedengan pengertian kebangsaan jang sempit jang —
seperti Italia dan Djerman — meletakkan kepentingan bangsa dan negeri diatas kepentingan kesedjahteraan
manusia-manusia didalamnja. Saja berdo'a kepada Allah Ta'ala agar melindungi kita dari kefasikan untuk
mempertjajai fasisme dalam menudju kemerdekaan.
,,Pemboman rumah-rumah, pembunahan perempuan dan anak-anak, penjerangan terhadap negeri-negeri
jang lemah, penangkapan orang-orang jang tidak bersalah, penjembelihan terhadap djutaan orang Jahudi,
itulah ISME jang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan adanja parlemen. Fasisme adalah usaha
terachir untuk menjelamatkan kapitalisme.
,,Seluruh manusia harus membentji Hitler-Hitler dan Mussolini-Mussolini jang ada dipermukaan bumi ini. Dan
pandjinja tjita-tjita Indonesia haruslah Anti-Nazisme dan Anti-Fasisme. Hari ini saja mengangkat pena saja
guna memuntahkan saja punja kebentjian terhadap penjakit ini jang mau tidak mau menjeret kita kedalam
peperangan dan bentjana besar.
,,Kebedjatan moral ini tidak sadja menghinggapi orang kulitputih. Akan tetapi Djepangpun dihinggapi oleh
nafsu untuk memperoleh kekuasaan ini, jang memerlukan konsesi minjak. batubara dan minjak-pelumas
untuk armadanja dan jang menjebabkan rakjatnja lupa alcan kesatriaan mereka dalam usahanja hendak
mentjekamkan kukunja kepada saudara-saudaranja.
,,Djepang, itu naga pembawa-bentjana dengan keserakahan untuk mentjaplok dalam waktu jang tidak lama
lagi akan terdjun kedalam peperangan buas jang membahajakan perdamaian dan keselamatan bangsa-bangsa
Asia dalam perlombaannja melawan Barat. Laksana tiga ekor radja-singa berhadapan satu-sama-lain jang
sudah siap untuk menerkam, Inggris siap di Singapura, Djepang mempersiapkan sendjata dalam lingkungan
perbatasannja dan dikepulauan Mariana, Amerika dengan benteng-bentengnja di Hawaii, Guam, Manila,
Pearl Harbour.
,,Saudara-saudara, waktunja sudah dekat, disaat mana air biru dari Samudra Pasifik akan mendjadi korban
berdarah jang tidak ada tandingannja didalam sedjarah dunia !"
Akan tetapi peperangan ini jang kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih djauh
didepan. Djadi ketika itu aku menjimpannja dalam pikiranku sadja untuk mempersendjatai raga-ku melawan
peperangan jang mengamuk-amuk didadaku.
Diachir tahun 1941 aku mengawatkan Ratna Djuami dan tunangannja Asmara Hadi, seorang pengikut lamaku,
untuk datang ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami bertiga berdjalan-
djalan sepandjang Bante Pandjang. ,,Kuharapkan kalian mengerti," aku mengemukakan. ,,Aku ini hanja
seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Tjobalah, bagaimana pendapatmu keduanja ?"
Asmara Hadi menjatakan, ,,Setjara pribadi saja setudju dengan bapak. Saja mempersamakan bapak dengan
Napoleon dan para pemimpin besar lainnja dalam sedjarah, jang— saja batja — setjara fisik sangat kuat.
Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik. Sungguhpun bapak diasingkan djauh semendjak tahun
1934, bapak tetap mendjadi lambang kami. Rakjat mendo'akan agar bapak segera bangkit lagi dan memimpin
mereka kembali. Dan rakjat tahu dari tulisan-tulisan bapak, bahwa waktunja sudah dekat. Apa kata rakjat
nanti kalau bapak sekarang mentjeraikan ibu Inggit diwaktu dia sudah tua dan jang setia mendampingi bapak
selama masa pendjara dan pembuangan ? Bagaimana djadinja nanti ?"
,,Tjoba, Umi," kataku sungguh-sungguh kepada Ratna Djuami, menjebutnja dengan nama ketjilnja.
,,Dapatkah kau memahami kepedihanku ?"
,,Saja sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saja dapat merasakan kepedihan bapak, tapi saja rasa ini
akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik."
,,Tapi engkau masih muda. Engkau hendaknja lebih mengerti daripada ibumu," aku mempertahankan. ,,Dan
engkau tidak usah kuatir tentang dirimu. Kalaupun aku mengawini Fatmawati, aku masih tetap
mentjintaimu. Gelombang-gelombang jang berbuih putih ini akan mendjadi saksi."
Sebelum ,diperoleh suatu keputusan, Djepang menjerbu Sumatra. Harinja adalah 12 Februari 1942. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 85 dari 109
Bab 17
Pelarian
JANG mendjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Djepang adalah kota Palembang, Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang-langgang, Hanja untuk
satu hal Belanda tidak lari, jaitu untuk mengawasi Sukarno.
Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Djepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian djuga terhadap
Pasukan Sekutu.Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai. Lepasnja Sukarno
ketali-hati rakjat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah djalan untuk menguasai kembali
kepulauan Hindia.
Mereka bahkan lebih menjadari daripadaku, bahwa di Djawa dan dimana-mana rakjat masih belum melupkan
Sukano. Rakjat masih menempatkan Sukano dipuntjak impian mereka. Boleh djadi ini disebabkan, karena
tidak ada tokoh lain jang dapat menduduki tempat Sukarno didalam hati rakjat. Semendjak aku dibuang,
maka pergerakan kebangsaan telah bertjerai-berai. Semua pemimpin dimasukkan kedalam bui atau
diasingkan. Ditahun '36 sebuah partai jang telah dilemahkan, jaitu Gerindo, bergerak kembali, akan tetapi
tidak mempunjai tokoh jang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakjat. Apa jang dapat dilakukan
oleh massa hanjalah mengingat-ingat kembali waktu jang telah silam. Dan ini memang mereka lakukan.
Selama masa aku dipisahkan dari rakjat, mereka hanja mengenang detik-detik jang memberi pengharapan
dan kemenangan dibawah Singa Podium. Telah ternjata didalam sedjarah agama dan politik, bahwa djika
pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan djalan pengasingan atau lain-lain, namanja akan
semakin berurat-berakar dalam hati rakjat. Demikian pula halnja dengan Sukarno. Kepopuleranku dikalangan
rakjat sampai sedemikian, sehingga nampaknja seolah-olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Djepang sudah bergerak menudju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini
dua orang polisi dengan tergopoh-gopoh datang ketempatku. ,,Kemasi barang-barang," perintahnja. ,,Tuan
akan dibawa keluar."
,,Kapan ?"
,,Malam ini djuga. Dan djangan banjak tanja. Ikuti sadja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah
malam nanti. Setjara diam-diam dan rahasia. Hanja boleh membawa dua kopor ketjil berisi pakaian. Barang
lain tinggalkan. Tuan akan didjaga keras mulai dari sekarang, djadi djangan tjoba-tjoba melarikan diri."
Sukarti jang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan jang timbul. Karena takut dia
bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannja. ,,Pegang saja, Oom," bisiknja. Oom adalah paman
dalam bahasa Belanda.Ketika polisi itu meneriakkan perintahnja, aku membelai kepala anak itu untuk.
menenangkan hatinja. ,,Boleh saja bertanja kemana kami akan dibawa ?" tanjaku.
,,Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan disana untuk membantu pengungsian.
Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan dari Padang, jaitu pelabuhan tempat pemberangkatan
menudju Australia. 'Dan djuga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi jang terachir."
,,Berapa lama kita di Padang ?"
,,Hanja satu malam. Iring-iringan kapal sebanjak tudjuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat dihari
berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru-buru. Kita berlomba dengan waktu."
Kami mendapat kesempatan hanja beberapa djam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau
bingung. Timbul pertanjaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan dari
pendudukan tentara Djepang. Ataukah suatu kerugian, djika tetap berada dalam tjengkeraman Belanda.
Perasaanku katjau-balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menudju tempat pembuangan jang
baru. Kalau ini kuingat, hatiku djadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu-waktu jang lain, aku tidak ingin
meninggalkan tanah-airku jang tertjinta. Bagaimana aku bisa membanting-tulang demi kemerdekaan
negeriku dari tempat jang ribuan mil djauhnja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 86 dari 109
Kedjadian-kedjadian susul-menjusul begitu tjepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanja
berhasil mentjuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanja ketjil dan dalam waktu lima menit
aku menjelundup kerumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul bersama-sama
untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penjerbuan. Aku mengetuk pintunja dengan lunak dan
berbitjara pelahan, ,,Saja Sukarno. Bukalah pintu. Saja datang untuk mengutjapkan perpisahan."
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik jang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami
berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanja, ,,Hanja Tuhanlah Jang Maha Tahu apa jang akan
terdjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih
hidup. Mungkin djuga kita terdampar dibagian dunia jang berdjauhan. Akan tetapi kemanapun djalan jang
akan kita tempuh, atau apapun jang akan terdjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku
menjadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati ketjintaan kita satu sama lain. Insja Allah,
entah kapan ...............entah dimana...............kita akan berdjumpa lagi."
Djam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuklinggau, kota penghubung djalan
keretaapi Palembang — Bengkulu. Ditengah malam itu kepala polisi datang dengan diam-diam. Tidak djauh
dari rumah kami dibelakang semak-belukar dia menjembunjikan sebuah mobil pick-up. Didalamnja empat
orang polisi. Dalam tempo limabelas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu — pembantu kami berumur
duapuluh tiga tahun jang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan barang-barang kami semua
dipadatkan dalam kendaraan jang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa-bensin. Jang satu terletak di Fort Marlborough tidak djauh dari situ;
jang satu lagi dipekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda mulai
mendjalankan politik bumi-hangusnja. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan bensin dan
minjak pelumas di Fort Marlborough terbang keudara dengan ledakan jang hebat. Ini sebagai tanda bagi
pendjaga kami untuk membakar pula drum-drum dirumahku. Tindakan ini mempunjai tudjuan berganda.
Disamping mentjegah, agar ia tidak djatuh ketangan musuh, iapun memberikan kesenangan. Ledakannja
dapat terdengar kesekitar sampai bermil-mil dan sedjauh-djauhnja mata memandang diseluruh kota hanja
kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota Bengkulu.
Untuk menghilangkan djedjak, polisi itu mengambil djalan kearah selatan. Setelah djelas bahwa tidak ada
orang jang mengikuti djedjak kami, mereka memutar haluan keutara menudju Muko-Muko, sekira 240
kilometer dari Bengkulu dimana kami akan bermalam. Selama dalam perdjalanan kami harus mengarungi
tigabelas buah sungai jang lebar berlumpur dan banjak buaja. Tidak ada djambatan samasekali. Kami
menjeberanginja dengan rakit dan perahu jang dibuat oleh rakjat setempat. Dihari berikutnja djam lima sore
rombongan jang kelelahan ini sampai di Muko-Muko.
Kami bermalam disebuah rumah jang didjaga keras oleh polisi. Djam tiga pagi kami dibangunkan lagi. ,,Mari
kita landjutkan perdjalanan," gerutu salah-seorang jang bertugas. ,,Sekarang berangkat."
,,Kenapa begini pagi ?" tanjaku.
,,Rantau kita masih djauh dan hari ini harus sampai sedjauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnja matahari."
Sesampai didjalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam
orang pengawal bermuka kaku dari Muko-Muko. Selain dari membawa tempat-minum mereka menjandang
senapan dan pistol. Ada lagi perobahan jang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak-sapi. Ia
dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng-kaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Tjukup
untuk seminggu, kukira.
,,Perdjalanan selandjutnja kita tempuh dengan djalan-kaki," kata seorang jang menjandang tempat-minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. ,,Djalan-kaki sampai ke Padang ?"
,,Betul."
,,Sedjauh tigaratus kilometer ?" tanjanja kehabisan napas.
,,Ja, betul," orang itu memotong. ,,Hajo kita. djalan." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 87 dari 109
,,Kenapa tidak dengan mobil sadja ?" tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang keatas gerobak.
,,Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah didjalani. Satu-satunja tjara supaja sampai di Padang dengan
menempuh djalan-setapak jang berkelok-kelok berliku-liku dan dibeberapa tempat susah dilalui."
Aku bisa tahan berdjalan kalau dibandingkan dengan jang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi
Inggitlah jang menimbulkan kekuatiranku. ,,Djangan kuatir," aku membudjuknja. ,,Polisi-polisi jang bebal
inipun bukan pedjalan marathon, sama sadja dengan kau."
Betapapun kekuatiran jang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Dibelakang kami, tentara Djepang.
Didepan, tentara Belanda. Dikiri-kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat
siang dan malam. Djadi kami berdjalanlah. Terus berdjalan. Tak henti-hentinja berdjalan. Menempuh hutan
jang lebat disepandjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanja pakai sandal
terbuka seperti jang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat meringankan
perdjalanan berhari-hari melalui hutan rotan dan rumput liar jang kering dan menggores-gores kaki setinggi
lutut bermil-mil djauhnja. Kaki Inggit letjet dan bengkak. Kadang-kadang ia naik gerobak-sapi itu. Akan
tetapi djalannja tjuram dan achirnja bukan sapi itu jang menolong kami, akan tetapi akulah jang harus
menolong sapi itu. Aku menariknja. Dan menolaknja. Seringkali binatang itu hanja berdiri sadja dan
menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri.
Ditengah hutan jang demikian sesekali kami mendjumpai sebuah pondok jang terpentjil kepunjaan pemburu
atau pentjari kajubakar. Djam enam sore kami berhenti dipondok seperti itu. Kami berada ditengah-tengah
pesawangan, dan kalaupun disuruh berdjalan terus tak seorangpun diantara kami jang masih sanggup
berdjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi,
badannja terbakar oleh terik matahari.
Pondok itu berbentuk rumah-panggung, supaja terhindar dari antjaman binatang. Sekalipun demikian kami
dapat mentjium adanja tamu-tamu jang tidak diundang. Seekor ular mendjalar melalui kaki. Tjitjak
berkeliaran diatas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar diatas tikar itu. Pahaku
mendjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanja diatas badan ibunja. Bunji binatang buas
dimalam hari disekeliling tempat pelarian kami membikin badan djadi dingin. Tetangga kami adalah
harimau, beruang, kutjing-hutan, rusa, babi-hutan dan monjet tak terhitung banjaknja. Teriakan monjet
jang membisingkan diatas pohon-pohon kaju tidak henti-hentinja. ,,Radja-hutan tidak akan menjerang,
ketjuali kalau dia lapar," tjerita polisi jang menjandang tempat-minum. Kami mendo'a, semoga binatang-
binatang itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal-kehormatan kami
jang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki djauhnja.
Ditengah malam Sukarti mengintip dipinggir teratak itu jang tidak berpintu. ,,Saja takut, Oom," dia
menggigil. ,,Oom tidak takut ?"
,,Ja, Karti," bisikku menenangkan hatinja. ,,Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani." Aku
merangkak dengan Karti kebagian pinggir dan mengintip kebawah. ,,Kaulihat keenam orang itu ? Ditengah
malam sunjipun polisi mendjaga berganti-ganti pakai bedil. Polisi berdjaga-djaga. Mereka lebih takut lagi
daripada kita kalau tidak menjelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung-djawab polisi untuk
menjerahkan Sukarno hidup-hidup ketangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita tidur dan
biarlah polisi mendjaga keselamatan kita. Ja ?"
Disubuh itu kami sarapan dengan buah-buahan dari hutan, nasi dari persediaan jang dibawa oleh pengawal
kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengajunkan langkah. Mendjelang siang
kami djumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian jang lekat dibadan diair yang djernih
dan sedjuk itu dan melepaskan dahaga sepuas-puas hati. Masuk sedikit lagi kedalam semak-belukar,
dikelilingi oleh sawah jang terhampar, ada sebuah dangau. Kami memasuki dangau itu untuk tidur-tiduran
sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang-liar pada dedaunan jang tidak bergerak dan kami melangkahi
djedjak harimau jang tak terhitung banjaknja, namun satu-satunja binatang jang menghalangi djalan kami
ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang-hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri
diatas kakinja jang belakang binatang-binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah
jang berat. Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, selain daripada djantung kami jang memukul-mukul dada
dengan keras. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 88 dari 109
Dengan menggunakan korek-api jang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan
sajuran kedalamnja dan menambahkan ikan jang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami jang sepuluh
orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami djuga tidak mati kelaparan karenanja. Inggit terlalu amat
lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. ,,Aku terlalu tjapek," ia mengeluh pandjang sambil
bersandar lesu ketebing suatu lurah jang sedang kami lalui. ,,Kalau aku duduk, takut nanti tidak bisa lagi
berdiri."
Dihari ketiga salah-seorang polisi Belanda menjerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanja
memikirkan diri kami sendiri, tetapi, disamping matahari jang membakar, haus, kehabisan tenaga dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan tindakan
jang kedjam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang jang menawan, kami semua
sama merasakan pahit-getirnja perdjalanan. Tetapi djarang terdjadi pertjakapan. Tiada manusia jang lewat
dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok-olok. Sudah mendjadi
pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananja. ,,Sekalipun ada penjerbuan, akan tetapi saja
berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saja,"
aku berolok-olok.
Seorang jang pendek dan botak tersenjum, ,,Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah
melangkah keluar batas jang didjaga kuat untuk tuan ?"
,,Ada, sekali. Saja membuat suatu tjerita sandiwara jang dipertundjukkan pada malam amal disuatu tempat
diluar batas. Ini terdjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pedjabat lama jang saja kenal baik.
Orangnja sedjenis manusia jang menghamba kepada.peraturan. Saja bertanja kepadanja, 'Tuan Residen,
dapatkah tuan meng izinkan saja untuk pergi ketempat ini jang terletak sedikit diluar batas ?"
,,Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan jang sangat penting ini rupanja tidak mungkin baginja.
Karena itu dia bersusahpajah mengirim telegram kepada Gubernur Djendral di Djawa. Lalu apa djawab
Gubernur Djendral. Dia menelegram kembali, menjatakan kegembiraannja mendengar semua itu. Katanja,
'Saja gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannja pada
pertundjukan sandiwara ? Apakah ini tidak menggelikan ? !"
Polisi itu terpaksa tertawa menundjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluntjur dari pohon kelapa dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnja jang segar, aku mentjeritakan kisah Manap Sofiano,
seorang pemain jang mendjalankan peran prima donna dalam pertundjukanku.
,,Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menjampaikan kepada tukang-lelang, 'Sukarno akan
mendjamin pembajarannja.' 'O, baik,' djawab orang itu setudju, 'kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.'
Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barang-barangnja hendak pindah. Sebelum dia pergi saja katakan,
'Hee, tinggalkan dulu surat perdjandjian jang diketahui oleh kepala kampung dan jang menjatakan bahwa
engkau berdjandji hendak membajarnja. Dengan begitu, kalau sekiranja kaulupa, saja mempunjai dasar jang
sja.'
,,Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar-berita dari Sofiano, saja menulis surat kepadanja, 'Sudah sampai
waktunja. Bajar sekarang, kalau tidak, akan saja adjukan kedepan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas,
'Saja tidak menjusahkan diri saja sendiri, akan tetapi saja mempunjai lima orang anak. Kalau saja masuk
pendjara, mereka akan terlantar.'
,,Tentu saja tidak mau menjakiti anak-anak jang tidak bersalah, djadi apa lagi jang dapat saja lakukan ? Saja
kemudian membajar utang sedjumlah 60 rupiah itu. Disamping itu," aku tersenjum meringis, ,,dia seorang
pemain jang baik, sehingga saja dapat mema'afkan segala-galanja."
Dengan pertjakapan ringan demikian ini aku mentjoba menaikkan semangat pasukan kami jang melarat itu.
Dihari jang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menudju kota. Bertepatan dengan
kedatanganku, kapal jang direntjanakan untuk mengangkut kami telah meledak mendjadi sepihan dekat
pulau Enggano, tidak djauh dari pantai. Tentara Djepang berada dalam djarak beberapa hari perdjalanan
dibelakang kami. Angkatan laut Djepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanja dalam satu hal orang tidak
ragu lagi, jaitu bahwa Belanda penakluk jang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang
meninggalkan tokonja. Terdjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. ,,Lihat," kata seorang
Belanda, jang tingginja satu meter delapan puluh lima, mengedjek ketika dia hendak lari membiarkan kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 89 dari 109
tidak dilindungi, ,Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri
sendiri."
Tentara Belanda mentjoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanja terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menjelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri
Belanda sekarang adalah bagaimana menjelamatkan dirinja sendiri. Mereka seperti pengetjut, mereka lari
pontang-panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakjat Indonesia djadi umpan tanpa pertahanan.
Tidak ada jang mempertahankannja, ketjuali Sukarno. Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah
kesalahan jang besar dari mereka.
Sesampai dihotel aku mengatakan pada Inggit, ,,Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini."
Dimana-mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu-buru pada detik-detik terachir.
,,Kau mau kemana ?" tanja Inggit gemetar ketakutan.
,,Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mentjarinja dan berusaha mentjari tempat tinggal."
Waworuntu menjambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. ,,Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan
airmata mengalir kepipinja. ,,Saja mendapat rumah bagus disini dan banjak kamarnja, tapi saja sendirian
sadja. Isteri saja dan anak-anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saja. Bawalah keluarga Bung
Karno kesini ........ bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri." Orang jang baik hati ini dengan
kemauannja sendiri pindah dari kamar-tidurnja jang besar didepan disebelah ruang-tarnu, dan
mengosongkannja untuk Inggit dan aku.
Ini terdjadi beberapa hari sebelum Balatentara Keradjaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku
berdjalan-djalan disepandjang djalan aku menjadari, bahwa saudara-saudaraku jang terlantar, lemah, patuh
dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun jang mengawasinja. Tidak
seorangpun, ketjuali Sukarno. Tindakan-tindakan jang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada
Tuhan. Aku menjadari, bahwa waktunja sudah datang lagi bagiku untuk terus madju dan mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanja dan dia berusaha mengumpulkan
orang-orangnja. Kemudian aku menjuruh Waworuntu kesatu djurusan dan Riwu kedjur-usan lain untuk
mengumpulkan jang lain. Diadakanlah rapat umum dilapangan pasar. Disana aku membentuk Komando
Rakjat jang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk mendjaga ketertiban. ,,Saudara-saudara,"
aku menggeledek dalam pidatoku jang pertama semendjak sembilan tahun, ,,Saja minta kepada saudara-
saudara untuk mematuhi tentara jang akan datang. Djepang mempunjai tentara jang kuat. Sebaliknja kita
sangat lemah. Tugas saudara-saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunjai
sendjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihantjur-leburkan, djikalau kita mentjoba-tjoba
untuk melakukan perlawanan setjara terang-terangan.
,,Orang jang tidak bersendjata tidak mungkin melawan pradjurit-pradjurit jang puluhan ribu, akan tetapi
sebaliknja ingatlah saudara-saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri diseluruh djagad ini
digabung mendjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu djiwa jang tunggal, karena ia telah
bertekad untuk tetap merdeka. Saudara-saudara, saja bertanja kepada saudara-saudara semua : Siapakah
jang dapat membelenggu suatu rakjat djikalau semangat rakjat itu sendiri tidak mau dibelenggu ?
,,Kita harus mentjari kemenangan jang sebesar-besarnja dari musuh ini. Maka dari itu, saudara-saudara,
hati-hatilah. Rakjat kita harus diperingatkan supaja djangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana,
hindarkanlah pertumpahan darah disaat-saat permulaan. Djangan panik. Saja ulangi : djangan panik.
Ketentuan pertama jang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Djepang. Dan pertjaja.
Pertjaja kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita."
Rapat itu diachiri dengan do'a bersama jang kupimpim sendiri sebagai Imam. Orang Islam tidak dapat
mengchotbahkan atau mengadib-kan isi daripada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu titik,
disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata-kata dari Ajat selandjutnja dan dihadapan ribuan
orang jang menunggu-nunggu landjutannja aku mendesis kepada seorang Hadji jang duduk bersila dekat itu,
,,Ehh — apa lagi terusnja ?"
Do'a itu berachir, rakjat bubar, aku kembali kerumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu djam empat pagi. Mungkin djuga djam lima. Aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 90 dari 109
berbaring ditempat-tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku njalang samasekali. Malam
itu adalah malam jang sunji sepi. Tiada terdengar suara jang gandjil. Sesungguhnja, pun tidak terdengar
suara jang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang. Tiba-tiba mereka terbangun oleh bunji jang semakin
santer. Mula-mula menderu seperti guntur. Suara jang menggulung-gulung itu semakin keras, semakin keras,
semakin keras lagi. Bunji jang menakutkan dan membikin badan djadi dingin-membeku adalah gunturnja
kereta-kereta berlapis-badja dan tank-tank dan balatentara berdjalan-kaki berbaris memasuki kota Padang.
Djepang sudah datang.
Bab 18
Djepang Mendarat
UDARANJA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring disana dengan badan gemetar. Aku melihat sambaran
petir ini sebagai gemuruhnja pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berachirnja suatu djaman.
Esok paginja aku bangun diwaktu subuh dan berdjalan dengan tenang sepandjang djalanan kota. Djepang
membuka toko-toko dengan paksa tanpa ada jang mendjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakjat untuk
menjerbu isi toko-toko itu. Kesempatan pertama bagi rakjat jang miskin untuk menikmati kemewahan.
Dalam pada itu Djepang dengan tjerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan keadaan didjalan-
djalan, dengan demikian menambah kebentjian terhadap kekuasaan kulitputih.
Disetiap djalanan Djepang disambut dengan sorak-sorai kemenangan.
,,Apa sebabnja ini !" tanja Waworuntu.
,,Rakjat bentji kepada Belanda. Lebih-lebih lagi karena Belanda lari terbirit-birit dan membiarkan kita tidak
berdaja. Tidak ada satu orang Belanda jang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini.
Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah jang penghabisan, tapi njatanja lari ketakutan."
,,Tjoba pikir," kataku ketika kami melangkah pelahan. ,,Faktor pertama jang menjebabkan penjambutan
jang spontan ini adalah adanja perasaan dendam terhadap tuan-tuan Belanda, jang telah dikalahkan oleh
penakluk baru. Kalau engkau membentji seseorang tentu engkau akan mentjintai orang jang mendupaknja
keluar. Disamping itu, tuan-tuan kulitputih kita jang sombong dan mahakuat itu bertekuk-lutut setjara tidak
bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakjat menjambut Djepang sebagai pembebas
mereka."
Waworuntu, kawan baik dan kawanku jang sesungguhnja, jang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat tenang
kepadaku.
,,Dan apakah Bung djuga menjambutnja sebagai pembebas ?
,,Tidak ! Saja tahu siapa mereka. Saja sudah melihat perbuatan mereka dimasa jang lalu. Saja tahu bahwa
mereka orang Fasis. Akan tetapi sajapun tahu, bahwa inilah saat berachirnja Imperialisme Belanda. Pun
seperti jang saja ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Djepang, disusul kemudian
dengan menjingsingnja fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing untuk selama-
lamanja."
Diseberang djalan kami lihat serdadu Djepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan.
,,Lalu maksud Bung akan memperalat Djepang" tanja Waworuntu dengan tjepat.
Kami terus berdjalan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. ,,Sudah tentu," djawabku dengan suara redup.
,,Saja mengetahui semua tentang kekurang-adjaran mereka. Saja mengetahui tentang kelakuan orang
Nippon didaerah pendudukannja — tapi baiklah. Saja sudah siap sepenuhnja untuk mendjalani masa ini
selarna beberapa tahun. Saja harus mempertimbangkan dengan akal kebidjaksanaan, apa jang dapat
dilakukan oleh Djepang untuk rakjat kita."
Kita harus berterimakasih kepada Djepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam
lobang Kolonialisme dan tidak mempunjai kekuatan jang radikal supaja bebas dari lobang itu atau untuk
mengusir pendjadjahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 91 dari 109
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata-kata itu nampak meresap dalam hatinja.
,,Tjoba pikir, Bung," kataku, ,,Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan jang menjala-njala ini, —
ataupun perobahan ini sendiri — perlu sekali guna mentjapai tudjuan, untuk mana saja membaktikan seluruh
hidupku."
Kami terus berdjalan, bungkem. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Kemudian kawanku memberikan
pendapat, ,,Mungkin rakjat kita akan selalu memandangnja sebagai pembebas dan tetap tinggal pro-
Djepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk melepaskan negeri kita dari tjengkeramannja."
,,Tidak mungkin," djawabku menerangkan. ,,Pandirlah suatu bangsa pendjadjah kalau mereka mengimpikan
akan ditjintai terus atau mengchajalkan bahwa masjarakat jang terdjadjah akan tetap puas dibawah telapak
dominasinja. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau lalimnja pendjadjah jang lama dan tidak pandang
betapa baiknja pendjadjah jang baru dalam tingkah-laku atau ketjerdasannja, maka rakjat jang sekali sudah
terdjadjah selalu menganggap hilangnja dominasi asing sebagai pembebasan. Inipun akan terdjadi disini."
,,Kapan ini akan terdjadi ?"
,,Kalau kita sudah siap," kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan gerakan. Aku hanja menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan dari
daerah Padang datang kerumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinja. Berbitjara dalam bahasa Perantjis,
ia berkata, ,,Est-ce vous pouves parler Francais "
,,Oui," djawabku. ,,Je sais Francais."
,,Je suis Sakaguchi," katanja.
"Bon," kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n'est-ce pas ?"
,,Oui. Vous avez raison."
Menundjukkan tanda-pengenal resminja ia menerangkan, ,,Saja anggota dari Sendenbu, Departemen
Propaganda."
,,Apakah jang tuan kehendaki dari saja ?" aku bertanja dengan hati-hati.
,,Tidak apa-apa. Saja mengetahui bahwa saja perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saja datang.
Hanja itu. Saja datang bukan menjampaikan perintah kepada tuan."
Sakaguchi tersenjum lebar. Agaknja tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati
karena itu aku bertanja, ,,Mengapa tuan djustru datang kepada saja ?"
,,Menemui tuan Sukarno jang sudah terkenal adalah tugas saja jang pertama. Kami mengetahui semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang jang berpengaruh."
,,Itukah sebabnja tuan menemui saja disini, dan bukan meminta saja datang kekantor tuan ?"
,,Betul," ia membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinja. Tuan
Sukarno terkenal diseluruh kepulauan ini."
,,Boleh saja bertanja dari mana tuan mendapat keterangan ini ?"
,,Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banjak orang Djepang tinggal disini dan banjak jang kembali
kesini dalam tentara Diepang."
,,Oo." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 92 dari 109
,,Kami mempunjai djaring mata-mata jang paling rapi. Kami mengetahui segala-galanja mengenai semua
orang, begitu pula tempat-tempatnja. Segera setelah mendudaki Bengkulu kami menjelidiki dimana tuan
berada. Tindakan kami, jang pertama-tama ialah untuk datang kepada tuan."
,,Dan tindakan jang kedua ?"
,,Mendjaga tuan."
Ketika tentara Djepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah-Putih. Rakjat menjangka mereka
,,dibebaskan". Setelah berabad-abad larangan, sungguh menggetarkan hati menjaksikan bendera kami Sang
Merah-Putih jang sutji itu melambai-lambai dengan megahnja. Akan tetapi tidak lama, segera keluar
pengumuman jang ditempelkan dipohon-pohon dan didepan toko-toko, bahwa hanjalah bendera Matahari-
Terbit jang boleh dikibarkan. Serentak dengan kedjadian ini, jang terasa sebagai suatu tamparan, Djepang
menguasai surat-suratkabar. "Pembebasan" kota Padang tidak lama umurnja.
Aku pergi kekantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. ,,Perintah ini
sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan," kataku. ,,Kalau tidak dilakukan setjara
sebidjaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat jang serius untuk kedua belah pihak."
Sakaguchi menundjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. ,,Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknja djangan terlalu menunda-nunda hal ini."
Ini adalah hari jang gelap bagi rakjat dan bagi Sukarno. Mula-mula aku pergi kemesdjid dan aku sembahjang.
Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudara-saudaraku tuntuk menurunkan bendera
sampai ,,datang waktunja dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri, bebas dari segala dominasi
asing."
Setiap bendera turun kebawah. Aku bentji kepada Hitler, akan tetapi kedjadian ini dengan tidak sadar
mengingatkan daku pada salah satu utjapannja: Gross sein heisst es Massen bewegen können Besarlah
seseorang jang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno jang berbitjara, mungkin
mereka akan berontak, karena terlalu tiba-tiba seperti tersentak dari tidur mereka menjadari, bahwa
putera-putera dari negara Matahari-Terbit bukanlah pahlawan-pahlawan sebagaimana mereka bajangkan.
Dan aku kuatir akan terdjadinja pemberontakan. Kami adalah rakjat jang tidak berpengalaman untuk pada
saat itu biasa menendang kekuatan jang terlatih baik seperti tentara Djepang.
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbitjara dalam bahasa Perantjis. Berbulan-bulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. ,,Monsicur Sukarno," katanja
,,saja membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan."
"Memohon?" aku mengulangi.
,,Oui, Monsieur. Memohon."
Dari sikap kapten Sakaguchi jang merendah djelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan mendjadi kenjataan.
Djepang akan mengusulkan agar supaja aku bekerdja dengan mereka. Komandan dari divisi jang kuat itu jang
memasuki kota Padang dimalam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota Bukittinggi.
Dialah jang minta disampaikan supaja ,,memohon" tuan Sukamo untuk datang.
Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta-api dan dengan tjepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta-api.
Mereka jang berada dalam gerbong kami menjampaikan kepada gerbong-gerbong jang lain. Ketika berhenti
di Padangpandjang setiap orang dipelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno. Gerbong kami
diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku didjendela dan berpidato dengan singkat untuk
menenangkan rakjat. Tak satupun dari ini jang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Djauhnja satu setengah djam perdjalanan kekota pegunungan jang sedjuk itu. Pusat dari Minangkabau ini
terkenal dengan bendinja jang riang-menjenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan didjalanan jang
mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah-adat bergondjong bewarna-warni, simbolik daripada seni-bangunan
Minangkabau. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 93 dari 109
Bukittinggi adalah kota jang sangat penting. Letaknja strategis, dan hanja dapat ditjapai dari tiga djurusan,
dan letaknja didaerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknja menguasai semua lalu-lintas
keluar-masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunjaan seorang Belanda jang kaja, pun
terletak setjara strategis. Letaknja ketinggian diatas puntjak Lembah Ngarai, sebuah lembah jang dalam
dengan bukitnja jang tinggi pada kedua belah sisinja berbentuk dinding-batu terdjal dan gundul mendjulang
keatas. Dibawah, didalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai jang dengan seenaknja mentjari
djalannja sendiri. Disekeliling ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan menghidjau dengan lebat. Kalau
orang memandang keluar, dari djendela rumah Fujiyama, beribu-ribu kaki djauhaja kebawah terlihatlah
suatu pemandangan indah jang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan jang sampai sekarang tidak banjak orang mengetahuinja, akan tetapi
sesungguhnja merupakan pertemuan jang maha-penting. Pertemuan jang sangat besar artinja. Pertemuan
jang menentukan strategiku selandjutnja selama peperangan. Pertemuan jang sampai sekarang memberikan
tjap kepadaku sebagai ,,kollaborator Djepang"
Komandan Fujiyama berbitjara dalam bahasanja. Didalam ruangan itupun hadir seorang djurubahasa
berkebangsaan Amerika jang dibawa mereka ke Singapura. ,,Tuan Sukarno," kata Fujiyama sambil
menjilakanku duduk. ,,Peperangan ini bertudjuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme
Barat."
Aku menjadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih kata-kataku dengan hati-hati
sekali. Setiap patah kata jang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang-timbang dan mereka
udji. Aku mengetahuinja. ,,Orang Diepang mempunjai satu sembojan jang berbunji, 'Asia. Bebas'.
Benarkah ini ?" tanjaku setelah beberapa saat.
,,Ja, tuan Sukarno," sahutnja sambil menjodorkan rokok kepadaku. ,,Itu benar."
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak atjuh, ,,Dan apakah tuan bermaksud
hendak berpegang pada sembojan itu ?"
,,Ja, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada sembojan itu," katanja memandang kepadaku dengan teliti.
,,Jah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia ?"
,,Tentu, tuan Sukarno."
Aku menarik napas pandjang. ,,Kalau demikian, saja dapat menarik kesimpulan bahwa tudjuan tuan djuga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?"
Belum sampai satu debaran djantung antaranja, ,,Ja, tuan Sukarno. Tepat sekali."
Sementara berlangsung pembitjaraan tingkat tinggi ini seorang pradjurit Djepang berperawakan ketjil
beringsut menjuguhkan air teh. Sjarafku sangat tegang dan aku mentjarik-tjarik kuku djariku, suatu
kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunji mangkok teh jang gemerinting tidak
terdengar lagi. Bahkan setelah pradjurit itu pergi, bunji gemerintjing seolah-olah masih sadja mengapung
diudara jang hening. Setidak-tidaknja, dalam diriku. Gigiku dan tulang-belulangku semua gemerintjing.
Hidup atau matinja tanah-airku tergantung kepada sukses atau tidaknja pembitjaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melandjutkan. ,,Didalam rangka pengertian inilah kami ingin
mengetahui, apakah tuan mempunjai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon."
,,Dengan tjara bagaimana ?"
,,Dalam memelihara ketenteraman."
,,Bolehkah saja bertanja, bagaimana tjaranja saja seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk
tentara Djepang ?"
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Keradjaan Djepang ini tersenjum. Pada tingkatannja mereka
banjak melakukan seperti ini. ,,Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah jang menguasai massa rakjat. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 94 dari 109
Karena itu, tjara jang paling mudah untuk mendekati rakjat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami bukanlah
untuk mendekati rakjat Indonesia jang berdjuta-djuta. Tugas kami adalah untuk memenangkan satu orang
Indonesia. Jaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakjat jang djutaan itu untuk kami."
Sikapnja memperlihatkan dengan djelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Diluar, didjalanan rakjat
kami tidak lagi bersorak-sorai begitu keras menjambut rakjatnja. Kegembiraan jang pertama sudah mulai
luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salahsatu djalan, kalau dia
mentjoba-tjoba memaksaku, seluruh rakjat akan bangkit melawannja. Djepang memerlukan tenagaku dan ini
kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku untuk suatu revolusi.
Ini tidak obahnja seperti permainan volley. Hanja jang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel
Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo'a dalam hati, tundjukkanlah
kepadaku, djalan jang benar.
,,Nah," kataku. ,,Sekarang saja mengetahui apa jang tuan inginkan, saja kira tuan mengetahui keinginan
saja."
,,Tidak, tuan Sukarno, saja tidak tahu. Apakah sesungguhnja jang dikehendaki oleh rakjat Indonesia.?"
,,Merdeka."
,,Sebagai seorang patriot jang mentjintai rakjatnja dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus
menjadari bahwa Indonesia Merdeka.hanja dapat dibangun dengan bekerdja-sama dengan Djepang," ia
membalas.
,,Ja," aku mengangguk. ,,Sekarang sudah djelas dan terang bagi saja bahwa tali-hidup kami berada di
Djepang ............... Maukah pemerintah tuan membantu saja untuk kemerdekaan Indonesia?"
,,Kalau tuan mendjandjikan kerdja-sama jang mutlak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan
djandji jang tidak bersjarat untuk membina kemerdekaan tanah-air tuan."
,,Dapatkah tuan mendjamin bahwa, selama saja bekerdja untuk kepentingan tuan, saja djuga diberi
kebebasan bekerdja untuk rakjat saja dengan pengertian, bahwa tudjuan saja jang terachir adalah disatu
waktu............... dengan salah-satu djalan .............. membebaskan rakjat dari kekuasaan Belanda —
maupun Djepang ?"
,,Kami mendjamin. Pemerintah Djepang tidak akan menghalang-halangi tuan."
Aku memandang kepadanja. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi-hati satu sama lain.
,,Djadi, tuan Sukarno," ia melandjutkan menjatakan pengakuannja dengan hati-hati. ,,Saja seorang penguasa
pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudajaan, keturunan, agama dan berbagai
adat kebiasaan Djawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melaju, Polynesia, Tiongkok, Filipina, Arab dan
lain-lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ketempat lain sukar. Tugas saja adalah untuk
mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lantjar dengan segera. Tjara jang paling tepat ialah
dengan memelihara ketenteraman rakjat dan mendjalankan segala sesuatu dengan harmonis. Untuk
mentjapai tudjuan ini, kepada saja disampaikan bahwa saja harus bekerdja dengan Sukarno. Sebaliknja saja
mendjandjikan kerdja-sama jang resmi dan aktif didalam bidang politik."
Mau tidak mau aku harus mempertjajai orang jang berperawakan ketjil ini, oleh karena aku melihat kuntji
persoalan ada ditangannja. ,,Baiklah," kataku. ,,Kalau ini jang tuan djandjikan, saja setudju. Saja akan
berikan bantuan saja sepenuhnja. Saja akan mendjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanja kalau ia
berlangsung menurut garis menudju pembebasan Indonesia dan hanja dengan pengertian, bahwa sambil
bekerdja-sama dengan tuan sajapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakjat saja."
,,Setudju," katanja.
,,Djuga dengan pengertian bahwa djandji, dalam mana saja tetap tidak dikekang dalam usaha saja jang tidak
henti-hentinja untuk nasionalisme, tidak hanja diketahui oleh tuan sendiri melainkan djuga oleh seluruh
Komando Atasan." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 95 dari 109
,,Pemerintah saja tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Diatas dasar inilah kita bekerdja-sama, saling
bantu-membantu satu sama lain."
Sebagai kelandjutan dari pertemuan jang bersedjarah ini jang berlangsung selama dua djam, mereka
menjadjikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mentjobanja. Dan rasanja enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramah-tamah tidak berachir sampai disini sadja. Aku tidak disuruh pergi,
melainkan ditanjai kapan bermaksud hendak pulang. ,,Setelah menundjukkan bahwa aku sudah siap, aku
diiringkan sampai diluar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, ,,Izinkan kami untuk
menjediakan kendaraan untuk tuan," dan menundjuk kearah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banjak terdapat di Bukittinggi, djadi ini sudah pasti diambil dari seorang
saudagar kaja dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perdjalanan pakai
kendaraan.
,,Buick ini adalah untuk tuan," Sakaguchi membungkuk dengan hormat, ,,Diserahkan kepada tuan selama
tuan menghendakinja."
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh-sungguh bangga. Inilah aku, baru sadja lepas dari pembuangan,
sebuah Buick jang tjantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinja hampir tidak tjukup untuk
dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka memberiku makan dan
mereka telah memberiku kendaraan — akan tetapi tidak ada bensin.
Kawan-kawan — dan mereka jang bukan kawanku, akan tetapi jang kuharapkan dapat memahami Sukarno
lebih baik setelah membatja buku ini — ini adalah pertamakali aku mentjeritakan kisahku tentang
bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menjeret diriku
berdampingan dengan Djepang. Boneka............... pengchianat ............... aku tahu semua kata-kata itu.
Akan tetapi djika tidak dengan sjarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mentjapai kebebasan
negeriku, aku pasti takkan melakukannja. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan
sebagaimana mestinja. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanja tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku
untuk menuntut lebih banjak lagi kebebasan-kebebasan politik, aku terpaksa mengerdjakan berbagai hal
jang merobek-robek djantungku. Dengan hati jang berat aku melakukannja. Kalau aku tidak menepati
djandjiku, mereka tidak akan menepati djandji mereka pula.
Disuatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menjenangkan, akan tetapi keras. ,,Kami menghadapi
persoalan beras jang rumit," katanja dengan berkerut. ,,Nampaknja beras di Padang susah. Sebenarnja
hampir tidak ada. Saja memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Djepang tidak dapat beras, orang
Indonesia tidak akan dapat apa-apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari orang-
orang jang mengendalikannja, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekatjauan dan bertentangan
dengan tjara kerdja-sama jang kita usahakan. Setidak-tidaknja tjara jang baik, jang sampai sekarang telah
kita tjoba untuk melakukannja. Tentu ada djalan lain, tuan Sukarno, karena saja jakin tuan mengetahui.
Saja menjarankan, supaja tuan mendesak rakjat kepala-batu agar berpikir sedikit."
Aku segera minta bantuan saudagar-saudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton dan
segera ! Jah, selama masih Sukarno jang memintanja, aku memperolehnja. Sebanjak jang kuminta dan
setjepat jang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memetjahkan persoalan setiap orang. Djepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan.
Suatu krisis jang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para pradjurit Djepang. Rupanja mereka tidak
memperoleh apa-apa selama beberpa waktu. Ini adalah semata-mata persoalan mereka, akan tetapi mereka
berada ditanah-aiiku. Perempuan jang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuan-perempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang jang ta'at beragama. Perempuannja dididik dan dibesarkan dengan hati-
hati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, ,,Kalau anak buah tuan mentjoba-tjoba berbuat sesuatu dengan
anak-anak gadis kami, rakjat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra."
Aku menginsjafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Djepang bermain-main dengan gadis Minang.
Dan akupun menginsjafi, bagaimana sikap Djepang kalau persoalan ini tidak dipetjahkan, dan aku akan
dihadapkan pada persoalan jang lebih besar lagi.
Kuminta pendapat seorang kiai. ,,Menurut agama Islam," kataku memulai, ,,Laki-laki tidak boleh bertjintaan
dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininja. Ini adalah perbuatan dosa." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 96 dari 109
,,Itu benar," katanja.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengutjapkan maksudku, karena itu aku berpikir sebentar,
lalu berkata, ,,Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?"
,,Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin," protes orang alim itu dengan kaget.
Kemudian kubentangkan rentjana itu. ,,Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saja bermaksud hendak menggunakan lajanan dari para pelatjur
didaerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinja dan tidak akan menoleh untuk
merusak anak gadis kita."
,,Dalam keadaan-keadaan jang demikian," kata orang alim itu dengan ramah, ,,sekalipun seseorang harus
membunuh, perbuatannja tidak dianggap sebagai dosa."
Dengan berpegang kepada djaminan ini, bahwa rentjanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa jang besar,
maka aku mendatangi para pelatjur. ,,Saja tidak akan menjarankan saudara-saudara untuk melakukan
sesuatu jang bertentangan dengan kebiasaanmu," aku menegaskan, ,,akan tetapi rentjana ini sedjalan
dengan pekerdjaan saudara-saudara sendiri." ,,Saja dengar, Djepang kaja-kaja dan rojal dengan uang," salah
seorang tertawa gembira, nampaknja senang dengan usulku ini. ,,Benar," aku menjetudjui. ,,Mereka djuga
punja djam tangan dan perhiasan lainnja."
,,Saja menganggap rentjana ini saling menguntungkan dalam segala segi," ulas perempuan jang djadi
djurubitjara. ,,Tidak hanja kami akan mendjadi patriot besar, tapi ini djuga suatu perdjandjian jang
menguntungkan."
Kukumpulkanlah 120 orang disatu daerah jang terpentjil dan menempatkan mereka dalam kamp jang dipagar
tinggi sekelilingnja. Setiap pradjurit diberi kartu dengan ketentuan hanja boleh mengundjungi tempat itu
sekali dalam seminggu. Dalam setiap kundjungan kartunja dilobangi. Barangkali tjerita ini tidak begitu baik
untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknja tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk
menjerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi nama djenis manusia
seperti itu. Akan tetapi persoalannja sungguh-sungguh gawat ketika itu, jang dapat membangkitkan bentjana
jang hebat. Karena itu aku mengobatinja dengan tjara jang kutahu paling baik. Hasilnjapun sangat baik,
kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rentjana itu.
Oleh karena Djepang memerlukan tenagaku untuk memetjahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka
senantiasa berusaha supaja aku tidak kekurangan apa-apa. Fujiyama menawarkan apa sadja. Semua tawaran
kutolak. Aku menerima hanja jang perlu-perlu sadja.
Tugasku dalam menghubungi rakjat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masjarakat jang djauh-djauh.
Dalam mengadakan perdjalanan keliling ini sudah tentu aku memertjikkan harapan-harapan kepada kepala-
kepala setempat. Dan kepada rakjat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari depan.
Perdjalanan ini memerlukan bensin.
Fujiyama dalam waktu-waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi duaratus liter. Diapun memberikan
kartu pandjang jang ditjoret-tjoret dalam bahasa Djepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi
ketempat ini-ini dan didjalan ini-ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku mendjaga,
agar meminta tidak lebih daripada jang diperlukan. Seringkali orang-orangku masuk duapuluh kilometer
kedaerah pedalaman untuk mentjari gudang bensin jang disembunjikan oleh Belanda. Aku mentjoba setiap
sesuatu dan segala sesuatu supaja tidak bergantung lebih banjak kepada Djepang. Tidak lupa Fujiyama setiap
kali bertanja, ,,Apakah tuan Sukarno memerlukan uang ?"
Dan kudjawab dengan, ,,Tidak, terimakasih. Rakjat memberikan segala-galanja kepada saja. Ketika saja
sakit baru-baru ini, tersebarlah berita kepada rakjat. Didjalan-djalan terdengarlah rakjat meneruskan berita
dari jang satu kepada jang lain, 'Hee, tablet calcium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Tjoba
tjarikan.' Dan dalam waktu satu djam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.
,,Darimana diperolehnja ?" dia bertanja tak-atjuh.
,,Saja tidak tahu," djawabku tak-atjuh pula. Jang tidak kusampaikan kepadanja ialah, bahwa di Padang
banjak orang Tionghoa punja toko jang bisa mentjarikan apa sadja kalau mereka mau. Dan kalau untuk
Sukarno mereka mau. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 97 dari 109
,,Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal jang lain ?"
Dan aku mendjawab, ,,Tidak, terimakasih. Saja tinggal dirumah Waworuntu tidak membajar. Rumah itu
tjukup buat kami. Saja tidak memerlukan perlakuan jang istimewa."
,,Bolehkah saja membantu tuan dengan adjudan sebagai pembantu tuan ?"
,,Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami tjara bantuan kami jang diberikan dengan
sukarela, namun itulah tjara kami. Saja mempunjai lebih dari tjukup tenaga pembantu." Seorang wartawan
setempat mendjadi supirku. Namanja Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Dutabesar Indonesia di
India. Seorang lagi jang pernah mendjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia setjara sukarela
untuk memberikan tenaga tanpa bajaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerdja sebagai sekretaris penuh
tanpa gadji.
Karena ia tidak dapat membudjukku ketjuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian, menanjakan
kepada jang lain-lain apa jang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaja mendjawab, ,,Terimakasih, Bung
Karno tidak memerlukan apa-apa. Rakjat memberikan apa sadja jang diperlukannja."
Aku tidak banjak minta, djadi kalau menuntut sesuatu biasanja aku memperolehnja. Dan tidak lama
kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Djepang menjerbu pulau Djawa
dengan tjara jang sama seperti Sumatra : Belanda lari puntang-panting. Djepang sekarang berkuasa atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka.
Sebagai balasannja mulailah timbul kegiatan gerakan-bawah-tanah dari para nasionalis jang sangat anti
Djepang. Beberapa orang jang terlibat dalam sabotase dan permusuhan setjara terang-terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia jang sangat ditakuti. Salahsatu dari jang malang ini kukenal baik. Namanja Anwar. Orang
ini disiksa. Kenpeitai ingin mendjadikannja sebagai tjontoh perbuatan djahat, oleh karena dialah orang
subversif jang pertama-tama ditangkap, Djepang mentjabut kuku djarinja.
Aku tjepat-tjepat pergi ke Bukittinggi dan menjimpan tasku dirumah Munadji seorang kawan, dan pergi
menemui para pembesar. Sementara itu pentjuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku jang
sedikit itu, karena aku tidak pernah punja barang banjak. Melajanglah tasku itu, didalamnja kalung emas
kepunjaan Inggit dengan liontin pakai berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanja untuk menerima barang itu
tanpa bajaran. Di Bukittinggi, mereka hanja mau memberikan dan tidak mau menerima sesuatu dariku. Djadi
polisi menduga, pentjuri itu tentu orang pendatang. Mendjalarlah dari mulut kemulut bahwa Bung Karno
mendjadi korban pentjurian dan dua hari kemudian harta itu kembali setjara adjaib. Untuk menghindari
hukuman, sipentjuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim untuk menjembunjikan
barang itu disudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi kesana untuk mendo'a dan
..............lihat ! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kedjadiannja .
Dua hari telah berdjalan aku kembali memperdjoangkan persoalan Anwar kepada Djepang. Kataku, ,,Saja
kenal baik kepadanja. Selama tuan menepati djandji untuk kerdja-sama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia dan orang-orang nasionalis jang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanja salah terima
mengenai penurunan bendera Merah-Putih dan peristiwa-peristiwa lain jang terdjadi sebagai pertanda dari
pemutusan djandji tuan. Dia tidak bermaksud apa-apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannja,
saja jakin saja dapat menggunakan tenaganja dengan baik. Saja sendiri memberikan djaminan akan djiwa
patriotismenja."
Dua djam setelah kundjungan jang kedua ini mereka melepaskannja.
Bab 19
Pendudukan Djepang
SEMENTARA itu Djendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan jang bermarkas-besar di Djakarta,
memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan sipil, akan
tetapi mereka keberatan dengan alasan, ,,Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 98 dari 109
Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menjatakan "Sebagian besar daripada tentara
pendudukan beserta pimpinan. Jang mengendalikan tentara ini berada di Djawa. Tugas pemerintahan jang
sesungguhnja ada disini dan ternjata urusan sipil tidak berdjalan dengan baik. Kami sangat memerlukan
bantuan dari orang jang paling berpengaruh." Surat itu achirnja menjimpulkan, ,,Ini adalah perintah militer
supaja memberangkatkan Sukarno."
Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku
ke Djakarta, hatiku menari-nari gembira. Semendjak pendaratan Djepang di Padang empat bulan jang lalu
aku mendo'a agar dapat kembali kepulau Djawa jang tertjinta, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana
tjaranja memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do'aku dan memerintahkanku
kembali.
Dekat Palembang kami terlibat dalam suatu ketjelakaan. Dua buah kendaraan. Djepang dengan ketjepatan
jang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah djip. Itulah pertamakali
dalam hidupku aku melihat djip. Kendaraan jang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. didalam truk
itu tergontjang, akan tetapi tidak apa-apa selain dari babak-belur sedikit. Dengan memberanikan diri mereka
tjepat-tjepat lari meneruskan perdjalanan. Djip itu hantjur samasekali. Penumpangnja, seorang kapten,
mendapat luka parah. Adjudannja terpelanting kepinggir djalan dan hanja pusing dan terbaring dibawah
sebatang kaju. Sewaktu dia sadar lagi dia menjatakan kepada kami, ,,Kami perlu segera sampai di
Palembang. Saja bawa Buick ini."
,,Tapi," protesku, ,,Ini milik saja. Komandan daerah ini memberikan izin istimewa kepada saja."
Kutundjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinja."
Sebagian dari ,,pertjakapan" ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, adjudan itu
menghormat dengan kaku, mengutjapkan sesuatu seakan dia berkata, ,Ini urusan penting. Ma'af sadja." Lalu
dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar didjalanan itu. Polisi Militer jang
segera datang ketempat ketjelakaan ini mengerti tanda-tanda pengenalku. Kendaraan selandjutnja jang
kebetulan lewat adalah sebuah truk. Sertamerta kendaraan itu disita dan kami meneruskan perdjalanan
dengan meninggalkan pemiliknja dipinggir djalan itu.
Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang Indonesia jang terbanting dari atas truk besar tadi
menggeletak disemak-semak, mukanja tertelungkup ketanah bermandi darah jang menggenang. Ia sudah
tidak bernjawa lagi. Aku tidak dapat meninggalkan orang jang malang itu ditengah hutan, dikelilingi oleh
muka-muka masam. Dengan mengangkat majat jang berlumuran darah keatas truk, aku membawanja untuk
dikuburkan sebagaimana mestinja. Jang seorang lagi adalah pradjurit Djepang, ditugaskan untuk membawa
kami. Inggit disuruh duduk disebelahnja. Penumpang lain dibelakang, Satu-satunja kesukaran jang kuhadapi
ialah mengenai Inggit jang tidak mau duduk disebelah Djepang. Achirnja aku menjelesaikannja dengan
meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua diantara Inggit dan pradjurit itu.
Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran jang lebib banjak. Para pembesar disana tidak
mengizinkan kami meneruskan perdjalanan ke Djakarta sebagaimana instruksi jang telah kuterima. Orang
jang bertugas menolakku dengan utjapan singkat, ,Dilarang bepergian antara Sumatra dan Djawa.
,,Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini," aku memberi alasan. ,,Perintah ini saja terima dari
komandan atasan saudara sendiri."
,,Sekarang, ini tidak ada perdjalanan orang preman antara Sumatra dan Djawa," dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menjuruhku pergi.
Ketika aku bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan kemarkas Kenpetai jang menjeramkan.
Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. ,,Kami memerlukan lebih banjak
keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno," kata seorang perwira berperut buntjit melengking, sambil
mempermainkan pedang Samurai ditangannja. ,,Kami mendapat keterangan dari saluran-saluran kami,
bahwa tuan orang jang tidak baik, hatinja tidak bersih terhadap kepentingan kami."
,,Tidak benar," aku mendengus tidak sabar. ,,Saja dapat membuktikan , ketidak-benaran keterangan itu."
Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik jang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat
digunakan dalam keadaan-keadaan seperti ini. Dia membatja pelahan-lahan. Kemudian diulangnja membatja
sekali lagi. Dan setjarik karton berwama putih inilah jang menjelamatkan djiwaku. Namun persoalan
pengangkutan tidaklah dipertjepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menjelesaikan persoalan
setempat sebelum menandatangani surat izin keluar. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 99 dari 109
Sibuntjit telah menjarungkan kembali pedang Samurainja. Sambil tersenjum dia berkata, ,,Kalau betul tuan
orang baik dan dengan maksud-maksud baik, saja minta tuan mengundurkan keberangkatan dan membantu
kami mengatasi kesukaran-kesukaran disini jang disebabkan oleh rakjat tuan jang pandir.
Dia duduk dipinggir medja. Aku dikorsi. Kami berhadap-hadapan dan pada djarak jang dekat mukanja itu
menarik sekali untuk dipeladjari. Mulutnja tersenjum, akan tetapi matanja tidak. ,,Lebih baik kami tidak
menahan tuan dengan paksa, tuan Sukarno," dia mendesis. ,,Akan saja bantu dengan apa jang dapat saja
berikan," djawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain jang dapat diutjapkan dalam suasana
demikian itu.
Orang Djepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku melakukan
satu hal jang tidak mereka senangi samasekali. Akan tetapi sebaliknja mereka lalu melakukan banjak hal
jang tidak kusukai djuga. Aku telah menjaksikan perbuatan-perbuatan kurang-adjar dan memuakkan dan
menjampaikan hal ini kepada mereka. Kukatakan kepada Sibuntjit, "Seringkali saja Iihat anak-buah tuan
terlalu mudah melajangkan tangan. Dengan mata kepala saja sendiri saja menjaksikan mereka berkalikali
menampar orang Indonesia."
Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Sibuntjit hanja memandang kepadaku, dengan sombong
mengajun-ajunkan kakinja - setiap kali hampir-hampir mengenai kakiku - dan menantikan utjapanku untuk
memberikan kesimpulan. ,,Pukulan-pukulan terhadap rakjat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah djalan
untuk mentjiptakan persahabatan dan membangkitkan kepertjajaan rakjat," aku menegaskan. ,,Kalau tuan
menghendaki kerdjasama dari saja jang baik, tuan hendaknja memperlihatkan kerdjasama pada saja."
,,Itu keliru," katanja memberungut. ,,Kelakuan buruk ini dilakukan oleh pradjurit-pradjurit Korea. Orang
Korea terkenal dengan sifatnja jang gatal tangan. Pradjurit-pradjurit Djepang sikapnja djauh lebih baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu."
,,Komandan," kataku. ,Orang Indonesia jang kena pukul tidak membedakan siapa jang bertindak itu. Soalnja
ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan ? Dan tidak dilakukan oleh siapapun ?"
,,Baik, tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saja. Para Komandan Bataljon akan diperintahkan
supaja segera menghentikan perbuatan lantjang tangan ini." Sedjak itu sikap mereka berobah.
Sebulan kemudian mereka membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Djepang di Palembang
hanja mempunjai sebuah kapal, jaitu sebuah perahu-motor dengan mesin caterpillar. Perahu jang akan
mengarungi lautan ini pandjangnja delapan meter, sedangkan penumpangnja terdiri dari seorang kapten,
dua pradjurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang-barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu dan
Ketuk Dua. Aku mentjoba untuk mengusahakan kapal jang lebih besar, akan tetapi kepadaku disampaikan
supaja kami menunggu. Jah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanja menunggu di Sumatra.
Tjukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama-sekali tidak memenuhi sjarat sebagai kapal laut, akan tetapi ini
adalah kesempatan pertama jang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus kupergunakan.
Empat hari empat malam lamanja kami terkatung-katung ditengah lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap
detik dan setiap menit angin laut dan kabut-air menjapu muka bumi selama duapuluh empat djam dalam
sehari. Pelajaran ini djauh daripada menjenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan
jang keras dan kami harus menahankannja diatas perahu jang terbuka, tanpa setjarikpun alat pelindung.
Kemudian perahu-motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau-karang jang rendah. Lagi pula aku
gelisah menghadapi tantangan-tantangan ini, oleh karena aku tak pernah beladjar berenang. Dimasa mudaku
sportku dalam air hanja memakai ban dalam jang dipompa, lalu duduk didalamnja dan mentjebur-tjebur.
Kami membawa sajuran jang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnja dalam stoples dan nasi
seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Jang masuk kedalam perutku hanjalah air djeruk sedikit. Aku
terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal ketjil kami melambung keatas dan dihempaskan lagi
oleh gelombang kebawah, tergontjang, mengoleng-oleng dan berpusing-pusing. Dan aku putjat seperti majat
selama empat hari itu.
Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak-ngentak, matahari membakarku angus, kabut
air-laut membikin bibirku petjah-petjah, perutku lapar dan badan lemah - ach, peduli amat ! Bukankah
sekarang aku pulang ? Aku sekarang kembali ke Djawa. Karena sangat bersjukur dapat kembali dalam
keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini adalah
permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainja dengan kesegaran baru. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 100 dari 109
Lintasan pertama dari tanahku jang tertjinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Djawa. Hari
sudah sore dan panas ketika kami menderum-derum melalui iring-iringan perahu-lajar penangkap-ikan dan
sampan-sampan nelajan jang berbau hanjir. Melewati perairan diluar aquarium jang dibuat didok dan
memasuki pelabuhan Pasar Ikan jang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu berpapasan.
Pasar ikan penuh sesak dengan tempat pendjualan hasil dari laut. Airnja kotor. Daun-daunan, kepala ikan
dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau hanjir dari ikan mati memenuhi udara, sekitar itu. Akan
tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ketangga batu jang membawaku keatas daratan, aku
berbitjara dalam hatiku, ,,Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat jang lebih indah
seumur hidupku."
Didarat tak seorangpun jang datang mendjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang nelajan
untuk menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengatjara jang membelaku dulu di Bandung,
jaitu Sartono, dan Hatta jang djuga berada di Djakarta. Diudjung darmaga tampak sebuah kantor-emperan.
Pradjurit pendjaganja mempersilakanku masuk dan menjuruhku duduk. Dan kududuklah disitu. Aku
menunggu.
Anwar jang pertama datang. Tuhan melindunginja. Dia datang berlari dengan mata berlinang-linang. Kami
berpelukan dan mentjium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak diiringi
dengan pukulan punggung jang keras. Suasananja menggambarkan perasaan sjukur jang diutjapkan dengan
tidak bersuara. Hanja airmata mengalir kepipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak banjak mengutjapkan
kata-kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannja. la tidak bisa lewat dari kerongkongan. Sebaliknja ia
mentjutjur dari mata kami.
,,Bagaimana kabamja Harsono ?" tanjaku, suaraku berobah karena terharu.
,,Baik."
,,Utari ?"
,,Semua baik. Jang lebih penting lagi saja menanjakan bagaimana keadaan Bung Karno."
,,Akupun baik."
Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada djarak satu lengan. Didepannja ia
lihat sekarang seorang laki-laki jang letih dan kurus, pakai djas putih jang lapang dan tjelana tidak
berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan djaman. la adalah buatan Darham, pendjahit dari Pulau Bunga jang
tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan.
Anwar memakai djas kuning-gading dengan potongan ,,doublebreast". Setelah aku menjeka pipi dan
mentjium tanah dibawahku, lalu menggosok mataku untuk mejakinkan apakah jang berdiri didepanku betul-
betul Anwar, bukan-pajangan, aku kemudian kembali pada kenjataan. Kuraba-raba djasnja. ,Djasmu bagus
sekali potongannja," aku memudji.
,,Bikinan De Koning," ia melagak.
Pendjahit paling terkenal di Djakarta diwaktu Belanda. !Bagaimana kau membajarnja ?"
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti tjorong kemulutnja dan berbitjara langsung ketelingaku. ,,Saja
masuk dari pintu belakang. Ongkosnja terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan jang bekerdja sebagai
pendjahit-pembantu ditoko De Koning." ,,Apa dia mau kira-kira membikinkan untukku ?" ,,Tentu mau. Kalau
Bung Karno sudah senggang sedikit, saja bawa kesana."
Seringkali generasi muda menukil kembali utjapan-utjapan jang abadi dan jang akan hidup terus. Utjapan
jang keluar dalam detik-detik jang besar didalam sedjarah. Utjapan jang akan menggeletarkan tulang
sumsum, utjapan jang membangkitkan semangat, utjapan jang dituliskan dengan kata-kata indah seperti ini
disaat pertemuan kami. Akan tetapi sajang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanjakan tentang
keadaan Anwar beserta keluarganja, pokok persoalan selandjutnja jang kutanjakan kepadanja hanjalah
mengenai tukang djahitnja. Diminggu itu djuga aku pergi mendjahitkan pakaian jang pertama selama
bertahun-tahun.
Setengah djam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama
bertahun-tahun. Dan sekalipun banjak jang hendak dikatakan dan banjak jang hendak ditanjakan, namun BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 101 dari 109
masing-masing kami hanja punja satu pertanjaan untuk jang lain. Hatta membisik, ,,Bagaimana pendapat
Bung Karno mengenai pendudukan ini ?" Aku membisikkan kembali, ,,Djepang tidak akan lama disini. Mereka
akan kalah dan kita akan hantjurkan mereka. Inipun asal kita tidak menentang mereka setjara terang-
terangan.
Kemudian aku bertanja, ,,Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakjat kita ?"
,,Semangat rakjat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakjat sudah mulai tjuriga kepada Djepang jang
mendjadi ,,pembebas" itu dan rakjat sangat menantikan kedatangan Bung Karno.
Djepang telah menjediakan sebuah rumah bertingkat-dua dan manis potongannja, terletak disebuah djalan-
raja Djakarta. Rumah itu mempunjai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, ketjuali piring-
piring barang petjah-belah lainnja jang sudah dibanting-bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat.
Tentunja tidak ada penjambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun jang tahu kapan
Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanja larangan jang keras untuk mengadakan pertemuan. Sekalipun
demikian didalam rumah kudapati telah ada beberapa anggota dari ,,Panitia Penjambutan Bung Karno".
Wadjah mereka bersinar dengan kegembiraan jang tenang dan mereka berlutut, lalu mentjium tanganku.
Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu. Orang-orang jang kutjintai
ini telah ditundjuk untuk mentjarikanku rumah tinggal jang tjotjok.
,,Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp-tawanan," kata Ahmad Subardjo. ,,Kalau Bung Karno berdjalan-
djalan, akan melihat banjak rumah-rumah bagus jang kosong. Isteri saja meneliti sebelah satu djalan. Isteri
Sartono diseberangnja. Dalam beberapa hari sadja mereka menemukan rumah ini." ,,Rumah ini besar sekali,"
kataku sambil memeriksa bagian dalam. ,,Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu memerlukan
ruangan banjak untuk tetamu. Semendjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang dalam waktu tidak
lama lagi, rakjat dari desa-desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah jang djauh semakin meluap-
luap. Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toch sanggup untuk datang dan melihat sendiri wadjah
Bung Karno, Mereka tidak pertjaja bahwa Bung Karno betul-betul ada disini dan bebas dan sudah siap lagi
untuk menduduki tempat sebagai pahlawan mereka." Malam itu Inggit dan aku berdialan-djalan disekitar
rumah kami jang baru itu. Didjalanan jang lebar dengan dikiri-kanannja barisan pohon-pohon, jang
merupakan daerah elite di Djakarta. Telah pandjang waktu berlalu dibelakangku. Hampir tigabelas tahun.
Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan perang telah terdjadi. Tapi sjukur, Aku sudah pulang
ketempatku semula. Aku kembali mendjadi pemimpin dari rakjatku. Aku sudah kembali ......
Bab 20
Kollabolator Atau Pahlawan ?
MALAM itu aku pergi kerumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan jang pertama guna membitjarakan taktik
kami bekerdja untuk masa jang akan datang. ,,Bung Hatta dan saja dimasa jang lalu telah mengalarni
pertentangan jang mendalam," kataku. ,,Memang disatu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi
sekarang kita menghadapi suatu tugas jang djauh lebih besar daripada jang dapat dilakukan oleh salah-
seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada waktu sekarang kita satu.
Dan kita bersatu didalam perdjoangan bersama."
,,Saja setudju," Hatta menjatakan.
Kami berdjabat tangan dengan kesungguhan hati "inilah", kataku berdjandji, ,,djandji kita sebagai
Dwitunggal. Inilah sumpah kita jang djantan untuk bekerdja berdampingan dan tidak akan berpetjah hingga
negeri ini mentjapai kemerdekaan sepenuhnja."
Bersama-sama dengan Sjahrir, satu-satunja orang jang turut hadir, rentjana-rentjana gerakan untuk masa
jang akan datang kami susun dengan tjepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerdja dengan dua tjara.
Diatas-tanah setjara terang-terangan dan dibawah-tanah setjara rahasia. Jang satu memenuhi tugas jang
tidak dapat dilakukan oleh tjara jang lain.
"Untuk memperoleh konsesi-konsesi politik jang berkenaan dengan pendidikan militer dan djabatan-djabatan
pemerintahan bagi orang-orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan tjara kollaborasi." kataku.
,,Djelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa," Hatta menegaskan. ,,Djadi
Bung Karno harus bekerdja setjara terang-terangan." ,,Betul, Bung Hatta membantu saja. Karena Bung Hatta
terlalu terkenal untuk bisa bekerdja dibawah-tanah." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 102 dari 109
,,Biarlah saja," Sjahrir menjarankan, ,,untuk mengadakan gerakan bawah-tanah dan menjusun bagian
penjadap-berita dan gerakan rahasia lainnja."
Pembitjaraan singkat itu, jang berlangsung selama satu djam, mengembangkan suatu landasan jang begitu
ringkas. Dan kelihatannja seolah-olah dikerdjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali duapuluh
tahun kemudian. Sebenarnja strategi kami adalah satu-satunja pilihan jang mungkin didjalankan ketika itu.
Djadi kami tidak mernpunjai pilihan lain. ,,Inilah kesempatan jang kita tunggu- tunggu," kataku
bersemangat. ,,Saja jakin akan hal ini. Pendudukan Djepang adalah kesempatan jang besar dan bagus sekali
untuk mendidik dan mempersiapkan rakjat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp-tawanan. Sebaliknja
djumlah orang Djepang tidak akan mentjukupi untuk melantjarkan roda pemerintahan diseluruh kepulauan
kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa madjikannja
tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita."
Aku berdjalan hilir-mudik ketika berpikir dengan keras, ,,Akan tetapi rakjat kita harus menderita, lebih dulu,
karena hanja dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakjat kita adalah bangsa jang suka damai, mau
senang dan mengalah dan perna'af. Sungguhpun rakjat Indonesia hampir mentjapai djumlah tudjuhpuluh
djuta dan diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakjat tidak pernah bergolak sedernikian
panas sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannja dengan
memberikan kebaikan-kebaikan palsu. Djepang tidak.
,,Kita tahu, bahwa Djepang tidak segan-segan memenggal kepala orang dengan sekali ajunan pedangnja. Kita
mengetahui muslihat mereka, memaksa sikorban merninum berliter-liter air dan kemudian melompat keatas
perutnja. Kita sudah mengenal djeritan ditengah malam jang menakutkan jang keluar dari markas Kenpetai.
Kita mendengar pradjurit-pradjurit Kenpetai dengan sengadja dalam keadaan mabuk-mabukan untuk
menumpulkan perasaannja. ,,Orang Djepang memang keras. Kedjam. Tjepat melakukan tindakan kurang-
adjar. Dan ini akan membuka mata rakjat untuk mengadakan perlawanan.
,,Mereka djuga akan memberikan pada kita kepertjajaan terhadap diri sendiri." Hatta menguraikan. ,,Bangsa
Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat." ,,Kondisi-kondisi inilah jang akan mentjiptakan suatu
kebulatan tekad. Kalau rakjat kita betul-betul digentjet, maka akan datanglah revolusi mental. Setelah itu,
revolusi fisik."
Aku duduk. Melalui lobang sandal aku mengelupas kuku djari kakiku, suatu tanda jang pasti bahwa pikiranku
gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu-djari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah. ,,Kita harus
melantjarkan gerakan kebangsaan," kataku berbitjara dalam mulut.
,,Tidak mungkin," Hatta membalas. ,Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun dilarang."
,,Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakjat kalau tidak ada pergerakan rakjat," kunjatakan dengan
tegas. ,,Saja tidak bisa duduk-duduk sadja dibelakang medja setjara passif. Kalau hanja sebagai pemberi
nasehat, itu tidak tjukup bagi saja. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menjuruh rakjat berdjoang, sekalipun
dengan diam-diam, tanpa bimbingan. Kalau saja tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri, saja akan
mengadakan infiltrasi kedalarn gerakan jang didukung oleh Djepang. Bagaimana dengan Gerakan Tiga-A ?"
Gerakan Tiga-A adalah suatu organisasi jang setjara psychologis keliru. la bekerdja dengan sembojannja jang
menusuk hati: &"Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Tjahaja Asia"
,,Gerakan itu tidak betul," Sjahrir menggerutu. ,,Tudjuannja tadinja hendak mengumpulkan bahan makanan
dari kita, mengaut kekajaan alam kita dan bahkan djuga mengumpulkan tenaga manusia."
,,Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apa-apa sebagai balasannja," Hatta menambahkan. ,,Ditambah
lagi dengan propagandanja jang sangat dibesar-besarkan, tidak adanja pemimpin bangsa Indonesia jang
duduk dalam putjuk pimpinannja dan ketidak-senangan rakjat jang sernakin meningkat menjebabkan
gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno mendjauhkan diri dari Gerakan Tiga-A."
,,Tidak. Saja pikir, malah saja akan memasukinja." ,,Kenapa ?" ,,Ja. Untuk merombaknja."
Dimalam pertama aku di Djakarta aku pergi tidur dengan kepala jang pusing, oleh karena pikiranku gelisah.
Hitam-putihnja baru diketahui dihari esok. Aku harus menghadap Letnan Djendral Imamura. la menerimaku
dikamar-duduknja dalam istana jang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Djendral Hindia Belanda.
Kamar duduk itu sekarang mendjadi kamar-studiku. Djendral Imamura adalah seorang Samurai sedjati. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 103 dari 109
Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah mempersilakanku
duduk, iapun duduk. Sikapnja lurus seperti tongkat.
Aku berbitjara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Djepang. Kami mempunjai djurubahasa. Aku pergi
sendirian tanpa pengikut. Djendral itu dengan adjudannja tentu. Djendral-djendral selalu punja. Dialah
mula-mula membuka pembitjaraan ,,Saja memanggil tuan ke Djawa dengan maksud jang baik. Tuan tidak
akan dipaksakan bekerdja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembitjaraan kita - apakah tuan
bersedia untuk bekerdja-sama dengan kami atau tetap sebagai penonton sadja - samasekali tergantung
kepada tuan sendiri."
,,Boleh saja bertanja, apakah rentjana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia ?" Mendjawab Imamura, ,,Saja
hanja Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah jang berhak menentukan, apakah
negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti jang luas dibawah lindungan pemerintah-Nja. Ataukah akan
memperoleh kemerdekaan sebagai negara-bagian dalam suatu federasi dengan Dai Nippon. Ataupun
mendjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saja tidak dapat memberikan djandji jang tepat tentang
bentuk kemerdekaan jang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan jang demikian itu tidak dapat
diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami tjita-tjita dan sjarat-
sjarat tuan, dan ini sedjalan dengan tjita-tjita kami." Kalimatku selandjutnja adalah, ,Terimakasih, Djendral.
Terima kasih karena tuanlah orang jang mendupak Belanda jang terkutuk itu keluar. Saja mentjobanja
selama bertahun-tahun. Negeri saja mentjoba selama berabad-abad. Akan tetapi Imamura-lah orang jang
berhasil." ,Boleh saja bertjeritera, Ir. Sukarno, bagaimana saja menaklukkan orang Kulitputih jang kuat-
perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah ! Semata-mata gertak."
Wadjahku diwaktu itu tentu mentjerminkan kebingungan, karena Djendral itu berkenan untuk tersenjum dan
kemudian dengan riang mentjeriterakan kemenangan itu. ,,Pada waktu tentara saja mendarat di Djawa,
pasukan saja hanja tinggal beberapa bataljon dan saja harus memetjah-metjahnja lagi. Sebagian mendarat
di Djawa Barat, sebagian di Djawa Tengah, sebagian di Djakarta, beberapa lagi di Banten. Jang langsung
dibawah pimpinan saja mendarat di Kalidjati. Dan pasukan ini tjompang-tjamping. Orang-orang saja punja
senapan, tapi tidak punja uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Djendral sudah terbang ke Bandung."
,,Kota itu dilindungi oleh gunung-gunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan." ,,Betul,"
Imamura mengangguk. ,,Lalu saja mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannja ke
Kalidjati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saja bemarkas disebuah kamar
jang ketjil. Dengan suara-suara jang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menjokong keberanian saja, saja
menuntut, 'Nah, apakah tuan sekarang akan menjerah ? Kalau tidak, saja akan membom tuan sampai lenjap
dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnja segera terburu-buru dan menjerah."
,,Dengan sisa tentara jang terpetjah-petjah dan melarat," kataku kepada penakluk jang menghadapiku, tuan
mengusir orang-orang jang akan selalu dianggap sebagai penindas-penindas sedjati dari Indonesia. Saja
berterima-kasih kepada tuan untuk selama-lamanja."
Drama jang kupertundjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Djendral Aguinaldo. Dia
melawan Spanjol selama bertahun-tahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, jang
pertama-tama diutjapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, ,,Terima-kasih." Kemudian ketika
Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menjepakkannja keluar dengan
keras.
"Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?" tanjaku.
,,Terus-terang saja tidak tahu. Saja tidak mempujnjai rentjana sampai kesitu." Nah, dia belum. Tapi aku
sudah punja. Dan aku mulai dengan siasat jang pertama. ,,Untuk memimpin rakjat kami sesuai dengan
pemerintahan militer, saja memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanja
dapat dilantjarkan, kalau orang-orang Indonesia ditempatkan pada djabatan-djabatan pemerintahan. Hanja
orang Indonesialah jang mengetahui daerah, bahasa-bahasa daerah dan adat-istiadat saudara-saudaranja."
,,Kalau ini pemetjahan jang terbaik untuk memadjukan kemakmuran dan kesedjahteraan, maka orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menjelesaikan urusan dalam negeri setjara meningkat.
Djabatan-djabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan segera."
Kalau dilihat dari konsesi-konsesi jang diberikan kepadaku dibidang politik, maka kekuasaan berada
ditanganku. Sang Djendral adalab seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang sendjata. Aku seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Didalam tanganku ia seorang baji. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 104 dari 109
Kugariskan rentjanaku kepada Hatta malam itu djuga. ,Dengan biaja pemerintah Djepang akan kita didik
rakjat kita sebagai penjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak hanja
menerima perintah. Rakjat dipersiapkan mendjadi kepala. kepala dan administrator-administrator. Mereka
dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu-hari-jang-akan-datang, pada waktu mana kita
mengambil alih kekuasaan dan menjatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita
melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil" Tanpa menunggu djawaban atas keterangan itu aku
melandjutkan, ,,Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana-mana Belanda.... Belanda. ...... pendeknja
setiap satu djabatan diduduki oleh si Belanda buruk !" ,,Dan rakjat kita tjukup djadi pengantar-surat sadja
atau pesuruh," Hatta menambahkan, ,,Selalu dalam kedudukan menghambakan diri Selalu patuh." ,,Sekarang
rakjat jang kurus-kering, diindjak-indjak lagi bebal ini akan mendjadi pedjabat-pedjabat dalam
pemerintahan. Mereka akan beladjar membuat keputusan, mereka akan mempeladjari bagaimana
melantjarkan tugas, mereka akan mempeladjari bagaimana memberikan perintah. Saja sudah menanamkan
bibitnja dan Djepang akan memupuknja.
Aku meludah ketanah. ,,Itulah sebabnja mengapa setiap orang jang tjerdas membentji Belanda. Orang
Belanda mengharapkan kerdjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita jang
menguntungkan dari kerdjasama itu. Kalau saja mengingat-ingat perangai Belarida jang munafik, saja mau
muntah. Apakah jang dikerdjakan Belanda untuk kita ? Nol besar ! Saja menjadari, tentu ada orang jang
menentang saja, karena saja bekerdjasama dengan Djepang. Tapi, apa salahnja ? Memperalat apa jang sudah
diletakkan didepan saja adalah taktik jang paling baik. Dan itulah sebabnja mengapa saja bersedia
menerimanja."
Bulan Nopember Gerakan Tiga-A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang djabatan resmiku dalam
suatu badan baru jang bernama PUTERA. Tokyo menganggap ,,Pusat Tenaga Rakjat" ini sebagai alat dari
Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakjat digaris belakang bagi kepentingan peperangan mereka. Tapi
Sukarno mengartikannja sebagai alat jang nomor dua paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak
politik jang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan-kesulitan jang timbul didalam negeri.
Ambillah misalnja persoalan tekstil jang rumit. Oleh ketiadaan kain rakjat Marhaen memakai badju dari
karung atau bagor. Anak-anak jang baru--lahir dibungkus dengan taplak-medja. Aku pergi berkeliling
menjampaikan seruan kepada rakjat desa. Kataku, ,,Dinegeri kita tumbuh sematjam tanaman jang bemama
rosella. Seratnja bisa -ditenun mendjadi kain. Hajo kita tanani rosella. Mari kita tenun kain dari rosella."
Rakjat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakjat terpaksa mentjari akal untuk menutupi kekurangan, mereka
melakukannja. Akan tetapi sementara aku mendjalankan gerakan itu, aku memilih patriot-patriot jang
dipertjaja dan memperkerdjakannja pada pembesar-pembesar setempat. Kataku, ,,Pekerdjaan ini akan lebih
berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannja. Ini orangnja, djadikanlah dia sebagai
kepala dari gerakan ini. Saja sendiri mendjamin kesetiaannja."
Kami tidak mempunjai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaja membuat sabun dari minjak-
kelapa dan abu daun-kelapa jang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia jang berbuih djika ditjampur
dengan minjak. Kemudian kupilih salah-seorang pengikutku jang paling dipertjaja, Ialu kusampaikan kepada
pedjabat jang berhubungan dengan itu, ,,Saja mempunjai seorang kawan disini jang mengetahui bagaimana
melakukannja. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan."
Kami tidak punja listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, ,,Hajo kita tanam djarak. Tanaman ini
mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bidjinja kita dapat membuat minjak kastroli jang bisa menjala
dengan terang." Apa sebabnja aku mengetahui hal ini ? Oleh karena aku orang Djawa. Oleh karena
keluargaku melarat dan terpaksa memakainja. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku harus
membakar bidji djarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnja mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah jang diduduki itu. Hanja
penduduk aslilah jang tahu, bagainiana memetjahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat menduduki
suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu - ini selalu - dimana sadja - bilamana sadja.
Kami tidak mempunjai obat-obatan. "Pakailah obat asli peninggalan nenek-mojang kita," aku mengandjurkan.
,,Untuk penjakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari alang-alang." Rakjat
Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan-penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan jang paling rumit untuk diatasi. Tentara Djepang merampas setiap
butir beras. Kalau bukan orang penting djangan diharap akan memperolehnja sekalipun satu kilo. Di Bali BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 105 dari 109
orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sedjumlah besar bidji pepaja dan membagikannja
kepada setiap orang masing-masing dua butir. Buah-buahan jang enak ini kemudian tumbuh disetiap
pendjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Djepang membuat djaringan radio jang tetap dengan
menempatkan pengeras-suara disetiap desa, sehingga setiap orang jang sebelum itu hanja mendengar nama
Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. ,,Saudara-saudara kaum wanita," terdengar suara Sukarno
mendengung melalui tiap pengeras-suara, ,,Dalam waktu saudara jang terluang, kerdjakanlah seperti jang
dikerdjakan oleh Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Dihalaman muka saudara sendiri saudara
dapat menanamnja tjukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara." Nah, karena Sukarno jang
mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnja. Dan disetiap halaman bertunaslah buah djagung.
Usaha ini ada ketolongannja.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebentjian rakjat terhadap orang Djepang, karena kekurangan
makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato-pidato seperti ini. ,,Agen-agen musuh membisikkan
ditelinga saudara, bahwa Dai Nippon jang mendjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan-bulan
jang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara-negara Sekutupun menderita
kemelaratan dan setiap hari rakjat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Djika mereka
mengatakan 'Tidak' itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara-saudara pertjaja kepada berita bohong ini,
maka saudara sama sadja seperti katak dibawah tempurung.
Bertahun-tahun jang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di Inggris.
Djadi, saudara-saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana-mana.
,,Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muang Thai. Akan tetapi kapal-kapal pengangkut itu sudah
ditenggelamkan kedasar laut. Kekurangan makanan adalah kedjadian jang biasa dalam peperangan. Akan
tetapi siapakah jang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini ? Belanda. Bukan Dai Nippon
Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merobah sawah-sawah kita mendjadi kebun tebu, tembakau atau hasil
lain jang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinja sendiri. Maka dari itu, sampai dihari kita berdiri sendiri
bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor beras."
Aku ditugaskan untuk ,,menjerang Sekutu, memudji negara-negara As - jaitu sekutu Djerman dan Djepang -
menimbulkan kebentjian terhadap musuh-musuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai
Nippon." Akan tetapi, sekalipun pidato-pidatoku diteliti terlebih dulu dengan katja-pembesar oleh Bagian
Propaganda, kalau dipeladjari sungguh-sungguh ternjatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata-mata
menanamkan kesadaran nasional.
Misalnja sadja, sambil menundjuk kepada seorang pradjurit Djepang jang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, ,,Lihat, dia mendjalankan tugasnja oleh karena dia tjinta kepada tanah-airnja. Dia
berperang untuk bangsanja. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah-airnja. Begitupun.......kita ......
harus ! Kemudian aku menanamkan kepada rakjat tentang kebesaran negeri kami sebelum mengalami
pendjadjahan. ,,Keradjaan Madjapahit memperoleh kemenangan jang gilang-gemilang setelah digembleng
dengan penderitaan dalam peperangan-peperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung Hanjokrokusumo
membikin negara Mataram mendjadi negara jang kuat setelah mengalami tjobaan-tjobaan didalam perang
Senapati. Dan orang Islam didjaman. keemasannja barulah mendjadi kuat setelah mengalami Perang Salib.
Tuhan Jang MahaKuasa berfirman dalam Quran: 'Ada masa-masa dimana kesukaranmu sangat berguna dan
perlu'."
Aku pandai memilih kata-kata sehingga orang-asing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat
menangkap arti kiasan jang chas menurut daerah. Aku memetik tjerita-tjerita dari Mahabharata, oleh karena
80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan tjerita itu. Mereka tahu, bahwa Ardjuna adalah pahlawan dari
Pandawa-Lima, dimana keradjaan mereka telah direbut setjara litjik dalam suatu peperangan besar.
Pandawa-Lima ini melambangkan kebaikan. Jang menaklukkan mereka adalah lambang kedjahatan.
Setiap nama mentjerminkan watak manusia didalam pikiran kami. Ardjuna perlambang dari pengendalian
diri-sendiri. Saudaranja, Werkudara, melambangkan seseorang Jang kuat berpegang kepada kebenaran.
Sebutlah Gatutkatja, serta-merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Tjakil, orang tahu bahwa
itu raksasa jang djahat. Dalam pewajangan maka tokoh-takoh jang baik selalu duduk dikanan, jang djahat
disebelah kiri. Muka-muka jang berwarna keemasan putih atau hitam menundjukkan orang jang baik-baik dan
jang merah bandit2nja. Dengan mudah sekali aku membawakan djalan pikiranku dalam perumpamaan ini. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 106 dari 109
Tjara jang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisan-tulisanku jang dibuat sebelum perang rakiat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Djepang sebagai imperialis modern di Asia. Djadi, dalam masa
inilah aku mentjetak satu perumpamaan jang terkenal: ,,Dibawah Matahari-Terbit, manakala Liong Barongsai
dari Tiongkok bekerdja-sama dengan Gadjah-Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan
Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan sekarang,
dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hantjur-lebur dari permukaan benua kita !"
Menurut tjara berpikir orang Indonesia ini tjukup djelas. Maksudnja ialah bahwa daerah-daerah jang diduduki
bersatu dalam tekad untuk melenjapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerdjasama dengan Matahari-
Terbit. Aku mengatakan, kita bekerdja-sama DIBAWAH Matahari-Terbit.
Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, jang dianggapnja semata-mata sebagai alat untuk
dapat mempertahankan daerah takluknja. Ketika aku minta izin untuk ,,menulis dan berkeliling guna
meringankan kesulitan-kesulitan didaerah jang tidak bisa ditjapai", dia menjediakan surat-suratkabar dan
pesawat-terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapat-rapat raksasa Aku berpidato
dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato dihadapan 100.000 orang dalam rapat-jang lain.
Tidak hanja nama Sukarno, melainkan djuga wadjah Sukarno telah mendjalar keseluruh pelosok kepulauan
Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Djepang. Sekali lagi aku menggelorakan hati rakjat.
Aku membangkitkan semangat rakjat. Aku mengojak-ojak kesadaran rakjat. Dan Dai Nippon semakin
memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, djanganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan mewah
selama peperangan. Tidak. Kalau rakjat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan, Sukarno djuga
tidak mempunjai makanan. Aku sendiri terpaksa mentjari beras untuk memberi makan keluargaku. Pemimpin
dari suatu bangsa pergi kekampung-kampung untuk mengumpulkan lima kilo beras, tak ubahnja dengan
rakjat desa jang paling miskin.
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Setjelah ketjil tjahaja
selama satu detik tampak bersinar dari luar jang gelap. Segera setelah aku mematikannja, terdengarlah
suara orang menggedor-gedor pintu dengan keras. Dengan tjepat Inggit mendjawabnja dan ia berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer.
,,Ada apa ?" tanja Inggit gemetar. Kaptennja menggeram, ,,Siapa jang punja rumah ini ?" ,,Saja," djawab
Inggit. ,,Tidak," teriaknja, ,,Kami maksud tuan rumah. Siapa suami njonja ?"
Aku sedang berada djauh didalam, akan tetapi aku keluar djuga Kapten itu membentak-bentak kepadaku
karena tjahaja lampu jang sedetik itu, kemudian tangannja melajang plang ...... plang ...........plang.......
plang, kemplangannja dengan tjepat melekat dimukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan
mendjerit, ,,Aduh....... Aduh.....djangan tampar dia. Saja jang harus bertanggung-djawab. Itu bukan
salahnja. Oooo, ma'afkanlah dia. Saja jang lalai ........ !"
Orang-orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku petjah-petjah. Dari bibir dan
hidungku banjak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengutjapkan sepatah kata. Aku tidak bertahan
untuk diriku sendiri. Aku hanja menahankannja dengan tenang sambil berkata kepada diriku sendiri,
,,Sukarno, kesakitan jang kaurasakan sekarang hanjalah merupakan kerikil didjalan raja menudju
kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau djatuh karenanja, berdirilah engkau kembali dan terus
berdjalan."
Aku melaporkan kedjadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu sadja dia
minta maaf dan menjatakan, ,,Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan" dan selandjutnja katanja, ,,segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu";, akan tetapi orang-orang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato dihadapan rakjat. Sambutan rakjat lembek. Aku
menterdjemahkannja dengan semangat jang berkobar-kobar dan dengan memberikan beberapa putar-balik
kata-kata gaja Sukarno. Rakjatku djadi gila karenanja. Pada setiap utjapan mereka bersorak dan berteriak
dan bertepuk. Hal ini membangkitkan ketjurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan kemarkasnja, dimana aku
dibentak-disenggak dan diantjam. Aku merasa jakin dalam diriku, bahwa aku akan digantung. Tapi
untunglah. Seorang djurubahasa jang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku. Akan tetapi orang ini
setia kepadaku dan dia mendjamin utjapan-utjapanku. Kemudian setelah mengalami detik-detik jang
menakutkan selama berdjam-djam aku dibebaskan kembali. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 107 dari 109
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira-perwira Djepang atau menelitiku setjara diam-diam.
Seringkali Kenpeitai datang diwaktu jang tidak tertentu. Aku harus mendjaga diriku setiap saat. Orang
Djepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempertjajaiku sepenuhnja. Kaki-tangan kami dalam gerakan-
bawah-tanah mengabarkan, bahwa ada rentjana Djepang untuk membunuh semua pemimpin bangsa
Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Djepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil hati rakjat
untuk kepentingan mereka. Akan tetapi disaat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang pula. Aku
senantiasa dalam bahaja.
Berbahaja atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan-bawah-tanah.
Kadang-kadang djauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah
menutup pintunja, aku mengadakan pembitjaraan diklinik Dr. Suharto. Adakalanja aku mengadakan kontak
dengan seorang penghubung diluar tempat terbuka setjara beramah-tamah, kelihatan tersenjum seolah-olah
kami berbitjara dengan senang. Kemudian dihari berikutnja setjara berbisik-bisik tersebarlah instruksi
kepada anggota-anggota bawah-tanah, ,,Ini boleh kita kerdjakan ............ ini tidak." Perintah-perintah ini
datangnja dariku. Aku sendirilah jang memiliki fakta-fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi
kekedua djurusan. Akan tetapi Djepang mempunjai tjara-tjara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang jang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan-perempuan ditarik dari
rumahnja dan diangkut dengan kapal, katanja ke-"tempat-pendidikan", tapi kemudian mereka didjerumuskan
kedalam rumah perzinaan. Laki-laki dan perempuan jang tidak membungkukkan badan pada waktu melewati
seorang pendjaga didjalanan mendapat tamparan. Dari tjara hukuman jang demikian karena kesalahan
ketjil-ketjil dapatlah orang membajangkan, bagaimana hukuman jang harus dihadapi oleh orang-orang jang
kedapatan bergerak dibawah-tanah. Dan kenjataan ini memaksa orang untuk bertindak hati-hati sekali.
Tjutjunguk ada dimana-mana. Dengan menjamar sebagai tukang sate mereka berdjalan sepandjang waktu,
sambil mendengar-dengar kan suara titit.....titit dari radio, jang berarti bahwa ada seseorang jang sedang
menerima 'atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan radio gelap.
la didjatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperdjoanganku jang akrab dan kawan
sesungguhnja, tidak minta pertolonganku supaja berusaha melepaskannja, oleh karena dia menganggap
tuduhan itu terlalu berat dan djika aku turut membelanja dapat mendjerumuskan ku kedalam bahaja jang
besar.
Akan tetapi aku mempunjai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnja, kalau
ada kekeruhan tugas merekalah untuk menjalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan setjara lisan.
Tidak ada jang berani menjatakannja dengan tertulis. Berita itu diteruskannja kepada seorang agen jang
bekerdja di Sendenbu, jang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Achirnja sampailah kabar iepadaku, bahwa telah terdjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini ditahan
dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan mendjalani hukuman mati telah ditetapkan. Dan pada
suatu hari Suharto mendapati kemenakannja sudah kembali lagi dan sedang duduk diberanda depan
rumahnja. Semuanja terdjadi dengan sangat tjepat, tidak dengan ribut-ribut.
Orang Indonesia mempunjai keluarga jang besar dan ratusan sanaksaudara, sehingga berita dapat berdjalan
dari desa kedesa keseluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Tjara ini lebih baik daripada telpon.
Dengan tjara berita dari mulut kemulut ini datanglah pesan jang lain: ,,Pengatjara Sujudi ditahan.
Sampaikan kepada Sukarno." Sujudi telah mengorbankan reputasinja untukku. Dirumahnjalah aku ditangkap
dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar jang mengurus
perkaranja, memberikan diriku sendiri sebagai djaminan untuk menjelamatkan Sujudi. ,,Tidak mungkin dia
mengadakan komplot menentang Dai Nippon," aku mempertahankan. ,,Tuduhan ini tentu keliru. Sujudi
adalah nasionalis jang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon jang kami hormati, karena Nipponlah jang
membantu kami untuk kemerdekaan." Setelah itu ia bebas.
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salahseorang pemimpin kami dari gerakan-hawah-
tanah, selama berminggu-minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinja keatas. Dia disuruh
meminum air-kentjingnja sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannja
dengan menegaskan kepada para pedjabat jang bersangkutan, ,,Bebaskan dia atau kalau tidak, djangan
diharap lagi kerdja-sama dari saja." Untuk dapat membuat pernjataan seperti itu, sungguh-sungguh
diperlukan hati jang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin ketika Djepang
mengeluarkannja, memerlukan kekuatan hati jang lebih besar lagi. Badannja kurus seperti lidi. Orang tidak
dapat pertjaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin
keluar dIm keadaan bernjawa. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 108 dari 109
Aku telah banjak menjelesaikan persoalan-persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur djauh
didalam hatiku. Tidaklah kusorak-sorakkan djasa jang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap
rumah, betapapun djuga banjaknja. Selama hidupku aku telah mendjalankan amal djariah kepada semua
manusia, apabila aku sanggup nielakukannja. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah jang penting bagiku.
Bab 21
Puteraku Jang Pertama
SEBENARNJA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik djasmani maupun rohani.
Ketegangan-ketegangan jang timbul telah mengorek-ngorek djiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai
penderita malaria jang melarut aku dimasukkan kerumah-sakit selama berminggu-minggu terus- menerus.
Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat-tidur jang kosong, aku dimasukkan ke Kamar Bersalin.
Perempuan tjantik-tjantik dibawa masuk disebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu pajah untuk dapat
memperhatikan mereka.
Tambahan lagi aku menderita penjakit gindjal. Kadang-kadang aku meringkuk dengan kaki rapat kebadan,
oleh karena serangan-serangan jang tidak tertahankan sakitnja. Adakalanja keluar keringat dingin, bahkan
kadang-kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terdjadi, bahwa setelah
selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti jang diharapkan. Aku menghadapi persoalan-persoalan jang sungguh-
sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh gontjangan-gontjangan urat sjaraf. Hubungan Inggit denganku
tidak baik. Disuatu malam, karena ingin mendapat kata-kata jang menghibur hati dan ketenangan pikiran,
aku menemani seorang kawan kesebuah Rumah Geisha. Sekembali dirumah, Inggit mengamuk seperti orang
gila. Dia berteriak-teriak kepadaku. Barang-barang beterbangan dan sebuah tjangkir mengenai pinggir
kepalaku.
Rupanja persoalan Fatmawati masih mengapung-apung diantara kami, sekalipun tidak ada kontak antara
Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan
bahwa kami sudah selamat sampai di Djakarta. Hanja itu. Surat ini kupertjajakan kepada seorang suruhan
jang dipertjaja jang menitipkannja pula kepada tukang-mas dalam perdjalanan menudju Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal dirumah bertingkat. Dirumah baru ini
anak kami dengan suaminja Asmara Hadi tinggal bersama-sama dengan kami. Pada achirnja merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. ,,Bu," Ratna
Djuami menangis dihadapan Inggit pada suatu malam. ,,Bapak kelihatan sekarang sangat pentjemas dan
penggugup. Pikirannja nampaknja katjau. Dan kesehatannja selalu terganggu."
,,Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinja," sambung Asmara Hadi terus-terang. ,,Kalau sekiranja dia
tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnja. Akan tetapi perasaan tidak bahagia
ini jang ditumpukkan keatas bebannja jang sudah tjukup berat itu sangat melemahkan kekuatannja."
Aku meminta pengertian Inggit. ,Aku sendiri, akan mentjarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan
segala sesuatu jang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terdjadi pertengkaran dan ini
tentu tidak baik untukmu."
,,Ini djalan satu-satunja, Bu," Asmara Hadi mengeluh. ,,Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanja ibu,
ataupun saja maupun Ratna Djuami jang memerlukannja. Dia kepunjaan kita semua. Rakjat memerlukan
bapak sebagai pemimpinnja, tidak jang lain. Dan apa jang akan terdjadi terhadap Indonesia, kalau dia
hantjur ?"
Setelah pertjeraian telah disepakati bahwa Inggit kembali kekota kelahirannja. Dipagi itu ia harus pergi
kedokter-gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannja pergi seorang
diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan
kami tidak enak, dan sesampai dirumah kami mendapati serombongan wanita jang akan bertamu kepada
Inggit. Sedjam lamanja mereka berkundjung, sekalipun tidak banjak jang dipertjakapkan. Kuingat diwaktu
itu aku merasakan kegelisahan jang amat sangat. Saat jang melelahkan sekali.
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang-barangnja, mejakinkan diri kalau-kalau
ada sesuatu jang kurang, lalu aku mengutjapkan selamat tinggal kepadanja ................ BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 109 dari 109
Bulan Djuni 1943 Fatma dan aku kawin setjara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnja beserta orangtuanja
ke Djawa urusannja terlalu berbelit-belit dan pandjang, pun aku tidak bisa segera mendjemputnja ke
Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanja menunggu leliih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku jang
keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan
dan sesuatu jang mewakili mempelai laki-laki. Aku mempunjai lebih daripada sesuatu itu. Aku mempunjai
seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan jang akrab dan memintanja untuk mewakiliku. la
memperlihatkan telegram itu kepada orangtua Fatma dan usul ini mendapat persetudjuan. Pengantin dan
wakilku pergi menghadap'kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Djakarta, dengan demikian
kami sudah mengikat tali perkawinan.
Ditahun berikutnja Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan kegembiraan
jang diberikannja kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan achirnja Tuhan Jang Maha Pengasih mengaruniai
kami seorang anak.
Disaat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orangtua kami dari keduabelah pihak tinggal dengan kami
dipaviljun dekat rumah hingga sang baji lahir. Bapaklah jang mengawasi segala pekerdjaan. Dialah jang
duduk setiap djam memberi petundjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinja. Selalu aku
melihat mereka duduk bersama-sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan sesuatu seperti,
,,Nah, djangan lupa mentjatat bedak baji, pisau ketjil untuk pemotong talipusatnja dan emban untuk
menahan perutmu sendiri."
Dimalam Fatma akan melahirkan kanii mendjamu tamu-tamu penting - orang Djepang dan orang Indonesia.
Fatmawati sibuk melajani sebagai njonja-rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku sendiri
membimbingnja kekamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada disisinja, pun tidak
tidur barang satu kedjap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera jang tidak ternilai itu. Kududuk
diatas tempat-tidur mendampinginja, memegang tangannja sementara ia melahirkan. Aku bukanlah orang
jang bisa tahan melihat darah, akan tetapi disaat didjadikannja seorang manusia idamanku ini adalah saat
jang paling nikmat dari seluruh hidupku. Djam lima waktu subuh, ketika terdengar azan dari mesdjid
memanggil ummat untuk menjembah Tuhannja, anakku jang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Jang Maha-Penjajang dan Maha-Bidjaksana telah memandjangkan umur bapakku untuk dapat melihat
darah-dagingku mengindjak dunia ini. Setelah itu ia djatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan-bulan dengan
tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas jang penghabisan.
Aku teringat akan ,,Si Tukang Kebun", sebuah buku tjerita jang kubatja pada waktu masib berumur 13 tahun.
Waktu itu aku tidak mengerti maknanja jang lebih dalam. la mentjeritakan tentang bagaimana daun-daun
kaju jang sudah tjoklat dan kering harus djatuh dan memberikan tempatnja kepada putjuk jang hidjau dan
baru.
Duapuluh tahun kemudian barulah aku mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar