Selasa, 13 September 2011

PRESIDEN PERTAMA RI BUNG KARNO

BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 1 dari 109
BUNG KARNO
PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA
BIOGRAPHY AS TOLD TO CINDY ADAMS
Bab 1
Alasan Menulis Bab ini 
TJARA  jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno  ialah dengan menamakannja  seorang  jang
maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan
melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri. 
Sukarno  adalah  seorang  manusia  perasaan.  Seorang  pengagum.  Ia  menarik  napas  pandjang  apabila
menjaksikan pemandangan  jang  indah. Djiwanja bergetar memandangi matahari  terbenam di  Indonesia.  Ia
menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang negro. 
Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang seniman."Akan
tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah
seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 djuta
rakjat menjebutku ? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali
kemerdekaan  dan  hak-azasinja,  setelah  tiga  setengah  abad  dibawan  pendjadjahan  Belanda?  Kalau  tidak
demikian  bagaimana  aku  bisa  mengobarkan  suatu  revolusi  ditahun  1945  dan  mentjiptakan  suatu  Negara
Indonesia  jang  bersatu,  jang  terdiri  dari  pulau  Djawa,  Bali,  Sumatra,  Kalimantan,  Sulawesi,  Kepulauan
Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda ? 
Irama suatu-revolusi adalah mendjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki djiwa seorang arsitek.
Dan  didalam  djiwa  arsitek  terdapatlah  unsur-unsur  perasaan  dan  djiwa  seni.  Kepandaian memimpin  suatu
revolusi  hanja  dapat  ditjapai  dengan  rnentjari  ilham  dalam  segala  sesuatu  jang  dilihat.  Dapatkah  orang
memperoleh  ilham  dalam  sesuatu,  bilamana  ia  bukan  seorang  manusia-perasaan  dan  bukan manusia-seni
barang sedikit ? 
Namun  tidak  setiap  arang  setudju  dengan  gambaran  Sukarno  tentang  diri  Sukarno.  Tidak  semua  orang
menjadari,  bahwa  djalan  untuk  mendekatiku  adalah  semata-mata  melalui  hati  jang  ichlas.  Tidak  semua
orang menjadari, bahwa aku  ini  tak ubahnja  seperti anak ketjil. Berilah aku  sebuah pisang dengan  sedikit
simpati jang keluar dari lubuk-hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama-lamanja. 
Akan  tetapi  berilah  aku  seribu  djuta  dollar  dan  disaat  itu  pula  engkau  tampar mukaku  dihadapan  umum,
maka sekalipun ini njawa tantangannja aku akan berkata kepadamu, "Persetan !" 
Manusia  Indonesia  hidup  dengan  getaran  perasaan.  Kamilah  satu-satunja  bangsa  didunia  jang mempunjai
sedjenis bantal jang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Disetiap tempat-tidur orang  Indonesia terdapat
sebuah  bantal  sebagai  kalang  hulu  dan  sebuah  lagi  bantal  ketjil  berbentuk  bulat-pandjang  jang  dinamai
guling. Guling ini bagi kami gunanja hanja untuk dirangkul sepandjang malam. 
Aku  mendjadi  orang  jang  paling  menjenangkan  didunia  ini,  apabila  aku  merasakan  arus  persahabatan,
sirnpati terhadap persoalan-persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menjambutku. Sekalipun ia tak
diutjapkan,  ia  dapat  kurasakan.  Dan  sekalipun  rasa-tidak-senang  itu  tidak  diutjapkan,  aku  djuga  dapat
merasakannja. Dalam kedua hal  itu aku bereaksi menurut  instink. Dengan satu perkataan jang  lembut, aku
akan melebur. Aku bisa keras seperti badja, tapi akupun bisa sangat lunak. 
Seorang  diplomat  tinggi  Inggris  masih  belum  menjadari,  bahwa  kuntji  menudju  Sukarno  akan  berputar
dengan  mudah,  kalau  ia  diminjaki  dengan  perasaan  kasih-sajang.  Dalam  sebuah  suratnja  belum  lama
berselang  jang  ditudjukan  ke  Downing  Street  10  ia menulis,  "Presiden  Sukarno  tidak  dapat  dikendalikan,
tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus jang terdesak. 
"Suatu utjapan jang sangat bagus bagi seseorang jang telah mempersembahkan seluruh hidupnja kepangkuan
tanah-airnja, orang jang 13 tahun lamanja meringkuk dalam pendjara dan pembuangan, karena ia mengabdi
kepada  suatu  tjita-tjita. Mungkin  aku  tidak  sependapat  dan  sependirian  dengan  dia  tetapi  seperti  seekor BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 2 dari 109
tikus  ? Djantungku berhenti mendenjut  ketika  surat  itu  sampai ditanganku.  Ia mengachiri  suratnja dengan
mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan jang paling buruk dalam surat-
surat kabar. 
"Aku  tidak  tidur  selama  enam  tahun.  Aku  tak  dapat  lagi  tidur  barang  sekedjap.  Kadang-kadang,  dilarut
tengah malam,  aku menelpon  seseorang  jang  dekat  denganku  seperti misalnja  Subandrio, Wakil  Perdana
Menteri  Satu dan  kataku,  "Bandrio, datanglah  ketempat  saja,  temani  saja,  tjeritakan padaku  sesuatu  jang
gandjil,  tjeritakanlah  suatu  lelutjon,  bertjeritalah  tentang  apa  sadja  asal  djangan mengenai  politik.  Dan
kalau saja tertidur, ma'afkanlah." Aku membatja setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun
lagi djam lima pagi. Untuk pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat-tidur. Aku lelah. Terlalu lelah. 
Aku  bukan  manusia  jang  tidak  mempunjai  kesalahan.  Setiap  machluk  membuat  kesalahan.  Dihari-hari
keramat aku minta ma'af kepada  rakjatku dimuka umum atas kesalahan  jang kutahu  telah kuperbuat, dan
atas  kekeliruan-kekeliruan  jang  tidak  kusadari.  Barangkali  suatu  kesalahanku  ialah,  bahwa  aku  selalu
mengedjar  suatu  tjita-tjita  dan  bukan  persoalan-persoalan  jang  dingin.  Aku  tetap  mentjoba  untuk
menundukkan  keadaan  atau mentjiptakan  lagi  keadaan-keadaan,  sehingga  ia  dapat  dipakai  sebagai  djalan
untuk mentjapai apa jang sedang dikedjar. Hasilnja, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakjatku, aku
mendjadi korban dari serangan-serangan jang djahat. 
Orang bertanja,  "Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu ?" Sudah tentu
aku  merasa  tersinggung.  Aku  bentji  dimaki  orang.  Bukankah  aku  bersifat  manusia  seperti  djuga  setiap
manusia  lainnja  ?  Bahkan  kalau  engkau melukai  seorang  Kepala  Negara,  ia  akan  lemah.  Tentu  aku  ingin
disenangi orang. Aku mempunjai ego.  Itu kuakui. Tapi  tak  seorangpun  tanpa ego dapat menjatukan 10.000
pulau-pulau mendjadi  satu  Kebangsaan.  Dan  aku  angkuh.  Siapa  pula  jang  tidak  angkuh  ?  Bukankah  setiap
orang jang membatja buku ini ingin mendapat pudjian ? 
Aku  teringat  akan  suatu  hari,  ketika  aku menghadapi dua  buah  laporan  jang  bertentangan  tentang  diriku.
Kadang-kadang  seorang  Kepala  Pemerintahan  tidak  tahu,  mana  jang  harus  dipertjajainja.  Jang  pertama
berasal dari madjalah "Look". "Look" menjatakan, bahwa rakjat Indonesia semua menentangku. Madjalah ini
memuat  sebuah  tulisan  mengenai  seorang  tukang  betja  jang  mengatakan  seakan-akan  segala  sesuatu  di
Indonesia  sangat  menjedihkan  keadaannja  dan  orang-orang  kampungpun  sekarang  sudah  muak  terhadap
Sukarno. 
Kusudahi membatja artikel itu pada djam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak berdjalan-
djalan  selama  setengah  djam,  seperti  biasanja  kulakukan  dalam  lingkungan  istana-inilah  satu-satunja
matjam  gerak  badan  bagiku  seorang  pedjabat  polisi  jang  sangat  gugup  dibawa  masuk.  Sambil  berdjalan
kutanjakan kepadanja, apa  jang  sedang dipikirkannja."Ja, Pak,"  ia memulai,  "Sebenarnja kabar baik."  "Apa
maksudmu dengan sebenarnja kabar baik ?" tanjaku. "Ja," katanja, "Rakjat sangat menghargai Bapak. Mereka
mentjintai Bapak. Dan terutama rakjat-djelata. Saja mengetahui, karena saja baru menjaksikan sendiri suatu
keadaan  jang  menundjukkan  penghargaan  terhadap  Bapak.  Kemudian  ia  berhenti.  "Teruslah,"  desakku,
"Katakan padaku. 
Darimana engkau dan siapa jang kautemui dan apa jang mereka lakukan ?" "Begini, Pak," ia mulai lagi. "Kita
mempunjai suatu daerah, dimana perempuan-perempuan latjur semua ditempatkan setjara berurutan. Kami
memeriksa daerah  itu dalam waktu-waktu  tertentu, karena  sudah mendjadi  tugas kami untuk mengadakan
pengawasan  tetap. Kemarin  suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak  tahu apa  jang mereka
temui  -  Mereka  menjaksikan  potret  Bapak,  Pak.  Digantungkan  didinding."  "Dimana  aku  digantungkan  ?"
tanjaku  kepadanja.  "Ditiap  kamar,  Pak. Ditiap  kamar  terdapat,  sudah  barang  tentu,  sebuah  tempat-tidur.
Dekat  tiap  randjang ada medja dan  tepat diatas medja  itu disitulah  gambar Bapak digantungkan.  "Dengan
gugup  ia  mengintai  kepadaku  sambil  menunggu  perintah.  "Pak,  kami  merasa  bahagia  karena  rakjat  kita
memuliakan  Bapak,  tapi  dalam  hal  ini  kami  masih  ragu  apakah  wadjar  kalau  gambar  Presiden  kita
digantungkan  didinding  rumah  pelatjuran.  Apa  jang  harus  kami  kerdjakan  ?  Apakah  akan  kami  pindahkan
gambar Bapak dari dinding-dinding itu ?" "Tidak," djawabku. "Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku jang tua
dan  letih  itu memandangnja!  "Tidak  seorangpun dalam peradaban modern  ini  jang menimbulkan demikian
banjak perasasn pro dan kontra  seperti Sukarno. Aku dikutuk  seperti bandit dan dipudja bagai Dewa.Tidak
djarang kakek-kakek datang berkundjung kepadaku  sebelum mereka  imengachiri hajatnja. Seorang nelajan
jang sudah tua, jang tidak mengharapkan pudjian atau keuntungan, berdjalan kaki 23 hari lamanja sekedar
hanja  untuk  sudjud  dihadapanku  dan  mentjium  kakiku.  Ia  menjatakan,  bahwa  ia  telah  berdjandji  pada
dirinja  sendiri,  sebelum  mati  ia  akan  melihat  wadjah  Presidennja  dan  menundjukkan  ketjintaan  serta
kesetiaan  kepadanja.  Banjak  jang  pertjaja  bahwa  aku  seorang Dewa, mempunjai  kekuatan-kekuatan  sakti
jang menjembuhkan.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 3 dari 109
Seorang petani-kelapa jang anaknja sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan minta air
untuk  anaknja.  Hanja  air-leding  biasa  dan  jang  diambil  dari  dapur.  Ia  jakin,  bahwa  air  ini,  jang  kuambil
sendiri,  tentu mengandung zat-zat  jang menjembuhkan. Aku  tidak bisa bersoal-djawab dengan dia. karena
orang  Djawa  adalah  orang  jang  pertjaja  kepada  ilmu  kebatinan,  dan  ia  jakin  bahwa  ia  akan  kehilangan
anaknja kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanja. Dan seminggu kemudian anak itu
sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perdjalanan kepelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri
jang  paling  utara  dari  pulau  Sumatra,  sampai  ke Merauke  di  Irian  Barat  dan  jang  paling  timur.  Beberapa
tahun  jang  lalu  aku mengundjungi  sebuah  desa  ketjil  di  Djawa  Tengah.  Seorang  perempuan  dari  desa  itu
mendatangi  pelajanku  dan  membisikkan,  "Jangan  biarkan  orang  mengambil  piring  Presiden.  Berikanlah
kepada saja sisanja. Saja sedang mengandung dan saja ingin anak laki-laki. Saja mengidamkan seorang anak
seperti Bapak. Djadi tolonglah, biarlah saja memakan apa-apa jang telah didjamah sendiri oleh Presidenku." 
Dipulau Bali orang pertjaja, bahwa  Sukarno adalah pendjelmaan  kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hudjan
dalam  agama  Hindu.  Karena,  bilamana  sadjapun  Bapak  datang  ketempat  istirahat  jang  ketjil,  jang
kurentjanakan  dan  kubangun  sendiri  diluar  Denpasar,  bahkan  sekalipun  ditengah  musim  kemarau,
kedatanganku bagi mereka berarti hudjan. Orang Bali jakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka.
Dikala  terachir  aku  terbang  ke  Bali  disana  sedang  berlangsung  musim  kering.  Tepat  setelah  aku  sampai
disana,  langit  tertjurah.  Berbitjara  setjara  terus-terang,  aku  memandjatkan-  do'a  sjukur  kehadirat  Jang
Maha-Pengasih  manakala  turun  hudjan  selama  aku  berada  di  Tampaksiring.  Karena,  kalaulah  ini  tidak-
terdjadi,  sedikit  banjak  akan  mengurangi  pengaruhku.Namun,  dunia  hanja  membatja  tentang  satu-orang
tukang  betja.  Dunia  hanja  tahu,  bahwa  Sukarno  bukan  ahli  ekonomi.  Itu memang  benar.  Aku  bukan  ahli
ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni  ? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah  itu  suatu alasan bagi
madjalah-madjalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menudju kepada keruntuhan ekonomi ? Atau
bahwa  kami  adalah  "bangsa  jang  bobrok".  Atau  untuk  mendjuduli  sebuah  tjerita:  "Mari  kita  bergerak
menentang Sukarno"? Kalau para wartawan membentji Djepang atau Filipina, mereka dapat menjebut suatu
daerah  disana,  dimana  seluruh  keluarga  —  ibu,  bapak  dan  anak-anaknja—bunuh  diri,  karena  menderita
kelaparan.  Ini  semua  sudah  diketahui  orang.  Tapi  tidak! Hanja mengenai  "Orang Djahat  dari  Asia" mereka
membuat foto-foto dari penderitaan rakjat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus,
sementara  dilatarbelakangnja  digambarkan  hotelku  jang  indah.  Lalu  kepala  karangannja:  "Indonesia
kepunjaan  Sukarno".  Tapi  itu  BUKAN  Indonesia  kepunjaan  Sukarno.  Indonesia  kepunjaan  Sukarno  sekarang
adalah suatu bangsa jang 10051 bebas butahuruf dibawah umur 45 tahun. Pada waktu Negara kami dilahirkan
duapuluh tahun jang lalu hanja 6% dari kami jang pandai tulis-batja. Indonesia kepunjaan Sukarno sekarang
adalah suatu bangsa jang dua intji lebih tinggi daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak-anak
bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan ? 
Akan  tetapi wartawan-wartawan  terus  sadja menulis, bahwa  aku  ini  seorang  "Budak Moskow". Marilah  kita
perbaiki ini sekali dan untuk selama-lamanja. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin mendjadi seorang
Komunis.  Aku menjembah  ke  Moskow  ?  Setiap  orang  jang  pernah mendekati  Sukarno mengetahui,  bahwa
egonja terlalu besar untuk bisa mendjadi budak seseorang—ketjuali mendjadi budak dari  rakjatnja. Namun
para wartawan tidak menulis tentang apa-apa  jang baik dari Sukarno. Pokok-pokok  jang dibitjarakan hanja
tentang  jang  djelek  dari  Sukarno.Mereka  suka  memperlihatkan  Hotel  Indonesiaku  jang  penuh  gairah  dan
dibelakangnja gambar-gambar daerah pinggiran  jang miskin. Alasan dari  "orang  jang menghamburkan uang"
mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa jang tidak dapat kami tjari dengan djalan lain. Kami
menghasilkan dua djuta dollar Amerika setelah hotel  itu berdjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami
masih mempunjai daerah pinggiran jang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri-negeri jang kajapun punja hotel
jang gemerlapan, empuk dari  jang harganja djutaan dollar, sedang disudutnja  terdapat bangunanbangunan
jang  tertjela  penuh  dengan  kotoran,  busuk  dan  djelek.  Aku  melihat  orang-orang  kaja  dengan  segala
kemegahannja berdjalan dengan sedan-sedan jang mengkilap, akan tetapi aku djuga melihat mereka-mereka
jang malang mentjakar-tjakar dalam tong-sampah mentjari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran jang
miskin diseluruh kota didunia. Bukan hanja di Djakarta kepunjaan Sukamo. Barat selalu menuduhku  terlalu
memperlihatkan muka manis kepada Negara-Negara Sosialis.  "Ooohh," kata mereka,  "Lihatlah Sukarno  lagi-
lagi bermain-main sahabat dengan Blok Tnmur." 
Jah, mengapa  tidak  ? Negara-Negara Sosialis  tak pernah mengizinkan  seorangpun mengedjekku dalam pers
mereka. Negara-Negara Sosialis selalu memudjiku. Mereka tidak membikin aku malu keseluruh dunia ataupun
tidak memperlakukanku dimaka umum seperti seorang anak jang tertjela dengan menolak memberikan lebih
banjak  djadjan  sampai  aku  mendjadi  anak  jang  manis.  Negara-Negara  Sosialis  selalu  mentjoba  untuk
merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel,
gamdum  dan  hasil  tanaman  lain  dari  panennja  jang  terbaik.  Djadi,  salakkah  aku  kalau  berterima-kasih
kepadanja ? Siapakah jang takkan ramah terhadap seseorang jang bersikap ramah kepadanja? Aku mengedjar
politik netral,  ja  ! Akan  tetapi dalam hati-ketjilnja  siapa  jang menjalahkanku, djika aku berkata,  "Terima-
kasih rakjat-rakjat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 4 dari 109
Terima-kasih rakjat-rakjat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menjakiti hatiku. Terima-kasih,
karena  engkau  telah  menjampaikan  kepada  rakjatmu  bakwa  Sukamo  setidak-tidaknja  mentjoba  sekuat
tenaganja berbuat untak negerinja. Terima-kasih atas pemberianmu." Apa jang kuutjapkan itu adalah tanda
terima-kasih—  bukan  Komunisme  !  Aku  ditjela  dalam  berbagai  soal.  Mengapa  dia  -  terlalu  banjak
mengadakan perdjalanan, musuh-musuhku selalu bertanja. Dibulan Djuni 1960, pada waktu aku mengadakan
perlawatan  selama  dua  bulan  empat  hari  ke  India,  Hongaria,  Austria,  RPA,  Guinea,  Tunisia,  Marokko,
Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii dan Djepang, kepadaku ditudjukan kata-kata baru  jang
dikarang  buat  diriku.  Aku malahan  tidak  tahu  apa maksud  "Have  707 Will  Travel"  hingga  seorang  sahabat
bangsa Amerika menerangkannja. 
Memang benar, bahwa aku adalah satu-satunja Presiden jang mengadakan demikian banjak perlawatan. Aku
sudah  kemana-mana  ketjuali  ke  London,  sekalipun  Ratu  Inggris  sudah  dua  kali  mengundangku  untuk
berkundjung.  Aku  mengharapkan,  disatu  saat  dapat  menerima  keramahannja  itu.  Ada  sebabnja  aku
mengadakan  perlawatan  itu.  Aku  ingin  agar  Indonesia  dikenal  orang.  Aku  ingin  memperlihatkan  kepada
dunia, bagaimana rupa orang  Indonesia. Aku  ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan  "Bangsa
jang  pandir"  seperti  orang  Belanda  berulang-ulang  kali mengatakan  kepada  kami.  Bahwa  kami  bukan  lagi
"Inlander  goblok  hanja  baik  untuk  diludahi"  seperti  Belanda mengatakan  kepada  kami  berkali-kali.  Bahwa
kami  bukanlah  lagi  penduduk  kelas  kambing  jang  berdjulan menjuruk-njuruk  dengan memakai  sarung  dan
ikat-kepala,  merangkak-rangkak  seperti  jang  dikehendaki  oleh  madjikan-madjikan  kolonial  dimasa  jang
silam. Setelah Republik Rakjat Tiongkok,  India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa
jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah
Saudara  berapa  banjak  rakjat  jang  tidak  mengetahui  tentang  Indonesia  ?  Atau  dimana  letaknja  ?  Atau
tentang warna kulitnja, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ? 
Jang mereka ketahui hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno.Mereka tidak tahu, bahwa
negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri kami terhampar sepandjang 5.000
kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan
paling  udjung  disebelah  Timur.Mereka  tidak  tahu,  bahwa  kami  sesudah  Australia  adalah  negara  keenam
terbesar, dengan  luas tanah sebesar dua djuta mil persegi. Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami
terletak  antara  dua  benua,  benua  Asia  dan  Australia,  dan  dua  buah  Samudra  raksasa,  Lautan  Teduh  dan
Samudra  Indonesia.  Atau,  bahwa  kami  menghasilkan  kopi  jang  paling  baik  didunia;  dari  itu  timbulnja
utjapan: "A cup of Java". Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Sovjet maka Indonesialah penghasil minjak
jang  terbesar  di  Asia  Tenggara  dan  penghasil  timah  jang  kedua  terbesar  didunia,  negara  terkaja  dialam
semesta dalam hal  sumber alam. Atau, bahwa  satu dari empat buah ban mobil ~Amerika dibuat dari karet
Indonesia. Namun apa jang mereka mau tahu hanja nama Sukarno. 
Departemen  Luar  Negeri  kami  menjatakan  kepadaku,  bahwa  satu  kali  kundjungan  Sukarno  sama  artinja
dengan  sepuluh  tahun  pekerdjaan  Duta.  Dan  itulah  alasan,  mengapa  aku  mengadakan  perlawatan  dan
mengapa  aku  selalu  memberikan  kenjataan-kenjataan  tentang  tanah-airku  dalam  setiap  pidato  jang
kuutjapkan disetiap pendjuru dunia. Aku hendak mengadjar orang-orang-asing dan memberikan pandangan
pertama selintas lalu tentang negeriku, jang terhampar menghidjau dan tertjinta ini laksana untaian zamrud
jang  melingkar  disepandjang  katulistiwa.Pada  suatu  hari  sekretarisku  menjerahkan  sebuah  surat  jang
beralamat  singkat  "Presiden  Sukarno,  Indonesia,  Asia  Tenggara".  Penulis  surat  ini  berkata,  ia  mendengar
bahwa  aku  ini mengekang  kemerdekaan  pers  dan  apakah  itu  benar  dan  kalau memang  demikian  alangkah
kedjamnja  aku  ini  !  Orang  jang  menulis  surat  pitjisan  ini  menamakan  aku  seorang  jang  angkara.  Dia
mengedjek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah engkau apa jang membuat aku gusar ? Kenjataan
bahwa dia menganggap kantorpos tidak tahu dimana  letak  Indonesia. Dan oleh sebab  itu dia menambahkan
kata-kata ,,Asia Tenggara" pada alamatnja ! Pendapat manusia berdjalan bagai gelombang. Dalam tahun '56
ketika  aku  pertamakali  berkundjung  ke  Amerika  Serikat,  setiap  orang  menjukaiku.  Sekarang  arusnja
mendjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah didjadikan bulan-bu}anan. 
Baru-baru  ini diserahkan  kepadaku  sebuah madjalah  remadja Amerika. Madjalah  itu memperlihatkan  gadis
striptease  setengah  telandjang,  jang  hanja  memakai  tjelana-dalam  dan  berdiri  disamping  Sukarno
berpakaian seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi jang ditempelkan mendjadi satu supaja kelihatan
seolah-olah satu foto dari seorang gadis penari-telandjang membuka pakaiannja dihadapan Presiden Republik
Indonesia.  Kedua  foto  ini  ditempelkan  -satu  dengan  jang  lain.  Ini  adalah  perbuatan  kotor  jang  dilakukan
terhadap  seorang  Kepala  Negara.  Apakah  aku  harus  mentjintai  Amerika,  kalau  ia  melakukan  perbuatan
seperti  itu  terhadap diriku? Aku memperbintjangkan muslihat  sematjam  ini dengan Presiden Kennedy  jang
sangat  kuhormati.  John  F.  Kennedy  dan  aku  saling menjukai  pergaulan  kami  satu  sama  lain. Dia  berkata,
,,Presiden  Sukarno,  saja  sangat  mengagumi  Tuan.  Seperti  saja  sendiri,  Tuan  mempunjai  pikiran  jang
senantiasa menjelidiki dan bertanja-tanja. Tuan membatja segala-galanja. Tuan sangat banjak mengetahui."
Lalu dia membitjarakan tjita-tjita politik jang kupelopori dan mengutip bagian-bagian dari pidato-pidatoku.
Kennedy  mempunjai  tjara  untuk  mendekati  seseorang  melalui  hati  manusia.  Kami  banjak  mempunjai BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 5 dari 109
persamaan.  Kennedy  adalah  orang  jang  sangat  ramah  dan  menundjukkan  persahabatan  terhadapku.  Dia
membawaku  ketingkat  atas,  kekamartidurnja  sendiri  dan  disanalah  kami  bertjakap-tjakap.Kukatakan
kepadanja, ,,Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak menjadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan
persahabatan,  seringkali Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara-negara  lain dengan membiarkan
edjekan, serangan makian dan mengizinkan kritik-kritik setjara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers
Tuan ? Kadang-kadang kami lebih tjondong untuk bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena
kami  dilukai  atau  dibikin marah.  Sesungguhnja  apakah  pergaulan  internasional  itu  bukan  pergaulan  antar
manusia  dalam  hubungan  jang  lebih  besar  ?  Penggerogotan  terus-menerus  sematjam  ini  merobek-robek
keseimbangan  dan mempertegang  lebih  hebat  lagi  hubungan  jang  sulit  antara  negara  lain  dengan  negeri
Tuan."  ,,Saja  setudju  dengan  Tuan,  Presiden  Sukarno.  Sajapun  telah  mendapat  kesukaran  dengan  para
wartawan kami," dia mengeluh.  ,,Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers merupakan
satu  bagian  dari  pusaka  peninggalan  Amerika."  ,,Ketika  Alben  Barkley  mendjadi  Wakil  Presiden  Amerika
Serikat,  ia  mengundjungi  tanah-air  saja,"  kataku.  ,,Dan  saja  sendiri  berdiri  dekat  beliau  diwaktu  beliau
ditjium oleh serombongan anak-anak gadis tjantik remadja.",,Saja jakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat
bersenang hati," kata Kennedy dengan ketawa  jang disembunjikan.  ,,Sekalipun demikian  tak  satupun  surat
kabar Indonesia mau menjiarkannja. 
Dan  disamping  itu  mereka  tak  berani  mengambil  risiko  untuk  menimbulkan  kesusahan  terhadap  seorang
negarawan keseluruh dunia. Barkley adalah seorang jang gembira dan barangkali tidak peduli bila gambarnja
itu  dimuat.  Akan  tetapi  bukanlah  itu  soalnja.  Jang  pokok  adalah  bahwa  kami  berkejakinan  perlunja  para
pemimpin  dunia  dilindungi  dinegeri  kami.  "Kennedy  sangat  seperasaan  denganku  mengenai  soal  ini  dan
berkata  kepadaku  dengan  penuh  kepertjajaan,  ,,Tuan  memang  benar  sekali,  tapi  apa  jang  dapat  saja
lakukan  ?  Sedangkan  saja  dikutuk  dinegeri  saja  sendiri."Karena  itu  kataku,  ,,Ja,  itulah  sistim  Tuan.  Kalau
Tuan  dikutuk  dirurnah  sendiri,  saja  tidak  dapat  berbuat  apa-apa.  Akan  tetapi  saja  kira  saja  tidak  perlu
menderita  penghinaan  seperti  itu  dinegeri  Tuan,  dimana  Kepala  Negaranja  sendiri  harus  menderita
sedemikian.  Madjalah  Tuan  ,,Time"  dan  ,,Life"  terutama  sangat  kurang-adjar  terhadap  saja.  Tjoba  pikir,
,,Time" menulis, ,,Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu". Selalu mereka menulis jang djelek-
djelek. Tidak pernah hal-hal jang baik jang telah saja kerdjakan."Sekalipun Presiden Kennedy dan aku telah
mengadakan  pertemuan  pendapat,  persetudjuan  dalam  lingkungan  ketjil  ini  tidak  pernah  tersebar  dalam
pers Amerika Serikat. Masih sadja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengedjar-tjinta. Ja,
ja, ja, aku mentjintai wanita. Ja, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak-pelesiran sebagaimana
mereka tudukkan padaku. 
Di Tokyo aku telah pergi dengan kawan-kawan kesuatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu  jang melanggar susiia
mengenai  Rumah  Geisha  itu.  Orang  sekedar  duduk,  makan-makan,  bertjakap-tjakap  dan  mendengarkan
musik. Hanja  itu. Akan  tetapi dalam madjalah-madjalah Ba  rat digembar-gemborkn  seolah-olah aku  ini  Le
Grand  Seducteur.Tanpa  hiburan-hiburan  ketjil  ini  aku  akan mati. Aku mentjintai  hidup. Orang-orang-asing
jang mengundjungi  istanaku menjatakan, bahwa aku menjelenggarakan  ,,suatu  istana  jang menjenangkan."
Adjudan-adjudanku  mempunjai  wadjah-wadjah  jang  senjum.  Aku  berkelakar  dengan  mereka,  menjanji
dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, njanjian dan sedikit hiburan kadang-kadang, aku
akan  dibinasakan  oleh  kehidupan  ini.  Umurku  sudah  64  tahun. Mendjadi  Presiden  adalah  pekerdjaan  jang
membikin  orang  lekas  tua.  Dan  kalau  orang  mendjadi  tua,  tentu  tidak  baik  bagi  seseorang.  Karena  itu,
sesekali aku harus  lari dari keadaan  ini,  supaja aku dapat hidup  seterusnja.Banjak kesenangan-kesenangan
jang sederhana telah dirampas dariku. Misalnja, dimasa ketjilku aku telah mengelilingi pulau Djawa dengan
sepeda. Sekarang perdjalanan sematjam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang jang
akan mengikutiku. 
Di Hollywood  aku  diberi  kesempatan  untuk  rnelihat-lihat  disekitar  studio-studio  film. Waktu meninggalkan
halaman  studio  aku  melihat  seorang  anak  pengantar-surat  lewat  dengan  sepeda,  lalu  menghentikan
sepedanja untuk sesaat. Tiba-tiba aku merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi.
Aku bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanja karena merasa senang. Jah, gema dan gambarku
ini tersebar keseluruh dunia ini. Dinegeriku sendiripun aku tak dapat lagi menikmati kesenangan jang paling
memuaskan hati,  jaitu menggeledahi  toko-toko kesenian, melihat-lihat benda  jang akan dikumpulkan,  lalu
menawarnja. Kemanapun aku pergi, rakjat berkumpul berbondong-bondong. Dokterku telah memperhatikan,
bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat mendjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas
sedikit dari diriku sendiri dan dari pendjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan. Tawanan dari
tata-tjara  serba  resmi.  Tawanan  dari  tata-tjara  kesopanan.  Tawanan  dari  peri-laku  jang  baikSetiap  orang
harus mentjari  suatu  kesenangan  supaja  terlepas  dari  segala  tata-laku  ini.  Presiden Ayub  Khan main  golf,
Kennedy berperahu lajar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Radja Muang Thai main saxophone,
Lyndon  Johnson  mempunjai  tempat  peternakan.  Akupun  memerlukan  kesenangan.  Karena  itu,  bila  aku
mengadakan  perdjalanan,  aku  mengizinkan  diriku  sendiri  dengan  kesenangan  mendjalankan  tugas  dalam
mengedjar  kebahagiaan.  Sesuai  dengan  Undang-Undang  Dasar  Amerika  Serikat  setiap  orang  berhak
mengedjarnja.Mendjadi Presiden karena diperlukan menjebabkan orang mendjadi terasing. Ketjakapan dan
sifat-sifat jang memungkinkan orang menduduki djabatan Presiden itu adalah ketjakapan dan sifat itu djuga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 6 dari 109
jang menjebabkan  ia diasingkan. Akan  tetapi, dimata orang  luar aku  selalu gembira. Pembawaanku adalah
demikian,  sehingga  perasaan  susah  jang  teramat  sangat  tidak  pernah  memperlihatkan  diri.  Sekalipun
perasaanku  hantjur-luluh  didalam,  orang  tak  dapat  menduganja.  Bukankah  Sukarno  terkenal  dengan
,,senjumnja" ? Apapun djuga persoalanku— Malaysia, kemiskinan, lagi-lagi pertjobaan pembunuhan—Sukarno
dari luar senantiasa gembira. Seringkali aku duduk-duduk seorang diri diberanda Istana Merdeka. Beranda itu
tidak  begitu  indah.  Setengah  tertutup  dengan  lajar  untuk  menghambat  panas  dan  tjahaia  matahari.
Perabotnja  terdiri  dari  korsi  rotan  jang  tidak  dilapis  dan  tidak  ditjat  dan medja  beralas  kain  batik  halus
buatan  negeriku.  Suatu  keistimewaan  jang  kuperoleh  karena  djabatan  tinggi  adalah  sebuah  korsi  jang
menjendiri  pakai  bantal.  Itulah  jang  dinamakan  ,,Korsi  Presiden".'Dan  aku  duduk  disana.  Merenung.  Dan
memandang  keluar  ketaman  indah  jang  menghilangkan  kelelahan  pikiran,  taman  jang  kutanami  dengan
tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi.Aku ingin bertjampur dengan rakjat. Itulah jang mendjadi
kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. 
Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar
dan bersatu dengan rakjat-djelata jang melahirkanku. Kadang-kadang aku mendjadi seorang Harun al Rasjid.
Aku berputar-putar keliling kota. Seorang diri. Hanja dengan seorang adjudan berpakaian preman dibelakang
kendaraan. Terasa olehku kadangkadang, bahwa aku harus terlepas dari berbagai persoalan untuk sesaat dan
merasakan  irama  denjut  djantung  tanah-airku.  Namun  persoalan-persoalan  selalu  mengikutiku  bagai
bajangan besar dan hitam dan  jang datang dengan samar menakutkan dibelakangku. Aku takkan bisa  lepas
daripadanja. Aku takkan keluar dari genggamannja. Aku takkan dapat madju dengannja. Ia bagai hantu jang
senantiasa mengedjar-ngedjar. Pakaian seragam dan petji hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi
adakalanja kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas
aku hanja memakai kemedja. Dan dengan- katjamata berbingkai tanduk rupaku  lain samasekali. Aku dapat
berkeliaran  tanpa dikenal orang dan memang kulakukan.  Ini kulakukan karena  ingin melihat kehidupan  ini.
Aku  adalah  kepunjaan  rakjat.  Aku  harus melihat  rakjat,  aku  harus mendengarkan  rakjat  dan  bersentuhan
dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti-kehidupan bagiku.
Dan  aku  merasa  terpisah  dari  rakjat-djelata.Kudengarkan  pertjakapan  mereka,  kudengarkan  mereka
berdebat,  kudengarkan  mereka  berkelakar  dan  bertjumbu-kasih.  Dan  aku  merasakan  kekuatan  hidup
mengalir keseluruh batang  tubuhku. Kami pergi dengan mobil ketjil  tanpa  tanda pengenal. Adakalanja aku
berhenti  dan  membeli  sate  dipinggiran  djalan.  Kududuk  seorang  diri  dipinggir  trottoir  dan  menikmati
djadjanku  dari  bungkus  daun  pisang.  Sungguh  saat-saat  jang  menjenangkan.  Rakjat  segera  mengenalku
apabila mendengar  suaraku.  Pada  suatu malam  aku  pergi  ke  Senen,  disekitar  gudang  kereta-api,  dengan
seorang  Komisaris  Polisi.  Aku  berputar-putar  ditengah-tengah  rakjat  dan  tak  seorangpun  memperhatikan
kami.  Achirnja,  untuk  sekedar  berbitjara  aku  bertanja  kepada  seorang  laki-laki,  ,,Dari  mana  diambil
batubata ini dan bahan konstruksi jang sudah dipantjangkan ini ?" Sebelum ia dapat memberikan djawaban,
terdengar teriakan, ,,Hee," teriak suara perempuan, ,,Itu suara Bapak Ja suara Elapak Hee, orang-orang, ini
Bapak Bapak "Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakjat datang berlari-lari dari segala pendjuru
Dengan tjepat Komisaris itu membawaku keluar dari situ, masuk mobil ketjil kami dan menghilang. Ditindjau
setjara keseluruhan maka djabatan Presiden tak ubahnja seperti suatu pengasingan jang terpentjil. Memang
ada  beberapa  orang  kawanku.  Tidak  banjak.  Seringkali  pikiran  oranglah  jang  berobah-obah,  bukan
pikiranmu.  Mereka memperlakukanmu  lain.  Mereka  turut mentjiptakan  pulau  kesepian  ini  disekelilingmu.
Karena itulah, apabila aku terlepas dari pendjaraku ini, aku menjenangkan diriku sendiri. 
Di  Tokyo  aku  bisa  pergi  ke  Kokusai  Gekijo,  dimana mereka mempertundjukkan  diatas  panggung  sekaligus
empatratus  gadis-gadis  djelita.  Ditahun  1963  aku  baru  tahu,  bahwa  Duta  Besar  Indonesia  untuk  Djepang
diwaktu itu tidak pernah mengundjungi panggung ini. Aku mengumpatnja, ,,Hei, Bambang Sugeng, engkau ini
Duta  Besar  jang  malang.  Seorang  diplomat  harus  mengetjap  setiap  djenis  kehidupan  negeri  dimana  dia
ditempatkan.  Hajo  Mari  kita  pergi  melihat  gadis-gadis  itu.  "Akupun  mengadjak  seorang  Indonesia  jang
bersusila  kawakan,  jang  kaget  apabila  Presidennja  mempertjakapkan  wanita.  Orang  ini  mengerling  pada
gadis-gadis  jang  tjantik  ini,  kemudian  bangkit  dan  berkata,  ,,Saja  tidak  dapat menjaksikannja.  Saja  akan
pergi sadja. Terlalu menegangkan pikiran saja." Dia seorang munafik. Aku bentji orang-orang munafik. Sudah
barang  tentu  lagi-lagi  reputasiku  menjebabkan  aku  mendjadi  korban  keadaan.  Di  Fiiipina  ditahun  1964,
Presiden Diosdado Macapagal menjambutku dilapangan  terbang. Beliau mengiringkanku  ke  Laurels Mansion
dimana  aku  menginap.  Disana  tinggal  Tuan  Laurels  bekas  Presiden  Filipina,  isterinja  dan  anak-tjutjunja.
Untuk  lebih  memeriahkan  kedatanganku  mereka  mendatangkan  Bayanihan  Cultural  Ensemble,  suatu
perkumpulan paduan-suara,  jang menjambutku dengan Tari Lenso  sebagai  tanda penghormatan. Dua orang
wanita muda  tampil dari dalam  kelompok ensemble  itu dan meminta  kepadaku untuk  turut menari.  Sukar
untuk menolaknja, karena  itu aku mulai menari dan GEGER  ! Kilat  lampu  ! Djepretan karnera  ! Dan  induk
karangannja:  "Lihat  Sukarno  pengedjar-tjinta  mulai  lagi".  Aku  menjukai  gadis-gadis  jang  menarik
disekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnja seperti kembang jang sedang mekar dan aku senang
memandangi kembang. Ditahun 1946, dihari-hari  jang berat  itu  semasa  revolusi  fisik,  isteri dari  sekretaris-
duaku datang setiap pagi hanja sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku. Ah, sebenarnja aku sendiri
bisa memetjahkannja, akan tetapi isteriku tak pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan
kuat disaat-saat  jang  tegang  seperti  itu apabila melihat barang  sesuatu  tersenjum disekitarku. Aku merasa BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 7 dari 109
terhibur oleh wanita-wanita muda disekeliling  kantorku. Apabila para  tetamu menjiasati  tentang  adjudan-
adjudan wanitaku jang masih muda-belia, aku berkelakar kepada mereka, ,,Perempuan tak ubahnja seperti
pohon  karet.  Dia  tidak  baik  lagi  setelah  tigapuluh  tahun."  Katakanlah,  aku  bereaksi  lebih  baik  terhadap
wanita.  Wanita  lebih  mengerti.  Wanita  lebih  bisa  turut  merasakan.  Kuanggaip  mereka  memberikan
kesegaran. Djustru wanitalah  jang dapat memberikan  ini kepadaku. Sekali  lagi, aku  tidak berbitjara dalam
arti djasmaniah. Aku hanja sekedar tertarik pada suatu pandangan jang lembut atau sesuatu jang kelihatan
indah.  Sebagai  seorang  seniman,  aku  tertarik  menurut  pembawaan  watak  kepada  segala  apa  jang
menjenangkan  pikiran.  Bila  hari  sudah  larut  aku merasa  lelah.  Seringkali  aku  kehabisan  tenaga,  sehingga
sukar  untuk  menggerakkan  persendian.  Dan  apabila  seorang  sekretaris  laki-laki  berbadan  besar,  tidak
menarik, buruk dan botak datang membawa  setumpukan  tinggi  surat-surat untuk ditandatangani, aku akan
berteriak kepadanja supaja dia segera pergi dan membiarkanku seorang diri. Sepihan-sepihan kulitnja akan
rontok  dari  badannja  karena  kaget.  Aku  akan menggeledek  kepadanja.  Aku  akan  bangkitkan  petir  diatas
kepalanja.  Akan  tetapi  bilamana  jang  datang  seorang  gadis  sekretaris  berbadan  ramping,  dengan  dandan
jang  rapi  dan meluapkan  bau  harum menjegarkan  tersenjum manis  dan  berkata  kepadaku  dengan  lunak,
,,Pak,  silahkan  ",  tahukah  engkau  apa  jang  terdjadi  ?  Bagaimanapun  keadaan  hatiku,  aku  akan mendjadi
tenang. Dan  aku  akan  selalu berkata,  "Baik". Ditahun  '61  aku  sakit  keras. Di Wina para  ahli mengefuarkan
batu dari gindjalku. Waktu itu adalah saat memuntjaknja perdjoangan kami merebut kembali Irian Barat dan
dalam kalangan lawan-lawan kami timbul kegembiraan. 
Tidak  guna  lagi  mengutuk  Sukarno  dan  memintaminta  supaja  dia  mati,  karena  Sukarno  sekarang  sedang
menudju kematiannja. Karena itu para dokter melakukan perawatan jang lebih teliti terhadap diriku. Mereka
membudjuk  hatiku,  ,,Djangan  kuatir,  Presiden  Sukarno,  kami  akan  memberikan  perawat-perawat  jang
berpengalaman untuk mendjaga Tuan." Hehhhh ! ! Ketika hal ini disampaikan kepadaku, keadaanku mendjadi
lebih pajah daripada  sewaktu aku mula-mula masuk. Aku  tahu apa  jang akan kuhadapi. Aku  tidak berkata
apa-apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknja dihari berikut ia melakukan pembedahan dan
aku  ingin agar hatinja senang terhadapku selama  ia mendjalankan pembedahan  itu. Akan tetapi sementara
itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, "Aku akan lebih tjepat sembuh idengan gadis-gadis perawat jang tidak
berpengalaman,  karena  jang  sudah  punja  pengalaman  40  tahun  tentu  setidak-tidaknja  sekarang  sudah
berumur  55  !"Orang mengatakan,  bahwa  Sukarno  suka melihat  perempuan  tJantik  dengan  sudut matanja.
Kenapa  mereka  berkata  begitu  ?  Itu  tidak  benar.  Sukarno  suka  memandangi  perempuan  tjantik  dengan
seluruk  bola  matanja.  Akan  tetapi  ini  bukanlah  suatu  kedjahatan.  Sedangkan  Nabi  Muhammad  sallallahu
'alaihi wasallam mengagumi  keindahan. Dan  sebagai  seorang  Islam  jang beriman aku adalah pengikut Nabi
Muhammad jang mengatakan, "Tuhan jang dapat mentjiptakan machluk-machiuk jang tjantik seperti wanita
adalah  Tuhan  Jang  Maha-Besar  dan  Maha-Pengasih."  Aku  setudju  dengan  utJapan  beliau.Seperti  jang
dikisahkan,  Muhammad  mempunjai  seorang  budak  bernama  Said.  Said,  orang  jang  pertama-tama  masuk
Islam,  mempunjai  isteri  jang  sangat  tjantik  bernama  Zainab.  Ketika  Muhammad  melihat  Zainab,  beliau
mengutjapkan  "Allahu  Akbar",  Tuhan  MahaBesar.Tatkala  murid-muridnja  bertanja,  mengapa  beliau
mengutjapkan  Allahu  Akbar  ketika melihat  Zainab, maka  beliau mendjawab,  "Aku memudji  Tuhan  karena
telah mentjiptakan machluk-machluk jang tjantik seperti perempuan ini." Aku mendjundjung Nabi Besar. Aku
mempeladjari utjapan-utjapan beliau dengan teliti. Djadi, moralnja bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau
tidak sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan jang tjantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu,
karena dengan melakukan itu pada hakekatnja aku memudji Tuhan dan memudji apa jang telah ditjiptakan-
Nja.Aku hanja seorang pentjinta ketjantikan jang luarbiasa. Aku mengumpulkan benda-benda perunggu karja
seni dari Budapest, seni pualam dari Italia, lukisan-lukisan dari segala pendjuru. 
Untuk Istana Negara di Djakarta aku sendiri berbelandja membeli kandil kristal jang berat dan korsi beludru
tjukilan  emas di  Eropa. Aku memungut  permadani  di  Iraq. Aku membnat  sendiri  rentjana medja  kantorku
dari  satu  potong  kajudjati  Indonesia  jang  utoh.  Aku merentjanakan medja  ruang-makan  Negara  dari  satu
potong  kajudjati  Indonesia.  Aku  menggantungkan  setiap  kain-hiasan-dinding,  memilih  setiap  barang,
merentjanakan dimana harus diletakkan setiap pot-bunga atau karja seni-pahat.Kalau aku melihat sepotong
kertas  dilantai,  aku  akan  berhenti  dan  memungutnja.  Anggota  Kabinet  tertawa  melihat  bagaimana  aku,
ditengah-tengah  persoalan  jang  pelik,  datang  kepada  mereka  dan  meluruskan  dasinja.  Aku  senang  bila
makanan diatur setjara menarik diatas medja. Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk. 
Dalam perkundjungannja  ke  Istana Negara di Bogor,  seorang Texas  terpikat hatinja pada  salah-satu benda
seniku. "Tuan Presiden," katanja tiba-tiba.  "Saja akan menjampaikan apa jang hendak saja kerdjakan untuk
Tuan.  Saja  akan menjerahkan  sebuah Cadillac  sebagai  ganti  ini." Kukatakan  kepadanja  jah,  tak  soal  kata-
kata apa  jang  telah kuutjapkan kepadanja. Tapi pokoknja adalah  "Tidak". Tidak  satupun dari benda-benda
indah  jang  telah  kukumpulkan  dapat  ditukar  dengan  Cadillac.  Kalau  aku  senang  kepadamu,  engkau  akan
kuberi sebuah lukisan atau barang tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk mendjualnja, tidak, sekali-kali
tidak.  Semua  itu  akan  kuwariskan  kepada  rakjat  Indonesia,  bilamana  aku  pergi.  Biarlah  rakjatku
memasukkannja kedalam Museum Nasional. Kemudian, apabila mereka  lelah atau pikirannja katjau, biarlah
mereka  duduk  dihadapan  sebuah  lukisan  dan  meneguk  keindahan  dan  ketenangannja,  sehingga  mengisi
seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia djuga terdiadi terhadap diriku. Ja, aku akan mewariskan BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 8 dari 109
hasil-hasil  seni  ini  kepada  rakjatku.  Untuk  didjual?  Djangan  kira!  Seorang  orang-asing  jang  mengerti
kepadaku adalah Dutabesar Amerika di Indonesia, Howard Jones. 
Ia  sudah  lama  ditempatkan  di  Djakarta  dan mendjabat  sebagai  Ketua  dari  Korps  Diplomatik.  Kami  sering
terlibat  dalam  perdebatan-perdebatan  sengit  dan  pahit,  akan  tetapi  aku  semakin memandangnja  sebagai
seorang kawan jang tertjinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: "Suatu perpaduan antara Franklin
Delano Roosevelt  dan Clark Gable." Apakah  orang  heran,  apabila  aku menjebutnja  sebagai  seorang  kawan
jang tertjinta ? Disuatu hari Minggu beberapa tahun jang silam, ia dengan isterinja Marylou makan bersama-
sama  denganku  dan  isteriku  Hartini  dipaviljun  ketjil  karni  di  Bogor.  Bogor  adalah  tempat  didaerah
pegunungan  jang  sedjuk diluar kota Djakarta. Berlainan dengan dugaan orang bahwa aku mempunjai kran-
kran  dari  emas murni  seperti  sepantasnja  bagi  Jang  Dipertuan  didaerah  Timur, maka  aku  tidak  tinggal  di
Istana Negara  jang besar  itu. Dipekarangannja kami mempunjai  sebuah bungalow ketjil  jang besaruja kira-
kira sama dengan jang dipunjai oleh seorang pedjabat biasa. Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar-tidur,
suatu ruang-makan ketjil dan ruang-duduk jang sangat ketjil. Ia tidak mewah. Sederhana sekali. Akan tetapi
menjenangkan dan  itulah rumahku.Selagi makan Howard berkata, "Tuan Presiden, saja kira sudah waktunja
bagi Tuan untuk melihat kembali djalan-djalan dalam sedjarah. Menurut pendapat saja sudah tepat waktunja
bagi Tuan untuk menuliskan sedjarah hidup Tuan."Seperti biasa, apabila seseorang menjebut-njebut tentang
otobiografi, aku mendjawab, "Tidak". 
Insja Allah, djika Tuhan mengizinkan, saatnja masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saja bisa mengetahui
apa jang akan terdjadi terhadap diriku ? Siapa jang dapat mentjeriterakan, bagaimana djalannja kehidupan
saja ? Itulah sebabnja mengapa saja selalu menolak hal ini, karena saja jakin bahwa buruk-baiknja kehidupan
seseorang  hanja  dapat  dipertimbangkan  setelah  ia  mati."  "Terketjuali  Presiden  Republik  Indonesia,"
djawabnja.  "Disamping  telah mendjadi  Kepala  Negara  selama  20  tahun,  ia  telah  dipilih  sebagai  Presiden
seumur  hidup.  Ia  adalah  orang  jang  paling  banjak  diperdebatkan  dan  dikritik  didjaman  kita  ini.  Ia
"mempunjai  banjak  rahasia,"  kataku  dengan  senjum  jangdisembunjikan.  "Akan  tetapi  dialah  satu-satunja
orang jang dapat memberanikan diri untuk mengguratkannja dan disamping itu mendjawab seranganserangan
dari para pengeritiknja—dan kawan-kawannja."Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan jang tidak
formil.  Aku  pakai  badju  sport  dan  tidak  bersepatu.  Hartini membuat  nasigoreng,  karena  dia  tahu  bahwa
keluarga  Jones  sangat  dojan  pada  nasi-goreng-ajam  dan  Presiden  makan  puluk—artinja  makan  dengan
tangan—dan  kami  duduk  disekitar medja  bersama-sama menikmati  saat-saat  istirahat  jang menjenangkan,
jang  hanja  dapat  dilakukan  diantara  kawan-kawan  lama.  "Untuk  membuat  otobiografi  jang  sesungguhnja
sipenulis hendaknja dalam keadaan jang- susah seperti Rousseau ketika dia menulis pengakuan-pengakuannja
dan  pengakuan  jang  demikian  ternjata  sukar  bagi  saja.  Banjak  tokoh  jang masih  hidup  akan menderita,
apabila  saja  mentjeriterakan  semuanja.  Dan  banjak  pemerintahan-pemerintahan,  dengan  mana  saja
sekarang mempuniai hubungan jang baik, akan mendapat serangan sedjadi-djadinja apabila saja menjatakan
beberapa hal jang ingin saja tjeriterakan." "Walaupun bagaimana, Tuan Presiden, orang-orang-asing merobah
pendirian  mereka  setelah  bertemu  dengan  Tuan  dan  djatuh  kedalam  kekuatan  pribadi  Bung  Karno  jang
terkenal  dan menarik  seperti  besiberani.  Kalau  Tuan  terus madju  dengan  daja-penarik  pribadi  Tuan  itu,
maka  saja  jakin  kritikus  jang  paling  tadjampun  kemudian  akan  berkata,  "Hee,  dia  sesungguhnja  tidak
bernapaskan asap dan api seperti naga. Dia sangat menjenangkan." "Itulah sebabnja saja pada dasarnja ingin
berkawan," kuterangkan kepadanja. "Saja menjukai orang Timur, saja menjukai orang Barat bahkan Tengku
Abdul Rahman  sendiri dan orang  Inggris. Pun djuga orang-orang  jang membentji  saja.  Setiap  saat apa-bila
mereka  ingin  bersahabat,  saja  lebih  ingin  lagi  dari  itu.  Suatu  kalisaja mengetahui  bahwa  De Gaulle  tidak
senang  kepada  saja.  Sekalipundemikian  saja  bertemu  dengan  dia  di  Wina.  Setelah  itu
sikapnjaberobah.",,Itulah maksud  saja,"  Jones melandjutkan.  "Tuan  tidak  bisa mendatangi  sendiri  seluruh
rakjat didunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman-halaman buLu. Tuan
menawan hati sedjuta pendengar dilapangan terbuka. Mengapa Tuau tidak menghendaki djumlah pendengar
jang  lebih  besar  lagi.  "Pertjakapan  ini  berlangsung  terus  sampai  makan  perabung,  berupa  pisang-rebus
kesukaanku.  "Begini,"  kataku.  "Suatu  otobiografi  tidak  ada  harganja,  ketjuali  djika  sipenulis  merasa
kehidupannja tidak berguna apa-apa. Kalau dia menganggap dirinja seorang besar, karjanja akan mendjadi
subjektif.  Tidak  objektif.  Otobiografiku  hanja mungkin  djika  ada  perimbangan  dari  kedua-duanja.  Sekian
banjak jang baikbaik supaja dapat menenangkan egoku dan sekian banjak jang djelek-djelek sehingga orang
mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanja jang baik-baik sadja orang akan menjebutmu egois, karena
memudji  diri  sendiri. Memasukkan  hanja  jang  djelek-djelek  sadja  akan menimbulkan  suasana mental  jang
buruk bagi rakjatku sendiri. Hanja setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan djudjur, 'Apakah; Sukarno
manusia jang baik ataukah manusia jang buruk ?' Hanja di-saat itulah dia baru dapat diadili."Bertahun-tahun
lamanja  orang  mendesakku  untuk  menuliskan  kenang-kenanganku.  Press  Officerku,  Njonja  Rochmuljati
Hamzah, selalu mendjadi perantara.Satu kali aku betul-betul membentak-bentak Roch jang manis ituDitabun
1960, ketika Krushchov sedang berkundjung kemari, ada seratus orang wartawan-asing berkerumun dibawah
tangga.  Disatu.  saat  dia  berkata,  "Ma'af,  Pak,  Bapak  djangan  marah,  karena  kami  sendiripun  tidak
mengetahui  sedjarah  hidup  Bapak.  Dan  Bapak  sedikit  sekali  memberikan  wawantjara.  Oleh  karena  itu
dapatkah Bapak menenteramkan hati  saja barang  sedikit dan menerima  seorang wartawan CBS  jang  ramah
sekali dan  ingin menulis  riwajat hidup Bapak  ?" Aku berpaling kepadanja dan menjembur.  "Berapa kali aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 9 dari 109
harus mengatakan kepadamu, T-I-D-A-K ! ! Pertama, aku tidak mengenalnja, akan tetapi kalau aku pada satu
saat menulis riwajat hidupku, aku akan kerdjakan dengan seorang perempuan. Sekarang djauh-djauhlah dari
penglihatanku.  Engkau  seperti  pesurah  wartawanasing."  Roch  berlari  keluar  dan  pulang
kerumahnja.Kemudian aku merasa menjesal. Adjudanku menelpon Roch dan. memberitahukan, bahwa  aku
hendak beItemu dengan dia. Lalu kukirimi kendaraan untuk mendjemputnja. Dia datang dan mengira bahwa
akan menerima semprotan lagi, akan tetapi sebaliknja, Presidennja hendak minta ma'af kepadanja. 
"Ma'afkanlah aku, Roch," kataku. "Kadang-kadang aku berteriak dan menjebut nama-nama buruk, akan tetapi
sebenarnja akulah  itu. Djangan masukkan kata-Lata  itu dalam hatimu. Kalau aku meradang,  itu berarti aku
mentjintaimu. Aku menjemprot kepada orang-orang jang terdekat dan paling kusajangi. Hanja mereka jang
mendjadi  papan-suaraku."  Kemudian  kutjium  dia  dipipinja,  tjara  jang  biasa  kulakukan  sebagai  salam
pertemuan dan perpisahan dengan anakanak perempuan sekretarisku—dan dia pergi dengan hati jang senang
sekali.Itu  sebabnja,  mengapa  persoalan-persoalan  Asia  harus  diselesaikan  dengan  tjara  Asia.  Tjaraku
bukanlah  sesungguhnja  gaja  Barat,  kukira.  Aku  tak  dapat membajangkan  seorang  Perdana Menteri  Inggris
memeluk  sekretaris-wanitanja  sebagai  utjapan  selamat  pagi  atau  utjapan-ma'af,  setelah mana  perempuan
itu lari keluar dan membiarkan dia sendiri.Aku tidak menduga, tidak lama setelah kedjadian ini aku bertemu
dengan Cindy Adams. Cindy,  seorang wartawan-wanita,  berada  di Djakarta  ditahun  1961  dengan  suaminja
pelawak  Joey  Adams,  jang memimpin Missi  Kesenian  Presiden  Kennedy  ke  Asia  Tenggara. Wanita  Amenka
jang riang dan rapi ini, dengan pembawaannja jang suka berkelakar, menjebabkan aku seperti kena pukau.
Wawantjara  dengan Cindy menjenangkan  sekali  dan  tidak menjakitkan  hati.  Tulisannja  djudjur  dan  dapat
dipertjaja  sepen~nja.  Bahkan  dia  nampaknja  dapat  merasakan  sedikit  tentang  Indonesia  dan  persoalan
persoalannja dan,  jah, dia  adalah  seorang penulis  jang palingmenarik  jang pernah  kudjumpai  !Kami orang
Djawa  bekerdja  dengan  instink.  Setahun  lamanja  aku mentjari-tjari  seorang wanita  jang  akan mendjabat
sebagai  press  officer,  akan  tetapi  ketika  aku  melihat  Roch  aku  segera  mengetabui~  bahwa  dialah  jang
kutjari.  Kupekerdjakan  dia  segera.  Begitupun  halnja  dengan  Cindy.Pada  kesempatan  lain,  ketika  Howard
Jones memulai  lagi  pokok  pembitjaraan  tentang  sedjarah  hidupku,  aku memberikan  'surprise~  kepadanja.
Aku meringis. ,,Dengan satu sjarat. Bahwa aku mengerdjakannja dengan Cindy Adams."Dan apakah achiroja
jang menjebabkan  aku mengambil  keputusan  uatuk mengerdjakan  sedjarah  hidupku  ?  Jah, mungkin  djuga
benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenjadari, bahwa aku sud'ah tua 
Sekarang, mataku jang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini dengan alasan.
Disatu pagi jang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku biasa memangkunja kelika dia masih ketjil.
Sekarang beratnja 70 kilo. Aku menjadari dengan tibatiba, bahwa aku tidak dapat memangkunja lagi diatas
lututku.  Mungkin  dia  akan  memataLkan  kakiku  jang  tua  dan  lelah  itu.  Memang  wanita  tjantik  dapat
membikin hatiku mendjadi muda  lagi, akan  tetapi bila aku menginsjafi bahwa anak  itu  sekarang mendjadi
ibu dari beberapa orang anak,  tahulah aku bahwa aku  sudah berangsur  tua djuga.Dan begitulah, waktunja
sudah  datang.  Kalau  aku  hendak menuliskan  kisahku,  aku  harus mengguratkannja  sekarang.  Mungkin  aku
tidak  mempunjai  kesempatan  nanti.  Aku  tahu,  bahwa  orang  ingin  mengetabui,  apakah  Sukarno  seorang
kolaborator  Djepang  semasa  Perang  Dunia  Kedua.  Kukira  hanja  Sukarno  jang  dapat menerangkan  periode
kehidupannja itu dan karena itu ia bersedia menerangkannja. Bertahun-tahun lamanja orang bertanja-tanja,
apakah  Sukarno  seorang  Diktator,  apakah  dia  seorang  Komunis;  mengapa  dia  tidak  membenarkan
kemerdekaan pers; berapa banjak  isterinja; mengapa dia membangun departemen-store-departemen-store
jang baru, sedangkan rakjatnja dalam keadaan tjompang-tjamping .........Hanja Sukarno sendiri jang dapat
mendjawabnja.Ini adalah pekerdjaan jang sukar bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan-mental
bagiku. Sungguh berat. Menjobek plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka luka-luka
itu,  memang  sakit-sekalipun  banjak  diantaranja  jang  sudah  mulai  sembuh.  Tambahan  lagi,  aku  akan
melakukannja  dalam  bahasa  Inggris,  bahasa  asing  bagiku.  Terkadang  aku membuat  kesalahan  dalam  tata-
bahasa  dan  seringkali  aku  terhenti  karena  merasa  agak  kaku.Akan  tetapi,  mungkin  djuga  aku  wadjib
mentjeritakan  kisah  ini  kepada  tanah-airku,  kepada  bangsaku,  kepada  anak-anakku  dan  kepada  diriku
sendiri. Karenanja kuminta kepadamu, pembatja, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata
jang  tertulis  adalah  bahasa  jang  keluar  dari  lubuk-hati.  Buku  ini  tidak  ditulis  untuk mendapatkan  simpati
atau meminta  supaja  setiap  orang  suka  kepadaku. Harapanku  hanjalah,  agar  dapat menambah  pengertian
jang  lebih  baik  tentang  Sukarno dan dengan  itu menambah pengertian  jang  lebih  baik  terhadap  Indonesia
jang tertjinta. 
Bab 2
Putera Sang Fadjar 
IBU  telah memberikan  pangestu  kepadaku  ketika  aku  baru  berumur  beberapa  tahun.  Dipagi  itu  ia  sudah
bangun sebelum matahari terbit dan duduk didalam gelap diberanda rumah kami jang ketjil, tiada bergerak.
Ia  tidak  berbnat  apa-apa,  ia  tidak  berkata  apa-apa,  hanja memandang  arah  ke  Timur  dan  dengan  sabar
menantikan  hari  akan  siang.Akupun  bangun  dan  mendekatinja.  Diulurkannja  kedua  belah  tangannja  dan BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 10 dari 109
meraih  badanku  jang  ketjil  kedalam  pelukannja.  Sambil mendekapkan  tubuhku  kedadanja,  ia memelukku
dengan  tenang. Kemudian  ia berbitjara dengan  suara  lunak,  ,,Engkau  sedang memandangi  fadjar, nak.  Ibu
katakan  kepadamu,  kelak  engkau  akan mendjadi  orang  jang mulia,  engkau  akan mendjadi  pemimpin  dari
rakjat kita, karena ibu melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing. 
Kita  orang  Djawa  mempunjai  suatu  kepertjajaan,  bahwa  orang  jang  dilahirkan  disaat  matahari  terbit,
nasibnja  telah ditakdirkan  terlebih dulu. Djangan  lupakan  itu, djangan  sekali-kali  kaulupakan, nak, bahwa
engkau ini putera dari sang fadjar. "Bersamaan dengan kelahiranku menjingsinglah fadjar dari suatu hari jang
baru  dan  menjingsing  pulalah  fadjar  dari  satu  abad  jang  baru.  Karena  aku  dilahirkan  ditahun  1901.Bagi
Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan djaman jang gelap. Sedangkan djaman sekarang baginja
adalah djaman jang terang-benderang dalam menaiknja pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu
djaman  dimana  bangsa-bangsa  baru  dan  merdeka  dibenua  Asia  dan  Afrika  mulai  berkembang  dan
berkembangnja  negara-negara  Sosialis  jang  meliputi  seribu  djuta  manusia.  Abad  inipun  dinamakan  Abad
Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka  jang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan  ini  terikat
oleh suatu kewadjiban untuk mendjalankan tugas-tugas kepahlawanan. 
Hari  lahirku  ditandai  oleh  angka  serba  enam.  Tanggal  enam  bulan  enam.  Adalah  mendjadi  nasibku  jang
paling  baik  untuk  dilahirkan  dengan  bintang  Gemini,  lambang  kekembaran.  Dan  memang  itulah  aku
sesungguhnja. Dua sifat jang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa tjerewet. Aku bisa keras laksana badja
dan aku bisa  lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran  sehat dan getaran perasaan.
Aku  seorang  jang  suka  mema'afkan,  akan  tetapi  akupun  seorang  jang  keras-kepala.  Aku  mendjebloskan
musuh-musuh Negara kebelakang djeradjak-besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung
terkurung didalam sangkar.Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monjet. Binatang itu diikat dengan
rantai.  Aku  tidak  dapat  membiarkannja  !  Dia  kulepaskan  kedalam  hutan.Ketika  Irian  Barat  kembali
kepangkuan  kami,  aku  diberi  hadiah  seekor  kanguru.  Binatang  itu  dikurung.  Kuminta  supaja  dia  dibawa
kembali ketempatnja dan dikembalikan kemerdekaannja. Aku mendjatuhkan hukuman mati, namun aku tak
pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor njamuk. Sebaliknja aku berbisik kepada binatang itu,
,,Hajo,  njamuk,  pergilah,  djangan  kaugigit  aku."  Sebagai  Panglirna  Tertinggi  aku  mengeluarkan  perintah
untuk membunuh. Karena aku  terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan  segala  rupa, aku dapat
mengerti  segala  pihak,  aku memimpin  semua  orang.  Boleh  djadi mi  setjara  kebetulan  bersamaan.  Boleh
djadi  djuga  pertanda  lain.  Akan  tetapi  kedua  belahan  dari  watakku  itu mendjadikan  aku  seseorang  jang
merangkul semuanja. 
Masih ada pertanda  lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud,  jang  tidak djauh  letaknja dari  tempat kami,
meletus. Orang jang pertjaja kepada tahjul meramalkan, ,,Ini adalah penjambutan terhadap baji Sukarno."
Sebaliknja  orang  Bali mempunjai  kepertjajaan  lain;  kalau  gunung  Agung meletus  ini  berarti  bahwa  rakjat
tielah  melakukan  maksiat.  Djadi,  orangpun  dapat  mengatakan  bahwa  gunung  Kelud  sebenarnja  tidak
menjambut baji Sukarno. Gunung Kelud malah menjatakan kemarahannja, karena anak  jang begitu djahat
lahir kemuka bumi  ini.Berlainan dengan pertanda-pertanda jang mengiringi kelahiranku  itu, maka kelahiran
itu  sendiri  sangatlah menjedihkan.  Bapak  tidak mampu memanggil  dukun  untuk menolong  anak  jang  akan
lahir.  Keadaan  kami  terlalu  ketiadaan.  Satu-satunja  orang  jang menghadapi  ibu  ialah  seorang  kawan  dari
keluarga kami, seorang kakek jang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang  lain selain dari orang
tua itu, jang menjambutku mengindjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket-timbul jang terbuat dari batu
pualam  putih  lagi  bersih,  jang  melukiskan  kelahiran  Hercules.  Ia  tergantung  diruang  gang  jang  menudju
keruangan  resepsi Negara. Plaket  ini memperlihatkan baji Hercules dalam pangkuan  ibunja dikelilingi oleh
empatbelas  orang wanita-wanita  tjantik —  semua  dalam  keadaan  telandjang.  Tjobalah  bajangkan,  betapa
bahagianja  untuk  dilahirkan  ditengah-tengah  empatbelas  orang  wanita  tjantik  seperti  ini  !  Akan  tetapi
Sukarno  tidak  sama  beruntungnja  dengan Hercules.  Pada waktu  aku  dilahirkan,  tak  seorangpun  jang  akan
mengambilku kedalam pangkuannja, ketjuali seorang kakek jang sudah terlalu amat tua. 
Lalu 50  tahun kemudian.  Ini bukanlah  lelutjon  sebagai bahan  tertawaan. Ditahun 1949 Republik kami  jang
masih muda mengindjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perdjuangan jang hebat
dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda bentji kepadaku habis-habisan seperti
mereka  habis-habisan  membentji  neraka.  Mereka  menentangku  melalui  radio.  Dan  mereka  menentangku
melalui  pers.  Sebuah  madjalah  membuat  suatu  pengakuan  dengan  menjatakan  bahwa,  ,,Sukarno  adalah
seorang  jang bersemangat, dinamis dan berlainan samasekali dengan orang Djawa  jang  lamban dan  lambat
berpikir.  Sukarno  dapat  berbitjara  dalam  tudjuh  bahasa  dengan  lantjar.  Kita  hendaknja  bisa  melihat
kenjataan  dan  kenjataan  adalah,  bahwa  Sukarno  sesungguhnja  seorang  pemimpin."  Dalam  tulisan  ini
diuraikan  segala  sifat  dan  tanda  jang  baik  mengenai  diriku.  Dengan  segera  aku  menjadari  maksud-
tudjuannja.  Tulisan  itu  akhiruja  menjimpulkan,  ,,Pembatja  jang  budiman,  tahukah  pembatja  mengapa
Sukaroo  memiliki  sifat-sifat  jang  luar-biasa  itu?  Karena  Sukarno  bukanlah  orang  Indon!esia  asli.  Itulah
sebabnja. Dia adalah anak  jang  tidak  sah dari  seorang  tuan-kebun dari perkebunan  kopi  jang mengadakan
hubungan  gelap  dengan  seorang  buruh  perempuan  Bumiputera,  kemudian  menjerahkan  anak  itu  kepada BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 11 dari 109
orang  lain  sebagai  anak-angkat."Sajang  !  Satu-satunja  saksi  untuk  bersumpah  kepada  bapakku  jang
sesungguhnja  dan  untuk  mendjadi  saksi  bahwa  aku  dilahirkan  oleh  ibuku-jang  sebenarnja  bukan  oleh
pekerdja diperkebunan kopi sudah sedjak lama meninggal. 
Melalui generasi demi generasi darah  Indonesia  sudah bertjampur dengan orang  India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnja kami adalah suku bangsa rumpun MeIaju. Dari
kata  asal Ma  timbul  kata-kata  Manila, Madagaskar,  Malaja, Madura, Maori,  Himalaja.  Nenek-mojang  kami
berpindah-pindah disepandjang daerah Asia, menetap ditigaribu pulau  jang kemudian mendjadi orang Bali,
Djawa, Atjeh, Ambon, Sumatra dan  seterusnja. Aku adalah anak dari  seorang  ibu kelahiran Bali dari kasta
Brahmana.  Ibuku,  Idaju,  asalnja  dari  keturunan  bangsawan.  Radja  Singaradja  jang  terachir  adalah  paman
ibu.  Bapakku  berasal  dari  Djawa.  Nama  lengkapnja  Raden  Sukemi  Sosrodihardjo.  Dan  bapak  berasal~dari
kieturunan  Sultan  Kediri.  Lagi-lagi,  merupakan  suatu  kebetulan  ataupun  suatu  takdir  padaku  bahwa  aku
dilahirkan  dalam  lingkungan  kelas  jang  berkuasa.  Namun  betapapun  asal  kelahiranku  ataupun  nasibku,
pengabdianku  untuk  kemerdekaan  rakjatku  bukanlah  suatu  keputusan  jang  tiba-tiba.  Aku  mewarisinja.
Semendjak  ta-hun 1596,  jaitu pada waktu Belanda per  tamakali menjerbu kepulauan kami, maka  tindakan
Belanda menguasai  daerah  kami  dan  perlawanan  kami  jang  sia-sia  dalam merebut  kembali  tanah-pusaka
kami  telah membikin  hitam  Iembaran-lembaran  dalam  sedjarah  kami.  Kakek  dan mojangku  dari  pihak  ibu
adalah pedjuang-pedjuang kemerdekaan  jang gagah. Mojangku  gugur dalam Perang Puputan,  suatu daerah
dipantai utara Bali ditempat mana  terletak Keradjaan  Singaradja dan dimana  telah berkobar pertempuran
sengit dan bersedjarah melawan pendjadjah. Ketika mojangku menjadari, bahwa semuanja telah hilang dan
tentaranja  tidak dapat menaklukkan  lawan, maka  ia dengan  sisa orang Bali  jang bertjita-tjita mengenakan
pakaian  serba putih, dari kepala  sampai kekaki. Mereka menaiki kudanja, masing masing menghunus keris,
lalu menjerbu musuh. 
Mereka  dihantjurkan.  Radja  Singaradja  jang  terakhir  setjara  litjik  dikeluarkan  oleh  Belanda  dan
keradjaannja.  Kekajaannja,  tempat  tinggal,  tanah  dan  semua miliknja  dirampas.  Mereka mengundangnja
kesebuah kapaI perang untuk berunding. Begitu sampai diatas kapal, Belanda menahannja setjara paksa, lalu
berlajar dan mendjebloskannja ketiempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananja dan merampas
miliknja, keluarga ibu djatuh melarat. Karena itu kebentjian ibu terhadap Belanda tak habis-habisnja dan ini
disampaikannja kepadaku.Ditahun 1946, ketika  itu umur  ibu sudah  lebih dari 70 tahun, Republik kami  jang
masih  muda  terlibat  dalam  pertempuran-pertempuran  djarak  dekat  dengan  musuh.  Dalam  suatu
pertempuran,  pasukan  kami  berkumpul  dipekarangan  belakang  rumah  ibu  di  Blitar.  Kisah  ini  kemudian
ditjeritakan  oleh  pedjuang  gerilja  kepadaku,  ,,Ditempat  ini  keadaan  gerakan  kami  tenang  sekali.  Kami
semua tiarap menunggu. Rupanja  ibu tidak mendengar apa-apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak
ada teriakan. Dengan mata jang bernjala-njala beliau keluar mendatangi kami, 'kenapa tidak ada tembakan ?
Kenapa tidak bertempur ? Apa kamu semua penakut ? 
Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda Hajo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda-Belanda
itu !'" Pihak bapakpun adalah patriot-patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannja dibawah seorang
Puteri,  namun  dia  seorang  pedjoang-puteri  disamping  pahlawan  besar  kami,  Diponegoro.  Dengan menaiki
kuda  dia  mendampingi  Diponegoro  sampai  menemui  adjalnja  dalam  Perang  Djawa  jang  besar  itu,  jang
berkobar  dari  tahun  1825  sampai  tahun  1830.Sebagai  kanak-kanak  aku  tidak mendapat  tjeritera-tjeritera
seperti ditelevisi atau  tjeritera Wild West  jang dibumbui.  Ibu  selalu mentjeritakan  kisah-kisah  kebangsaan
dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bertjerita, aku lalu duduk dekat kakinja dan dengan haus meneguk
kisah-kisah  jang  menarik  tentang  pedjoang-pedjoang  kemerdekaan  dalam  keluarga  kami.Ibupun
mentjeritakan tentang bagaimana bapak merebutnja. Semasa mudanja ibu mendjadi seorang gadis-pura jang
pekerdjaannja membersihkan rumah-ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerdja sebagai guru sekolah
rendah gubernemen di Singaradja dan setelah selesai sekolah sering datang kelubuk dimuka pura tempat ibu
bekerdja untuk menikmati ketenangannja. 
Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali
lagi.  Setelah  sore  demi  sore  berlalu,  ia  menegur  ibu  sedikit.  Ibu  mendjawab.  Segera  ia  merasa  tertarik
kepada  ibu  dan  ibu  kepadanja.  Seperti  biasanja  menurut  adat,  bapak  mendatangi  orangtua  ibu  untuk
meminta  ibu  setjara  beradat.  ,,Bolehkah  saja meminta  anak  ibu-bapak  ?"  Orangtua  ibu  lalu mendjawab,
,,Tidak  bisa.  Engkau  berasal  dari  Djawa  dan  engkau  beragama  Islam.  Tidak,  sekali-kali  tidak  !  Kami  akan
kehilangan anak kami.  'Seperti halnja dengan keadaan  sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali  tidak
ada jang mengawini orang luar. Jang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari
pulau  lain.  Waktu  itu  tidak  ada  perkawinan  tjampuran  antara  satu  suku  dengan  suku  lain  samasekali.
Kalaupun  terdjadi  bentjana  sematjam  ini,  maka  pengantin  baru  itu  diasingkan  dari  rumah  orangtuanja.
sendiri.  Suatu  keistimewaan  dari  Sukarno,  ia  dapat  menjatukan  rakjatnja.  Warna  kulit  kami  mungkin
berbeda,  bentuk  hidung  dan  dahi  kami  mungkin  berlainan  lihat  orang  Irian  hitam,  lihat  orang  Sumatra
sawomatang,  lihat orang Diawa pendek-pendek, orang Maluku  lebih tinggi,  lihat orang Lampung mempunjai
bentuk  sendiri,  rakjat  Pasundan mempunjai  tjiri  sendiri,  akan  tetapi  kami  tidak  lagi  djadi  inlander  atau BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 12 dari 109
menganggap diri kami orang-asing satu sama  lain. Sekarang kami sudah mendjadi orang  Indonesia dan kami
satu.  Sembojan  negeri  kami  Bhineka  Tunggal  Ika  ,,Berbeda-beda  tapi  satu  djua',.Kembali  kepada  kisah
bapakku, betapa sukanja situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminja seorang Islam,
sekalipun  ia  mendjalankan  Theosofi.  Untuk  kawin  setjara  Islam,  maka  ibu  harus  menganut  agama  Islam
terlebih dulu. Satu-satunja djalan bagi mereka  ialah kawin  lari. Kawin  lari menurut kebiasaan di Bali harus
mengikuti tata-tjara tertentu. 
Kedua  merpati  itu  bermalam  dimalam  perkawinannja  dirumah  salah  seorang  kawan.  Sementara  itu
dikirimkan utusan kerumah orangtua sigadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah mendjalankan
perkawinannja.  Ibu dan bapakku mentjari perlindungan dirumah Kepala Polisi  jang mendjadi kawan bapak.
Keluarga  ibu  datang  mendjemputnja,  akan  tetapi  Kepala  Polisi  itu  tidak  mau  melepaskan.  ,,Tidak,  dia
berada dalam perlindungan saja," katanja. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka
pengadilan, sekalipun orangtua tidak setudju. Akan tetapi kedjadian ini adalah keadaan jang luarbiasa ketika
itu.  Bapak  seorang  IslamTheosof  dan  ibu  seorang  Bali  Hindu-Buddha.  Pada  waktu  perkara  itu  diadili,  ibu
ditanja, ,,Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri ?" Dan ibu mendjawab,
,,Tidak,  tidak.  Saja  mentjintainja  dan  melarikan  diri  atas  kemauan  saja  sendiri."Tiada  pilihan  lain  bagi
mereka, ketjuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, jang
nilainja  sama dengan 25 dollar.  Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membajar denda  itu  ibu
mendjuaI  perhiasannja.Karena  bapak  merasa  tidak  disukai  orang  di  Bali,  ia  kemudian  mengadjukan
permohonan kepada Departemen Pengadjaran untuk dipindahkan ke Djawa. Bapak dikirim ke Surabaja dan
disanalah putera sang fadjar dilahirkan. 
Bab 3
Modjokerto: Kesedihan Dimasa Muda
MASA kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan
dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunjai sepatu. Aku mandi tidak dalam air jang keluar dari kran.
Aku  tidak mengenal  sendok  dan  garpu.  Ketiadaan  jang  keterlaluan  demikian  ini  dapat menjebabkan  hati
ketjil didalam mendjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, jang dua tahun lebih tua daripadaku,
kami merupakan  suatu  keluarga  jang  terdiri  dari  empat  orang. Gadji  bapak  f  25  sebuIan.  Dikurangi  sewa
rumah kami di Djalan Pahlawan 88, neratja mendjadi f 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah f 3,60
untuk  satu  dollar  dapatlah  dikira-kira  betapa  rendahnja  tingkat  penghidupan  keluarga  kami.  Ketika  aku
berumur enam tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal didaerah jang melarat dan keadaan tetangga-
tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa
uang sedikit untuk membeli pepaja atau djadjan lainnja. 
Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi ummat  Islam, hari penutup dari bulan puasa,
pada bulan mana para penganutnja menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu
melalui mulut mulai  dari  terbitnja matahari  sampai  ia  terbenam  lagi.  Kegembiraan  dihari  Lebaran  sama
dengan  hari  Natal.  Hari  untuk  berpesta  dan  berfitrah.  Akan  tetapi  kami  tak  pernah  berpesta  maupun
mengeluarkan  fitrah. Karena  kami  tidak  punja  uang  untuk  itu. Dimalam  sebelum  Lebaran  sudah mendjadi
kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannja dan diwaktu itupun mereka
melakukannja. Semua, ketjuali aku. 
Dihari Lebaran lebih setengah abad jang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar-tidurku jang ketjil jang
hanja tjukup untuk satu tempat-tidur. Dengan hati jang gundah aku mengintip keluar arah kelangit melalui
tiga  buah  lobang-udara  jang  ketjil-ketjil  pada  dinding  bambu.  Lobang-udara  itu  besarnja  kira-kira  sebesar
batubata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan petjah. Disekeliling terdengar bunji petasan
berletusan disela oleh  sorak-sorai kawankawanku karena kegirangan. Betapa hantjur-luluh  rasa hatiku  jang
ketjil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan djalan bagaimanapun dapat membeli petasan
jang harganja satu sen itu—dan aku tidak ! 
Alangkah  dahsjatnja  perasaan  itu.  Mau  mati  aku  rasanja.  Satu-satunja  djalan  bagi  seorang  anak  untuk
mempertahankan  diri  ialah  dengan  melepaskan  sedu-sedan  jang  tak  terkendalikan  dan  meratap  diatas
tempat-tidurnja. Aku  teringat  ketika  aku menangis  kepada  ibu  dan mengumpat,  ,,Dari  tahun  ketahun  aku
selalu  berharap-harap,  tapi  tak  sekalipun  aku  bisa  melepaskan  mertjon."  Aku  sungguh  menjesali  diriku
sendiri. Kemudian dimalam harinja datang  seorang  tamu menemui bapak. Dia memegang bungLusan  ketjil
ditangannja. ,,Ini," katanja sambil mengulurkan bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu
mendapat  hadiah  itu,  sehingga  hampir  tidak  sanggup membukanja.  Isinja  petasan.  Tak  ada  harta,  lukisan
ataupun  istana  didunia  ini  jang  dapat  memberikan  kegembiraan  kepadaku  seperti  pemberian  itu.  Dan
kedjadian  ini  tak dapat  kulupakan untuk  selama-lamanja. Kami  sangat melarat  sehingga hampir  tidak bisa BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 13 dari 109
makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk dengan makanan
lain.  Bahkan  ibu  tidak  mampu  membeli  beras  murah  jang  biasa  dibeli  oleh  para  petani.  Ia  hanja  bisa
membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinja menumbuk
butiran-butiran berkulit itu sampai mendjadi beras seperti jang didjual orang dipasar.,,Dengan melakukan ini
aku menghemat  uang  satu  sen,"  katanja  kepadaku pada  suatu  hari  ketika  sedang bekerdja dalam  teriknja
panas  matahari  sampai  telapak  tangannja  merah  dan  melepuh.  ,,Dan  dengan  uang  satu  sen  kita  dapat
membeli  sajuran,  'nak."  Semendjak  hari  itu  dan  seterusnja  selama  beberapa  tahun  kemudian,  setiap  pagi
sebelum  berangkat  kesekolah  aku  menumbuk  padi  untuk  ibuku.  Kemelaratan  seperti  jang  kami  derita
menjebabkan orang mendjadi akrab. 
Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknja aku tidak punja apa-apa didunia ini
selain daripada ibu, aku melekat kepadanja karena ia adalah satu-satunja sumber pelepas kepuasan hatiku.
Ia adalah ganti gula-gula jang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku jang ada didunia ini. Jah, ibu
mempunjai  hati  jang begitu besar dan mulia. Dalam pada  itu bapakku  seorang  guru  jang  keras.  Sekalipun
sudah  berdjam-djam,  ia masih  tega menjuruhku  beladjar membatja  dan menulis.  ,,Hajo,  Karno,  hafal  ini
luar kepala. Ha—Na—Tja—Ra— Ka Hajo, Karno, hafal ini; A-B-C-D-E" dan terus-menerus sampai kepalaku jang
malang ini merasa sakit. Lagi-lagi kemudian, 
,,Hajo Karno, ulangi abdjad Hajo, Karno, batja ini Karno, tulis itu " Tapi ajahku mempunjai kejakinan, bahwa
anaknja  jang  lahir  disaat  fadjar menjingsing  itu  kelak  akan mendjadi  orang.  Kalau  aku  berbuat  nakal—ini
djarang  terdjadi—dia  menghukumku  dengan  kasar.  Seperti  dipagi  itu  aku  memandjat  pohon  djambu
dipekarangan  rumah  kami  dan  aku  mendjatuhkan  sarang  burung.  Ajah  mendjadi  putjat  karena  marah.
,,Kalau  tidak  salah  aku  sudah  mengatakan  padamu  supaja  menjajangi  binatang,"  ia  menghardik.Aku
bergontjang ketakutan. ,,Ja, Pak.",,Engkau dapat menerangkan arti kata-kata: 'Tat Twan Asi, Tat Twam Asi'
?",,Artinja  'Dia  adalah Aku dan Aku  adalah dia; engkau  adalah Aku dan Aku  adalah  engkau.'  ",,Dan  apakah
tidak  kuadjarkan  kepadamu  bahwa  ini mempunjai  arti  jang  penting  ?",,Ja,  Pak. Maksudnja,  Tuhan  berada
dalam kita  semua," kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannja  jang masih berumur
tudjuh tahun. 
,,Bukankah  engkau  sudah  ditundjuki  untok  melindungi  machluk  Tuhan  ?",,Ja,  Pak.",,Engkau  dapat
mengatakan  apa  burung  dan  telor  itu  ?",,Tjiptaan  Tuhan,"  djawabku  dengan  gemetar,  ,,tapi  dia  djatuh
karena  tidak  disengadja.  Tidak  saja  sengadja.  "Sekalipun  dengan  permintaan  ma'af  demikian,  bapak
memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang  jang baik  laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin  jang
keras  dan  tjepat  marah  kalau  aturannja  tidak  dituruti.  Aku  segera  mentjari  permainan  jang  tidak  usah
mengeIuarkan uang untuk memperolehnja. Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnja jang
lebar.  Daun  itu  udjungnja  ketjil,  lalu  mengernbang  lebar  dipangkalnja  dan  tangkainja  pandjang  seperti
dajung. Adalah suatu hari jang gembira bagi anak-anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa
kami mempunjai permainan. Seorang lalu duduk dibagian daun jang lebar, sedang jang lain menariknja pada
tangkai  jang  pandjang  itu  dan  permainan  ini  tak  ubahnja  seperti  eretan.  Kadang-kadang  aku  mendjadi
kadanja, tapi biasanja mendjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak-kanak. 
Aku mendjadikan  sungai  sebagai  kawanku,  karena  ia mendjadi  tempat dimana anak-anak  jang  tidak punja
dapat bermain dengan  tjuma-tjuma. Dan  iapun mendjadi  sumber makanan. Aku  senantiasa berusaha keras
untuk  menggembirakan  hati  ibu  dengan  beberapa  ekor  ikan  ketjil  untuk  dimasak.  Alasan  jang  tidak
mementingkan  diri  sendiri  demikian  itu  pada  suatu  kali menjebabkan  aku  kena  gandjaran  tjambuk.  Hari
sudah mulai sendja. Ketika bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan botjah Sukarno tidak ada dirumah,
dia menuntut  ibu  dengan  keras:  ,,Kenapa  dia  bersenang-senang  tak  keruan  begitu  lama  ?  Apa  dia.  tidak
punja  pikiran  terhadap  ibunja  ?  Apa  dia  tidak  tahu  bahwa  ibunja  akan  susah  kalau  terdjadi  ketjelakaan
?",,Negeri  begini  ketjil,  Pak,  tidak  mungkin  kita  tidak  mengetahui  kalau  terdjadi  ketjelakaan,"  ibu
menerangkan.  Sekalipun  demikian,  bapak  jang  agak  keras  kepala marah  dan  ketika  aku  sedjam  kemudian
melondjak-londjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas
ikan dan semua jang ada padaku,  lalu aku dirotan sedjadi-djadinja.Tetapi  ibu selalu mengimbangi tindakan
disiplin  itu dengan kebaikan hatinja. Oh, aku sangat mentjintai  ibu. Aku berlari berlindung kepangkuan  ibu
dan  dia membudjukku.  Sekalipun  rumput-rumput  kemelaratan mentjekik  kami,  namun  bunga-bunga  tjinta
tetap  mengelilingiku  selalu.  Aku  segera  menjadari  bahwa  kasih-sajang  menghapus  segala  jang  buruk.
Keinginan akan tjinta-kasih telah mendiadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku. 
Disamping  ibu ada Sarinah, gadis-pembantu kami  jang membesarkanku. Bagi kami pembantu  rumah-tangga
bukanlah pelajan menurut pengertian orang barat. Dikepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotong-
rojong.  Kerdjasama.  Tolong-menolong,  Gotong-rojong  sudah  mendarah-daging  dalam  djiwa  kami  bangsa
lndonesia. Dalam masjarakat  jang asli kami tidak mengenal kerdja dengan upah. Manakala harus dilakukan
pekerdjaan jang berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah ? Baik, akan kubawakan
batu  tembok;  kawanku membawa  semen. Kami berdua membantumu mendirikannja.  ltulah  gotong-rojong. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 14 dari 109
Setiap orang turun tangan. Ada tamu dirumahmu achir-achir ini ? Baik, djangan kuatir, akan kuantarkan kue
kerumahmu setjara diam-diam melalui djalan belakang. Atau beras. Atau nasi-goreng. ltulah gotong-rojong.
Bantu-membantu.  Sannah  adalah  bagian  dari  rumah-tangga  kami.  Tidak  kawin.  Bagi  kami  dia  seorang
anggota keluarga kami. 
Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa jang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat
gadji sepeserpun. Dialah jang mengadjarku untuk mengenal tjinta-kasih. Aku tidak menjinggung pengertian
djasmaniahnja  bila  aku menjebut  itu.  Sarinah mengadjarku  untuk mentjintai  rakjat.  Massa  rakjat,  rakjat
djelata. Selagi ia memasak digubuk ketjil dekat rumah, aku duduk disampingnja dan kemudian ia berpidato,
,,Karno, jang terutama engkau harus mentjintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mentjintai pula
rakjat  djelata.  Engkau  harus mentjintai manusia  umumnja."  Sarinah  adalah  nama  jang  biasa.  Akan  tetapi
Sarinah  jang  ini  bukanlah wanita  jang  biasa.  Ia  adalah  satu  kekuasaan  jang  paling  besar  dalam  hidupku.
Dimasa mudaku  aku  tidur  dengan  dia. Maksudku  bukan  sebagai  suami-isteri.  Kami  berdua  tidur  ditempat-
tidur  jang  ketjil.  Ketika  aku  sudah mulai  besar,  Sarinah  sudah  tidak  ada  lagi. Aku mengisi  kekosongan  ini
dengan  tidur bersama-sama  kakakku  Sukarmini ditempat  tidur  itu djuga. Kemudian aku  tidur dengan Kiar,
suatu tjampuran dari fox terrier dengan andjing djenis Indenesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan
djenis  jang  murni.  Orang  lslam  agaknja  tidak  menjukai  andiing,  akan  tetapi  aku  mengaguminja.  Dengan
tjaranja  sendiri  bapakku mentjurahkan  kasih  sajangnja  kepadaku.  Ketika  aku  berumur  sebelas  tahun  aku
diserang  penjakit  thypus.  Dua  setengah  bulan  lamanja  aku  berada  diambang-pintu  kematian.  Aku  hanja
bersandar  pada  kekuatan  bapak  jang mendorongku  untuk  hidup.  Selama  dua  setengah  bulan  penuh  bapak
tidur  dibawah  tempat-tidur  bambuku.  Ia  berbaring  diatas  lantai  semen  jang  lembab,  dialas  dengan  tikar
pandan  jang  tipis  dan  lusuh,  tepat  dibawah  bilah-bilah  tempat-tidurku.Sepandjang  hari  dan  sepandjang
malam  selama  dua  setengah  bulan  bapak  berbaring  dibawahku.  Bukan  karena  ia  tidak  dapat memperoleh
tempat barang setumpak untuk menjelip dalam kamarku jang sempit itu. 
Tidak. Ini dilakukannja karena kepertjajaan mistik bapak. Ia hendak mendota terus, memohon siang-malam
agar  aku  diselamatkan  dan memohon  agar  aku mendapat  keLuatan-kekuatan  dari  Jang  MahaKuasa.  Akan
tetapi  supaja  kekuatan mistiknja dapat memberikan manfa'at  setjara penuh,  jang ditjurahkannja  langsung
dari  badannja  keseluruh  tubuhku, maka  ia  harus  berbaring  dibawahku.  Tempat  ajah  berbaring  itu  hanja
beberapa  kaki,  gelap,  lembab  dengan  udaranja  jang  tidak  enak  dan menjesakkan,  siang  dan malam  sama
sadja dan disanalah ia selama itu menelentang hingga aku sehat sama sekali.Sewa rumah kami sangat murah,
karena  letaknja  kerendahan,  dekat  sebuah  kali.  Kalau musim  hudjan  kali  itu meluap, membandjiri  rumah
dan  menggenangi  pekarangan  kami.  Dan  dari  bulan  Desember  sampai  April  kami  selalu  basah.  Air
menggenang jang mengandung sampah dan lumpur inilah jang mendjangkitkan penjakit thypusku.Setelah aku
sehat kembali kami pindah ke Djalan Residen Pamudji. Rumah  ini tidak  lebih baik keadaannja, akan tetapi
setidak-tidaknja  ia kering. Kamar-kamarnja melalui ruangan gelap  jang pandjang. Jang paling ketjil adalah
kamarku,  jang mempunjai  djendela  atap  sebagai  ganti  lobang-udara.  Untuk memperoleh  uang  tambahan
beberapa  sen  kami menerima  orang bajar-makan;  tiga  orang  gurubantu  dari  sekolah bapak dan dua  orang
kemenakan seumurku. 
Nama  kelahiranku  adalah  Kusno.  Aku  memulai  hidup  ini  sebagai  anak  jang  penjakitan.  Aku  mendapat
malaria, disenteri,  semua penjakit dan  setiap penjakit. Bapak menerangkan,  ,,Namanja  tidak  tjotjok. Kita
harus memberinja nama  lain supaja tidak sakit-sakit  lagi."Bapak adalah seorang  jang sangat gandrung pada
Mahabharata,  tjerita  klasik  orang  Hindu  djaman  dahulu  kala.  Aku  belum mentjapai masa  pemuda  ketika
bapak  menjampaikan  kepadaku  ,,Kus,  engkau  akan  kami  beri  nama  Karna.  Karna  adalah  salah-seorang
pahlawan  terbesar  dalam  tjerita  Mahabharata."  ,,Kalau  begitu  tentu  Karna  seorang  jang  sangat  kuat  dan
sangat  besar,"  aku  berteriak  kegirangan.,,Oh,  ja,  nak,"  djawab  bapak  setudju.  ,,Djuga  setia  pada  kawan-
kawannja  dan  kejakinannja,  dengan  tidak  mempedulikan  akibatnja.  Tersohor  karena  keberanian  dan
kesaktiannja.  Karna  adalah  pedjoang  bagi  negaranja  dan  seorang  patriot  jang  saleh.",,Bukankah  Karna
berarti djuga 'telinga ?" aku bertanja agak kebingungan,,Ja, pahlawan-perang ini diberi nama itu disebabkan
kelahirannja. Dahulu kala, sebagaimana dikisahkan oleh Mahabharata, ada seorang puteri jang tjantik. Pada
suatu hari, selagi bermain-main dalam taman, puteri Kunti terlihat oleh Surja Dewa Matahari. Batara Surja
hendak  bertjinta-tjintaan  dengan  puteri  itu,  oleh  sebab  itu  dia  memeluk  dan  membudjuknja  dengan
keberanian dan tjahaja panasnja. 
Dengan  kekuatan  sinar  tjintanja,  puteri  itupun  mengandung  sekalipun  masih  perawan.  Sudah  tentu
perbuatan Dewa Matahari  terhadap perawan  jang masih  sutji  itu diluar perikemanusiaan dan menimbulkan
persoalan  besar  baginja.  Bagaimana  tjaranja mengeluarkan  baji  tanpa merusak  tanda  keperawanan  puteri
itu. Dia  tidak berani memetik  gadis  itu dengan memberikan  kelahiran  setjara biasa. Apa akal  ......... Apa
akal Ah, persoalan  jang sangat besar bagi Batara Surja. Achirnja dapat dipetjahkannja, dengan melahirkan
baji  itu  melalui  telinga  sang  puteri.  Djadi,  karena  itulah  pahlawan  Mahabharata  itu  dinamai  Karna  atau
'telinga'."  Sambil memegang  bahuku  dengan  kuat  bapak memandang  djauh  kedalam mataku.  ,,Aku  selalu
berdo'a,"  dia menjatakan,  ,,agar  engkaupun mendjadi  seorang  patriot  dan  pahlawan  besar  dari  rakjatnja. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 15 dari 109
Semoga engkau mendjadi Karna jang kedua." Nama Karna dan Karno sama sadja. Dalam bahasa Djawa huruf
,,A" mendjadi ,,O". Awalan ,,Su" pada kebanjakan nama kami berarti baik, paling baik. 
Djadi  Sukarno  berarti  pahlawan  jang  paling  baik.  Karena  itulah  maka  Sukarno  mendjadi  namaku  jang
sebenarnja dan satu-satunja. Sekali ada seorang wartawan goblok jang menulis, bahwa nama awalku adalah
Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanja Sukarno sadja. Memang dalam masjarakat kami tidak luar biasa
untuk  memakai  satu  nama  sadja.  Waktu  disekolah  tanda-tanganku  diedja  Soekarno—  menurut  edjaan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku memerintahkan supaja segala edjaan ,,OE" kembali ke ,,U". Edjaan
dari perkataan Soekarno sekarang mendjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak mudah untuk merobah tanda-tangan
setelah berumur 50 tahun djadi kalau aku sendiri menulis tanda-tanganku, aku masih menulis S-O-E. Memang
aku penjakitan diwaktu ketjil. Dan  sekalipun umpamanja  tidak ada penjakit  jang diderita oleh baji Kusno-
Karno, beban untuk memberi makan dua orang anak masih  terlalu berat bagi bapak. Seringkali kami harus
bergantung kepada kebaikan dan keramahan dari tetangga kami. Keluarga Munandar menempati rumah jang
serangkai  dengan  kami. Menurut  tjara Djawa  jang  sebenarnja,  kalau  kami  tidak  punja  beras,  kami makan
punja mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pakai mereka punja. Sewaktu aku berumur sekitar empat-
lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku ketempatnja. 
,,Berikanlah  anak  itu  kepadaku  untuk  sementara,"  katanja.  ,,Aku  akan  mendjaganja."  Dan  begitulah  aku
tinggal di Tulungagung jang  letaknja tidak djauh dari Modjokerto. Nenekku tidak kaja. Siapa diantara kami
jang kaja diwaktu  itu ? Tapi memang ada djuga jang sedikit berada. Nenek berdagang batik, djadi setidak-
tidaknja dia sanggup memberiku makan. Kakek dan nenek kedua-duanja mengatakan bahwa aku mempunjai
kekuatan-kekuatan  gaib.  Bilamana  ada  orang  sakit  dikampung  itu  atau  mendapat  luka  jang  terasa  sakit,
nenek  selalu  memanggilku  dan  dengan  lidah  aku  mendjilat  bagian  dimana  terasa  sakit.  Anehnja,  sisakit
mendjadi  sembuh. Nenekpun menduga  bahwa  aku  dapat melihat  apa-apa  jang  gaib,  akan  tetapi  lintasan-
lintasan penglihatan galb  itu menghilang ketika aku mulai menemukan kekuatan pidatoku  terhadap  rakjat.
Nampaknja, apa  jang disebut kekuatan  ini kemudian  tersalur kearah  lain, Pendeknja,  sesudah berumur 17
tahun  aku  tak  pernah  lagi  memperoleh  penglihatan  setjara  ilmu  kebatinan.  Watakku  tidak  berobah
sedikitpun  selama hampir enam dasawarsa. Dalam umur tudjuh tahun aku sudah mendjadi seorang pemuja
seni.  Aku  memudja  Mary  Pickford,  Tom  Mix,  Eddie  Polo,  Fatty  Arbuckle,  Beverly  Bayne  dan  Francis  X.
Bushman.  Setiap  bungkus  rokok Westminster  keluaran  Inggris  berisi  gambar  dari  seorang  bintang  sebagai
hadiah.  Aku  mengumpulkan  bungkus-  bungkus  rokok  jang  sudah  terbuang  dan  menempelkan  pahlawan-
pahlawan jang kupudja itu didinding. Aku mendjaga kumpulan ini dengan njawaku. Ini adalah harta-milikku
sendiri jang pertama. 
Pada  waktu  berumur  10  tahun  djagoan  Karno  sudah  ternjata  mempunjai  kemauan  jang  keras.  Dengan
kekuatan  pribadiku  aku  mendjadi  tokoh  jang  berkuasa  setiap  kali  berkumpul.  Bahkan  keluargaku  sendiri
berkumpul mengelilingiku dan aku mendjadi pusat perhatian. Pada hari ulang-tahunku jang keduabelas, aku
sudah  mempunjai  pasukan.  Dan  aku  memimpin  pasukan  ini.  Kalau  Karno  bermain  djangirik  dalam  debu
dilapangan Modjokerto,  jang  lain-lainpun  turut main. Kalau Karno mengumpulkan perangko, mereka djuga
mengumpulkan. Mereka menamakanku seorang ,,djago" Aku mempunjai sebuah sumpitan jang kuperoleh dari
seorang  kawan.  Kami  menempatkan  bambu  jang  pandjang  dan  berlobang  ketjil  ini  kemulut  dan
menembakkan katjang kearah sasaran. Tentunja si Karno mendjadi djago penjumpit. Kalau kami memandjat
pohon, aku memandjat  lebih tinggi dari jang  lain. Dan akupun djatuh paling keras pula daripada anak-anak
lain. Akupun lebih sering melukai kepalaku dari jang lain. 
Tapi setidak-tidaknja tak ada orang jang dapat mengatakan, bahwa aku tidak mentjobanja. Nasibku adalah
untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan,  sekalipun pada waklu ketjilku. Dalam permainan adu gasing
ada  sebuah gasing kepunjaan kawan  jang berputar  lebih  tjepat daripada kepunjaanku. Kupetjahkan  siluasi
itu  dengan  berpikir  tjepat  ala  Sukarno  kulemparkan  gasing  itu  kedalam  kali.  Bagaimanapun  djuga,  ada
permainan  dimana  seorang  anak  bangsa  Indonesia  dari  djamanku  tidak  dapat menundjukkan  keahliannja.
Misalnja  Perkumpulan  Sepakbola.  Aku  bukan  hanja  tidak  bisa mendjadi  ketuanja,  bahkan  aku  tidak  dapat
lama  mendjadi  anggotanja.  Anggota  jang  lain  adalah  anak-anak  Belanda  jang  terus-terang  tidak  senang
padaku.  Anak  Belanda  tidak  pernah  bermain  dengan  anak  Bumiputera.  Ini  tidak  bisa. Mereka  orang  Barat
jang  putih  seperti  saldju,  jang  asli,  jang  baik  dan mereka memandang  rendah  kepadaku  karena  aku  anak
Bumiputera atau ,,inlander". Bagiku Perkumpulan Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit jang membikin
hati luka didalam. Anak-anak jang berambut djagung mendjaga kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak,
,,Hei  .........  kauuuu  Bruine  Hei,  anak  kulit  tjoklat  goblok  jang  malang  .....Bumiputera  ..........inlander
..........anak  kampung  Hei,  kamu  lupa  memakai  sepatu............"  Sedangkan  baji-baji  pirang  sudah  tahu
meludah  kepada  kami.  Begitu  mereka  keluar  dari  kain-bedung  orok,  inilah  pengadjaran  pertama  jang
diadjarkan  orangtuanja  kepada  mereka.  Dipagi  hari  aku  bergembira,  karena  aku  bersekolah  disekolah
Bumiputera, dirnana kami semua sama.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 16 dari 109
Kami  semua  tigapuluh  orang  murid  di  Inlandsche  School  kelas  dua.  Bapakku  mendjadi  Mantri  Guru  jang
berarti kepala sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Diwaktu itu belum ada
bahasa  Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbitjara dalam bahasa Djawa sebagai bahasa
daerah.  Dari  kelas  tiga  sampai  kelas  iima  guru  memakai  bahasa  Melaju,  bahasa  Melaju  asli  jang  telah
tersebar  keselurah  bagian  dari  Hindia  Belanda  dan  achirnja  mendjadi  dasar  bagi  bahasa  nasional  kami,
bahasa  Indonesia.  Dua  kali  seminggu  kami  diadjar  bahasa  Belanda.Ketika  aku  naik  kekelas  lima,  bapak
menerangkan maksudnja.  ,,Tjita-tjitaku hendak mengirim kau kesekolah  tinggi Belanda," katanja.  ,,Karena
itu, usaha kita jang pertama ialah memasukkan engkau kesekolah rendah Belanda. "Karena teringat kembali
akan pengalamanku di Perkumpulan Sepakbola aku bertanja, ,,Apakah saja tidak dapat meneruskan sekolah
Bumiputera ?",,Pendidikan Bumiputera hanja sampai kelas lima. 
Tidak  ada  landjutannja buat  kita. Kita  tidak boleh masuk  Sekolah Menengah Belanda  kalau  tidak  keluaran
Sekolah Rendah Belanda dan tanpa idjazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi Belanda.",,Apakah saja
bisa masuk kesana berdasarkan kepandaian ?" aku bertanja dengan perasaan kuatir.,,Kau masuk dengan hak
istimewa.  Pegawai  Gubernemen  dan  orang  kelahiran  bangsawan  diberi  kesempatan  untuk  menikmati
pendidikan Belanda. Jang  lain tidak."Mengingat keadaan kami aku bertanja, ,,Apakah tjuma-tjuma ?",,Mana
bisa.  Kita  mesti  membajar  uang  sekolah.",,Belanda  djuga?",,Tidak,  mereka  bebas.  Akan  tetapi  dalam
pendjadjahan  tak  seorangpun  dapat  mentjapai  suatu  kedudukan  tanpa  pendidikan  Belanda.  Kita  harus
madju.  Aku  akan menemui  Kepala  Sekolah  Rendah  Belanda  untuk mengadjukan  permohonan."Gedung  itu
bagus terbuat dari kaju, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnja berwarna biru-muda. Disitu
terdapat  tudjuh  kelas.  Berlainan  dengan  medja  kami  di  Sekolah-Bumiputera,  maka  bangku-bangku  disini
mempunjai tempat tinta dan latji untuk buku. 
Setelah aku menempuh udjian, Kepala  Sekolah memberitahukan kepada bapak,  ,,Anak  tuan  sangat pintar,
akan  tetapi  bahasa  Belandanja  belum  tjukup  baik  untuk  kelas  enam  Europeesche  Lagere  School.  Kami
terpaksa mendudukkannja satu kelas  lebih  rendah.  "Ketika kami pergi kami merasa sangat tertekan. Bapak
mengeluh.  ,,Ini  suatu  pukulan  jang  hebat  bagi  kita.  Tapi  walaupun  bagaimana,  tidak  ada  djalan  lain
lagi.",,Umur  saja  sudah empatbelas," aku memprotes.  ,,Terlalu  tua untuk kelas  lima. Tentu orang mengira
saja  tinggal  kelas  karena  bodoh.  Saja  tentu  diberi malu.",,Baiklah,"  bapak memutuskan  disaat  itu  djuga,
,,Kalau perlu  kita membohong. Akan  kita  kurangi  umurmu  satu  tahun Kalau  sudah mulai  tahun-peladjaran
baru  engkau  didaftarkan  dengan  umur  tiga-belas."Masih  ada  satu  persoalan  mengenai  bahasa  Belandaku.
Sekalipun kami orang jang tidak mampu, bapak mengambil seorang guru jang mengadjar bahasa Belanda di
Europeesche Lagere School ini untuk memberikan peladjaran chusus kepadaku sedjam setiap hari. Aku ingat
betul  namanja.  Juffrouw  M.P.  De  La  Riviere.  M.P.  kependekan  dari  Maria  Paulina.  Katakanlah,  bahwa  ia
orang  jang  paling  tidak menarik  didunia  ini  dibandingkan  dengan  perempuan  lain  dan  karena  itu  ia  tetap
melekat  dalam  pikiranku.  Tjara  jang  paling  baik  untuk menerangkan  arti  daripada  pendidikan  barat—dan
bagaimana  bapak  telah  bersusah-pajah  mengorbankan  uang,  prinsip  dan  segala  sesuatu  untuk  itu—-ialah
dengan menghubungkannja  dengan  kisah  pertjintaanku  jang  pertamakali.  Aku  berumur  empatbelas  tahun
dan tidak ragu lagi hatiku jang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Rika
adalah  gadis pertama  jang  kutjium. Dan  harus  kuakui, bahwa  aku  sangat  gugup waktu  itu.  Sedjak  itu  aku
lebih  ahli  dalam  hal  itu.Tapi,  aduh,  aku  mentjintai  gadis  itu  mati-matian  dan  kuikuti  turun  naiknja
gelombang  irama  dari  seluruh  kehidupan  anak  sekolah.  Aku  membawakan  buku-bukunja,  aku  dengan
sengadja berdjalan melalui  rumahnja, karena mengharapkan  sekilas pandang dari dia. Dan nampaknja aku
selalu  setjara  kebetulan  berada  dimana  dia  ada.  Tjintaku  ini  kusimpan  dalam  kalbuku  sendiri.  Aku  takut
mengutjapkan  sepatah kata, karena  takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku  jakin, bahwa bapak akan  sangat
marah  kepadaku  kalau  sekiranja  ia  mendengarku  bergaul  dengan  anak  gadis  kulitputih.  Sunggubpun  aku
sangat  ingin  menjampaikan  sesuatu  tentang  hal  itu  kepadanja,  ketakutan  terhadap  kemarahannja
menjebabkan  kata-kataku  membeku  dikerongkongan.  Karena  itu,  keinginan  jang  menjala-njala  ini  hanja
kupertjajakan kepada diriku jang sedang dimabuk kepajang. 
Pada  suatu  sore aku berdjalan-djalan naik  sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok diudjung
djalan gang kami  tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena  takut. Dia bersikap hormat,  tapi aku
sangat kuatir akan apa jang akan menjusul nanti kalau aku sudah sampai dirumah. Inilah aku, putera bapak
satu-satunja,  jang bertjinta-tjintaan dengan orang Belanda  jang dibentji.  Sedjam  kemudian  aku menjusup
masuk rumah dalam keadaan masih tergontjang. Bapak segera mendekatiku dan berkata, ,,Nak, djangan kau
takut  tentang  perasaanku  terhadap  teman  perempuanmu  itu.  Itu  baik  sekali.  Pendeknja,  hanja  dengan
djalan  itu  engkau  dapat memperbaiki  bahasa  Belandarnu  !"  Ketika  datang waktunja  untuk masuk  sekolah
menengah,  bapak  sudah  tahu  apa  jang  harus  dikerdjakannja.  Ia menggunakan  pengaruh  kawan-  kawannja
untuk  memasukkanku  kesekolah  menengah  jang  tertinggi  di  Djawa  Timur,  jaitu  Hogere  Burger  School  di
Surabaja.,,Nak," katanja, ,,Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semendjak kau dilahirkan kedunia." Semua
telah  diaturnja  dan  aku  akan  tinggal  dirumah  H.O.S.  Tjokroaminoto,  ialah  orang  jang  kemudian merobah
seluruh kehidupanku.,,Tjokro,"  ia menerangkan padaku,  ,,Adalah kawanku di  Surabaja  sedjak  sebelum kau
ada.",,0," kataku gembira,  ,,Saja kira dia keluarga kita."  ,,Tidak," djawab bapak.  ,,Oo, barangkali mungkin
keluarga  jang  sangat  djauh,  tapi  tidak  serapat  seorang  kemenakan  atau  paman."  Kemudian  bapak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 17 dari 109
memandang  kepadaku  sesaat.  ,,Kautahu  siapa  Tjokro?"  ,,Saja  hanja  tahu,  dia  berkeliling  untuk
mempropagandakan  kejakinan  politiknja.  Saja  ingat  dia  datang  kekampung  kita  untuk mengadakan  pidato
dan menginap,  bapak  dengan  dia mengobrol  sampai waktu  subuh."  ,,Tjokro  adalah  pemimpin  politik  dari
orang Djawa. 
Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku  tidak  ingin darah dagingku mendjadi kebarat-
baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai 'Radja Djawa jang
tidak  dinobatkan.  Aku  ingin  supaja  kau  tidak melupakan,  bahwa warisanmu  adalah  untuk mendjadi  Karna
kedua."  Aku  tidak membawa  apa-apa  ketika  berangkat  ke  Surabaja.  Tak  ada  barang  untuk  dibawa.  Satu-
satunja jang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas ketjil dengan pakaian sedikit. Bapak menundjuk salah
seorang  guru  untuk mengiringi  perdjalananku  dikereta-api  jang  lamanja  enam  djam  itu.  Tidak  dirajakan,
tidak dipestakan kepergianku  itu. Jang kuingat hanja bahwa aku menangis getir. Aku meninggalkan rumah.
Aku  meninggalkan  ibu.  Aku  baru  seorang  anak  15  tahun  jang  masih  takut-takut.  Dipagi  itu,  dihari
keberangkatanku  ibu  melepasku  dengan  peringatan  bahwa  aku  tidak  lagi  akan  kembali  untuk  tinggal
bersama-sama  dengan  mereka.  Didepan  rumah  kami  dia  memerintahkan,  ,,Berbaringlah  ditanah,  nak.
Berbaring  sadja biarpun kotor." Kemudian  ibu melangkahi badanku pulang-balik  sampai  tiga kali.  lni  sesuai
dengan kepertjajaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknja dengan tubuhnja sendiri darimana
sianak  dilahirkan  dan  jang  mengandung  kekuatan  kekuatan  sakti  dari  kehidupan,  berarti  bahwa  sianak
mendapat restu dari ibunja untuk selama-lamanja. Seakan-akan ia berkata setiap kali, ,,Anak ini berasal dari
kandunganku dan kuberkati dia."Kemudian dia menjuruhku bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke
Timur dan berkata dengan sungguh-sungguh, ,,Djangan sekali-kali kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah
putera sang fadjar." 
Bab 4
Surabaja: Dapur Nasionalisme
DARI  djenis  binatang  prasedjarah  jang  digali  dikepulauan  kami,  ahli-ahli  purbakala  membuktikan  bahwa
setengah  djuta  tahun  jang  lalu  pulau  Djawa  sudah  didiami  orang.  Kebudajaan  kami  adalah  kebudajaan
purba.  Bukalah  buku  Ramayana.  Didalamnja  orang  akan membatja  keterangan mengenai  ,,Negeri  Suarna
Dwipa jang mempunjai tudjuh buah keradjaan besar". Suarna Dwipa, jang berarti pulau-pulau emas, adalah
nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam tjerita-tjerita klasik Hindu duaribu limaratus tahun jang
lalu.Dari  abad  kesembilan  ketika  negeri  kami  bernama  Keradjaan  Sriwidjaja  sampai  abad  keempatbeias
waktu  negeri  kami  bernama  Madjapahit,  kami  punja  ,,negeri  jang  terkenal  makmur  telah  mentjapai
tingkatan ilmu jang demikian tinggi sehingga mendjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh dunia-beradab".
Demikianlah  keterangan  jang  terdapat  dalam  surat-surat-gulung-perkamen  jang  berharga  dari  negeri
Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudajaan seluruh Asia. Negeri kami masih tersohor dalam
lingkungan  internasional ketika Christopher Columbus mentjari kepulauan. Rempah-rempah gugusan pulau-
pulau  jang  sekarang  kita  namakan Kepulauan Maluku.  Seumpama Columbus  tidak berlajar mentjari djahe,
buah-pala,  lada dan  tjengkeh  kami dan  tidak  sesat pula didjalan,  tentu dia  tidak akan menemukan benua
Amerika.  Ketika  djalan  laut menudju  Hindia  achirnja  ditemukan  orang, modal  asing mengerumuni  pantai
kami,  seperti  semut mengerumuni  tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco'da Gama. Dari negeri Belanda
Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik-tanda dimulainja ,,Revolusi Perdagangan" di Eropa. 
Kapitalisme  ini  tumbah  hingga  ia  mengenjangkan  lapangan  eksploitasi  dalam  masjarakat  mereka  sendiri.
Barang-barang jang sebelumnja diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; djadi Timur mendjadi
pasar-pasar  tambahan  untuk  barang-barang  berlebih.  Daerah  Timur  mendjadi  suatu  pasar  untuk  modal
berlebih  jang  tidak  lagi  bisa  memperoleh  djalan  keluar.  Liberalisme  dalam  ekonomi  lalu  membawa
Liberalisme  dalam  politik.  Untuk mengendalikan  ekonomi  dari  negara  lain,  terlebih  dulu  negara  itu  harus
ditaklukkan. Pedagang pedagang mendjadi penakluk; bangsa-bangsa Asia-Afrika didjadjah dan  kelobaan  ini
membuka  pintu  kepada  djaman  Imperialisme.  Djawa  diduduki  diabad  ke  16;  Maluku  diabad  ke  17  dan
lambatlaun  Negeri  Belanda  menguasai  kepulauan  kami  setjara  berturut-turut  hingga  ke  Bali  jang  baru
dikuasai  ditahun  1906.  Dengan  tjepat  kekuasaan  asing  menanamkan  akar-akarnja.  Mereka  mengambil
kekajaan  kami, mengikis  kepribadian  kami  dan musnalah  Putera-puteri  harapan  bangsa  dari  suatu  Bangsa
jang Besar  jang pandai melukis, mengukir, membuat  lagu, mentjiptakan  tari. Kami  tidak  lagi dikenal oleh
dunia  luar,  ketjuali  oleh  penghisap-penghisap  dari  Barat  jang  mentjari  kemewahan  di  Hindia.  Akibat
daripada  Imperialisme  sungguh  djahat  sekali. Orang  laki-laki  diambil  dari  rumahnja  dan  dipaksa mendjadi
budak  dipulau-pulau  jang  djauh,  dimana  terdapat  kekurangan  tenaga  manusia.  Perempuan-perempuan
dipaksa bekerdja dikebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan pekerdjaannja, sekalipun melahirkan
pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah jang lunak dan murah terbuat dari katjang kedele jang diberi
ragi. Negeri  tempe berarti negeri  jang  lemah.  Itulah kami djadinja. Kami  terus-menerus dikatakan  sebagai
bangsa  jang mempunjai  otak  seperti  kapas.  Kami mendjadi  pengetjut;  takut  duduk,  takut  berdiri,  karena
apapun  jang  kami  lakukan  selalu  salah.  Kaml mendiadi  rakjat  seperti  dodol  dengan  hati  jang  ketjil.  Kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 18 dari 109
lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami mendjadi suatu bangsa jang hanja dapat membisikkan,
,,Ja  tuan"Sampai  sekarang  orang  Indonesia masih  terbawa-bawa  oleh  sifat  rendah  diri,  jang  masih  sadja
mereka pegang  teguh  setjara  tidak  sadar. Hal  itu menjebabkan kemarahanku baru-baru  ini. Wanita-wanita
dari kabinetku selalu menjediakan djuadah makanan Eropa. ,,Kita mempunjai penganan enak kepunjaan kita
sendiri," kataku dengan marah. 
,,Mengapa  tidak  itu  sadja dihidangkan  ?"  ,,Ma'af, Pak," kata mereka dengan penjesalan  ,,Tentu bikin maIu
kita  sadja.  Kami  rasa  orang  Barat memandang  rendah  pada makanan  kita  jang melarat."  Ini  adalah  suatu
pemantulan  kembali  dan  pada  djaman  dimana  Belanda masih  berkuasa.  Itulah  perasaan  rendah-diri  kami
jang  telah  berabad-abad  umurnja  kembali memperlihatkan  diri.  Edjekan  jang  terus-menerus  dipompakan
oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidak-mampuan kami, menjebabkan kami jakin akan hal tersebut.
Dan  kejakinan  bahwa  engkau  bangsa  jang  hina,  lagi  bodoh  adalah  suatu  sendjata  jang  ada  dalam  tangan
pendjadjah.  lmperialisme  adaIah  kumpulan  kekuatan  djahat  jang  nampak  dan  jang  tidak  nampak.
Penindasan jang sudah demikian lama dirasakan menjebabkan bangkitnja suatu masa para pelopor. Sun Yat
Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok  ditahun  1885.  Kongres Nasional  India:  ditahun  1887. Aguinaldo
dan Rizal membangkitkan Filipina. ditahun-tahun permulaan abad ke-20. 
Seluruh  Asia  bangkit  dan  diabad  keduapulah  jang megah  ini,  dalam mana  isolasi  tidak  akan  terdjadi  lagi,
maka  bangsa  Indonesia  jang  lemah  dan  pemalu  itupun  dapat merasakan  gelora  daripada  kebangkitan  ini.
Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Djawa menjusun partai nasional jang pertama dengan nama ,,Budi
Utomo",  jang artinja  ,,Usaha  jang Sutji". Ditahun 1912 organisasi  ini memberi djalan kepada Sarekat  Islam
jang  mempunjai  anggota  sebanjak  dua-setengah  djuta  orang  dibawah  pimpinan  H.O.S.  Tjokro  Aminoto.
Bangsa  Indonesia  jang  menderita  setjara  perseorangan  sekarang  mulai  menjatukan  diri  dan  persatuan
nasional mulai tersebar. Ia lahir di Djakarta,.akan tetapi sang baji baru pertamakali melangkahkan kakinja di
Surabaja.  Ditahun  1916  maka  Surabaja  merupakan  kota  pelabuhan  jang  sangat  sibuk  dan  ribut,  lebih
menjerupai  kota  New  York.  PeIabuhannja  baik  dan mendjadi  pusat  perdagangan  jang  aktif.  Ia mendjadi
suatu  kota  industri  jang  penting  dengan  pertukaran  jang  tjepat  dalam  perdagangan  gula,  teh,  tembakau,
kopi.  Ia  mendjadi  kota  tempat  perlombaan  dagang  jang  kuat  dan  orang-orang  Tionghoa  jang  tjerdas
ditambah  dengan  arus  jang  besar  dan  para  pelaut  dan  pedagang  jang membawa  berita-berita  dari  segala
pendjuru  dunia.  Penduduknja  semakin  bertambah,  terdiri  dari  pekerdja  pelabuhan  dan  peketdja  bengkel
jang masih muda-muda dan jang bersemangat menjala-njala.la mendjadi kota dimana bergolak persaingan,
pemboikotan,  perkelahian  didjalan-djalan.  Kota  itu  bergolak  dengan  ketidak-puasan  dari  orang-orang
revolusioner.  Ketengah-tengah  kantjah  jang mendidih  demikian  itulah  seorang  anak-ibu  berumur  15  tahun
masuk dengan mendjindjing sebuah tas ketjil. 
Keluarga  Tjokroaminoto  terdiri  dari  enam  orang.  Jaitu  Pak  dan  Bu  Tjokro,  anak-anaknia  Harsono  jang
12:tahun  lebih muda daripadaku, Anwar 10  tahun  lebih muda, puteri mereka Utari  lima  tahun  lebih muda
dan seorang baji  , Pak Tjokro semata-mata bekerdja sebagai Ketua Sarekat  Islam dan penghasilannja tidak
banjak. Dia tinggal dikampung jang penuh sesak tidak djauh dari sebuah kali. Menjimpang dari djalanan jang
sedjadjar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri-kanannja dan ia terlalu sempit untuk
djalan  mobil.  Gang  kami  namanja  Gang  7  Peneleh.  Pada  seperempat  djalan  djauhnja  masuk  kegang  itu
berdirilah  sebuah  rumah  buruk  dengan  paviljun  setengah  melekat.  Rumah  itu  dibagi  mendjadi  sepuluh
kamar-kamar ketjil, termasuk ruang loteng. 
Keluarga  Pak  Tjokro  tinggal  didepan;  kami  jang  bajar-makan  dibelakang.  Sungguhpun  semua  kamar  sama
melaratnja, akan tetapi anak-anak  jang sudah bertahun-tahun bajar makan mendapat kamar  jang namanja
sadja  lebih  baik.  Kamarku  tidak  pakai  djendela  samasekali.  Dan  tidak  berpintu.  Didalam  sangat  gelap,
sehingga  aku  terpaksa menghidupkan  lampu  terus-menerus  sekalipun  disiang  hari.  Duniaku  jang  gelap  ini
mempunjai sebuah medja gojah tempatku menjimpan buku, sebuah korsi kaju, sangkutan badju dan sehelai
tikar  rumput.  Tidak  ada  kasur.  Dan  tidak  ada  bantal.  Surabaja  diwaktu  itu  sudah menikmati  kemegahan
lampu  listrik.  Setiap  kamar mempunjai  fitting  dan  setiap  pembajar-makan membajar  ekstra  untuk  lampu.
Hanja kamarku  jang tidak punja. Aku tidak punja uang untuk membeli bolanja. Aku beladjar sampai djauh
malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun  tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi balai-balai
dan  supaja  terhindar  dari  njamuk.  Kamar  itu  ketjil  seperti  kandang-ajam.  Tidak  ada  udara  segar  dan
mendjadi  sarang  serangga. Akan  tetapi karena  tak ada orang  lain  jang mau  tinggal denganku dikamar  jang
gelapi itu, maka setidak-tidaknja aku dapat memilikinja untuk diriku sendiri. 
Sewanja  11  rupiah,  termasuk  makan.  Atau  setjara  perhitungan  kasarnja  empat  dollar  sebulan.  Bapak
mengirimiku  uang  duabelas  rupiah  setengah,  dengan  sisanja  limapuluh  sen  untuk  uang-saku. Ditahun  1917
bapak  dipindahkan  ke  Blitar.  Karena  pemindahan  ini merupakan  kenaikan  djabatan,  nasib  bapak  berobah
sedikit.  Oleh  sebab  itu  ia  dapat mengirimiku  f  1,50  untuk  uang-saku  setiap  bulannja.Memang  sukar  bagi
seorang  inlander  untuk memasuki  H.B.S.  Disamping  f  15,00  sebulan  untuk  uang-sekolah  dan  pet  seragam
bertuliskan H.B.S., kami harus membajar lagi f 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku ingat betul djumlah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 19 dari 109
ini,  karena  aku  menghitung  setiap  rupiahnja.  Kudjaga  agar  djangan  ada  jang  terpakai  setjara  tidak
disengadja. Walaupun aku anak jang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanja kalau dalam
kesempitan  sadja. Kukira  ini  sama  sadja  dengan  setiap  anak muda, bukan  ? Dengan  tidak  usah membuka-
surat-suratku  terlebih  dulu  bapakpun  sudah  tahu  isinja,  bahwa  si  Karno  minta  uang.  Suratku  kepada
orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis jang itu-itu djuga dan tidak pernah berobah-robah: ,,Bapak
dan lbu jang tertjinta' saja berada dalam keadaan sehat-sehat sadja dan harapan saja tentu agar Bapak dan
Ibu keduanja demikian pula hendaknja." 
Kemudian  setelah  salam  itu, dibaris  jang  ketiga  aku  langsung menjampaikan maksud  jang  terpenting. Aku
menulis,  ,,Sekarang  saja  sedang  kekurangan  uang.  Apakah  Bapak  dan  lbu  dapat mengirimi  barang  sedikit
?"Disamping ibuku jang penjajang itu selalu mengirimiku setjara diam-diam satu atau dua rupiah bila ia punja
uang, akupun mengusahakan sumber  lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer
dari  Surabaja  dan  Pak  Poegoeh  selalu memberiku  uang  lima  rupiah  untuk  ongkos  pulang.  Karena  uang  itu
tidak habis  semua untuk ongkos perdjalanan, maka aku  sering menemui mereka. Pak Poegoeh enam  tahun
lebih  tua  daripadaku  dan  bekerdja  dikantor  irigasi  dari  Departemen  Pekerdjaan  Umum.  Sekalipun  kami
seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanja setjara terang-terangan. Tjara orang
Djawa  kebanjakan  tidak  langsung.  Kuminta  kepada  kakakku  jang  menjampaikannja  pula  kepadanja.  Dan
permintaan  ini  kupikirkan  lebih  dulu  semasak-masaknja.  Aku  tak  pernah  meminta  diluar  batas  jang
kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah. 
Sebagai hasil dari kebidjaksanaan sematjam ini aku kadang-kadang mendapat lebih dari pada jang kuminta.
Terasa  hari  Iibur  sangat menjenangkan  apabila  hadiah  itu  datang  karena  aku  lalu  bisa mendjamu  kawan-
kawanku dengan kopi atau djadjan. H.B.S. terletak satu kilometer dari Gang Paneleh Setiap anak mempunjai
sepeda. Aku sendiri jang tidak. Biasanja aku membontjeng dengan salah seorang kawan atau berdjalan kaki.
Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers jang
hitam mengkilat,  sepeda  keluaran  Negeri  Belanda.  Aku merawatnja  bagai  seorang  ibu.  Ia  kugosok-gosok.
Kupegang-pegang.  Kubelai-belai.  Pada  suatu  kali  Harsono  jang  berumur  tudjuh  tahun  setjara  diam-diam
memakai  sepedaku  itu  dan  menabrakkannja  kepohon  kaju.  Seluruh  bagian  mukanja  patah.  Harsono
ketakutan.  Ia  tidak  berani mengatakan  padaku,  dan  ketika  aku mendengar  berita  itu,  kusepak  pantatnja
dengan keras. Kasihan Harsono.  Ia menangis.  Ia berteriak. Berminggu-minggu  lamanja aku tergontjang oleh
Fongersku  jang  hitam  mengkilat  itu  jang  sekarang  sudah  bengkok-bengkok.  Achirnja  aku  dapat
mengumpulkan  delapan  rupiah  lagi  dan membeli  lagi  sepeda  jang  lain  tapi  untuk  Harsono.  Sekali  dalam
seminggu  aku  menikmati  satu-satunja  kesenanganku  Film,  Aku  sangat  menjukainja.  Betapapun,  tjaraku
menonton  sangat berbeda dengan anak-anak Belanda. Aku duduk ditempat  jang paling murah. Tjoba pikir,
keadaanku  begitu  melarat,  sehingga  aku  hanja  dapat  menjewa  tempat  dibelakang  lajar.  Kaudengar  ?
Dibelakang lajar ! ! Diwaktu itu belum ada film bitjara, djadi aku harus membatja teksnja dan terbalik dan
masih dalam bahasa Belanda  !  lama-kelamaan aku mendjadi biasa dengan keadaan  itu  sehingga aku dapat
dengan tjepat membatja teks itu dari kanan kekiri. Aku tidak peduli, karena tak ada tjara lain lagi. Bahkan
aku  bersjukur  karena masih  bisa menjaksikannja.  Saat  satu-satunja  jang menjebabkan  aku  ketjewa  ialah,
bila  dipertundjukkan  film  adu-tindju.  Aku  samasekali  tak  dapat  menaksir,  tangan  siapa  jang  melakokan
pukulan. 
Dimasa  itu  ,,Yankee Doodle"  jang mendjadi  lagu kegemaranku. Mereka memutarnja pada tiap  istirahat dan
sambil  duduk  seorang  diri  dalam  gelap  dibelakang  lajar  aku  menjanjikannja  dengan  lunak  untuk  diriku
sendiri. Sampai sekarang aku masih menjanjikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang kekota kami.
Dalam pertundjukan itu mereka melepaskan merpati-merpati dan kalau ada jang hinggap dibahu seseorang,
itulah  jang memenangkan  hadiah. Kami  segera mengetahui  bahwa,  ketika  burung  itu  hinggap  pada  teman
kami,  jang  sama-sama  bajar-makan,  hadiahna  seekor  kuda.  Djadi  berkupullah  kami  Suarli  pemenang  jang
beruntung  itu,  kami  pemuda  lainnja  sebanjak  setengah  lusin  dan  seekor  kuda  tua  jang  sudah  letih.  Kami
tidak  dapat  akal  akan  diapakan  kuda  itu.  Tapi  kami  harus membawanja  keluar,  karena  itu  kami  bawa  ia
pulang. Dibagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada djalan untuk bisa sampai ketempat
itu ketjuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dan rumah Pemimpin Besar
Rakjat  Djawa  dan  mempawaikan  kuda  kami  melalui  kamar-duduk,  terus  kehalaman  belakang  dimana  ia
ditambatkan kebatang sawo. 
Tak seorangpun diantara kami jang punja uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu
kepunjaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli mendjualnja. Ketjuali satu sirkus dan film, masa
itu  bukanlah masa  jang menggembirakan  bagiku.  Aku  tidak mempunjai  kesenangan  semasa mudaku.  Aku
terlalu  serius.  Aku  tidak  mengikuti  kesenangan  seperti  iang  dialami  oleh  anak-anak  sekolah  iang  lain.
Mungkin  apa  jang  dinamakan  tindakan  kegila-gilaan  sebagaimana  jang  dituduhkan  kepadaku·  sekarang,
adalah sematjam imbangan untuk mengedjar kerugian dimasa muda. Tidak ada kesenangan-kesenangan jang
menjegarkandalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan  jang kutjari sekarang mungkin
sebagai  usahaku  untuk-menutupi  segala  sesuatu  jang  tidak  pernah  kunikmati  dimasa  muda,  sebelum BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 20 dari 109
waktunja  terlambat. Aku  tidak  tahu dengan pasti. Aku-  tak pernah memikirkannja hingga datang waktunja
bagiku untuk mendjalankan pembedahan diri dengan djalan otobiografi ini. 
Bagaimanapun  djuga,  ini  adalah  pertjakapan  antara  kita  antara  engkau,  pembatja,  denganku. Dan  karena
aku-berbitjara  dan  gelora  hati  jang meluap-luap,  kemudian  merenungkan  semua  ini  sebagai  kesedihanku
dimasa  jang  silam, aku merasa mungkin djuga benar bahwa aku  sedang berusaha mengimbangi kekurangan
diriku  sendiri  sekarang.  Pendeknja,  aku  tidak mengalami masa  senang  di  Surabaja.  Pada waktu  aku mula
datang, aku menangis  setiap hari. Ah, aku  sangat kehilangan  ibu  tak dapat kutjeritakan-kepadamu betapa
Wanita senantiasa memberikan pengaruh jang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punja ibu, tidak ada
nenek  untuk  membudjukku  jang  selamanja  mengagumiku  —  tidak  ada  Sarinah  jang  dengan  tekun
mendjagaku.  Aku merasa  sebatang  kara.  Bu  Tjokro  adalah  seorang wanita  jang manis  dengan  perawakan
ketjil  bagus.  Dia  sendirilah  jang  mengumpulkan  uang  makan  kami  saban  minggu.  Dialah  jang  membuat
peraturan  seperti:  (l)  Makan  malam  djam  sembilan  dan  barangsiapa  jang  datang  terlambat  tidak  dapat
makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada dikamarnja djam 10 malam. (3) Anak sekolah harus bangun djam
empat  pagi  untuk  beladjar.  (4)  Main-main  dengan  anak  gadis  dilarang.  Aku  memelihara  hubungan  rapat
dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku sebagai seorang  ibu. Karena
memerlukan  hati  seorang  perempuan,  aku  menoleh  pada  Mbok  Tambeng,  perempuan  pembantu
rumahtangga, untuk menghiburku. Dia mendjadi pengganti ibuku. Dia menambal tjelanaku. Dia tahu bahwa
gado-gado  adalah  kegemaranku,  karena  itu  dia  suka menjusupkan  ekstra  untukku. Mbok  sajang  kepadaku,
tapi ah  ! aku  sangat merindukan kasih-sajang  itu. Masih  sadja  si Mbok  tidak bisa mendjadi penghibur  jang
tjukup  bagi  seorang  anak  jang  halus  perasaannja.  Djiwaku  mendjerit-djerit  mentjari  kepertjajaan  hati,
bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh. Pak Tjokro bukanlah orangnja. 
Seorang pemimpin hanja tertarik pada soal-soal politik. Bahunja bukanlah tempat bersandar untuk menangis.
Atau tangannja bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak.Sekalipun demikian Pak Tjokro sangat senang
kepadaku.  Kasih  sajangnja  ini  dinjatakannja  terutama  dimusim  kemarau  tahun  1918.  Biasanja  aku  pulang
mengundjungi  orangtuaku  dalam  waktu  libur.  Dalam  dua  bulan  libur  tinggal  di  Blitar  aku merentjanakan
pergi ketempat kawan-kawan untuk sehari di Wlingi, jang djaraknja 20 kilometer dari Blitar. Semua rentjana
telah  disiapkan  dan  dengan  keinginan  jang  besar  menghadapi  tudjuan  aku  melambai  kepada  bapak,
mentjium  ibu dan memulai perdjalananku. Aku baru  sadja  sampai dirumah  kawan  kawanku  ketika bahana
menggemuruh  jang  menakutkan  memenuhi  angkasa  dan  tanah  bergontjang-gontjang  dibawah  kakiku.
Perempuan-perempuan  tua  jang  ketakutan,  anak-anak  jang mendjerit  dan  para  pekerdja  jang  letih  oleh
membanting-tulang  terpentjar  keluar  dari  pondok-pondok  mereka  menudju  kampung  jang  penuh  sesak.
Ketakutan, kebingungan dan kekatjauan menghinggapi rakjat kampung. 
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mentjari saat itu untuk menundjukkan kemurkaan dari Dewa-
dewa. Langit mendjadi hitam oleh arang dan abu bermil-mil djauhnja. Dimana-mana  ledakan  lahar. Daerah
itu diselubungi oleh asap, api dan ratjun. Dengan kekuatan jang hebat lahar jang mendidih-didih mentjurah
menuruni lereng gunung ketempat jang lebih rendah dan menggenang disana antara Blitar dan Wlingi. Banjak
orang  jang  mati.Aku  sangat  kuatir  karena  kutahu  orangtuaku  tentu  sangat  susah  memikirkan  diriku
…….Hidupkah dia ……..Matikah dia. Mereka  sadar, bahwa anaknja berada  tepat didjalan dimana gunung  itu
memuntahkan  isinja  dan  mereka  tidak  dapat  memperoleh  berita.  Sementara  itu  aku  mendengar,  bahwa
separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran tentang apakah jang
mungkin  terdjadi  terhadap  orangtuaku.  Aku  harus  kembali  setjepat  mungkin,  akan  tetapi  tidak  ada
kendaraan  jang  bagaimanapun  bentuknja  jang  dapat  menjeberangi  lautan  lahar  jang  menggelora  itu.
Achirnja, satu-satunja djalan  jang harus ditempuh  ialah dengan mengarunginja berdjalan kaki. Selagi  lahar
masih  agak  panas,  aku mulai melangkahkan  kaki menudju  djalan  pulang.  Aku masih  djauh  ketika mereka
menampakku,  lalu  datang  berlari-lari  menjongsongku  ditengah  djalan.  Mereka  memelukku.  Mereka
mentjiumku. 
Mereka mengelus pipiku. ,,0, engkau masih hidup," teriak bapak. ,,Engkau masih hidup engkau masih hidup."
Ibu menangis. Aku merangkul orangtuaku dengan kedua belah tanganku. Aduh, kami gembira, gembira sekali
bertemu  satu  sama  lain.  Di  Surabaja,  Pak  Tjokropun  rupanja  merasa  tjemas  memikirkan  keadaanku.  Ia
menaiki  mobilnja  dan  melakukan  perdjalanan  sehari  penuh  hanja  karena  hendak  mengetahui  bagaimana
keadaanku. Mula-mula ia tidak dapat menemuiku atau orangtuaku. Rumah kami selamat, akan tetapi rumah
itu sudah mendjadi tumpukan lahar dan lumpur. Sampai di Djalan Sultan Agung 53 ia hanja mendapati rumah
kosong  samasekali. Ketjuali beberapa ekor burung-burung ketjil.  Ia djadi  sangat bingung  sebelum bertemu
dengan kami. Djadi aku menjadari bahwa Pak Tjokro mentjintaiku dengan  tjaranja  sendiri. Hanja  tjaranja
itu  tidak  tjukup  bagi  seorang  anak  jang  kesepian.  Ia  djarang  berbitjara  denganku.  Bahkan  aku  djarang
melihatnja.  Ia  tidak mempunjai waktu  jang  senggang. Kalau  ia dirumah  tentu ada  tamu atau  ia bersamadi
dalam kesunjian.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 21 dari 109
Oemar  Said  Tjokroaminoto  berumur  33  tahun  ketika  aku  datang  ke  Surabaja.  Pak  Tjokro  mengadjarku
tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa  jang  ia ketahui ataupun tentang apa djadiku kelak. Seorang
tokoh  jang mempunjai  daja-tjipta  dan  tjita-tjita  tinggi,  seorang  pedjoang  jang mentjintai  tanah  tumpah
darahnja. Pak Tjokro adalah pudjaanku. Aku muridnja. Setjara sadar atau tidak sadar  ia menggemblengku.
Aku  duduk  dekat  kakinja  dan  diberikannja  kepadaku  buku-bukunja,  diberikannja  padaku  miliknja  jang
berharga  Ia  hanja  tidak  sanggup memberikan  kehangatan  langsung  dari  pribadinja  kepada  pribadiku  jang
sangat  kuharapkan.  Karena  tak  seorangpun  jang mentjintaiku  seperti  jang  kuidamkan,  aku mulai mundur.
Kenjataan-kenjataan  jang kulihat dalam duniaku  jang gelap hanjalah kehampaan dan kemelaratan. Karena
itu  aku  mengundurkan  diri  kedalam  apa  jang  dinamakan  orang  Inggris  ,,Dunia  Pemikiran".  Buku-buku
mendjadi  temanku.  Dengan  dikelilingi  oleh  kesadaranku  sendiri  aku  memperoleh  kompensasi  untuk
mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan  jang  terdapat diluar. Dalam dunia kerohanian dan dunia  jang
lebih kekal  inilah aku mentjari kesenanganku. Dan didalam  itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira.
Selurah  waktu  kupergunakan  untuk  membatja.  Sementara  jang  lain  bermain-main,  aku  beladjar.  Aku
mengedjar  ilmu  pengetahuan  disamping  peladjaran  sekolah.  Kami  mempunjai  sebuah  perpustakaan  jang
besar dikota-ini jang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena  itu aku
boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnja buat seorang anak jang miskin. 
Aku menjelam samasekali kedalam dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar.
Buah pikiran mereka mendjadi buah pikiranku. Tjita-tjita mereka adalah-pendirian dasarku. Setjara mental
aku  berbitjara  dengan  Thomas  Jefferson.  Aku  merasa  dekat  dan  bersahabat  dengan  dia.  karena  dia
bertjeritera  kepadaku  tentang  Declaration  of  Independence  jang  ditulisnja  ditahun  1776.  Aku
memperbintjangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku mendalami lagi perdjalanan Paul Revere.
Aku dengan  sengadja mentjari kesalahan-kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln,  sehingga aku dapat
mempersoalkan  hal  ini  dengan  dia.Pada  waktu  sekarang,  apabila  ada  orang  menegur,  ,,Hai  Sukarno,
mengapa  engkau  tidak  suka  kepada  Amerika  ?"  maka  aku  akan  mendjawab,  ,,Apabila  engkau  mengenal
Sukarno,  engkau  tidak  akan  -mengadjukan  pertanjaan  itu.?  Masa  mudaku  kupergunakan  untuk  memudja
bapak-bapak  perintis  dari  Amerika  Aku  ingin  berlomba  dengan  pahlawan-pahlawannja.  Aku  mentjintai
rakjatnja. Dan  aku masih mentiintainja.  Bahkan  sekarangpun  aku masih membatja madjalah Amerika  dari
,,Vogue"  sampai  ke  ,,Nugget'..Aku  akan  selalu  merasa  berkawan  dengan  Amerika.  Ja,  berkawan.  Aku
mengatakannja  setjara  terbuka  Aku  menuliskan  tentang  diriku  sendiri.  Kunjatakan  ini  dengan  tertjetak.
Suatu  pendirian  dasar  seperti  jang  kumiliki  takkan  dapat membiarkanku  tidak  berkawan  dengan  Amerika.
Didalam dunia pemikiranku akupun berbitjara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan
Beatrice Webb  jang mendirikan Gerakan  Buruh  Inggris  aku  berhadapan muka  dengan Mazzini,  Cavour  dan
Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari Austria. 
Aku  berhadapan  dengan Karl Marx,  Friedrich  Engels  dan  Lenin  dari Rusia  dan  aku mengobrol  dengan  Jean
Jacques  Rousseau'  Aristide  Briand'  dan  Jean  Jaures  ahli  pidato  terbesar  dalam  sedjarah  Perantjis.  Aku
meneguk~semua tjerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnja adalah Voltaire. Aku adalah Danton
pedjoang besar dari Revolusi Perantjis. Seribu kali aku menjelamatkan Perantjis seorang diri dalam kamarku
iang  gelap.  Aku mendjadi  tersangkut  setjara  emosionil  dengan  negarawan-negarawan  ini.  Disekolah  kami
mendengarkan peIadjaran tetntang pengadilan rakiat dari bangsa Junani kuno.  Ia melekat dalam pikiranku.
Aku  membajangkan  pemikir-pemikir  jang  sedang  marah  selagi  berpidato  dan  meneriakkan  sembojan-
sembojan seperti ,,Persetan dengan Penindasan" dan ,,Hidup' Kemerdekasn". Hatiku terbakar menjaIa-njala.
Macam  itu, ketika  semua orang  sudah menguntji pintu, kamar kandang-ajamku mendiadi  ruang-pengadilan
aku sebagai seorang pemuda Junani jang terbakar oleh enthusiasme. 
Sambil  berdiri  diatas medjaku  jang  gojah  aku  ikut  terbawa-oleh  perasaan. Aku mulai  berteriak  Selagi  aku
berpidato  dengan  sangat  keras  kepada  tak  seorangpun,  kepala-kepala  berdjuluran  keluar  pintu,  mata
bertondjolan dari kepala dan  terdengar  suara anak-anak muda berteriak dalam gelap'  ,,Hei, No,' kau gila  ?
Ada  apa….Hei,  apa  kau  sakit  ?"  dan  kemudian  tukang-tukang  sorak  itu  kembali  pada  djawabannja  sendiri,
,,Ah,  tidak  ada  apa-apa.  Tjuma  si  No  mau  menjelamatkan  dunia  lagi"  dan  satu  demi  satu  pintu-pintu
menutup  lagi  dan  membiarkan  aku  sendiri  dalam  kegelapan.  Pada  waktu  aku  semakin  mendekati
kedewasaan, duniaku didalam  semakin  lebar dan mentjakup pula kawan-kawan dari Tjokroaminoto. Setiap
hari para pemimpin dari partai  lain atau pemimpin  tjabang Sarekat  Islam datang bertamu. Dan  setiap kali
mereka tinggal selama beberapa hari. Sementara kawan-kawanku serumah keluar menjaksikan pertandingan
bola, aku duduk dekat kaki orang-orang ini dan mendengarkan. 
Kadang-kadang kubagi tempat-tidurku dengan salahseorang pemimpin itu dan minum dari mata-air keahlian
mereka hingga waktu fadjar. Aku menjukai waktu makan, Kami makan setjara satu keluarga, djadi aku dapat
mengikuti dan meresapkan pertjakapan politik. Pada waktu mereka melepaskan lelah disekeliling medja, aku
bahkan kadangkadang berani mengadjukan pertanjaan. Mahaputera-mahaputera ini putera-putera jang besar
dari rakjat  Indonesia—tidak mengatjuhkanku karena aku masih anak-anak. Sekali pada waktu makan malam
mereka mempersoalkan  tentang kapitalisme dan  tentang barang-barang  jang diangkut dari kepulauan kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 22 dari 109
untuk memperkaja Negeri Belanda. Disaat inilah aku bertanja pelahan, ,,Berapa banjak jang diambil Belanda
dari  Indonesia  ?",,Anak  ini  sangat  ingin  tahu,"  senjum Pak Tjok, kemudian menambahkan,  ,,De Vereenigde
Oost Indische Compagnie menjedot— atau mentjuri—kira-kira 1800 djuta gulden dari tanah kita setiap tahun
untuk  memberi  makan  Den  Haag.",,Apa  jang  tinggal  dinegeri  kita  ?"  kali  ini  aku  bertanja  lebih  keras
sedikit.,,Rakjat  tani  kita  jang  mentjutjurkan  keringat mati  kelaparan  dengan makanan  segobang  sehari,"
kata  Alimin,  jaitu  orang  jang  memperkenalkanku  kepada  Marxisme.  ,,Kita  mendjadi  bangsa  kuli  dan
mendjadi  kuli  diantara  bangsabangsa,"  sela  kawannja  jang  bernama  Muso.,,Sarekat  Islam  bekerdja  untuk
memperbaiki keadaan dengan mengadjukan mosi-mosi kepada Pemerintah," kata Pak Tjok menerangkan dan
kelihatan  senang  karena  mempunjai  murid  jang  begitu  bersemangat.  ,,Pengurangan  padjak  dan  serikat-
serikat sekerdja hanja dapat digerakkan dengan kooperasi dengan Belanda—sekalipun kita membentji kerdja-
sama  ini.",,Tapi  apakah  baik  untuk  membentji  seseorang  sekalipun  ia  orang  Belanda  ?"  ,,Kita  tidak
membentji  rakjatnja,"  dia memperbaiki,  ,,Kita membentji  sistim  pemerintahan  Kolonial."  ,,Mengapa  nasib
kita tidak berobah djika rakjat kita telah berdjoang melawan sistim ini sedjak berabad-abad?" 
,,Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berdjoang sendiri-sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut
jang ketjil didaerah jang terbatas," Alimin mendjawab.,,0, mereka kalah karena tidak bersatu," kataku. Ahli
pikir  India,  Swami  Vivekananda,  menulis,  ,,Djangan  bikin  kepalamu  mendjadi  perpustakaan.  Pakailah
pengetahuanmu untukdiamalkan." Aku mulai menerapkan apa-apa jang telah kubatja kepada apa jang telah
kudengar.  Aku memperbandingkan  antaraperadaban  jang megah  dari  pikiranku  dengan  tanah-airku  sendiri
jang sudah bobrok.Setapak demi setapak aku mendjadi seorang pentjinta tanah-air  jang menjala-njala dan
menjadari  bahwa  tidak  ada  alasan  bagi  pemuda  Indonesia  untuk menikmati  kesenangan  dengan melarikan
diri  kedalam dunia  chajal. Aku menghadapi  kenjataan bahwa  negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku
berdjalan-djalan seorang diri dan merenungkan tentang apa jang sedang berputar dalam otakku. Satu djam
lamanja aku berdiri tak bergerak diatas diambatan ketjil jang melintasi sungai ketjil dan memandangi iring-
iringan manusia  jang  tak henti-hentinja. Aku melihat  rakjat tani dengan kaki-ajam berdjalan  lesu menudju
pondoknja  jang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mentjekam diatas kereta terbuka  jang ditarik
oleh dua  ekor  kuda  jang mengkilat. Aku melihat  keluarga  orang  kulitputih  kelihatan bersih-bersih,  sedang
saudara-saudaranja jang belkulit sawomatang begitu kotor, badannja berbau, badjunja tjompang-tjamping,
anak-anak mereka djorok-djorok. Aku bertanja dalam hati, apakah orang bisa  tetap bersih apabila mereka
tidak - punja pakaian lain untuk penggantinja. 
Kuisap  masuk  tubulrku  bau  daripada  sisa  makanan  jang  sudah  busuk  dan  bau  selokan-selokan  jang
melemaskan,  dan  kulekatkan  dengan  kuat  didalam  lobang  hidungku  bau  busuk  daripada  kemelaratan
rakjatku,  sehingga  sekalipun  aku  pergi  10.000  mil  dari  disungai  aku  masih  tetap  mentjiumnja.  Aku
memandang kedalam keputus asaan dari setiap laki-laki dan perempuan jang kulihat. Aku terhanjut bersama
rakjatku.  Rakjatku  jang miskin  lagi  papa.  Dari  djembatan  aku menoleh  kearah massa  jang  seperti  semut
banjaknja  dan  aku mengerti  sedjelas-djelasnja,  bahwa  inilah  kekuatan  kami.  Dan  aku-menjadari  sesadar-
sadarnja akan penderitaan mereka. Sekalipun anak ketjil tak-akan dapat menahan rawan hatinja pada waktu
pertamakali  melihat  kata-kata  peringatan  dikolam-renang  jang  berbunji,  ,,Terlarang  bagi  andjing  dan
bumiputera."  Andjing  didahulukan.  Dapatkah  seorang  manusia  tidak  tersinggung  perasaannja,  apabila
seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada setiap Belanda jang menaiki tremnja ? Aku
seorang  anak  berumur  14  tahun  ketika mukaku  ditampar  oleh  seorang  anak  berhidung  pandjang,  tak  lain
hanja  disebabkan  karena  aku  seorang  inlander.  Apakah  menurut  pendapatmu  tindakan-tindakan  jang
demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam hati ? Ja, aku mempunjai kesadaran sebagai seorang anak.
Aku memulai  persembahan  hidupku  ini  pada  umur  16  tahun.  Perkumpulan  politik  jang  pertama  kudirikan
adalah Tri Koro Darmo jang berarti ,,Tiga Tudjuan Sutji" dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi
dan sosial jang kami tjari. Ini pada dasarnja adalah suatu organisasi sosial dari para peladjar seumurku. Jong
Java',  sebagai  langkah  kedua,  mempunjai  dasar  jang  Iebih  luas.  Begitupun  pergaulan  sosial  kami
berlandaskan  kebangsaan.  Kami  membaktikan  diri  untuk  memperkembangkan  kebudajaan  asli  seperti
mengadjarkan tari Djawa atau mengadjar main gamelan. 
Jong  Java  pun  banjak  melakukan  pekerdjaan-pekerdjaan  sosial.  Kami  pergi  kekampung-kampung  jang
berdekatan untuk mengumpulkan dan bagi  sekolah atau untuk membantu korban bentjana  letusan gunung.
Kami  mengadakan  pertunjukan  ditempat-terapat  jang  memerlukan  pertolongan  dan  mengeluarkan  biaja-
biaja  itu dari hasil uang masuk.  ,, Harus  kuakui  sekarang, bahwa  tampangku dimasa muda  sangat  tampan
sehingga kelihatan seperti anak gadis. Karena hanja sedikit wanita terpeladjar pada waktu itu, tidak banjak
anak gadis  jang mendjadi anggota kami. Dan potonganku  lebih banjak menjerupai seorang perawan tjantik
sehingga kalau Jong Java mengadakan pertundjukan. Manaakalau diserahi memainkan peran wanita jang naif
itu.  Aku  betulbetul membedaki  pipi  dan memerahkan  bibirku.  Akan  kutjeritakan  sesuatu  kepadamu.  Aku
tidak  tahu,  bagaimana  pendapat  orang-asing  tentang  seorang  Presiden  jang  mau  mentjeritakan  hal  jang
demikian  itu Tetapi sungguhpun demikian aku akan mentjeritakannja djuga. Aku membeli dua potong  -roti
manis. Roti bulat. Seperti roti-gulung. Dan kuisikan kedalam badjuku. Ditambah dengan bentuk-badanku jang
langsing  setiap orang menjatakan, bahwa aku kelihatan  sangat  tjantik. Untunglah dalam peranku  itu  tidak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 23 dari 109
termasuk  adegan  mentjium  laki-laki.  Selesai  pertundiukan  kupikir,  tentu  aku  tak  dapat  menghamburkan
uangku begitu sadja Karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam badju dan kumakan. 
Sambil memandangku diatas panggungpara penontonpun memberikan komentaraja, bahwa aku memperlihat-
kan bakat  jang besar untuk  tampil dimoka umum. Akupun  sangat  setudju dengan pendapat mereka,  tidak
lama kemudian aku mendapat kesempatan  lain. Ketika  itu diadakan pertemuan dari Studieclub, jaitu suatu
kelompok sebagai pengadjaran tambahan dan bertudjuan untuk membahas buah-buah pikiran dan tjita-tjita.
Disinilah aku mengadakan pidato  jang pertama. Aku berumur 16  tahun. Ketua Studieclub mendapat giliran
untuk berbitiara dan mendadak aku dikuasai oleh suatu dorongan jang kuat untuk berbitjara. Aku tidak dapat
mengendalikan  diriku  selandjutnja.  Selagi  duduk  dalam  pertemuan  itu  aku  melompat  dan  berdiri  diatas
medja.  Suatu  gerak  perbuatan  chas  seperti  kanak-kanak.  Kukira  ini  disebabkan  karena  aku  bersifat
emosionil.  Sekarangpun  aku masih  demikian.  Ketua menjatakan,  ,,Adalah mendjadi  suatu  keharusan  bagi
generasi  kita  untuk  menguasai  betul  bahasa  Belanda."Setiap  orang  setudju.  Setiap  orang,  ketjuali  aku
sendiri. Aku gugup  tentunja, akan  tetapi ketika aku memperoleh perhatian mereka, aku berbitjara dengan
suara  jang  tenang  sekali,  ,,Tidak.  Saja-tidak  setudju,  ,,Tanah  kebanggaan  kita  ini  dulu  pernah  bernama
Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti diantara. 
Nusantara berarti  ribuan pulau-pulau  ini, dan banjak diantara pulau-pulau  ini  lebih besar daripada  seluruh
negeri Belanda Djumlah penduduk Negeri Belanda hanja segelintir djika dibandingkan dengan penduduk kita.
Bahasa  Belanda  hanja  dipergunankan  oleh  enam  djuta  orang.,,Mengapa  suatu  negeri  ketjil  jang  terletak
disebelah  sana  dari  dunia  ini menguasai  suatu  bangsa  jang  dulu  pernah  begitu  perkasa,  sehinngga  dapat
mengalahkan  Kublai  Khan  jang  kuat  itu?"  Dengan  suara  tenang  dan  tidak  terburu-buru  atau  tegang  aku
selandjutja mengemukakan alasan-alasan ditambah dengan kenjataan-kenjataan. Aku mengachiri pidato  itu
dengan kata-kata, ,,Saja berpendapat, bahwa jang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa
kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melaju. Kemudian baru menguasai
bahasa  asing.  Dan  sebaiknja  kita  mengambil  bahasa  Inggris,  oleh  karena  bahasa  itu  sekarang  mendjadi
bahasa  diplomatik.  ,,Belanda  berkulit  putih.  Kita  sawomatang.  Rambut  mereka  pirang  dan  keriting.  Kita
punja  lurus  dan  hitam.  Mereka  tinggal  riboan  kilomerer  darisini.  Mengapa  kita  harus  berbitjara  bahasa
Belanda?!" Maka terdjadilah keributan karena sangat kagum. Mereka tak pernah mendengar hal sematjam ini
sebelumnja.  Kuingat  Direktur  H.B.S.,  Tuan  Bot,  berdiri  disana.  Dia  tidak  berbuat  apa-apa  melainkan
memandang  kepadaku  dengan muka  tidak  senang  samasekali,  seakan  dia  berkata,  ,,Oooh—Oooh,  Sukarno
mau bikin susah !" Sekalipun aku tidak membikin susah, aku sudah tjukup dibikin susah. Aku adalah anak baru
disekolah Belanda ini dan tambahan lagi seorang anak Bumiputera. 
H.B.S. mempunjai 300 orang murid. Hanja 2 diantaranja orang Indonesia. Aku dikeliiingi dari segala djurusan
oleh  anak  laki-laki  dan  anak-anak  gadis  Belanda.  Sudah  tentu  mereka  tidak  senang  padaku.  Terketjuali
barangkali beberapa anak gadis, maka aku dianggap sepi. Sekolah mulai djam tudjuh pagi sampai djam satu
siang,  enam  hari  dalam  seminggu.  Diantara  djam-djam  peladjaran  ada waktu  istirahat,  pada waktu mana
setiap  anak  bermain  atau  djadjan.  Akan  tetapi  anak-anak  Belanda  tentu  memisah  dari  kami.  Mereka
berusaha  supaja kami  tidak ada kawan. Merekapun berusaha  supaja hidung kami  selalu berlumuran darah.
Sewaktu kami masih sebagai siswa baru, seorang anak jang rapi pakai tjelana baru dan kaku berwarna putih
jang mendjadi ketentuan untuk tahun pertama berdiri mengangkang menghalangi djalanku dan mengedjek,
,,Menjingkir dari djalanku, anak  inlander." Ketika aku berdiri disana dia melepaskan tangannja PANGGGG !'
Tepat dihidungku ! Djadi, kupukul dia kembali. Setiap hari aku pulang babak-belur. Aku tak pernah mendjadi
tukang  berkelahi,  tapi  sekalipun  aku  dapat menahan  penghinaan  aku  tak  dapat menghindari  perkelahian
tangan.  Kadang-kadang  kukalahkan  mereka,  akan  tetapi  terkadangpun  mereka  mengalahkanku.  Kamipun
mengalami diskriminasi didalam sekolah. 
Sekolah  begitu  keterlaluan  terhadap  kami,  sehingga  kalau  seorang  anak  Bumiputera  membuat  suatu
kesalahan maka Direktur menghukumnja dengan larangan masuk kelas selama dua hari. Kami mentjurahkan
tenaga dengan sungguh-sungguh kepada peladjaran. Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam,
nilai jang didapat oleh anak-anak Belanda pasti lebih tinggi daripada jang diterima oleh anak Indonesia. Nilai
ketjakapan  diukur  dengan  angka.  Angka  10  jang  tertinggi  dan  angka  enam  adalah  batas  nilai  tjukup  dan
inilah  kebanjakan  jang  diterima  oleh  inlander.  Kami mempunjai  suatu  pameo mengenai  angka-angka  ini:
angka  sepuluh  adalah  untuk  Tuhan,  sembilan  untuk  professor,  angka  delapan  untuk  anak  jang  luarbiasa,
tudjuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak Bumiputera. Aku
adalah penggambar tjat-air jang luarbiasa. 
Ditahun  kedua  kami  disuruh menggambar  kandang-andjing.  Sementara  jang  lain masih mengukur-ukur  dan
menaksir-naksir  dengan  potlot  aku  sudah  selesai  menggambar  kandang  jang  lengkap,  didalamnja  seekor
andjing jang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh
kelas. Ia mengatakan, ,,Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai jang
setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka jang paling tinggi itu ? Tidak. Selalu orang kulitputih BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 24 dari 109
lebih pandai.  Lebih  tjerdas. Orang  kulitputih  lebih banjak  tahu. Alat  kolonial  tidak akan berhasil,  ketjuali
djika ia memupuk keunggulan kulitputih terhadap sawomatang. Guru-guru sangat sajang kepadaku. Aku anak
jang patuh, sungguhsungguh dan hormat. Hanja sesekali aku bertindak diluar garis. Aku tidak pernah betul
betul  kurang-adjar,  akan  tetapi  pada  suatu  kali  setelah  pidatoku  jang  pertama  aku  berdjalan  melalui
ruangan ketika professor Egberts melihatku dan meneriakkan, ,,Hai, Sukarno, bagaimana dengan kau punja
'Jong  Java'?"  dan  aku  mengedjek,  Ja,  Professor,  bagaimana  pula  dengan  tuan  punja  'Oud  Holland'  ?"Aku
mendjadi  favorit  dari  guru  bahasa  Djerman  jang  djuga  memimpin  Kelompok  Perdebatan  kami.  Dalam
memperdebatkan  persoalan  kehilir-kemudik  dan  mengadjukan  pendapat-pendapat  jang  berlawanan,  aku
memperbaiki  ketjakapan  berbitjara.  Professor  Hartagh  melihat,  bahwa  aku  dapat  memimpin  kawan-
kawanku. 
Pada suatu pertemuan Hartagh menjampaikan kepada ke 20 orang murid setjara bersamasama dan kepadaku
setjara pribadi, bahwa aku akan mendjadi pemimpin jang besar kelak. Professor mungkin punja bola-kristal'
untul meramal. Iapun pernah mentjeritakan kepada orang lain, bahwa dia akan mendjadi guru dan memang
itu dia djadinja.Seorang guru perempuan betul-betul sangat sajang kepadaku, sehingga ia memberiku nama
Belanda.  Aku,  tjalon  pemimpin  dari  suatu  revolusi  dimasa  jang  akan  datang,  dengan  nama  Belanda  ?  Dia
menamaiku  Kerel.  Dia  bahkan  memanggilku  ,,Schat",  perkataan  Belanda  untuk  kesajangan.  Kalau  dia
kelupaan  kuntji  atau  sesuatu  barang,  dia  lalu menundjukku  dan  berkata  dengan manis,  ,,Schat, maukah
engkau pergi kekamarku dan mengambil kuntji ?" Ach, ini adalah hak istimewa iang sangat besar. Pada suatu
hari  dia mengandjakku  kerumahnja  untuk menerima  peladjaran  tambahan  bahasa  Perantjis.  Aku  gemetar
karena anugerah jang istimewa itu. Pada waktu umurku semakin mendekati kedewasaan aku masih gemetar
dengan anugerah  istimewa  sematjam  ini. Akan  tetapi karena alasan-lain. Aku  sangat  tertarik kepada anak-
anak gadis Belanda. Aku  ingin  sekali mengadakan hubungan pertjintaan dengan mereka. Hanja  inilah  satu-
satunja  djalan  jang  kuketahui  untuk  memperoleh  keunggulan  terhadap  beagsa  kulitputih  dan  membikin
mereka  tunduk  pada  kemauanku.  Bukankah  ini  selalu mendjadi  idaman  ? Apakah  seorang  djantan  berkulit
sawomatang  dapat  menaklukkan  seorang  lakilaki  kulitputih  ?  Ini  adalah  suatu  tudjuan  jang  hendak
diperdjoangkan.  Menguasai  seorang  gadig  kulitputih  dan  membikinnja  supaja  menginginiku  adalah  suatu
kebanggaan. 
Seorang  pemuda  tampan  senantiasa mempunjai  kawan  gadis-gadis  jang  tetap.  Aku  punja  banjak.  Mereka
bahkan  memudja  gigiku  jang  tidak  rata.  Dan  aku-mengakui  bahwa  aku  sengadja  mengedjar  gadis  gadis
kulitputih.  Tjintaku  jang  pertama  adalah  PauIine Gobee,  anak-  salah-seorang  guruku.  Dia memang  tjantik
dan  aku  tergila-gila  kepadanja.  Kemudian  menjusul  Laura.  Oo,  betapa  aku  memudjanja.  Dan  ada  lagi
keluarga Raat. Mereka  ini keluarga  Indo dan mempunjai beberapa orang puteri aju. H.B.S.  letaknja diarah
jang  berlawanan  dengan  rumah  keluarga  Raat,  tapi  sekalipun  demikian  setiap  hari  selama  berbulan-bulan
aku  mengambil  djalan  keliling,  hanja  untuk  lewat  dimuka  rumahnja  dan  untuk  menangkap  selintas
pandangannja.  Dekat  itu  terdapat  Depot  Tiga,  warung  tempat  minum.  Aku  kadang-kadang  diadjak  oleh
salahseorang  kawan  kesana  dan  disanalah  kami  dapat  duduk  dengan  gembira  dan memandangi  gadis-gadis
Belanda  lalu.  Kemudian  bagai  suatu  tjahaja  jang  bersinar  dalam  gelap,  muntjullah  Mien  Hessels  dalam
kehidupanku. Hilanglah Laura,  lenjaplah keluarga Raat dari  ingatan dan  lenjap pulalah kegembiraan Depot
Tiga. Sekarang aku punja Mien Hessels. Dia samasekali milikku dan aku sangat tergila-gila kepada kembang
tulip berambut kuning dan pipinja jang merah mawar itu. Aku rela mati untuknja kalau dia menghendakinja.
Umurku  baru  18  tahun  dan  tidak  ada  jang  lebih  kuinginkan  dari  kehidupanku  ini  selain  daripada memiliki
djiwa  dan  raga  Mien  Hessels.  Aku  mengharapnja  dengan  perasasn  berahi  dan  sampailah  aku  pada  suatu
kesungguhan  hati,  aku  harus  mengawininja.  Tak  satupun  jang  dapat  memadamkan  api  jang  sedang
menggolak dalam diriku. Ia adalah bagai kembang-gula diatas kue jang takkan dapat kubeli. Kulitnja lembut
bagai  kapas,  rambutnja  ikal  dan  pribadinja  memenuhi  segala-galanja  jang  kuidamkan.  Untuk  dapat
merangkulkan  tanganku  memeluk  Mien  Hessels  nilainja  lebih  dari  segala  harta  bagiku.  Achirnja  aku
memberanikan diri untuk berbitjara kepada bapaknja. Aku mengenakan pakaian jang terbaik, dan memakai
sepatu. 
Sambil duduk dikamarku jang gelap aku melatih kata-kata jang akan kuutjapkan dihadapannja. Akan tetapi
pada  waktu  aku  mendekati  rumah  jang  bagus  itu  aku  menggigil  oleh  perasaan  takut.  Aku  tak  pernah
sebelumnja  bertamu  kerumah  seperti  ini.  Pekarangannja  menghidjau  seperti  beludru.  Kembang-kembang
berseri tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai pradjurit. Aku tidak punja topi untuk dipegang, karena
itu sebagai gantinja aku memegang hatiku.Dan disanaIah aku berdiri, gemetar, dihadapan bapak dari puteri
gadingku,  seorang  jang  tinggi  seperti menara  jang memandang kebawah  langsung kepadaku  seperti aku  ini
dipandang sebagai kutu diatas tanah. ,,Tuan," kataku. ,,Kalau tuan tidak berkeberatan, saja ingin minta anak
tuan."  ,,Kamu?  Inlander  kotor,  seperti  kamu  ?  sembur  tuan  Hessels,  ,,Kenapa  kamu  berani-beranian
mendekati  anakku  ?  Keluar,  kamu  binatang  kotor.  Keluar  !"  Dapatkah  orang  membajangkan  betapa  aku
merasa  seperti  didera  dengan  tjambuk  ?  Dapatkah  kiranja  orang  pertjaja,  bahwa  noda  jang  ditjorengkan
dimukaku  ini  pada  satu  saat  akan  pupus  samasekali  ?  Sakitnja  adalah  sedemikian,  sehingga  disaat  itu  aku
berpikir,  ,,Ja Tuhan,  aku  tak  akan  dapat melupakan  ini." Dan  djauh  dalam  lubukhatiku  aku merasa  pasti,
bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku jang berparas bidadari itu, Mien Hessels.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 25 dari 109
23 tahun kemudian, jaitu tahun 1942. Djaman perang. Aku sedang melihat-lihat etalase pada salahsatu toko
pakaian  laki-laki  disuatu  djalanan  Djakarta,  ketika  aku  mendengar  suara  dibelakangku,  ,,Sukarno  ?"Aku
berpaling  memandangi  seorang  wanita  asing,  ,,Ja,  saja  Sukarno."Dia  tertawa  terkikik-kikik,  ,,Dapat  kau
menerka  siapa  saja  ini  ?"Kuperhatikan  dia  dengan  saksama.  Dia  seorang  njonja  tua  dan  gemuk.  Djelek,
badannja tidak terpelihara. Dan aku mendjawab, ,,Tidak, njonja. Saja tidak dapat menerka. Siapakah Njonja
?",,Mien  Hessels,"  dia  terkikik  lagi.  Huhhhh  !  Mien  Hessels  !  Puteriku  jang  tiantik  seperti  bidadari  sudah
berobah mendjadi perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah aku melihat perempuan jang buruk dan kotor
seperti  ini. Mengapa dia membiarkan dirinja  sampai begitu. Dengan  tjepat aku memberi  salam kepadanja,
lalu  meneruskan  perdjalananku.  Aku  bersjukur  dan  memudji  kepada  Tuhan  Jang  Maha-Penjajang  karena
telah  melindungiku.  Tjatji-maki  jang  telah  dilontarkan  bapaknja  kepadaku  sesungguhnja  adalah  suatu
rahmat jang tersembunji. Kalau dipikir-pikir, tentu aku takkan bisa lepas dari perempuan ini. Aku bersjukur
kepada  Tuhan  atas  perlindungan  jang  telah-diberikanNja.  Huhhh,  orang  apa  itu  !  Djalan  hidupku  sebagai
seorang  pentjinta  dimasa  belia  berachir  ketika  Bu  Tjokroaminoto meninggal.  Keluarga  Pak  Tjokro  dengan
anak-anak  jang  bajar-makan  pindah  kerumah  lain.  Dan  pemimpin  jang  kumuliakan  itu  keadaannja  begitu
tertekan,  sehingga aku merasa kasihan melihatnja. Anaknja masih ketjil-ketjil, dia  seorang diri dan  rumah
itu asing suasananja. Seluruh keluarga nampaknja tidak berbahagia samasekali. Aku tidak dapat memandangi
keadaan jang demikian itu.Kami belum lama menempati rumah jang baru itu ketika saudara Pak Tjok datang
menemuiku dan berkata,  ,,Sukarno, kaulihat bagai mana  sedihnja hati Tjokroaminoto. Apakah  tidak dapat
kau berbuat  sesuatu  supaja  hatinja  gembira  sedikit  ?" Hatiku  sangat  berat dan mendjawab,  ,,Saja dengan
segala  senang hati mau mengerdjakan  sesuatu,  supaja dia dapat  tersenjum  lagi. Tapi apa  jang dapat  saja
lakukan  ?  Saja  tidak  bisa mendjadi  isteri  Pak  Tjokro.",,Bukan  begitu,  tapi  engkau  dapat menggembirakan
hatinja dengan tjara lain." 
,,Tjara lain ? 
" Ja ? 
,,Bagaimana ?" 
,,Djadi menantunja. Puterinja Utari sekarang tidak punja  ibu  lagi. Tjokro sangat kuatir terhadap haridepan
anaknja  itu dan  siapa  jang akan mendjaganja dan mengasihinja.  Inilah  jang memberatkan pikirannja. Saja
kira,  kalau  engkau minta  kawin  dengan  anak  saudaraku  itu, mungkin  ini  akan mengurangi  sedikit  tekanan
perasaan dari Pak Tjokro." 
,,Tapi umurnja baru 16," kataku memprotes. 
,,Ja memang,  can  engkau  belum  21.  Perbedaan  umur  tidak  begitu  djauh.  Katakanlah  pada  saja,  Sukarno,
apakah ada perhatianmu sedikit terhadap anak kakakku ?" 
,,Jah,"  aku  menerangkan  pelahan-lahan.  ,,Saja  sangat  berterima  kasih  kepada  Pak  Tjokro…….  Saja
mentjintai  Urari  Tapi  tidak  terlalu  sangat.  Sungguhpun  begitu,  sekiranja  saja  perlu  memintanja  untuk
meringankan beban dari djundjunganku,  jah,  saja bersedia.  "Aku mendatangi Pak Tjokro dan mengadjukan
lamaranku. Dia  sangat  gembira  dan  oleh  karena  akan mendjadi menantu  aku  segera  dipindahkan  kekamar
jang  lebih  besar  dengan  perabot  jang  lebih  banjak.  Sampai  dihari  ia  menutup  mata,  ia  tak  pernah
mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanja karena aku sangat menghormatinja dan menaruh
kasihan kepadanja. Kami kawin dengan tjara jang kita namakan ,,kawin gantung" Ini adalah perkawinan biasa
jang dibenarkan dalam hukum dan agama. 
Orang  Indonesia  mendjalankan  tjara  ini  karena  beberapa  alasan.  Kadang-kadang  dilangsungkan  kawin
gantung  terlebih  dulu,  karena  kedua-duanja  belum mentjapai  umur  untuk  dapat menunaikan  kewadjiban
mereka setjara djasmaniah. Atau adakalanja sianak dara tinggal dirumah orangtuanja sampai pengantin laki-
laki sanggup membelandjai rumahtangga sendiri.Dalam hal kami, aku dapat tidur dengan  isteriku kalau aku
menghendakinja.  Akan  tetapi  aku  tidak  melakukannja  karena  dia  masih  kanak-kanak.  Boleh  djadi  aku
seorang  jang pentjinta,  akan  tetapi  aku  bukanlah  seorang  pembunuh  anak  gadis  remadja  Itulah  sebabnja,
mengapa  kami  melakukan  kawin  gantung.  Pesta  kawinnjapun  digantung.Disaat-saat  aku  mengawini  Utari
terdjadi dua buah peristiwa, lain tidak karena pendirian jang kolot. Penghulu setjara serampangan menolak
untuk menikahkan kami karena aku memakai dasi. Dia berkata, ,,Anak muda, dasi adalah pakaian orang-jang
beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam." 
,,Tuan  Kadi"  aku  membalas,  ,,Saja  menjadari,  bahwa  -  dulunja  mempelai  hanja  memakai  pakaian
Bumiputera,  jaitu  sarung.  Tapi  ini  adalah  tjara  lama.  Aturannja  sekarang  sudah  diperbarui.",,Ja,"  katanja
membentak,  ,,Akan  tetapi  pembaruan  itu  hanja  untuk  memakai  pantalon  dan  djas  buka."  ,,Adalah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 26 dari 109
kegemaran saja untuk berpakaian rapi dan memakai dasi," aku menerangkan dengan tadjam.,,Dalam hal ini,
kalau masih  terus  berkeras  kepala  untuk  berpakaian  rapi  itu,  saja menolak  untuk melakukan  pernikahan."
Apabila  aku  ditegur  dengan  keras  dimuka  umum,  atau  disuruh  harus  begini-begitu  atau  lain-lain,  aku
mendjadi  keras.  Dalam  hal  ini  biarpun  Nabi  sendiri  sekalipun,  takkan  sanggup  menjuruhku  untuk
menanggalkan dasi. Aku menjentak bangkit dari korsiku dan mendjawab dengar tandas, Barangkali lebih baik
tidak  kita  landjutkan  hal  ini  sekarang."  Timbul  protes  keras  dari  imam  mesdjid,  akan  tetapi  aku
menggeledek, ,,Persetan, tuan-tuan semua. Saja pemberontak dan saja akan selalu memberontak, saja tidak
mau didikte orang dihari perkawinan  saja." Kalau  sekiranja  tidak dihadapan  salah  seorang  tamu kami  jang
djuga  seorang  alim  dan  sanggup menikahkan  kami, mungkinlah  Sukarno  tidak  akan  bersatu  dengan  Utari
Tjokroaminoto dalam pernikahan menurut agama. 
Ketika lima menit lagi aku akan menghabisi masa djedjakaku, terdjadilah peristiwa aneh jang kedua. Tepat
sebelum aku mengindjak ambang-pintu aku mengambil rokok untuk melakukan hembusan jang terachir. Aku
mengeluarkan  korek-api dari  kantong, menggoreskan  sebuah disisi  kotaknja  untuk menjelakannja dan …….
Sisst …….seluruh kotak itu menjala oleh djilatan api. Anak-korek-api jang ada dalam kotak itu menjala semua
sampai jang terachir. Karena djilatan api ini djariku terbakar. Kuanggap kedjadian ini sebagai pertandaburuk
dan  memberikan  kepadaku  suatu  perasaan  ramalan  jang  gelap.  Aku  tidak  mentjeritakan  hal  ini  kepada
siapapun,  akan  tetapi  aku  tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan  jang menakutkan  ........  Ehhh…..
Apa maksudnja ini ? 
Sekalipun  kedudukanku  sebagai  orang  jang  baru  kawin,  waktuku  dimalam  hari  kupergunakan  untuk
mempeladjari Pak Tjokro. Aku mendjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut. Sukarnolah
jang  selalu  menemaninja  kepertemuan-pertemuan  untuk  berpidato,  tak  pernah  anaknja.  Dan  aku  hanja
duduk  dan  memperhatikannja.  Dia  mempunjai  pengaruh  jang  besar  terhadap  rakjat  Sekalipun  demikian,
setelah berkali-kali aku mengikutinja aku menjadari, bahwa dia tak pernah meninggikan atau merendahkan
suaranja dalam berpidato. Tak pernah membuat lelutjon. Pidato-pidatonja tidak bergaram. Aku tidak pernah
membatja  salah-satu  buku  jang murah  tentang  bagaimana  tjara mendjadi  pembitjara  dimuka  umum.  Pun
tidak pernah berlatih dimuka katja. Bukanlah karena aku sudah tjukup berhasil, akan tetapi karena aku tidak
mempunjai apa-apa. 
Tjerminku  adalah  Tjokroaminoto.  Aku  memperhatikannja  mendjatuhkan  suaranja.  Aku  melihat  gerak
tangannja dan kupergunakan penglihatanku ini pada pidatoku sendiri. Mula-mula sekali aku beladjar menarik
perhatian  pendengarku.  Aku  tidak  hanja  menarik,  bahkan  kupegang  perhatian  mereka  Mereka  terpaksa
mendengarkan.  Suatu  getaran mengalir  kesekudjur  tubuhku  ketika mengetahui, bahwa  aku memiliki  suatu
kekuatan  jang  dapat  menggerakkan  massa.  Aku  menguraikan  pokok  pembitjaraanku  dengan  sederhana.
Pendengarku  menganggap  tjara  ini  mudah  untuk  dimengerti,  karena  aku  lebih  banjak  mendasarkan
pembitjaraanku kepada tjara bertjerita, djadi tidak semata-mata memberikan fakta dan angka. Aku berbuat
menurut getaran perasaanku. Pada suatu malam Pak Tjokro tidak dapat memenuhi undangan kesuatu rapat
dan  kepadaku dimintanja  untuk menggantikannja. Kali  ini  adalah  suatu pertemuan  ketjil,  akan  tetapi  aku
menggunakan ke sempatan ini dengan sebaik-baiknja. Aku mulai dengan suara lunak. ,,Negeri kita, saudara,
adalah  tanah  jang  subur,  sehingga kalau orang menanamkan  sebuah  tongkat kedalam  tanah, maka  tongkat
itu  akan  tumbuh  dan  mendjadi  sebatang  pohon.  Sekalipun  demikian  rakjat  menderita  kekurangan  dan
kemelaratan adalah beban jang harus dipikul sehari-hari. 
Puntjak gunung menghisap awan dilangit,  turun kebumi dan negeri kita diberi  rahmat dengan hudjan  jang
melimpah-limpah.  Akan  tetapi  kita  kekurangan  makan  dan  perut  kita  mendjerit-djerit  kelaparan.",,Ja,
betul," mereka berteriak dari tempat duduknja. Suaraku mulai naik. ,,Saudara tahu apa sebabnja, saudara-
saudara  ?  Sebabnja  ialah,  oleh  karena  orang  jang mendjadjah  kita  tidak mau menanamian  uang  kembali
untuk  memperkaja  bumi  jang  mereka  peras.  Pendjadjah  hanja  mau  memetik  hasilnja.  Ja,  mereka
menjuburkan bumi kita ini. Betul ! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menjuburkan bumi kita
ini  ?  Tahukah  saudara  apa  jang  dikembalikan  kebumi  kita  ini  setelah  350  tahun mendjadjah  ?  Saja  akan
tjeritakan kepada saudara-saudara. Bumi kita ini mereka suburkan dengan majat-majat jang bergelimpangan
dari rakjat kita jang mati karena kelaparan, kerdja keras dan hanja tinggal tulang-belulang !,,Maka dari itu
saja bertanja,  apakah  saudara  tidak  setudju dengan  saja  ?  Seperti  saja  sendiri,  apakah hati  saudara  tidak
digontjang-gontjang  oleh  keinginan  untuk merdeka  ?  Saja  pergi  tidur  dengan  pikiran  untuk merdeka.  Saja
bangun  dengan  pikiran  untuk  merdeka.  Dan  saja  akan  mati  dengan  tjita-tjita  untuk  merdeka  didalam
dadaku. 
Apakah  saudara  tidak  setudju dengan  saja  ?"  ,,Setudjuuuuuu  !" mereka berteriak,  ,,Ja……..kami  setudju  !"
Mereka melihat kepadaku kalau aku berbitjara. Mereka memandang kepadaku seperti memudja, mata-mata
terbuka  lebar, muka-muka-terangkat  keatas, meneguk  semua  kata-kataku  dengan  penuh  kepertjajaan  dan
harapan. Nampak djelas, bahwa aku mendjadi pembitjara jang ulung. Ia berada dalam uratnadiku.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 27 dari 109
Aku menghirup  lebih  banjak  lagi  persoalan  politik  dirumah  Pak  Tjokro,  dapur  daripada  nasionalisme.  Dan
setelah mengikuti  setiap pidatoku maka  kawan-kawan  seperdjoangan mulai mengerti  lebih banjak  tentang
pendirianku.  Kemudian  mulai  setudju.  Lalu  mengikuti  pendirianku.  Dan  mentjintaiku.  Mereka  memilihku
sebagai sekretatis dari Jong Java dan beberapa waktu kemudian aku mendjadi ketua. 
Akupun menulis  untuk madjalah  Pak  Tjok,  ,,Oetoesan Hindia",  akan  tetapi  dengan  nama-samaran,  karena
memang  susah  untuk  memasuki  sekolah  Belanda  sambil  menulis  dalam  madjalah  jang  menbela  tindakan
untuk  merobohkan  Pemerintah  Belanda.  Aku  kembali  kepada  Mahabharata  untuk  memperoleh  nama-
samaranku.  Aku  memilih  nama  ,,Bima"  jang  berarti  ,,Pradjurit  Besar"  dan  djuga  berarti  keberanian  dan
kepahlawanan. Aku menulis  lebih  dari  500  karangan.  Seluruh  Indonesia membitjarakannja.  Ibu,  jang  tidak
tahu  tulis-batja,  dan  bapakku  tidak  pernah  tahu  bahwa  ini  adalah  anak mereka  jang menulisnja. Memang
benar,  bahwa  keinginan mereka  jang  paling  besar  adalah,  agar  aku mendjadi  pemimpin  dari  rakjat,  akan
tetapi  tidak  dalam  usia  semuda  itu  I  Tidak  dalam  usia  jang  begitu  muda,  jang  akan  membahajakan
pendidikanku dimasa jang akan datang. Bapak tentu akan marah sekali dan akan berusaha dengan berbagai
djalan untak mentjegahku menulis. Aku tidak akan memberanikan diri menjampaikan kepada mereka, bahwa
Karno ketjil dan Bima  jang gagah berani adalah  satu. Ramalan-emas  jang pertamakali diutjapLan oleh  ibu
diwaktu  aku  lahir—jang didengungkan  kembali  oleh  nenekku pada waktu  aku masih  botjah  ketjil dan  jang
didengungkan  lagi  dimasa  mudaku  oleh  Professor  Hartagh—kemudian  diutjapkan  pula  ketika  aku  berada
diambang-pintu usiaku jang keduapuluh. Dan oleh dua orang jang berlainan. 
Dr.  Douwes  Dekker  Setiabudi  adalah  seorang  patriot  jang  telah menderita  selama  bertahun-tahun  dalam
pembuangan. Ketika umurnja sudah  lebih dari 50 tahun  ia menjampaikan kepada partainja, jaitu Nationaal
Indische  Partij,  ,,Tuan-tuan,  saja  tidak  menghendaki  untuk  digelari  seorang  veteran.  Sampai  saja masuk
keliang-kubur saja ingin mendjadi pedjoang untuk Republik Indonesia. Saja telah berdjumpa dengan pemuda
Sukarno. Umur  saja  semakin  landjut dan bilamana datang  saatnja  saja  akan mati,  saja  sampaikan  kepada
tuan-tuan, bahwa adalah kehendak saja supaja Sukarno jang mendjadi pengganti saja." ,,Anak muda ini," ia
menambahkan,  ,,akan mendjadi  'Djuru-selamat'  dari  rakjat  Indonesia  dimasa  jang  akan  datang."Ramalan-
jang kedua keluar dari Pak Tjokro, seorang penganut Islam jang saleh. Dia banjak mempergunakan waktunja
untuk  sembahjang  dan  mendo'a.  Setelah  beberapa  lama  melakukan  samadi,  ia  kembali  kepada  seluruh
keluarganja pada  suatu malam  jang berhudjan dan  ia berbitjara dengan  kesungguhan  hati?  ,,Ikutilah  anak
ini.  Dia  diutus  oleh  Tuhan  untuk  mendjadi  Pemimpin  Besar  kita.  Aku  bangga  karena  telah  memberinja
tempat  berteduh  dirumahku."  Sepuluh  Djuni  1921  aku  lulus.  Sebelas  Djuni  rentjana  jang  telah  kuperbuat
untuk  diriku  sendiri  ditolak  mentah-mentah.  Kawan-kawanku  dan  aku  bermaksud  akan  meneruskan
peladjaran kesekolah tinggi di Negeri Belanda. Ibu tidak mau tahu samasekali dengan itu. 
Aku  bersoal  dengan  dia.  ,,Ibu,  semua  anak-anak.jang  lulus  dari  H.B.S.  dengan  sendirinja  pergi  ke  Negeri
Belanda.  Itulah  djalan  jang  biasa.  Kalau  orang  mau-memasuki  sekolah  tinggi  dia  pergi  ke  Negeri
Belanda.",,Tidak.  Tidak  bisa.  Anakku  tidak  akan  pergi  ke  Negeri  Belanda,"  ia  memprotes.,,Apa  salahnja
keluar negeri ?",,Tidak ada salahnja," katanja. ,,Tapi banjak djeleknja untuk pergi kenegeri Belanda. Apakah
jang  menjebabkan  kau  tertarik?:Pikiran  untuk  mentjapai  gelar  universitas  ataukah  pengharapan  akan
mendapat seorang perempuan kulitputih ?",,Saja ingin masuk universitas, Bu." ,,Kalau itu jang kauingini, kau
memasuki  jang  disini.  Pertama  kita  harus mengingat  kenjataan  pokok  jang mengendalikan  sesuatu  dalam
hidup  kita,  Uang.  Pergi  keluar  negeri memerlukan  biaja  jang  sangat  besar.  Disamping  itu,  engkau  adalah
anak jang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaja engkau tinggal disini diantara bangsa kita sendiri.
Djangan lupa sekali-kali, 'nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah dikepulanan ini." Dan begitulah
aku mendaftarkan diri keuniversitas di Bandung. Mungkin suara ibu jang kudengar. Akan tetapi sesungguhnja
tangan Tuhanlah jang telah menggerakkan hatiku. 
Bab 5
Bandung: Gerbang Kedunia Putih
MINGGU  terachir  bulan  Djuni  tahun  1921  aku memasuki  kota  Bandung,  kota  seperti  Princeton  atau  kota-
peladjar  lainnja  dan  kuakui  bahwa  aku  senang  djuga  dengan  diriku  sendiri.  Kesenangan  itu  sampai
sedemikian sehingga aku sudah memiliki sebuah pipa rokok. Djadi dapat dibajangkan, betapa menjenangkan
masa  jang  kulalui  untak  beberapa waktu.  Salah  satu  bagian  daripada  egoisme  ini  adalah  berkat  suksesku
dalam pemakaian petji, kopiah beludru hitam jang mendjadi tanda pengenalku, dan mendjadikannja sebagai
lambang kebangsaan kami. Pengungkapan tabir ini terdjadi dalam pertemuan Jong Java, sesaat sebelum aku
meninggalkan  Surabaja.  Sebelumnja  telah  terdjadi pembitjaraan  jang hangat  karena apa  jang menamakan
dirinja kaum intelligensia, jang mendjauhkan diri dari saudara-saudaranja rakjat biasa, merasa terhina djika
memakai blangkon, tutup kepala jang biasa dipakai orang jawa dengan sarung, atau petji jang biasa dipakai
oleh  tukang  betja  dan  rakjat-djelata  lainnja. Mereka  lebih menjukai  buka  tenda  daripada memakai  tutup BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 28 dari 109
kepala jang merupakaa pakaian sesungguhaja dari orang Indonesia. Ini adalah tjara dari kaum terpeladjar ini
mengedjek dengan-halus terhadap kelas-kelas jang lebih rendah. 
Orang-orang ini bodoh dan perlu beladjar, bahwa seseorang tidak akan dapat meminpin rakjat-banjak djika
tidak menjatukan  diri  dengan mereka.  Sekalipun  tidak  seorang  djuga  jang melakukan  ini  diamtara  kaurn
terpeladjar,  aku memutuskan  untuk  rnempertalikan  diriku  dengan  sengadja  kepada  rakjat-djelata.  Dalam
pertemuan  selandjutnja  kuatur  untuk memakai  petji,  pikiranku  agak  tegang  sedikit.  Hatiku  berkata-kata.
Untuk  memulai  suatu  gerakan  jang  djantan  iseperti  ini  setjara  terang-terangan  memang  memerlukan
keberanran.  Sambil  berlindung  dibelakang  tukang-sate  didjalanan  jang  sudah  mulai  gelap  dan  menunggu
kawan-kawan seperdjoangan jang berlagak tinggi lewat semua dengan buka tenda dan rapi, semua berlagak
seperti mereka itu orang Barat kulit putih, aku ragu-ragu untuk sedetik. Kemudian aku bersoal dengan diriku
sendiri,  ,,Djadi  pengikutkah  engkau,  atau  djadi  pemimpinkah  engkau  ?"—  ,,Aku  pemimpin,"  djawabku
menegaskan—,,Kalau  begitu,  buktikanlah,"  kataku  lagi  pada  diriku.  ,,Hajo madju.  Pakailah  petjimu.  Tarik
napas jang dalam ! Dan masuk SEKARANG ! ! !"Begitulah kulakukan. Setiap orang memandang heran padaku
tanpa kata-kata. Disaat itu nampaknja lebih baik memetjah kesunjian dengan buka bitjara, ,,Djanganlah kita
melupakan  demi  tudjuan  kita,  bahwa  para  pemimpin  berasal  dari  rakjat  dan  bukan  berada  diatas
rakjat."Mereka masih sadja memandang. 
Aku membersihkan  kerongkongan.  ,,Kita memerlukan  suatu  lambang  daripada  kepribadian  Indonesia. Petji
jang memberikan sifat chas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerdja-pekerdja dari bangsa Melaju,
adalah  asli  kepunjaan  rakjat  kita.  Namanja  malahan  berasal  dari  penakluk  kita.  Perkataan  Belanda  'pet'
berarti  kupiah.  'Je' maksudnja  ketjil.  Perkataan  itu  sebenarnja  'petje'. Hajolah  saudara-saudara, mari  kita
angkat-  kita  punja  kepala  tinggi-tinggi  dan  memakai  petji  ini  sebagai  lambang  Indonesia  Merdeka."Pada
waktu  aku  melangkah  gagah  keluar  dari  kereta-api  distasiun  Bandung  dengan  petjiku  jang  memberikan
pemandangan  jang  tjantik,  maka  petji  itu  sudah  mendjadi  lambang  kebangsaan  bagi  para  pedjoang
kemerdekaan.  Kalau  sekarang  petji  itu  bagiku  lebih  rnerupakan  sebagai  lambang  untuk  pertahanan  diri.
Sesungguhaja, kepalaku kian hari semakin botak. Karena orang Islam diharuskan mentjutji rarnbutnja setelah
dia  berhubungan  dengan  seorang  perempuan,  maka  kawan-kawan  menggangguku,  ,,Hei  Sukarno,  itu
barangkali jang membikin Bung botak." Apapun alasannja, aku gembira karena telah mempunjai pandangan
kedepan  44  tahun  jang  lalu  untuk  membikin  petji  ini  begitu  hebat,  sehingga  masjarakat  sekarang
menganggap tidak pantas djika membuka petji dimuka umum. Pak Tjokro mempunjai seorang kawan lama di
Bandung.  Dan  orang  ini  telah  sering  mendengar  tentang  pemuda  jang  rnendapat  perlindungan  dari  Pak
Tjokro. 
Ketika  aku pindah dari Djawa Timur  kedaerah Djawa Barat  ini, Pak Tjokio  telah meggusahakan  tempatiku
menginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihat-
lihat  kota,  rumah  mana  jang  akan  mendjadi  tempat  tinggal  kami  selama  empat  tahun  begitulah
menurut.perkiraanku diwaktu  itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja  tjantik-tjantik. Kota Bandung
dan  aku  dapat  saling menarik  dalam  waktu  iang  singkat.Seorang  laki-laki  jang  sudah  setengah  baja  jang
memperkenalkan dirinja sebagai Sanusi datang sendiri mendjemputku dan membawaku kerumahnja. Dengan
segera aku mengetahui, bahwa perdjalanan pendahuluan ini tidaklah sia-sia. Sekalipun aku belum memeriksa
kamar, tapi djelas bahwa ada keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan jang utama sedang berdiri
dipintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannja nampak djelas dikelilingi oleh tjahaja  -  lampu
dari belakang. 
Perawakannja  ketjil,  sekuntum  bunga merah  jang  tjantik melekat  disanggulnja  dan  suatu  senjuman  jang
menjilaukan-mata.  Ia  isteri Hadji Sanusi,  Inggit Garnasih. Segala pertjikan api,  jang dapat memantjar dari
seorang  anak  duapuluh  tahun  dan masih  hidjau  tak  berpengalaman, menjambar-njambar  kepada  seorang
perempuan dalam umur tigapulahan jang sudah matang dan berpengalaman. Disaat pertama aku melangkah
melalui pintu masuk aku berpikir, ,,Aduh,Luarbiasa perempuan  ini." Aku sadar,  lebih baik aku tjepat-tjepat
berhenti  mengingatnja.  Karena  itu  ingatan  kepada  njonja-rumah  itu  kubilangkan  dari  pikiranku—untuk
sementara— kemudian menjuruh datang Utari dan memusatkan pikiran pada persoalan masuk Sekolah Teknik
Tinggi mengedjar gelar Insinjur—bukan untuk merusak perkawinan orang. Diwaktu sekarang kami mempunjai
Universitas Indonesia di Djakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, Universitas Airlangga di Surabaja,
Universitas  Lambung  Mangkurat  di  Kalimantan  dan  berlusin-lusin  universitas  penuh-sesak  menurut
kemampuannja.  Akan  tetapi  pada  waktu  aku memasuki  Sekolah  Teknik  Tinggi  kami  hanja  11  orang  anak
Indonesia.  Aku  termasuk  salah-seorang  dari  11  orang  jang  berrnuka  hitam,  terapung-apung  kian-kemari
dalam Lautan kulitputih berarnbut merah, berdjerawat dan bermata hidjau seperti kutjing. Seperti dugaan
kami,  anak-anak  Belanda  tidak  mau  tahu  dengan  kami  didalam  campus  itu.  Kalaupun  rnereka  memberi
perhatian  kepada kami,  itu hanja untuk membusukkan kami atau menjorakkan,  ,,Hei kamu, anak  inlander
bodoh, mari sini." Aku tidak tahu kekuatan apa jang ada padaku.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 29 dari 109
Aku  hanja  tahu,  bahwa  sekalipun  aku  tidak mengutjapkan  sepatah  kata,  kehadiranku  sadja  sudah  tjukup
untuk  menutup  mulut  orang-orang  jang  menghina,  lalu  menghentikan  perintah-perintahnja.  Kami
membanting-tulang  di  Sekolah.  Pekerdjaan  rumah  banjak  sekali.  Kuliah-kuliah  jang  diberikan  enarn  hari
dalam  seminggu  ditambah  dengan  udjian  tertulis  setiap  triwulan  selama  sebulan  penuh,  sungguh-sunggah
rasanja  seperti  akan  mematahkan  tulang-punggung  karena  bertekun.  Waktuku  tidak  banjak  untuk  Utari.
Akupun  tidak  banjak  mempunjai  persamaan  dengan  dia.  Selagi  aku  beladjar  ilmu  pasti,  ilmu  alam  dan
mekanika,  jang  bernama  isteriku  itu  berada  dipekarangan  belakang  bermain  dengan  kawan-kawan
perempuannja.  Selagi  aku  mempidatoi  perkumpulan  pemuda  diwaktu  malam,  baji  jang  telah  kukawini
bergelut dengan seorang anak, kemenakan njonja  Inggit. Kami menempuh djalan masing-masing. Dia masih
hidjau  sekali.  Sifat  pemalunja  terlalu  berkelebihan,  sehingga  djalang  berbitjara  denganku,  kalaupun
ada.Kami  tidur berdampingan disatu  tempat-tidur,  tapi  setjara djasmaniah kami  sebagai kakak beradik. Di
Bandung  dia  djatoh  sakit.  Sementara  dia  terbaring  dengan  pajah  aku merawatnja.  Berkali-kali  aku melap
tubuhnja jang panas dengan alkohol, dari udjung kepala sampai keudjung djari-kakinja, namun tak sekalipun
aku mendjamahnja. Ketika ia sudah pulih kembali antara kamipun tidak terdapat perhubungan djasmani. 
Kami bahkan dengan  setulus hati  tidak mengidamkan  satu  sama  lain dalam  arti  tjinta  antara  laki-laki dan
dara  jang  sebenarnja.  Maksudku,  dia  tidak  mernbentjiku  dan  aku  tidak  membentjinja,  akan  tetapi  ini
bukanlah  perkawinan  jang  lahir  dari  perasaan  berahi  jang menjala-njala.  Tidak  banjak  kesempatan  untuk
menggunakan  waktu  bagi  kesenangan  diri,  oleh  karena  seluruh  djiwa  dan  ragaku  segera  penuh  dengan
berbagai  kesukaran.  Setelah  tinggal  di  Bandung  selama  dua  bulan,  suratkabar memuat  berita-berita  besar
tentang  kegiatan  revolusioner  jang  terachir,  aksi-pemogokan  di  Garut.  Kedjadian  ini  dianggap  sebagai
persoalan  afdeling,  jaitu  persoalan  daerah.  Pemerintah  Kolonial  sudah  dibikin  susah  oleh  pertumbuhan
Nasionalisme  jang  pesat. Njamuk  tjelaka  jang  baru mendengung-dengung  ditahun  1908  dengan  sembojan-
sembojan  politik  tanpa  kekerasan,  sekarang  telah mendjadi  besar  dan mengandung  ratjun  ketidak-puasan
dengan  gigitannja  jang  mematikan.  Para  pekerdja  sudah  diorganisir;  rnereka  menuntut  hak;  menuntut
undang-undang  perburuhan  jang mendjamin  djam-kerdja  jang  lebih  pendek  daripada  18  djam; menuntut
upah  jang  pantas  dan  menuntut  suatu  masjarakat  jang  bekerdja  tanpa  ,,Exploitation  de  l'homme  par
l'homme".  Di  Indonesia  telah  bertunas  organisasi  para  pekerdja  seperti  Persatuan  Buruh  Gula  dan  Serikat
Pekerdja Rumah Gadai. 
Dalam djaman dimana orang Barat telah mengenal pemogokan sebagai hak dari serikat-serikat buruh untuk
mentjoba memperbaiki nasibnja jang menjedihkan, maka pemerintah Hindia Belanda dalam usahanja untuk
mematikan  ,,sifat-radikal" dan  ,,Komunisme",  sebagaimana mereka menamakannja, mengeluarkan undang-
undang baru, Artikel 161. Jaitu larangan terhadap pemogokan. Hukum pidana bahkan sekarang menetapkan,
bahwa barangsiapa jang menghasut seseorang untuk melakukan pemogokan diantjam dengan hukurnan enam
tahun pendjara.Ini sangat menusuk hatiku pribadi, karena para pembesar berkejakinan bahwa pemogokan di
Garut  dipupuk  oleh  Sarekat  Islam.  Dihari  itu  djuga mereka menahan  Tjokroaminoto.  Keluarga  Pak  Tjokro
sedang berada dalam kekurangan. Penderitaan mereka adalah penderitaanku djuga. Apa akal...... Apa akal
.....Apakah  aku  akan madju  terus  dan memikirkan  diri  sendiri  serta  apa  jang  kuharapkan  dapat  tertjapai
dihari  esok  ?  Ataukah  aku  akan  mundur  kebelakang  dan  memikirkan  Pak  Tjokro  dan  apa  jang  telah
dikerdjakannja untukku dihari kemarin ? Dihadapanku terentang djalan-raja berlapiskan emas jang menudju
kepada  idjazah  sekolah  tinggi.  Dibelakangku  terhampar  djalanan  kembali menudju  kamar  jang  gelap  dan
kehidupan  jang  suram.  Soalnja  adalah mana  jang  lebihpenting mana  jang  lebih mudah  dapat  dikorbankan
oleh  seoranganak  Bumiputera  ?  Gerbang menudju  dunia  putihkah  ?  Atau mengorbankan  kesetiaan  kepada
prinsipnjakah  ?  Bagiku  tidak  ada  kesangsiandjiwa.  ,,Saja  akan  meninggalkan  Bandung  besok  menudju
Surabaja,"dengan  tegas  kusampaikan  kepada  njonja  Inggit  didapur  esok  paginja.  ,,Untuk  berapa  lama  ?"
tanjanja.,,Saja  tidak  tahu. Barangkali untuk  selama-lamanja.  Ini  tergantung  kepada  lamanja hukuman Pak
Tjokro. Apakah enam bulan atau dua puluh  tahun,  selama  itu pula  saja harus berbuat apa  jang harus  saja
perbuat." Ia menjediakan kopi tubruk, kopi hitam pekat jang tak dapat kutinggalkan, dan tangannja gemetar
sedikit.  ,,Dengan  meninggalkan  sekolah  ada  kemungkinan  engkau  melepaskan  segala  harapan  untuk
mentjapai tjita-tjitamu," hanja itu utjapannja ,,Saja menjadari hal itu. 
Saja djuga menjadari, bahwa Pak Tjokro mertuaku. Saja anak tertua dari keluarganja. Tapi soalnja bukan itu
sadja,  lebih  lagi  dari  itu.  Saja  harus  berbakti  pada  orang  jang  kupudja  itu  dan  kepada  prinsipku."  ,,Tapi
isterinja jang baru tidak menulis surat kepadamu untuk minta bantuan," ia mengemukakan. ,,Anaknja djuga
tidak memberi kabar apa-apa tentang kesukaran mereka. Malahan tak seorangpun meminta engkau datang.
,,Saja  harus  pergi.  Kurasakan  dalam  dadaku,  bahwa  itu mendjadi  tugas  saja  ....Tidak  !  Saja  rasakan  ini
sebagai  hak-istimewaku  untuk  bisa  menjelamatkan  mertjusuar  ini  jang  telah  menundjukkan  djalan
kepadaku."Aku memperhatikan  bubuk  kopi  turun  hingga  ia mengendap  kedasar  tjangkir.  ,,Saja mendapat
kabar,  bahwa  penahanan  terhadap  Pak  Tjokro  dua  hari  jang  lalu  itu  tidak  diduga  samasekali.  Belanda
mendadak menggedor  rumahnja  ditengah malam  buta  dan menggiringnja  dengan  udjung  bajonet  kedalam
tahanan. Dia tidak mendapat kesempatan untuk mengatur keluarga jang ditjintainja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 30 dari 109
Dan  tak  seorangpun  jang  akan  mengawasi  mereka.,,Djadi  nampaknja  djelas  bagimu,  bahwa  dari  semua
pengikutnja  jang  djumlahnja-djutaan  orang  itu  hanja  engkau  jang  akan  memikul  kewadjiban  itu  diatas
pundakmu ?" ,,Ja, itu kewadjiban saja. Dia mergulurkan tangannja pada waktu saja memerlukan rumah dan
tempat  berteduh.  Sekarang  saja  harus  berbuat  begitu  pula  kepadanja  Mengediar  kehidupan  sendiri,
sementara  orang  jang  sudah  diakui  keluarga  berada  dalam  kesusahan  bukanlah  tjara  orang  Indonesia."
,,Maksudmu,"  katanja  lunak,  ,,Bahwa  itu  bukanlah  tjara  Soekarno."Dipagi  itu  djuga  aku  rnelaporkan
keberhentianku  mengikuti  kuliah.  Presiden  dari  Sekolah  Teknik  Tinggi,  Professor  Klopper,  rupanja  kuatir
terhadap  tindakanku  ini.  ,,Sudah  mendjadi  kebiasaanmu,  bahwa  seluruh  keluarga  memberikan  korban
mereka untuk meneruskan pendidikan dari  salah-seorang anggotanja  jang berbakat, bukan  ?"  ia menanjaku
dengan  ramah.,,Ja,  tuan.  Saja  kira, bahkan  kelaparanpun  tak dapat mentjegah  keluarga  saja mengadakan
biaja  jang perlu bagi pendidikan  anaknja.  Sebagai mantri-guru bapak membanting  tulang  seperti pekerdja
lainnja. 
Ibu duduk berdjam-djam  lamanja melukis kain batik sampai tengah malam hingga pelita dan pemandangan
matanja mendjadi  samar.  Supaja  dapat mengumpulkan  dengan  susah-pajah  uang  300  rupiah  untuk  uang-
kuliah  setahun, orangtua  saja baru-baru  ini menambah orang bajar-makan. Kakak  saja dan  suaminja djuga
membantu  setiap  bulan.",,Kalau  dibelakang  hari,"  Professor  Klopper  melandjutkan,  ,,;Engkau  hanja
ditempatkan  sebagai  pekerdja  dilapangan,  bagaimana  engkau membajar  kembali  kepada  orang-orang  jang
menjokongmu  selama  beladjar  ?",,Itu  bukanlah  kebiasaan  kami,"  aku menerangkam  ,,Mereka  akan marah
kalau saja mentjoba jang demikian. Tjara kami sebaliknja. Kami harus selalu bersedia membantu orang jang
pernah menolong kita diwaktu  ia memerlukannja.  Itulah  jang dinamakan gotong-rojong. Saling membantu.
Dan  karena  itulah  saja  harus  pulang."  Dihari  berikutnja  aku  mengumpulkan  isteriku,  mengumpulkan
segalaharapan  dan  idamanku  dan  membawa  semua  ia  pulang  ke  Surabaja.  Supaja  dapat  membantu
rumahtangga  aku  bekerdja  sebagai  klerk  distasiun  kereta-api.  Kedudukanku  adalah  sebagai  ,,Raden
Sukarno,'- BKL. Der Eerste Klasse. Eerste Categorie." 
Sebagai seorang klerk kantor kelas satu golongan satu aku menelan uap dan asap selama tudjuh djam dalam
sehari, karena kantorku jang tidak dimasuki hawa bersih berhadapan dengan rel dari pelataran stasiun jang
menjedihkan.  Tugas  beratku  jang  utama  adalah membuat  daftar  gadji  untuk  para  pekerdja.  Oleh  karena
bekerdja sehari penah, aku tidak punja kesempatan mengulangi peladjaran. Akan tetapi ada baiknja, karena
tempat jang luarbiasa ramainja ini mendjadi tempat keluar-masuk kereta-api jang datang dari kota-kota lain
seperti Madiun, Djogja, Malang, Bandung dan aku dapat berhubungan dengan massa pekerdja. Tak pernah
aku menjia-njiakan kesempatan untuk menaburkan bibit Nasionalisme.Aku menerima 165 rupiah sebulan. 125
kuserahkan kepada ketuarga Pak Tjokro. Diwaktu mereka patah semangat dan bersusah hati, kubawa mereka
menonton film dengan apa jang masih tersisa dari uangku jang 40 rupiah itu. Atau kubelikan barang barang
ketjil  seperti kartu-pos bergambar. Hanja  ini  jang dapat kuadakan, akan  tetapi besar artinja bagi mereka.
Kuberikan pakaianku untuk dipakai. Aku mendjaga disiplin mereka dengan pukulan sandal pada belakangnja. 
Aku mendjalankan  segala  tugas  orangtua,  sampai  kepada menjunatkan  Anwar.  Aku  sendiri mentjari  obat,
mentjari  orang  alim  dan  menjelenggarakan  selamatannja.  Bertahun-tahun  kemudian,  setelah  Anwar
mendjadi  seorang  tokoh  politik,  aku  mengganggunja,  ,,Nah,  djangan  kaulupakan,  akulah  jang
menjunatkanmu."Pada  waktu  Pak  Tjokro  didjatuhi  hukuman  karena  persoalan  politik,  Belanda  melarang
anak-anaknja  untuk melandjutkan  sekolah.  Djadi,  Sukarnolah  jang mengadjar mereka.  Akupun mengadjar
mereka menggambar.  Untuk membeli  kertas  atau  batutulis  tidak  ada  uang,  akan  tetapi  dinding  rumah  di
Djalan  Plambetan  dipulas  dengan  kapur  putih.  Bukankah  dinding  putih  baik  untuk  digambari  ?  Maka
kugambarkan  dari  luar  kepala  gambar  persamaan,dan  karikatur  dari  bintang  film  kesajanganku,  Frances
Ford. Terlepas dari persoalan apakah kami mendjadi tokoh- tokoh politik dimasa-masa jang akan datang atau
tidak, maka pada waktu itu sesungguhnjalah kami merupakan suatu rumahtangga jang terdiri dari anak-anak
jang ketakutan dan lapar dalam arti jang murni. Dan Aku ? Aku adalah jang paling besar, hanja itu. 
Pak Tjokro dibebaskan pada bulan April 1922. setelah tudjuh bulan meringkuk dalam tahanan. Bulan Djuli,
pada waktu mulai  tahun peladjaran baru  setjara  resmi, aku kembali ke Sekolah Teknik Tinggi dan kembali
kepada  njonja  Inggit.  Utari  dan  aku  tidak  dapat  lebih  lama  menempati  satu  tempat-tidur,  bahkan  satu
kamarpun tidak. Djurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seorang jang baru kawin kasih sajangku
kepadanja  hanja  sebagai  kakak.  Sebagai  kepala  rumahtangga  dari  Pak  Tjokro  perananku  sebagai  seorang
bapak.  Jang  tidak  dapat  dibajangkan  sekarang  adalah  peraaanku  sebagai  seorang  suami.  Aku  telah
memperhatikan,  kalau  engkau membelah  dada  seseorang  termasuk  aku  sendiri maka  akan  terbatja  dalam
dadanja itu bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tertjapai apabila si isteri merupakan perpaduan
dari pada  seorang  ibu, kekasih dan  seorang kawan. Aku  ingin di  ibui oleh  teman hidupku. Kalau aku pilek,
aku  ingin  dipidjitnja.  Kalau  aku  lapar,  aku  ingin  memakan  makanan  jang  dimasaknja  sendiri.  Manakala
badjuku kojak, aku ingin isteriku menarnbalnja. Dengan Utari keadaannja terbalik. Aku jang mendjadi orang
tuanja, dia sebagai anak.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 31 dari 109
Ia  bukan  idamanku,  oleh  karena  tidak  ada  tarikan  lahir  dan  dalam  kenjataan  kami  tak  pernah  saling
mentjintai.  Sebagai  teman  seperdjuangan,  orang  jang  demikian  tidak  sanggup  menemaniku  pada  waktu
tenagaku  terpusat  pada  penjelamatan  dunia  ini,  sedang  dia  sementara  itu  main  bola-tangkap.  Sudah
mendjadi suatu kebiasaanku untuk menoleh kepada seorang wanita supaja hatiku dapat terhibur. Kalauharus
diadakan  pilihan  antara wanita  jang memiliki  tangan  jang  tjantik  dengan  seorang  jang memiliki  hati  jang
lembut, maka aku seringkali tertarik pada jang terachir ini. Aku tidak lebih mengutarnakan hubungan lelaki-
perempuan, akan  tetapi aku memerlukan hati  jang  lembut dan dorongan  jang besar dan mulia  jang hanja
dapat diberikan oleh  hati  seorang wanita.  Inggit dan  aku berada bersama-sama  setiap malam. Aku  adalah
orang jang selalu bangun dan membatja. Inggitpun lambat pergi tidur karena harus menjiapkan makan untuk
hari  berikutnja.  Dia  selalu  ada  disekelilingku.  Dia  adalah  njonja  rumah.  Aku  orang  bajar-makan.  Kami
berteduh  dibawah  atap  jang  sama.  Aku  melihatnja  dipagi  hari  sebelum  ia  menggulung  sanggulnja.  Dia
melihatku dalam pakaian pijama. Aku senantiasa makan bersama-sama dengan dia. Memakan makanan jang
dimasaknja  sendiri.  Sajuran  seperti  lodeh,  jaitu  sajuran  jang  dimasak  dengan  santan  pakai  tjabe  jang
kusenangi atau ontjom jang djuga kusukai ataupun makanan lain jang chusus dibuatnja untuk menjenangkan
hatiku.  Dia  itulah  bukan  isteriku  jang membereskan  karnarku, melajaniku, memperhatikan  pakaianku  dan
mendengarkan buah-pikiranku. Dialah orang jang bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari. 
Tuan  Sanusi  orang  jang  sudah  berumur  dan  samasekali  tidak  peduli  terhadap  isterinja.  Seorang  pendjudi
dengan kegemarannja jang  luarbiasa main biljar. Setiap malam  ia berada dirumah bola untuk mentjobakan
ketjakapannja.  Pada  praktekola  mereka  bertjerai  disatu  rumah.  Rumahtangga  mereka  tidak  berbahagia.
Sebagai suami-isteri, mereka serumah, lain tidak. Lalu masuklah kedalam lingkungan ini seorang muda jang
bernafsu dan berapi-api.  Ia sangat tertarik kepadanja.  Ia melihat dalam diri perempuan  itu seorang wanita
jang sadar, bukan kanak-kanak, seperti jang satunja jang masih main kutjing-kutjingan diluar. Keberanian ini
mulai  bangkit.  Aku  seorang  jang  sangat  kuat  dalam  arti  djasmaniah  dan  dihari-hari  itu  belum  ada
televisi......hanja  Inggit  dan  aku  dirumah  jang  kosong.  Dia  kesepian.  Aku  kesepian.  Perkawinannja  tidak
betul. Dan perkawinanku  tidak betul. Dan adalah wadjar, bahwa hal-hal  jang demikian  itu  tumbuh.  Inggit
dan  aku  banjak  mengalami  sast-saat  jang  menjenangkan  bersama-sama.  Kami  keduanja  mempunjai
perhatian  jang  sama.  Dan  barangkali  djuga.....  jah,  kami  keduanja  bahkan  sama  mentiintai  Sukarno.
Disamping  hakekatnja  sebagai  seorang  perempuan,  diapun  memudja  Sukarno  setjara  menghambakan  diri
samasekali dan membabi-buta baik atau buruk, benar atau salah. Tidak lain dalam hidupnja ketjuali Sukarno
serta segala apa jang mendjadi pikiran, harapan dan idaman Sukarno. Aku berbitjara dia mendengarkan. 
Aku berbitjara dengan  sangat  gembira;  dia menghargai. Utari menjadari-apa  jang  terdjadi,  akan  tetapi  ia
mengetahui, bahwa persatuan kami tidak akan membawa kebahagiaan. Karena  ia tidak pernah mengenalku
dalam  arti  suami-isteri  jang  sebenarnja,  maka  tidak  timbul  iri  hati  dari  pihaknja.  Hadji  Sanusipun
mengetahui  apa  jang  sedang  berkembang,  akan  tetapi  perkawinannja  sudah  sedjak  lama  rusak.  Aku  tidak
merasa  bahwa  aku  merebutnja  dari  sang  suami  ataupun  merusak  suatu  rumahtangga  jang  berbahagia,
sebagaimana  jang dikatakan oleh madjalah madjalah  luar negeri. Tidak ada  sesuatu  jang akan dirusakkan.
Bahkan Sanusi sendiripun tidak ada usaha untuk merebut hati isterinja lagi. Tanpa mendramakannja dengan
teliti,  kukira  tentu  ada  bersembunji  perasaan-perasaan  bersalah. Aku  tidak  ingat  betul,  apakah  aku meng
alaminja  sedemikian  banjak  ketika  itu  ataukah  aku  rnengeluarkannja  sekarang  sebagai  usaha  untuk
menerangkan tindakan-tindakan itu. Akupun tidak tahu, bagaimana perasaan rakjatku mengenai Presidennja
jang  membitjarakan  ini  sarnpai  sedemikian  djauh  .  Aku  tidak  menghendaki  mereka  mendjadi  malu.
Anggaplah,  karena  peristiwa  pertjintaan  sedang  tumbuh  diwaktu  itu  aku  mentjoba  menganalisa
kedjahatannja.  Dan  aku  tidak  pernah  berhenti menganalisanja.  Kumaksud  bukan  affair  Inggit  sadja.  Jang
kumaksud adalah  seluruh kehidupanku.  Seakan aku menganalisa  setjara abadi kekuatan-kekuatan  jang ada
dalam  diriku.  Dan  kekuatan-kekuatan  jang  ada  disekelilingku.  Otakku  dan  djiwaku  selalu  bernjala-njala
dengan perdjuangan  jang  tak habis-habis antara  jang baik dan  jang djahat.  Setelah enam bulan berada di
Bandung aku sendiri rnembawa Utari pulang kerumah bapaknja. ,,Pak," kataku. ,,Saja mengembalikan Utari
kepada bapak." ,,Keputusan siapa ini ?" tanja Pak Tjokro. ,,Saja, Pak. Sajalah jang ingin bertjerai. "Kemudian
ia  hanja  bertanja,  ,,Apakah  dia  menerima  keputusanmu?"Aku  mendjawab,  ,,Ja.  Dia  sudah  tentu  susah
karena, walaupun bagaimana, anak-anak gadis kita menganggap pertjeraian itu suatu kernunduran. 
Dia barangkali merasa  sedikit bingung,  sebab  selama dua  tahun kami kawin aku  tak pernah menjentuhnja.
Sebenarnja dia tidak ingin bertjerai, akan tetapi diapun menjadari bahwa djalan inilah jang paling baik bagi
kami berdua."Pak Tjokro mengangguk diam.  ,,Pak, saja menunggu sampai bapak keluar dari tahanan untuk
menjampaikan  hal  ini.  Perkawinan  kami  sudah  tidak  baik  dari  permulaannja  dan  tidak  akan  baik  untuk
seterusnja. Tanpa pertjeraian tidak dapat dibina perkawinan jang berbahagia."Pak Tjok menghargai apa jang
kukatakan.  Ia  tidak  menanjakan  persoalan-persoalan  pribadi.  Dan  setelah  kedjadian  ini  Pak  Tjokro
sekeluarga  dan  aku  selalu  dalam  hubungan  jang  baik. Hubungan  kami  tetap  seperti  sebelumnja. Apa  jang
kuutjapkan setjara resmi hanjalah,  ,,Saja djatuhkan talak satu kepadarnu," dan perkawinan kami berachir.
Djadi, tjara kami bertjerai ringkas sadja. Tidak melalui banjak prosedur. Dalarn agama  Islam terdapat tiga
tingkatan pertjeraian. Talak satu masih membuka djalan untuk rudjuk kembali-dalarn tempo 100 hari. Talak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 32 dari 109
dua, tingkat jang  lebih kuat dari jang pertama, mengulangi maksud untuk bebas dari  isterirnu, akan tetapi
masih mernbuka kesempatan sedikit sekiranja masih ingin bergaul dengan dia. 
Tingkat terachir adalah untuk menjatakan, ,,Saja tjeraikan engkau." Setelah talak tiga ini djatuh, hubungan
perkawinan  sudah  diputuskan  dengan  resmi  dan  sisuami  tidak  dapat  mengawini  kembali  isterinja  itu,
ketjuali.djika  susteri  kawin  dulu  sementara  dengan  laki-laki  lainja.  Hukurn  Islam  tidak  mengizinkan
perempuan mentjeraikan  lakinja.  Pun  tidak  dapat menolak  untuk  ditjeraikan. Tentu  sadja  kalau  suaminja
sangat kedjam dan  ia mengadu kepada Kadi,  ,,Suami  saja memukul  saja," atau kalau dia bersumpah,  ,,Dia
tidak  pernah  datang  kepada  saja  dan  menurut  kenjataan  dia  tidak  pernah  mempergauli  saja  selama
berbulan-bulan," dan memohon kepada Kadi supaja mengizinkannja bertjerai atas alasan  jang tertentu  itu,
maka  Kadi  itu  dapat  mentjeraikannja.  Hakim  agama  ini  mempunjai  kekuasaan  untuk  memberi  izin  guna
meringankan keadaan.ni menurut Nabi Muhammad s.a.w. Hukum-Hukum Islam diadakan dipadang-pasir. Dan
dimana  dipadang-pasir  orang  bisa mentjari  ahli  hukum  atau  Surat  Pertjeraian  ?  Itulah  sebabnja mengapa
kami tidak mempunjai aturan seperti di Barat. Djadi, ditahun 1922, aku hanja menjerahkan pengantinku jang
masih kanak-kanak itu kepada bapaknja, dan itulah seluruhnja. 
Aku kembali ke Bandung dan kepada tjintaku jang sesungguhnja. Suatu malam, setelah kami bersama-sama
selama satu tahun, aku mengusulkan. Ini adalah usul jang sangat sederhana. Kami hanja berdua seperti biasa
dan aku berkata pelahan, ,,Aku mentjintaimu." Dia. ,,Akupun begitu," keluar tjepat dari mulutnja. Aku ingin
mengawinimu"  kubisikkan.,,Akupun  ingin  mendjadi  isterimu,"  dia  membalas  berbisik.,,Apakah  menurut
pendapatmu  kita  akan  rnendapat  kesulitan  ?",,Tidak,"  katanja  lunak.  ,,Aku  akan  bitjara  dengan  Sanusi
besok."Sanusi mau bekerdja-sama. Dalam  tempo  jang  singkat  Inggitpun  bebas. Tidak  terdjadi  adegan  jang
serarn  seperti dilajar-putih. Kukira dia merasa, bahwa  iniiah djalan  jang paling baik ditempuh. Setelah  itu
Inggit, dia dan aku senantiasa dalam hubungan jang baik. Kenjataannja, tidak lama kemudian dia kawin lagi.
Dalam waktu  jang  singkat Utaripun kawin dengan Bachrum Salam, kawan  sama-sama bajar-makan dirumah
Pak  Tjokro.  Mereka memperoleh  delapan  orang  anak  dan  ketika  buku  ini  ditulis mereka masih mendjadi
suami-isteri. Djadi nampak kedua belah pihak tidak begitu merasa luka. Inggit dan aku kawin ditahun 1923. 
Keluargaku tak pernah menjuarakan satu perkataan mentjela ketika aku berpindah dari  isteriku jang masih
gadis  kepada  isteri  lain  jang  selusin  tahun  lebih  tua  daripadaku.  Apakah  mereka  menekan  perasaannja
karena perbuatanku, ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro, aku tak pernah - mengetahuinja. Inggit jang
bermata  besar  dan  memakai  geIang  ditangan  itu  tidak  mempunjai  masa  lampau  jang  gemilang.  Dia
samasekali  tidak  terpeladjar,  akan  tetapi  intellektualisme  bagiku  tidaklah  penting  dalam  diri  seorang
perempuan.  Jang  kuhargai  adalah  kemanusiaannja.  Perempuan  ini  sangat  mentjintaiku.  Dia  tidak
memberikan pendapat-pendapat. Dia hanja memandang dan menungguku, dia mendorong dan memudja. Dia
memberikan  kepadaku  segala  sesuatu  jang  tidak  bisa  diberikan  oleh  buku.  Dia  memberiku  ketjintaan,
kehangatan,  tidak mementingkan diri  sendiri.  Ia memberikan  segala apa  jang  kuperlukan  jang  tidak dapat
kuperoleh semendjak aku meninggalkan rumah ibu. Psychiater akan mengatakan bahwa ini adalah pentjarian
kembali kasih-sajang ibu. 
Mungkin djuga, siapa tahu. Djika aku mengawininja karena alasan  ini, maka  ia terdjadi setjara tidak sadar.
Dia. waktu itu dan sekarangpun masih seorang perempuan jang budiman. Pendeknja, kalau dipikirkan setjara
sadar, maka perasaan-perasaan  jang dibangkitkannja padaku  tidak  lain  seperti pada  seorang  kanak-kanak.
Inggit  dalam  masa  selandjutnja  dari  hidupku  ini  sangat  baik  kepadaku.  Dia  adalah  ilhamku.  Dialah
pendorongku.  Dan  aku  segera memerlukan  semua  ini.  Aku  sekarang  sudah mendjadi mahasiswa  ditingkat
kedua. Aku  sudah  kawin dengan  seorang perempuan  jang  sangat  kuharapkan dengan perasaan berahi. Aku
sekarang  sudah  melalui  umur  21  tahun.  Masa  djedjakaku  sudah  berada  dibelakangku.  Tugas  hidupku
merentang  didepanku.  Pikiran  embryo  jang  dipupuk  oleh  Pak  Tjokro  dan  mulai  menemakan  bentuk  di
Surabaja  tiba-tiba  petjah  mendjadi  kepompong  di  Bandung  dan  dari  keadaan  chrysalis  berkembanglah
seorang  pedjuang  politik  jang  sudah  matang.  Dengan  Inggit  berada  disampingku  aku  melangkah  madju
memenuhi amanat menudju tjita-tjita. 
Bab 6
Marhaenisme
AKU baru berumur 20  tahun ketika  suatu  ilham politik  jang kuat menerangi pikrranku. Mula-mula  ia hanja
berupa  kuntjup  dari  suatu  pemikiran  jang mengorek-ngorek  otakku,  akan  tetapi  tidak  lama  kemudian  ia
mendjadi  landasan  tempat  pergerakan  kami  berdiri.  Dikepulauan  kami  terdapat  pekerdja-pekerdja  jang
bahkan  lebih  miskin  daripada  tikus-geredja  dan  dalam  segi  keuangan  terlalu  menjendihkan  untuk  bisa
bangkit  dibidang  sosial,  politik  dan  ekonomi.  Sungguhpun  demikian  masing-masing  mendjadi  madjikan
sendiri. Mereka  tidak  terikat  kepada  siapapun. Dia mendjadi  kusir  gerobak  kudanja,  dia mendjadi pemilik BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 33 dari 109
dari kuda dan gerobak  itu dan dia tidak mempekerdjakan buruh  lain. Dan terdapatlah nelajan-nelajan jang
bekerdja  sendiri  dengan  alat-alat—seperti  tongkat-kail,  kailnja  dan  perahu—  kepunjaan  sendiri.  Dan
begitupun  para  petani  jang  mendjadi  pemilik  tunggal  dari  sawahnja  dan  pemakai  tunggal  dari  hasilnja.
Orang-orang  sematjam  ini meliputi  bagian  terbanjak  dari  rakjat  kami.  Semua mendjadi  pemilik  dari  alat
produksi mereka sendiri, djadi mereka bukanlah rakjat proletar. Mereka punja sifat chas tersendiri. 
Mereka tidak termasuk dalam salahsatu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnja
? Itulah jang mendjadi renunganku berhari-hari, bermalam-malam dan berbulan-bulan. Apakah sesungguhnja
saudaraku  bangsa  Indonesia  itu  ?  Apakah  namanja  para  pekerdja  jang  demikian,  jang  oleh  ahli  ekonomi
disebut dengan  istilah ,,Penderita Minimum" ?- Disuatu pagi  jang  indah aku bangun dengan keinginan untuk
tidak mengikuti lculiah—ini bulcan tidak sering terdjadi. Otakku sudah terlalu penuh dengan soal-soal politik,
sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi. 
Sementara mendajung  sepeda  tanpa  tudjuan—sambil berpikir—alcu  sampai dibagian  selatan  kota Bandung,
suatu  daerah  pertanian  jang  padat  dimana  orang  dapat menjaksikan  para  petani mengerdjakar.  sawahnja
jang ketjil, jang masing-masing luasnja kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena boberapa hal perhatianku
tertudju pada  seorang petani  jang  sedang mentjangkul  tanah mrliknja. Dia  seorang diri. Pakaiannja  sudah
lusuh. Gambaran jang chas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakjatku. Aku berdiri disana sedjenak
memperhatikannja  dengan  diam.  Karena  orang  Indonesia  adalah  bangsa  jang  ramah,  maka  aku
mendekatinja. Aku bertanja dalam bahasa Sunda, ,,Siapa jang punja semua jang engkau kerdja-kan sekarang
ini ?" 
Dia berkata kepadaku, ,,Saja, djuragan." 
Aku bertanja lagi, ,,Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?" 
,,0, tidak, gan. Saja sendiri jang punja." 
,,Tanah ini kaubeli ?" 
,,Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun." 
Ketika  ia  terus  menggali,  akupun  mulai  menggali.........aku  menggali  setjara  mental.  Pikiranku  mulai
bekerdja.  Aku  memikirkan  teoriku.  Dan  semakin  keras  aku  berpikir,  tanjaku  semakin  bertubi-tubi  pula.
,,Bagairnana dengan sekopmu ? Sekop ini ketjil, tapi apa-ka'il kepunjaanmu djuga ?" 
,,Ja, gan." 
,,Dan tjangkul ?" 
,,Ja, gan." 
,,Badjak ?" 
,,Saja punja, gan." 
,,Untuk siapa hasil jang kaukerdjakan ?" 
,,Untuk saja, gan." 
,,Apakah tjukup untuk kebutuhanmu ?" 
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri.  ,,Bagaimana sawah  jang begini ketjil bisa tjukup untuk seorang
isteri dan empat orang anak ?" 
,,Apakah ada jang didjual dari hasilmu ?" tanjaku. 
,,Hasilnja sekedar tjukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnja untuk didjual." 
,,Kau mempekerdjakan orang lain ?"  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 34 dari 109
,,Tidak, djuragan. Saja tidak dapat membajarnja." 
,,Apakah engkau pernah memburuh ?" 
,,Tidak, gan. Saja harus membanting-tulang, akan tetapi djerih-pajah saja semua untuk saja." 
Aku menundjuk kesebuah pondok ketjil, ,,Siapa jang punja rumah itu ?" 
,,Itu gubuk saja, gan. Hanja gubuk ketjil sadja, tapi kepunjaan saja sendiri." 
"Djadi  kalau  begitu,"  kataku  sambil menjaring  pikiranku  sendiri  ketika  kami  berbitjara,  "Semua  ini  engkau
punja ?" 
"Ja, gan." 
Kemudian aku menanjakan nama petani muda itu. Ia menjebut namanja. ,,Marhaen." Marhaen adalah nama
jang blasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu
untuk  rnenamai  semua  orang  Indonesia  bernasib malang  seperti  itu  !  Semendjak  itu  kunamakan  rakjatku
rakjat Marhaen. Selandjutnja dihari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru.
Aku memperlantjarnja. Aku mempersiapkan  kata-kataku dengan  hati-hati. Dan malamnja  aku memberikan
indoktrinasi mengenai hal  itu kepada kumpulan pemudaku.,,Petani-petani kita mengusahakan bidang  tanah
jang sangat ketjil sekali. 
Mereka adalah korban dari sistim feodal, dimana pada mulanja petani pertama diperas oleh bangsawan jang
pertama  dan  seterusnja  sampai  keanak-tjutjunja  selama  berabad-abad.  Rakjat  jang  bukan  petanipun
mendjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek-mojangnja telah dipaksa untuk
hanja  bergerak  dibidang  usaha  jang  ketjil  sekedar  bisa memperpandjang  hidupnja.  Rakjat  jang mendjadi
korban  ini,  jang  meliputi  hampir  seluruh  penduduk  Indonesia,  adalah  Marhaen."  Aku  menundjuk  seorang
tukang  gerobak,  ,,Engkau.......  engkau  jang  disana.  Apakah  engkau  bekerdja  dipabrik  untuk  orang  lain
?",,Tidak," katanja.,,Kalau begitu engkau adalah Marhaen." Aku menggerakkan tangan kearah seorang tukang
sate. ,,Engkau...... engkau tidak punja pembantu, tidak punja madjikan engkau djuga seorang Marhaen. 
Seorang  Marhaen  adalah  orang  jang  mempunjai  alat-alat  jang  sedikit,  orang  ketjil  dengan  milik  ketjil,
dengan  alat-alat  ketjil,  sekedar  tjukup  untuk  dirinja  sendiri.  Bangsa  kita  jang  puluhan  djuta  djiwa,  jang
sudah  dimelaratkan,  bekerdja  bukan  untuk  orang  lain  dan  tidak  ada  orang  bekerdja  untuk  dia.  Tidak  ada
penghisapan  tenaga  seseorang  oleh  orang  lain.  Marhacnisme  adalah  Sosialisme  Indonesia  dalam  praktek."
Perkataan  ,,Marhaenisme"  adaiah  lambang  dari  penemuan  kembali  kepribadian  nasional  kami.  Begitupun
nama  tanah-air  kami  harus mendjadi  lambang.  Perkataan  ,,Indonesia"  berasal  dari  seorang  ahli  purbakala
bangsa  Djerman  bernama  Jordan,  jang  beladjar  dinegeri  Belanda.  Studi  chususnja  mengenai  Rantaian
Kepulauan kami. Karena kepulauan ini setjara geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah ,,Kepulauan
dari  India".  Nesos  adalah  bahasa  Junani  untuk  perkataan  pulau-pulau,  sehingga mendjadi  Indusnesos  jang
achirnja mendjadi Indonesia. 
Ketika kami merasakan perlunja untuk menggabungkan pulau-pulau kami rnendjadi satu kesatuan jang besar,
kami  berpegang  teguh  pada  nama  ini  dan  mengisinja  dengan  pengertian-pengertian  politik  hingga  iapun
mendjadi pembirnbing dari kepribadian nasional.  Ini terdjadi ditahun 1922-1923. Dalam tahun-tahun  inilah,
ketika  kami  sebagai  bangsa  jang  dihinakan  diperlakukan  seperti  sampah  diatas  bumi  oleh  orang  jang
menaklukkan kami. Karni  tidak dibolehkan apa-apa. Ditindas dibawah  tumit pada  setiap kali, bahkan kami
dilarang mengutjapkan perkataan  ,,lndonesia". Telah  terdjadi  sekali ditengah berapi-apinja pidatoku,  kata
,,lndonesia" melompat dari mulutku. 
,,Stop........stop........."perintah  polisi.  Mereka  meniup  peluitnja.  Mereka  memukulkan  tongkatnja.
,,Dilarang samasekali mengutjapkan perkataan itu ...........hentikan pertemuan " Dan pertemuan itu dengan
segera  dihentikan.  Di  Surabaja  aku  tak  ubah  seperti  seekor  burung  jang  mentjari-tjari  tempat  untuk
bersarang.  Akan  tetapi  di  Bandung  aku  sudah  mendjadi  dewasa.  Bentuk  fisikku  berkembang  dengan
sewasjarnja. Bintang matinee Amerika jang mendjadi idaman didjaman itu adalah Norman Kerry dan, supaja
kelihatan  lebih  tua  dan  lebih  ganteng,  aku  memelihara  kumis  seperti  Kerry.  Tapi  sajang,  kumisku  tidak
melengkung  keatas  pada  udjung-udjungnja  seperti  knmis  bintang  itu.  Dan  isteriku  menjatakan,  bahwa
Charlie  Chaplinlah  jang  berhasil  kutiru.  Achiroja  usahaku  satu-satunja  untuk  meniru  seseorang  berachir
dengan kegagalan jang menjedihkan dan semua pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan. Ditahun
1922 aku untuk pertamakali mendapat kesukaran. Ketilka itu diadakan rapat besar disuatu lapangan terbuka
dikota Bandung.  Seluruh  lapangan menghitam oleh manusia.  Ini adalah  rapat Radicale Concentratie,  suatu BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 35 dari 109
rapat  raksasa  jang  diorganisir  oleh  seluruh  organisasi  kebangsaan  sehingga  walcil-wakil  dari  setiap  partai
jang  ada  dapat  berkumpul  bersama  untuk  satu  tudjuan,  jaitu  memprotes  berbagai  persoalan  sekaligus.
Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanja mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba
terasa olehku suatu dorongan jang keras untuk mengutjapkan sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri. Mereka semua membitjarakan omongkosong. 
Seperti biasa mereka meminta-minta. Mereka  tidak menuntut.Naiklah  tangan  jang berapi-api dari Sukarno,
mertjusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta  izin ketua agar diberi kesempatan berpidato dihadapan
rapat.,,Saja  ingin  berbitjara,"  aku  berteriak.,,Silakan,"  ketua  berteriak  kembali.Disana  ada  P.I.D.,  Polisi
Rahasia  Belanda,  jang  bersebar  disegala  pendjuru  Tepat  dimukaku  berdiri  seorang  polisi  bermuka merah
mengantjam dan berbadan besar. Ini adalah alat jang berkuasa jaitu kulitputih. Hanja dia sendiri jang dapat
menjetopku. Dia seorang dirinja, dapat membubarkan rapat. Dia seorang dirinja, dengan kekuasaan jang ada
padanja dapat mentjerai-beraikan pertemuan kami dan mendjebloskanku kedalam tahanan. Akan tetapi aku
masih  muda,  tidak  mau  peduli  dan  penuh  semangat.  Djadi  naiklah  aku  kemimbar  dan  mulai  berteriak,
,,Mengapa  sebuah  gunung  seperti  gunung  Kelud  meledak  ?  Ia  meledak  oleh  karena  lobang  kepundannja
tersumbat  Ia  meledak  oleh  karena  tidak  ada  djalan  bagi  kekuatan-kekuatan  jang  terpendam  untuk
membebaskan  dirinja.  Kekuatan-kekuatan  jang  terpendam  itu  bertumpuk  sedikit  demi  sedikit
dan...........DORRR. Keseluruhan itu meletus.,,Kedjadian ini tidak ada bedanja dengan Gerakan Kebangsaan
Icita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mentjari djalan keluar bagi
perasaan-perasaan kita  jang  sudah penuh, maka  saudara-saudara, njonja-njonja dan  tuan-tuan,  suatu  saat
akan  terdjadi  pula  ledakan  dengan  kita..Dan  rnanakala  perasaan  kita  meletus,  Den  Haag  akan  terbang
keudara. Dengan ini saja menantang Pemerintah Kolanial jang membendung perasaan kita. 
Dari  sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi  itu menudju  kedepan untuk mentjegahku  terus berbitjara,
akan  tetapi  aku  begitu  bersemangat  dan  menggeledek  terus.,,Apa  gunanja  kita  putulan  ribu  banjaknja
berkumpul disini djikalau jang kita kerdjakan hanja menghasilkan petisi ? Mengapa kita selalu merendah diri
memohon kepada 'Pemerintah' untuk meminta kebaikan hatinja supaja mendirikan sebuah sekolah untuk kita
?  Bukankah  itu  suatu  Politik  Berlutut  ?  Bukankah  itu  suatu  politik  memohon  dengan  mendatangi  Jang
Dipertuan  Gubernur  Djendral  Hindia  Belanda,  jang  dengan  rnemakai  dasi  hitam  menerima  delegasi  jang
membungkuk-bungkuk dan menundjukkan penghargaan kepadanja dan menjerahkan kepada pertimbangannja
suatu petisi ? Dan merendah diri memohon pengurangan padjak? Kita merendah diri....memohon, merendah
diri memohon.........Inilah kata-kata jang selalu dipakai oleh pemimpin-pemimpin kita. 
,,Sampai sekarang kita tidak pernah mendjadi penjerang. Gerakan kita bukan gerakan jang mendesak, akan
tetapi  gerakan  kita  adalah  gerakan  jang  meminta-minta.  Tak  satupun  jang  pernah  diberikannja  karena
kasihan.  Marilah  kita  sekarang  mendjalankan  politik  pertjaja  pada  diri  sendiri  dengan  tidak  mengemis-
ngemis. Hajo  kita berhenti mergemis.  Sebalikn.ja, hajo  kita berteriak,  ,,Tuan  Imperialis,  inilah  jang  karni
TUNTUT  !"Kemudian,  polisi-polisi  jang  mahakuasa  dan  mahakuat  ini,  jang  punja  kekuasaan  untuk
menghentikan  rapat  ini,  bertindak.  Mereka  menjetop  rapat  dan  menjetopku.  Heyne,  Kepala  Polisi  Kota
Bandung,  sangat  marah.  Sambil  menjiku  kanan-kiri  melalui  rakjat  jang  berdiri  berdjedjal-djedjal,  ia
melompat  keatas mimbar, menarikku  kebawah dan mengumumkan,  ,,Tuan Ketua,  sekarang  saja menjetop
seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan-tuan semua dibubarkan. Sernua pulang sekarang. KELUAR !"
Begitu pertamakali Sukarno membuka mulutnja, ia segera harus berhubungan dengan hukum. Dengan tjepat
aku mendjadi buah-tutur orang dan setiap orang mengetahui nama Sukarno. Aku memperoleh  inti pengikut
jang  kuat.  Akan  tetapi,  sajang,  akupun  mengembangkan  pengikut  jang  baniak  diantara  polisi  Belanda.
Kemanapun aku pergi mereka ikuti. 
Maka  mendjalarlah  dari  mulut  kemulut:  ,,Di  Sekolah  Teknik  Tinggi  ada  seorang  pengatjau.  Awasi  dia."
Dengan  satu  pidato  si  Karno—jang  pendiam,  jang  suka menarik  diri  dan  ditjintai membuat musuh-musuh
djadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah ditjoret dari daftar hitam mereka. Prestasiku jang
pertama  ini menimbulkan kegemparan hebat,  sehingga aku  segera dipanggil kekantor Presiden universitas.
,,Kalau  engkau  ingin  melandjutkan  peladjaran  disini,"  Professor  Klopper  memperingatkan,  ,Engkau  harus
bertekun  pada  studimu.  Saja  tidak  keberatan  djika  seorang mahasiswa mempunjai  tjita-tjita  politik,  akan
tetapi  haruslah  diingat  bahwa  ia  pertama  dan  paling  utama  memenuhi  kewadjiban  sebagai  seorang
mahasiswa. Engkau harus berdjandji, mulai hari ini tidak akan ikut-tjampur dalam gerakan politik."Aku tidak
berdusta  kepadanja.  Aku  menerangkan  persoalanku  dengan  djudjur.  ,,Professor,  apa  jang  akan  saja
djandjikan  ialah,  bahwa  saja  tidak  akan  melalaikan  peladjaran-peladjaran  jang  tuan  berikan  dalam
kuliah.",,Bukan itu jang saja minta kepadamu.",,Hanja itu jang dapat saja djandjikan, Professor. 
Akan  tetapi djandji  ini  saja berikan dengan  sepenuh  hati.  Saja berdjandji dengan  kesungguhan hati untuk
menjediakan  letih  banjak waktu  pada  studi  saja."  Ia  sangat  baik mengenai  hal  ini.  ,,Apakah  kata-katamu
dapat  saja  pegang,  bahwa  engkau  akan  berhenti  berpidato  dalam  rapat  umum  selama masih  dalam  studi
?",,Ja,  Professor,"  aku  berdjandji,  ,,Tuan  memegang  utjapan  saja  jang  sungguh-sungguh."Dan  djandji  ini BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 36 dari 109
kupegang  teguh.  Berbitjara  dihadapan massa  bagiku  lebih  daripada  segala-galanja  untuk mana  aku  hidup.
Oleh karena aku tidak dapat berbitjara membangkitkan semangat rakjatdjelata dalam keadaan sesungguhnja
maka kulakukanlah  ini dalam chajalan. Pada  suatu malam  rumah  Inggit  jang disediakan djuga untuk bajar-
makan penuh dan kami terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat-tidurku dengan seorang peladjar. 
Ditengah malam aku diserang oleh suatu desakan untuk berpidato dengan nafsu jang bernjala-njala, seakan-
akan aku berbitjara dihadapan 10.000 orang jang bersorak-sorai dengan gegap-gempita. Sambil berdiri tegak
aku  menganggap  tempat-tidurku  sebagai  mimbar  dan  aku  mulai  menggegapgeletar.,,Engkau  tahu  apakah
Indonesia  ?"  aku  berteriak  kepunggung  temanku  setempat-tidur.  ,,Indonesia  adalah  pohon  jang  kuat  dan
indah  ini.  Indonesia  adalah  langit  jang  biru dan  terang  itu.  Indonesia  adalah mega putih  jang  lamban  itu.
Indonesia  adalah  udara  jang  hangat  ini.",,Saudara-saudaraku  iang  tertjinta,  laut  jang menderu memukul-
mukul  kepantai  ditjahaja  sendja,  bagiku  adalah  djiwanja  Indonesia  jang  bergerak  dalam  gemuruhnja
gelombang  samudra. Bila  kudengar anak-anak  ketawa, aku mendengar  Indonesia. Manakala aku menghirup
bunga-bunga,  aku  menghirup  Indonesia.  Inilah  arti  tanah-air  kita  bagiku."Setelah  beberapa  djam
mendengarkan  perkataanku  jang  membakar  hati,  Djoko  Asmo  lebih  memerlukan  tidur  daripada
mendengarkan golakan perasaanku. Djam dua tengah malam dia tertidur njenjak ditengah-tengah pidatoku
jang mentjatjau. Aku kehabisan tenaga samasekali sehingga ditengah pidato pembelaanku jang bersemangat
akupun  terhempas  lena.  Esok paginja  kami baru  tahu, bahwa  kami  lupa mematikan  lampu. Kelambu  kami
hampir  hangus  samasekali.  Lampu  itu menjala  sepandjang malam  sampai mendjilat  kebagian  bawah  dan
kami  kedua-duanja  hampir  kelemasan  oleh  udara  dan  asap  jang  hebat.  Tapi  untunglah.  Kami  tidak  turut
terbakar. Terpikir olehku, kalau seseorang hendak mendjadi Djuru selamat daripada bangsanja dikemudian
hari untuk membebaskan  rakjatnja, haruslah  ia menjelamatkan dirinja  sendiri  lebih dulu.Aku masih  terlalu
banjak menjurahkan waktu untuk pemikiran politik, djadi tak dapatlah diharapkan akan mendjadi mahasiswa
jang  betul-betul  gemilang.  Kenjataan  bahwa  aku  masih  dapat  melintasi  batas  nilai  sedang  sungguh
mengherankan.  Siapa  jang  beladjar  ?  Bukan  aku.  Tidak  pernah.  Aku mempunjai  ingatan  seperti  bajangan
gambar  dan  dalam  pada  itu  aku  terlalu  sibuk  memompakan  soal-soal  politik  kekepalaku,  sehingga  tidak
tersisa  waktuku  untuk membuka  buku  sekolah.  Dewi  dendamku  adalah  ilmu  pasti.  Aku  tidak  begitu  kuat
dalam ilmu pasti. 
Menggambar arsitektur bagiku sangat menarik, akan tetapi kalkulasi bangunan dan komputasi djangan tanja.
Kleinste Vierkanten atau  jang dinamakan Geodesi,  sematjam penjelidikan  tanah  setjara  ilrnu pasti dimana
orang  mengukur  tanah  dan  beladjar  membaginja  dalam  kaki-persegi,  dalam  semua  ini  aku  gagal.  Untuk
udjian  ilmu  pasti  kuakui,  bahwa  aku  bermain  tjurang.  Tapi  hanja  sedikit.  Kami  semua  bermain  tjurang
dengan  berbagai  djalan.  Ambillah misalnja  peladjaran menggambar  konstruksi  bangunan.  Aku  kuat  dalam
peladjaran  ini.  Dalam  waktu  udjian  dosen  berdjalan  pulang-balik  diantara  medja-medja  memperhatikan
setiap orang. Segera setelah ia berada dibagian lain dalam ruangan ketika menghadapkan punggungnja pada
kami,  salah-seorang  jang  berdekatan  mendesis,  ,,Ssss,  Karno,  buatkan  bagan  untukku,  kau  mau  ?"  Aku
bertukar  kertas  dengan  dia.  dengan  terburu-buru  membuat  gambar  jang  kedua  dan  dengan  tjepat
menjerahkan kembali kepadanja. Kawan-kawanku membalas usaha ini dalam peladjaran Kleinste Vierkanten
kalau  Professor  membuat  tiga  pertanjaan  dipapan-tulis  dan  hanja  memberi  kami  waktu  45  menit  untuk
mengerdjakannja.  Kawan-kawan  menempatkan  kertasnja  sedemikian  rupa  disudut  bangku,  sehingga  aku
dapat dengan mudah menjalin djawabannja. Sudah tentu aku mentjontoh dari mahasiswa jang lebih pandai
dalam ilmu pasti. 
Tjara  ini bukanlah semata-mata apa  jang dinamakan orang berbuat tjurang. Di  Indonesia  ini adalah wadjar
djika  digolongkan  dalam  apa  jang  kami  sebut  kerdja-sama  jang  erat.  Gotong-rojong.Alasan mengapa  aku
gagal dan hanja memperoleh nilai tiga adalah karena pada suatu kali sang Professor melakukan taktik  litjik
terhadap kami.  Ia mengedjutkan kami dengan udjian  lisan, dimana kami menempuhnja satu persatu. Hanja
Professor dan  seorang mahasiswa  jang  ada dalam  ruangan. Aku  karenanja djatuh.Semua  kuliah diadjarkan
dalam  bahasa  Belanda.  Aku  berpikir  dalam  bahasa  Belanda.  Bahkan  sekarangpun  aku memaki-maki  dalam
bahasa  Beianda.  Kalau  aku mendoa  kehadirat  Tuhan  Jang  MahaKuasa, maka  ini  kulakukan  dalam  bahasa
Belanda.Kurikulum  kami  disesuaikan  menurut  kebutuhan  masjarakat  pendjadjahan  Belanda.  Pengetahuan
jang  kupeladjari  adalah  pengetahuan  teknik  kapitalis.  Misalnja,  pengetahuan  tentang  sistim  irigasi.  Jang
dipeladjari bukanlah tentang bagaimana tjaranja mengairi sawah dengan djalan jang terbaik. Jang diberikan
hanja  tentang  sistem pengairan  tebu dan  tembakau.  Ini adalah  irigasi untuk kepentingan  Imperialisme dan
Kapitalisme. Irigasi dipeladjari tidak untuk memberi makan rakjat banjak jang kelaparan, akan tetapi untuk
membikin  gendut  pemilik  perkebunan.  Peladjaran  kami  dalam  pembuatan  djalan  tidak  mungkin  dapat
menguntungkan rakjat. Djalan-djalan jang dibuat bukan melalui hutan dan antar-pulau sehingga rakjat dapat
berdjalan  atau  bepergian  lebih  mudah.  Kami  hanja  diadjar  merentjanakan  djalan-djalan  tambahan
sepandjang  pantai  dari  pelabuhan  kepelabuhan,  djadi  pabrik-pabrik  dengan  demikian  dapat  mengangkut
hasilnja setjara maksimal dan komunikasi jang tjukup antara kapal-kapal jang berlajar. Ambillah ilmu pasti.
Universitas  manapun  tidak  memberi  peladjaran  rantai-ukuran.  Kami  diberi.  Ini  adalah  sebuah  pita  jang
pandjangnja 20 meter jang hanja dipakai oleh para pengawas diperkebunan-perkebunan.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 37 dari 109
Diruangan  bagan,  kalau  kami  membuat  rentjana  kota  teladan,  kamipun  harus  menundjukkan  tempat
kedudukan  ,,Kabupaten",  jaitu  tempat  tinggal  Bupati  jang  mengawasi  rakjat  desa  membanting-
tulang.Diminggu  terachir ketika diadakan pelantikan aku mempersoalkan  ini dengan Rector Magnificus dari
Sekolah  Teknik  Tinggi  ini,  Professor  Ir.  G.  Klopper  M.E.,,Mengapa  kami  diisi  dengan  pengetahuan-
penyetahuan  jang hanja berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial  terhadap kami  ?''  tanjaku.,,Sekolah
Teknik  Tinggi  ini,"  ia  menerangkan,  ,,didirikan  terutama  untuk  memadjukan  politik  Den  Haag  di  Hindia.
Supaja dapat mengikuti ketjepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saja merasa perlu untuk mendidik
lebih banjak insinjur dan pengawas jang berpengalaman.",,Dengan perkataan lain, kami mengikuti perguruan
tinggi  ini  untuk  memperkekal  polilik  Imperialisme  Belanda  disini  ?",,Ja,  tuan  Sukarno,  itu  benar,"  ia
mendjawab. Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghantjurkan
kekuasaan Kolonial, rupanja aku harus berterima-kasih pula kepada mereka atas pendidikan jang kuterima.
Dengan dua orang kawan bangsa Indonesia jang berhasil bersama-sama denganku, maka pada tanggal 25 Mei
1926 aku memperoleh promosi dengan gelar ,,Ingenieur". Idjazahku dalam djurusan teknik sipil menentukan,
bahwa  aku  adalah  seorang  spesialis dalam pekerdjaan djalan-raja dan pengairan. Aku  sekarang diberi  hak
untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno. Ketika ia memberi gelar sardjana teknik kepadaku, Presiden
universitas  berkata,  ,,Ir.  Sukarno,  idjazah  ini  dapat  robek  dan  hantjur mendjadi  abu  disatu  saat.  Ia  tidak
kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunja kekuatan jang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang.
Ia akan tetap hidup dalam hati rakjat, sekalipun sesudah mati." Aku tak pernah melupakan kata-kata ini. 
Bab 7
Bahasa Indonesia
DJANDJIKU sudah terpenuhi. Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnja tidak ada jang akan
menghalang-halangiku mendjalankan  pekerdjaan  untuk mana  aku  dilahirkan.Semendjak  aku  berdiri  diatas
djambatan  di  Surabaja  itu  dan mendengarkan  djeritan  rakjatku,  aku menjadari  bahwa  akulah  jang  harus
berdjuang  untuk mereka.  Hasrat  jang menjala-njala  untuk membebaskan  rakjatku  bukanlah  hanja  ambisi
perorangan. Djiwaku penuh dengan itu. Ia meliwati sekudjur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia
mengalir  melalui  urat-nadiku.  Untuk  itulah  orang  mempersembahkan  seluruh  hidupnja.  Ia  lebih  daripada
hanja  sebagai  kewadjiban.  Ia  lebih  daripada  panggilan  djiwa.  Bagiku  ia  adalah  satu  ............kejakinan.
Menurut  para mahaguru  thesisku  tentang  konstruksi  pelabuhan  dan  djalanan-air  ditambah  dengan  teoriku
tentang perentjanaan kota mempunjai  ,,nilai penemuan dan keaslian  jang begitu  tinggi",  sehingga untukku
disediakan  djabatan  sebagai  assisten  dosen.  Aku menolaknja.  Djuga  ditawarkan  pekerdjaan  pemerintahan
kota. Inipun kutolak. 
Salah-seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warnakulit.
Baginja  tidak  ada  Belanda  atau  Indonesia.  Baginja  tidak  ada  pengikatan  atau  kebebasan.  Dia  hanja
menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. ,,Saja menghargai ketjakapanmu," katanja. ,,Dan saja
tidak ingin ketjakapan ini tersia-sia. Engkau mempunjai pikiran jang kreatif. Djadi saja minta supaja engkau
bekerdja  dengan  pemerintah.  "Sungguhpun  aku  keberatan,  ia menjerahkanku  kepada  Direktur  Pekerdjaan
Umum  jang  meminta  kepadaku  untuk  merentjanakan  suatu  projek  untuk  perumahan  Bupati.  Insinjur-
kepalanja  sudah  tentu  seorang  Belanda  jang  tidak  mengenal  samasekali  kehidupan  orang  Indonesia  dan
kebutuhannja.  Akan  tetapi  oleh  karena  aku  tidak  menghendaki  pekerdjaan  ini,  kusampaikan  kepadanja
pendapatku  tentang  rentjana arsitekturnja,  ,,Maafkan  saja,  tuan, konsepsi  tuan didasarkan pada  semangat
pedagang rempah-rempah Belanda. Setiap orang Belanda merentjanakan setjara teknis salah. Persil-persil di
Bandung  hanja  15  meter  lebar  dan  20  meter  kedalam  dan  rumah-rumahnja  sempit.  Kota  Bandung
direntjanakan  seperti  kandang-ajam.  Bahkan  djalannja  sempit,  karena  ia  dibuat  menurut  tjara  berpikir
Belanda  jang  sempit.  Sama  sadja  dengan  projek  jang  tuan  rentjanakan.  Ia  tidak  mempunjai  'Schwung'.
"Karena aku telah menolak pekerdjaan jang diberikan  itu, aku merasa wadjib memberi pendjelasan kepada
Professor Schoemaker, ,,Tuan telah menjatakan, bahwa saja dalam ruang-lingkup jang ketjil memiliki daja-
tjipta. Jah, saja ingin mentjipta," kataku dengan hebat. ,,Akan tetapi untuk saja sendiri. 
Saja  tidak  jakin  dikemudian  hari  akan  mendjadi  pembangun  rumah.  Tudjuan  saja  ialah  untuk  mendjadi
pembangun dari suatu bangsa.,,Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, jaitu mengadakan kerdja-sama
dengan pemerintah dengan tjara mengemis-ngemis, hanja menghasilkan djandji-djandji jang.tidak ditepati.
Dengan usaha saja, kami baru-baru ini memulai politik non-kooperasi. Ini didasarkan pada kehendak pertjaja
pada  diri  sendiri  dan  dibidang  ekonomi  terlepas  dari  bantuan  negara  asing."Kawanku  itu  mendengarkan
dengan tenang, kemudian berkata, ,,Anak muda, hendaknja bakatmu dipergunakan setjara maksimal. Kalau
engkau  berdiri  sendiri,  ini  akan  memakan  waktu  bertahun-tahun  untuk  bisa  madju.  Hanja  orang-orang
Belanda jang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah jang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan
mereka  tentu  keberatan  untuk  mempekerdjakan  seorang  muda  jang  tidak  berpengalaman  dan  djuga
kebetulan  berada  paling  atas  dalam  daftar-hitam  polisi,  karena  dianggap  sebagai  pengatjau. Usul  saja  ini
adalah  permulaan  jang  baik  untukmu."  Pandangannja  itu  memang  baik.  ,,Professor,  saja  menolak  untuk BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 38 dari 109
bekerdja-sama, supaja tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saja bekerdja dengan pemerintah,
setjara diam-diam saja membantu politik penindasan dari rezim mereka jang otokratis dan monopolistis itu.
Pemuda  sekarang harus merombak kebiasaan untuk mendjadi pegawai kolonial  segera  setelah memperoleh
gelarnja. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanja." 
,,Djangan  terima  pekerdjaan  djangka  lama,  kalau  sekiranja  perasaan  tidak-senangmu  begitu  kuat,"  ia
mempertahankan,  ,,Akan  tetapi  buatlah  satu  rumah  ini  sadja  untuk  Bupati. Tjobalah  kerdjakan  ............
Kerdjakanlah  atas  permintaan  saja."Aku  melakukan  sebagaimana  jang  dimintanja.  Pekerdjaan  ini  sangat
berhasil  dan  aku  dibandjrri  dengan  permintaan  untuk  mengerdjakan  karja  teknik  sematjam  itu  untuk
pedjabat-pedjabat  lain.  Sungguhpun  bantuan  uang  dari  keluargaku  sudah  tidak  ada  lagi  semendjak  aku
selesai dan sekalipun aku tidak mempunjai djalan jang njata untak membantu isteriku, aku menolaknja. Aku
membuat rentjana Kabupaten hanja karena sangat menghargai dan menghormati Professor  itu. Akan tetapi
ini  adalah  jang  pertama  dan  terachir  aku  bekerdja  untuk  Pemerintah.  Kemudian,  ketika  Departemen
Pekerdjaan  Umum  menawarkan  kedudukan  tetap  kepadaku,  aku  menolaknja  dengan  alasan  bahwa  aku
memperdjuangkan non-kooperasi. Aku sangat memerlukan uang dan pekerdjaan. 
Aku sudah tidak mempunjai harapan samasekali untuk memperoleh kedua-duanja  ini ketika aku mendengar
lowongan disekolah Jajasan Ksatrian jang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka
mentjari  seorang  guru  jang  akan mengadjar  dalam  dua mata  peladjaran.  Jang  pertama  adalah  sedjarah,
untuk mana  aku  sangat  berhasrat  besar.  Mata  peladjaran  jang  lain  ?  Ilmu  pasti  !  Dan  dalam  segala  segi-
seginja  lagi  !  Djadi  sebagaimana  telah  kutegaskan  dengan  segala  kedjudjuran  jang  pahit,  kalau  ada
matapeladjaran  jang  samasekali  tidak  bisa  kuatasi,  maka  itulah  dia  ilmu  pasti.  Akan  tetapi  aku  tidak
mempunjai pilihan lain. 
Guru  jang  ditugaskan  untuk  melakukan  tanja-djawab  bertanja,  ,,Ir.  Sukarno,  tuan  adalah  insinjur  jang
beridjazah,  djadi  tentu  tuan  ahli  dalam  ilmu  pasti,  bukankah  begitu  ?"  ,"Oh,  ja  tuan,"  aku  menjeringai
meretjik  kepertjajaan. —  ,,Ja,  tuan.  Ja, betul.  Saja menguasainja."  ,,Baiklah,  tuan dapat mengadjar  ilmu
pasti ?" tanjanja., 
,,Mengapa  tidak," aku membohong.  ,,Saja menguasai betul  ilmu pasti. Menguasainja  sungguh-  sungguh.  Ini
matapeladjaran  jang  saja  senangi."  Inggit dan aku  sudah kering  samasekali,  tidak mempunjai apa-apa  lagi.
Apa  jang dapat kami  suguhkan kepada  tamu hanja  setjangkir  teh entjer  tanpa gula. Djadi, apa  jang harus
kukatakan kepadanja  ? Bahwa aku  samasekali  tidak dapat mengadjar  ilmu pasti  ? Bahwa  sesungguhnja aku
gagal dalam peladjaran itu ? 
Kalau  demikian,  tentu  aku  tidak  akan memperoleh  pekerdjaan  itu.Temanku, Dr.  Setiabudi,  datang  sendiri
kepadaku dan sekali lagi bertanja, ,,Bagaimana pendapatmu sesungguhnja, bisakah engkau mengadjar?" Dan
kuulangi  dengan  suara  jang  tergontjang  dan  tersinggung,  ,,Apakah  saja  bisa  mengadjar?  Tentu  saja  bisa
mengadjar.  Tentu  sadja  saja  bisa.  Sudah  pasti.",,Ilmu  pasti  djuga  ?",,Ja,  ilmu  pasti  djuga."Aneh,
kenjataannja  aku menghadapi  kesukaran djustru dalam peladjaran  sedjarah. Kelasku berdjumlah  30 orang
murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto. 
Tak  seorangpun  memberiku  petundjuk  dalam  tjara  mengadjar.  Djadi  aku  mentjobakan  tjaraku  sendiri.
Sajang, aku tidak berhasil mendekati metode jang resmi. Dalam peladjaran sedjarah aku mempunjai gajaku
sendiri. Aku tidak menjesuaikan samasekali teori bahwa anak-anak harus diadjar setjara kenjataan. Angan-
anganku  ialah  hendak  menggerakkan  mereka  supaja  bersemangat.  Aku  lebih  berpegang  pada  pengertian
sedjarah  daripada  mengadjarkan  nama-nama,  tahun  dan  tempat.  Aku  tak  pernah  memusingkan  kepala
tentang  tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau  tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo atau
hal-hal lain jang sama remehnja seperti apa jang biasanja mereka adjarkan disekolah. Kalau seharusnja aku
memperlakukan  murid-muridku  sebagai  anakanak  jang  masih  ketjil,  jang  kemampuannja  dalam
matapeladjaran  ini  terpusat  pada  mengingat  fakta-fakta,  maka  aku  berfalsafah  dengan  mereka.  Aku
memberikan alasan mengapa  ini dan  itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwa-peristiwa sedjarah setjara
sandiwara.  Aku  tidak  memberikan  pengetahuan  setjara  dingin  dan  kronologis.  Ooo  tidak,  Sukarno  tidak
memberikan hal sematjam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator jang berbakat dari lahirnja. Aku
mengajunkan  tanganku  dan  mentjobakannja.  Kalau  aku  bertjerita  tentang  Sun  Yat  Sen,  aku  betul-betul
berteriak dan memukul medja. 
Sudah  mendjadi  aturan  dari  Departemen  Pengadjaran  Hindia  Belanda,  sekolah-sekolah  dikundjungi  oleh
penilik-penilik-sekolah pada waktu-waktu tertentu. Pada waktunja jang tepat seorang penilik sekolah datang
mendengarkan  peladjaran  sedjarahku.  Dia  duduk  dengan  tenang  dibelakang  kelas  untuk  memperhatikan.
Selama  dua  djam  aku mengadjar  dengan  tjara  jang menurut  pikiranku  paling  baik,  sementara mana  aku
menjadari bahwa dia mendengarkan dengan saksarna.Setjara kebetulan peladjaran kali ini berkenaan dengan
Imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku mendjadi begitu bersemangat sehingga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 39 dari 109
aku terlompat-lompat dan mengutuk seluruh sistimnja. Dapatkah engkau membajangkan ? Dihadapan penilik
sekolah  bangsa  Belanda  jang  memandang  padaku  dengan  wadjah  tidak  pertjaja,  aku  sungguh-sungguh
menamakan Negeri  Belanda  sebagai  ,,Kolonialis  jang  terkutuk  ini"  !  Ketika  peladjaran  dan  kisahku  kedua-
duanja selesai, penilik sekolah itu menjatakan dengan seenaknja bahwa menurut pendapatnja sesungguhnja
aku bukan pengadjar jang terbaik jang pernah dilihatnja dan bahwa aku tidak mempunjai masa depan jang
baik dalam pekerdjaan ini. 
Ia berkata kepadaku, ,,Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembitjara !" Dan inilah achir daripada
karierku  jang  singkat  sebagai  guru.26 Djuli  1926  aku membuka  biro  teknikku  jang pertama, bekerdjasama
dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari.Aku tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang
Keilmuan.  Kehidupan  segera memikulkan  beban  diatas  pundakku  dan melemparkan  aku  keatas  tumpukan
sampah  dan  kedalam  pondok-pondok  jang  botjor  dan  gojah.  Kehidupan melemparkan  daku  kepasar-pasar.
Kehidupan membuangku  kehutan-hutan,  kekampung-kampung  dan  sawah-sawah. Aku  tidak mendjadi  guru.
Aku mendjadi djuru  chotbah. Mimbarku adalah pinggiran djalan. Kumpulanku  ? Massa  rakjat menggerumut
jang  sangat  merindukan  pertolongan.  Ditahun  1926  aku  mulai  mengchotbahkan  nasionalisme  terpimpin.
Sebelum  itu  aku  hanja  memberikan  kepada  pendengarku  kesadaran  nasional  lebih  banjak  daripada  jang
mereka ketahui sebelumnja. Sekarang aku tidak sadja mengojak-ojak mereka untuk bangun, akan tetapi aku
memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah datang waktunja untuk mendjelmakan suatu masjarakat
baru  jang  demokratis  sebagai  ganti  feodalisme  jang  telah  bertjokol  selama  berabad-abad.  Aku  berkata
kepada para pendengarku,  ,,Kita  tidak  lagi akan membiarkan diri kita  setjara patuh mengikuti  tjara hidup
jang  akan membawa  kita  kepada  kehantjuran  kita  sendiri.  Kehidupan  jang  terdiri  dari  kelas-kelas,  kasta-
kasta dan jang-punja dan tidak-punja menimbulkan perbudakan. 
Didalam  kehidupan  modern  manusia  berdjoang  untuk  meninggikan  harkat  kehidupan  rakjat.  Mereka  jang
tidak  menghiraukan  hal  ini  akan  dibinasakan  oleh  rakjat-banjak  dan  oleh  bangsa-bangsa  jang  berdjoang
untuk memperoleh haknja.,,Kita memerlukan persamaan hak. Kita  telah mengalami ketidaksamaan  selama
hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar-gelar. Walaupun saja dilahirkan dalam kelas ningrat, saja
tidak pernah menjebut diriku  raden dan  saja minta  kepada  saudara-saudara mulai dari  saat  ini dan  untuk
seterusnja supaja saudara-saudara djangan memanggil saja raden. 
Mulai  dari  sekarang  djangan  ada  seorangpun  menjebutku  sebagai  Tedaking  Kusuma  Rembesing  Madu  —
'Keturunan Bangsawan'. Tidak, aku hanja  tjutju dari  seorang petani. Feodalisme adalah kepunjaan masalah
jang  sudah  dikubur.  Feodalisne  hukan  kepunjaan  Indonesia  dimasa  jang  akan  datang."Sementara  aku
mendidik para pendengarku untuk menghabisi sistim feodal, aku melangkah selangkah madju, ialah kebidang
bahasa  Dalam  bahasa  Djawa  sadja  terdapat  13  tingkatan  jang  pemakaiannja  tergantung  pada  siapa  jang
dihadapi berbitjara, sedang kepulauan kami rrrempunjai tidak kurang dari 86 dialek sematjam  itu.,,Sampai
sekarang," kataku, ,,bahasa Indonesia harlja dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakjat biasa. Nah, mulai
dari hari ini menit ini mari kita berbitjara dalam bahasa Indonesia. 
,,Hendaknja rakjat Marhaen dan orang bangsawan berbitjara dalam bahasa jang sama. Hendaknja seseorang
dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranja dipulau  lain dalam bahasa jang sama. Kalau
kita, jang beranak-pinak seperti kelintji, akan mendjadi satu masjarakat, satu bangsa, kita harus mempunjai
satu bahasa persatuan. Bahasa dari  Indonesia Baru."Sebelurn  ini, seorang Djawa dari golongan rendah tidak
boleh  sekalikali menanjakan kepada orang Djawa  jang  lebih  tinggi deradjatnja,  'Apakah engkau memanggil
saja ?' Dia tidak akan berani mengutjapkan begitu sadja perkataan ,,engkau" kepada orang  jang  lebih atas.
Seharusnja ia memakai perkataan ,,kaki tuan" atau ,,kelom tuan". Dia harus mengutjapkan, ,,Apakah kelom
tuan memanggil saja ? "Tingkatan perhambaan sematjam inipun dinjatakan dengan gerak. 
Aku menundjuk dengan djari telundjukku, akan tetapi orang jang lebih rendah tingkatnja dihadapanku akan
menundjuk dengan ibudjari. Keramahan jang demikian itu memberikan kepada sipendjadjah suatu sendjata
rahasia  jang  membantu  melahirkan  suatu  bangsa  ,,tjatjing"  dan  ,,katak"  seperti  mereka  menamakannja.
Kamipun disebut sebagai ,,rakjat jang paling pemalu didunia."Bertahun-tahun kemudian aku tergila-gila pada
seorang  Puteri  jang muda  dan  tjantik  dari  salahsatu  kraton  di  Djawa,  akan  tetapi  penasehat-penasehatku
menjatakan,  bahwa  aku  sebagai  orang  jang  telah  bergabung  dengan  rakjat-djelata  tidak  mungkin
mengawininja. Sekalipun hatiku luka, mereka menundjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan
melawan feodalisme, djadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berachirlah hubungan ini dengan
suatu  kisah pertjintaan  setjara platonis. Dikalangan  kaum bangsawan di Djawa  seorang  isteri  tidak pernah
kehilangan  deradjatnja  jang  tinggi.  Kalau  ia  mengawini  seorang  lelaki  jang  lebih  rendah  deradjatnja,
suaminja harus mengadjukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bertjintaan dengan isterinja
sendiri,  sisuami  jang boleh djadi bergelar  raden,  terlebih dulu harus meminta  idzin dari  isterinja. Mungkin
maksudnja baik. Akan tetapi, aku tidak dapat melihat Sukarno dalam kedudukan jang demikian.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 40 dari 109
Didjaman  Feodal  kami  tidak mempunjai bentuk panggilan  jang  luas  seperti Mister, Mistres, Miss  atau  jang
dapat mentjakup  seluruh  lapisan dan  tingkat  seseorang. Ketika  aku memaklumkan Bahasa  Indonesia,  kami
memerlukan suatu rangkaian sebutan jang lengkap jang dapat dipakai setjara tidak berobah-robah antara tua
dan muda, kaja dan miskin, Presiden dan rakjat tani. Disaat  itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau
Bapak, Bu atau  Ibu dan Bung  jang berarti  saudara. Didjaman Revolusi Kebudajaan  inilah aku mulai dikenal
sebagai Bung Karno.Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi jang
kedua  adalah  dalam  kepertjajaan.  Aku  banjak  berpikir  dan  berbitjara  tentang  Tuhan.  Sekalipun  dinegeri
kami sebagian terbesar  rakjatnja beragama  Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada
Tuhannja  orang  Islam.  Pada  waktu  aku  melangkah  ragu  melalui  permulaan  djalan  jang  menudju  kepada
kepertjajaan,  aku  tidak melihat  Jang Maha-Kuasa  sebagai  Tuhan  kepunjaan  perseorangan. Menurut  djalan
pikiranku  maka  kemerdekaan  bagi  seseorang  meliputi  djuga  kemerdekaan  beragama.  Ketika  konsep
keagamaanku  meluas,  ideologi  dari  Pak  Tjokro  dalam  pandanganku  semakin  sempit  dan  semakin  sempit
djuga.  Pandangannja  tentang  kemerdekaan  untuk  tanah-air  kami  semata-mata  ditindjau  melalui  lensa
mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanja untuk beladjar. Djuga kawan-kawannja tidak
lagi mendiadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi mendjadi penerima. Aku sekarang
sudah mendjadi pemimpin. Aku mempunjai pengikut. Aku mempunjai  reputasi. Aku  sudah mendjadi  tokoh
politik jang sederadjat dengan Pak Tjokro. 
Dalam  hal  ini  tidak  terdjadi  pemutusan  tiba-tiba.  Ini  terdjadi  lebih mirip  dengan  pemisahan  diri  setjara
pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan  jang besar dibidang
politik,  akan  tetapi  antara  kami  tetap  terdjalin hubungan  jang erat. Orang Asia  tidak menemui  kesukaran
untuk  membedakan  ideologi  dengan  peri-kemanusiaan.  Ketika  seorang  nasionalis  bernama  Hadji  Misbach
menjerang  Pak  Tjokro  setjara  serampangan  dalam  suatu  kongres,  kuminta  supaja  dia minta ma'af  kepada
kawan  lamaku  itu. Hadji Misbach kemudian menjatakan penjesalannja. Menentang  seseorang dalam bidang
polrtik  tidaklah  berarti  bahwa  kita  tidak  mentjintainja  setjara  pribadi.  Bagi  kami,  jang  satu  tidak  ada
hubungannja dengan jang lain. Hal ini tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan
mentalita  orang  Timur.  Misainja  sadja,  kusebut  Pak  Alimin  dan  Pak  Muso.  Kedua-duanja  sering  bertindak
sebagai  guruku  dalam  politik  ketika  aku  tinggal  dirumah  Pak  Tjokro.  Kemudian mereka  berpindah  kepada
Komunisme,  pergi  ke Moskow  dan  belakangan  ditahun  1948,  setelah  aku mendjadi  Presiden, mengadakan
pemberontakan Komunis dan usaha perebutan kekuasaan. 
Mereka merentjanakan kedjatuhanku. Akan tetapi orang Djawa mempunjai suatu peribahasa, ,,Gurumu harus
dihormati, bahkan  lebih daripada orangtuamu sendiri." Ketika Pak Alimin sudah terlalu amat tua dan sakit,
aku mengundjunginja. Lalu surat-suratkabar mengotjeh, ,,Hee, lihat Sukarno mengundjungi seorang Komunis
!  "Ja,  Pak  Alimin  telah  mentjoba  mendjatuhkanku.  Akan  tetapi  dia  adalah  salah-seorang  guruku  dihari
mudaku.  Aku  berterima-kasih  kepadanja  atas  segala  jang  baik  jang  telah  diberikannja  kepadaku  Aku
berhutang  budi  kepadanja.  Jang  sama  beratnja  untuk  dilupakan  ialah  kenjataan,  bahwa  dia  adalah  salah-
seorang  perintis  kemerdekaan.  Seseorang  jang  berdjuang  untuk  pembebasan  tanah-airnja—tak  pandang
bagaimana  perasaannja  terhadapku  kemudian  —  berhak  mendapat  penghargaan  dari  rakjatnja  dan  dari
Presidennja.Sama  djuga  halnja  dengan  Pak  Tjokro.  Sampai  dihari  aku  akan menutup mata  untuk  selama-
lamanja aku akan tetap menulis namanja dengan hati jang lembut. Dalam bidang politik Bung Karno adalah
seorang  Nasionalis.  Dalam  kepertjajaan  Bung  Karno  seorang  jang  beragama.  Akan  tetapi  Bung  Karno
mempunjai  kepertjajaan  jang bersegi  tiga. Dalam bidang  ideologi,  ia  sekarang mendjadi  sosialis. Kuulangi
bahwa  aku  mendjadi  sosialis.  Bukan  Komunis.  Aku  tidak  mendjadi  Komunis.  Masih  sadja  ada  orang  jang
berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur.
Mereka melompat dan memekik, ,,Haaa, saja sudah tahu ! Bahwa Bung Karno seorang Komunis !'' Tidak, aku
bukan  Komunis.  Aku  seorang  SosiaIis.  Aku  seorang  Kiri.  Orang  Kiri  adalah  mereka  jang  menghendaki
perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang. 
Kehendak  untuk menjebarkan  keadilan  sosial  adalah  kiri.  Ia  tidak perlu Komunis. Orang  kiri bahkan dapat
bertjektjok  dengan  orang  Komunis.  Kiriphobi,  penjakit  takut  akan  tjita-tjita  kiri,  adalah  penjakit  jang
kutentang  habis-habisan  seperti  Islamophobi.  Nasionalisme  tanpa  keadilan  sosial  mendjadi  nihilisme.
Bagaimana  suatu  negeri  jang  miskin  menjedihkan  seperti  negeri  kami  dapat  menganut  suatu  aliran  lain
ketjuali haluan sosialis ? Mendengar aku berbitjara tentang demokrasi, seorang pemuda menanjakan apakah
aku seorang demokrat. Aku berkata, ,,Ja, aku pasti sekali seorang demokrat." Kemudian dia berkata, ,,Akan
tetapi menurut pandangan saja tuan seorang sosialis." ,,Saja sosialis, djawabku. Ia menjimpulkan semua itu
dengan,  ,,Kalau  begitu  tentu  tuan  seorang  sosialis  demokrat."Mungkin  ini  salah  satu  djalan  untuk
menamaiku. Orang  Indonesia  berbeda  dengan  bangsa  lain  didunia.  Sosialisme  kami  adalah  sosialisrne  jang
dikurangi  dengan  pengertian  rnaterialistisnja  jang  ekstrim,  karena  bangsa  Indonesia  adalah  bangsa  jang
terutama takut dan tjinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu tjampuran. Kami menarik persamaan
politik dari Declaration of Independence dari Amerika.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 41 dari 109
Kami menarik persamaan spirituil dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Kedalam
tjampuran jang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional : Marhaenisme. Kemudian kami memertjikkan
kedalamnja Gotong-rojong jang mendjadi djiwa,  inti daripada bekerdja bersama, hidup bersama dan saling
bantu-membantu.  Kalau  ini  ditjampurkan  semua,  maka  hasilnja  adalah  Sosialisme  Indonesia.  Konsepsi-
konsepsi  ini, jang dimulai semendjak tahun duapuluhan dan tak pernah aku menjimpang daripadanja, tidak
termasuk begitu sadja dalam penggolongan sesuai dengan djalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang
harus  mengingat,  bahwa  aku  tidak  mempunjai  djalan  pikiran  Barat.  Merubah  rakjat  sehingga  mereka
tergolong dengan baik dan teratur kedalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin jang telah
mentjoba,  gagal  dalam  usahanja.  Aku  selalu  berpikir  dengan  tjara  mentalita  Indonesia.  Semeadjak  dari
sekolah menengah  aku  telah mendjadi  pelopor.  Dalam  hal  politik  aku  tidak  berpegang  kepada  salah-satu
tjontoh.  Mungkin  inilah  jang  menjebabkan,  mengapa  aku  djadi  sasaran  dari  demikian  banjak  salah-
pengertian.  Aliran  politikku  tidak  sama  dengan  aliran  orang  lain.  Tapi  disamping  itu  latar  belakangkupun
tidak  bersamaan  dengan  siapapun  djuga.  Nenekku  memberiku  kebudajaan  Djawa  dan  Mistik.  Dari  bapak
datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari
Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan-kawannja datang Nasionalisme.Aku menambah renungan-renungan
dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku beladjar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku beladjar kebaikan
dari  Gandhi.  Aku  sanggup  mensynthese  pendidikan  setjara  ilmu  modern  dengan  kebudajaan  animistik
purbakala  dan  mengambil  ibarat  dari  hasilnja  mendjadi  pesan-pesan  pengharapan  jang  hidup  dan  dapat
dihirup sesuai dengan pengertian dari rakjat kampung. 
Hasil  jang  keluar  dari  semua  ini  dinamakan  orang—dalam  istilah  biasa—  Sukarnoisme.  Aku  tumbuh  dari
Sarekat  Islam,  akan  tetapi  belum menukarnja  dengan  partai  lain  jang  formil.  Apa  jang  disebut  organisasi
politikku  ditahun  1926  adalah  pertumbuhan dari Bandung  Studenten Club  jang disponsori  oleh  universitas,
agar para mahasiswa dapat bermain bridge atau biljar. Ia didirikan untuk pesta-pesta dan kegembiraan. Anak
Bumiputera dibolehkan masuk club  itu akan tetapi, setelah mengikutinja, aku menjadari bahwa kami tidak
dapat mendjadi anggota pengurus. ,,Saja tidak dapat menerima keadaan sematjam itu," kataku, ,,Saja akan
keluar dari perkumpulan  ini." Seperti di Modjokerto, setiap orang main  ikut-ikutan dengan pemimpin. Pada
waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini, anak Indonesia lainnjapun mengikutinja. Dengan lima
orang anak  Indonesia aku mendirikan Perkumpulan  Studi. Aku memilih bahan batjaan  jang bernilai  seperti
,,Handelingen  der  Tweede  Kamer  van  de  Staten Generaal"  (Kegiatan  Tweede  Kamer  dari  Staten Generaal
Negeri Belanda)  dari perpustakaan. Dan  kami  setjara berganti-ganti membatjanja  seminggu  seorang. Pada
setiap  penutupan  lima  mingguan  sekali  kami  mengadakan  pertemuan—biasanja  dirumahku  —  dan  duduk
sepandjang  malam  memperdebatkan  pokok-pokok  dari  strategi  jang  ada  didalamnja.  Orang  selalu  dapat
mengetahui,  kapan  Bung  Karno  mempeladjari  buku  itu.  Kalimat-kalimat  jang  perlu,  diberi  bergaris
dibawahnja.  Paragraf-paragraf  diberi  lingkaran.  Siapa  sadja  jang membatjanja  setelah  itu  dapat melihat
dengan  mudah  aliran  pikiranku.  Kutuliskan  kritik-kritikku  dipinggir  pinggir  halaman.  Aku  memberi  tanda
halaman-halaman jang kusetudjui dan memberi tjatatan dibawah halaman-halaman jang tidak kusetudjui. 
Tadinja  segar  dan  bersih  dari  rak  perpustakaan,  djilid-djilid  jang  berharga  itu  kemudian  tidak  lagi  bersih
sesudah  itu.Kedalam  Algemeene  Studiclub  ini  hinggaplah  intellektuil-intellektuil  muda  bangsa  Indonesia,
banjak  jang baru  sadja  kembali dari Negeri Belanda  dengan  idjazah  kesardjanaannja  jang  gilang-gemilang
ditangan mereka. Pertukaran buah-pikiran dalam bidang politik jang aktif adalah kegiatan kami jang pokok.
Tjabang-tjabang  dari  Studieclub  ini  tumboh  di  Solo,  Surabaja  dan  kota  lainnja  di  Djawa.  Kami  kemudian
menerbitkan  madjalah  perkumpulan  —  Suluh  Indonesia  Muda  -—  dan,  sebagaimana  dapat  diduga,  Ketua
Sukarno adalah penjumbang tulisan jang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soal-soal politik sehingga
kurang memikirkan soal-soal lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati samasekali. Pikiranku terlalu
sangat tertudju kepada segi jang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan jang tidak berarti, sehingga
dimalam  terang  bulan  jang  penuh  gairah  aku  bahkan  lebih memikirkan  isme  daripada memikirkan  Inggit.
Pada waktu muda-mudi jang lain menemukan kasihnja satu sama lain, aku mendekam dengan ,,Das Kapital".
Aku menjelam  lebih  dalam  dan  lebih  dalam  lagi.  Djadi  aku mendekati  achir  daripada windu  jang  ketiga.
Sewindu  adalah  suatu  djangka waktu  jang  lamanja  delapan  tahun. Tahun  1901  sampai  1909  adalah windu
dengan  pemikiran  kanak-kanak.  1910  sampai  1918  adalah windu  pengembangan.  1919  sampai  1927 windu
untuk mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang. 
Bab 8
Mendirikan P.N.l.
WAKTUNJA sudah tepat bagiku untuk mendirikan partaiku sendiri. Ada dua faktor. Ditahun 1917 dinasti dari
Hohenzollern terpetjah-petjah di Djerman, Franz Josef djatuh, Czar Alexander gojah. Sepihan-sepihan dari
mahkota-mahkota  dunia  jang  telah  dibinasakan  itu  melajang-lajang  melalui  telinga  Ratu  Wilhelmina  dan
geledek  dari  revolusi  jang  berdekatan  menggulung-gulung  melalui  pekarangannja.1917  membawa
pemberontakan Bolsjewik dari  Lenin dan  lahirnja Uni  Soviet. Bela Kun memimpin  suatu pemberontakan di BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 42 dari 109
Hongaria. Buruh Djerman mendirikan Republik Weimar. Disebelah kanan Negeri Belanda dan disebelah kirinja
menganga djurang chaos. Sedang  ia  sendiri  setelah  tiga  tabun peperangan hantjur dalam  segi materiil dan
spirituil. Karena hubungan antara Negeri Belanda dan Hindianja  terputus akibat  gangguan peperangan dan
perhubungan  laut jang hampir samasekali tidak ada, maka bagian terbesar dari kekajaannja—kekajaan jang
berasal  dari  anak-tirinja  Indonesia—punah.  Pun  dibidang  politik  ia  lumpuh.  Kebutuhannja  jang  besar
menjebabkan  kekosongan  jang  serius,  jang  segera  diisi  oleh  ketidak-puasan  dan  kekatjauan.  Untuk
melengkapi  nasib  sialnja, maka  seorang  Sosialis  bernama  Dr.  Pieter  Jelles  Troelstra mengadakan  gerakan
revolusioner proletariat. 
Pertama  perang,  kemudian  timbulnja  revolusi, menjebabkan  negeri  Belanda mendjadi  lemah.  Digerakkan
oleh  peristiwa-peristiwa  ini  nasionalisme  di  Hindia  Belanda  tumbuh  bagai  bisul-bisul.  Orang  Belanda
menjadari,  bahwa  mereka  harus  melunakkan  hati  penduduknja  jang  berkulit  sawomatang  disepandjang
katulistiwa,  oleh  karena  Belanda  sudah  tjukup  banjak menghadapi  kesukaran  dipekarangan muka  rnereka
sendiri,  hal mana  tidak memberi  kemungkinan  untuk  bisa memadamkan  pemberontakan  bila  berkobar  di
Indonesia.  Hindia  adalah  gabusnja  tempat  Belanda  mengapung  Dengan  segala  daja-upaja  mereka  perlu
membelenggu  terus  ,,saudara-saudara"  mereka  jang  berkulit  sawomatang  setjara  patuh.  Karena  negeri-
dibalik-pematang itu terlalu lemah untuk menggunakan kekuatan, maka udara dari peristiwa-peristiwa dunia
membawa mereka kepada Djandji Nopember sebagai djalan untuk menenangkan keadaan. Dibulan Nopember
tahun 1918 Gubernur Djendral, Graaf van Limburg Stirum, mendjandjikan kepada kami hak-hak politik jang
lebih luas, kebebasan jang lebih besar, kemerdekaan untuk mengadakan rapat-rapat umum, hak bersuara di
Dewan Rakjat. 
Segera  kami menjadari,  bahwa  Negeri  Belanda  tidak mempunjai maksud  untuk menepatil  djandji-djandji
jang terkenal busuk dan pendek umurnja itu. Dalam setahun Belanda mengchianati kami dengan mengangkat
Gubernur Djendral Dirk Fock, Jang paling reaksioner dari segala djaman. Setjara perbandingan maka rezim-
rezim sebelumnja adalah moderat. Akan tetapi Fock sikapnja  lebih menindas dan mengurangi hak-hak  jang
telah pernah diberikan.  Ia menekan, mengedjar-ngedjar dan mengadakan undang-undang  jang mengurangi
kebebasan  apapun  djuga  jang  kami  peroleh  sebelumnja.  Kalau  seseorang mengeluarkan  tjelaan,  sekalipun
,,tersembunji",  dapat menjebabkannja masuk  pendjara. Dengan  perkataan  lain,  kalau  engkau  seorang  diri
dalam  sebuah  gua  dan  utjapanmu  jang mengigau  dalam  pengasingan  itu  dilaporkan  kepada  polisi,  engkau
dapat  didjatuhi  hukuman  enam  tahun.  Engkau  bahkan-bahkan  masuk  pendjara  karena  berbitiara  dalam
mimpi  !  Pemerintahan  ini  memberikan  peluang  bagi  pemakaian  ,,Undang-undang  Luarbiasa",  jang
menjebabkan  demikan  banjak  saudara  kami  laki-laki  dan  perempuan  dikirim  ketempat-tempat  jang
membikin berdiri bulu-roma. Undang-undang itu memberi kekuasaan untuk menginternir atau mengeksternir
seorang  Bumiputera  masuk  pendjara  atau  pengasingan  tanpa  diadili  terlebih  dulu.  Pada  waktu  Negeri
Belanda memperoleh kekuatan, maka keadaan semakin memburuk. Fock jang keterlaluan itu digantikan oleh
De Graeff jang lebih djahat lagi. Waktunja sudah datang untuk mendesakkan nasionalisme. Tapi bagaimana ? 
Kami  tidak mempunjai  satu  partaipun  jang  kuat.  Sarekat  Islam  petjah  dua.  Pak  Tjokro  tetap memegang
kendali dari bagian jang sudah  lemah, sedang bagian jang  lain merobah namanja mendjadi Sarekat Rakjat.
Dengan  dalih  perselisihan maka  Komunisme menjusup  kedalam  Sarekat  Rakjat.  Dalam  tahun  1926 mereka
merentjanakan  dan  mendjalankan  ,,Revolusi  Fisik  Besar  untuk  Kemerdekaan  dan  Komunisme".
Pemberontakan  ini  menemui  kegagalan  jang  menjedihkan.  Belanda  menindasnja  dengan  serta-merta  dan
lebih  dari  2.000  pemimpin  diangkut  dengan  kapal  kepelbagai  tempat  pengasingan.  10.000  orang  lagi
dipendjarakan. Akibat selandjutnja adalah chaos. Serekat Rakjat dinjatakan terlarang. Mereka jang memilih
Sarekat Rakiat sekarang tidak punja apa-apa. Mereka jang semakin tidak puas dengan Tjokropun tidak punja
apa-apa  Tidak  ada  lagi  inti  gerakan  nasional  jang  kuat.  Dalam  pada  itu  aku  sudah menemukan  pegangan
dalam bidang politik. Pada  setiap  tjangkir kopi  tubruk, disetiap  sudut dimana orang berkumpul nama Bung
Karno  mendjadi  buah-mulut  orang.  Kebentjian  umum  terhadap  Belanda  dan  kepopuleran  Bung  Karno
memperoleh tempat jang berdampingan dalam setiap buah-tutur. 
Pada  tanggal empat Djuli 1927, dengan dukungan dari enam orang  kawan dari Algemeene  Studieclub, aku
mendirikan P.N.I., Partai Nasional  Indonesia. Rakjat sudah siap. Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada
jang  dapat menahan  kami—ketjuali  Belanda.  Tudjuan  daripada  P.N.I.  adalah  kemerdekaan  sepenuhnja  —
SEKARANG. Bahkan pengikut-pengikutku jang paling setia gemetar oleh tudjuan jang terlalu radikal ini, oleh
karena  organisasi-organisasi  sebelumnja  selalu menjembunjikan  sebagian  dari  tudjuannja,  supaja  Belanda
tidak mengganggu mereka. Denganku, tidak ada jang perlu disembunjikan, tanpa tedeng aling-aling. Dalam
perdebatan  diruangan  jang  tertutup,  beberapa  orang  mentjoba  menggelintjirkanku  dari  rel  itu.  ,,Rakjat
belum  lagi  siap,"  kata mereka.,,Rakjat  SUDAH  siap,"  djawabku  dengan  tadjam.  ,,Dan mendjadi  sembojan
kitalah:  'Indonesia  merdeka  SEKARANG.'  Kukatakan  'Indonesia  merdeka  SEKARANG.",,Ini  tidak  mungkin
dilakukan, Bung," mereka memotong  ,,Tuntutan Bung Karno  terlalu keras. Kita akan dihantjurkan  sebelum
mulai.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 43 dari 109
Memang massa rakjat mendengarkan Bung Karno, mengikuti Bung Karno setjara membabi-buta, akan tetapi
Indonesia  merdeka  SEKARANG  adalah  terlalu  radikal.  Pertama  kita  harus  mentjapai  persatuan  nasional
terlebih  dahulu.",,Kita  tidak  bersatu.  Betul.  Kita  terlalu  banjak mempunjai  ideologi.  Setudju.  Kita  harus
memperoleh persatuan nasional.  Ja. Akan  tetapi  kita  tidak  lagi berdjalan pelahan-lahan.  350  tahun  sudah
tjukup pelahan  !  "Mereka mentjoba menerangkan pandangannja  jang hebat.  ,,Pertama kita harus mendidik
rakjat kita  jang djutaan. Mereka belum dipersiapkan  supaja dapat mengendalikan diri  sendiri. Kedua, kita
harus memperbaiki  kesehatan mereka  supaja  dapat  berdiri  tegak.  Lebih  baik  kalau  segala  sesuatu  sudah
lengkap dan selesai terlebih dahulu.",,Satu-satunja saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah
bilamana kita  sudah mati," aku berteriak.  ,,Untuk mendidik mereka  setjara pelahan akan memakan waktu
beberapa  generasi.  Kita  tidak  perlu  menulis  thesis  atau  membasmi  malaria  sebelum  kita  memperoleh
kemerdekaan. Indonesia merdeka SEKARANG ! 
Setelah  itu  baru  kita  mendidik,  memperbaiki  kesehatan  rakjat  dan  negeri  kita.  Hajolah  kita  bangkit
sekarang.",,Tentu Belanda akan menangkap kita.",,Belandapun akan mempunjai respek sedikit terhadap kita.
Sudah mendjadi sifat manusia untuk meludahi jang lemah, akan tetapi sekalipun kita menghadapi lawan jang
gagah  berani,  setidak-tidaknja  kita  merasa  bahwa  dia  pantas  mendjadi  lawan."Aku  memandang  diriku
sebagai seorang pemberontak. Kupandang P.N.I. sebagai tentara pemberontak. 
Ditahun  1928  aku mengusulkan.  agar  semua  anggota memakai  pakaian  seragam.  Usulku  ini menimbulkan
polemik  jang hebat.  Seorang wakil  jang  setia dari Tegal berdiri dan menjatakan,  ,,Ini  tidak  sesuai dengan
kepribadian nasional.  Seharusnja  kita memakai  sarung  tanpa  sepatu atau  sandal. Hendaklah  kita  kelihatan
seperti orang-orang revolusioner sebagaimana kita seharusnja."Aku tidak setudju. ,,Banjak orang jang kaki-
ajam,  akan  tetapi mereka  bukan  orang  jang  revolusioner.  Banjak  orang  jang  berpangkat  tinggi memakai
sarung,  tapi  mereka  bekerdja  dengan  sepenuh  hati  untuk  kolonialis.  Jang  menandakan  seseorang  itu
revolusioner adalah bakti  jang  telah ditunaikannja dalam perdjoangan. Kita adalah  suat''  tentara,  saudara-
saudara.  ,,Selandjutnja  saja  mengandjurkan  untuk  tidak  memakai  sarung,  sekalipun  berpakaian  preman.
Pakaian  jang  kuno  ini  menimbulkan  pandangan  jang  rendah.  Disaat  orang  Indonesia  memakai  pantalon,
disaat  itu  pula  ia  berdjalan  tegap  sepert;  setiap  orang  kulitputih.  Akan  tetapi  begitu  ia  memasangkan
lambang  feodal  disekeliling  pinggangnja  ia  lalu  berdjalan  dengan  bungkukan  badan  jang  abadi.  Bahunja
melentur  kemuka.  Langkahnja  tidak  djantan.  Ia  beringsut  dengan merendahkan  diri.  Pada  saat  itupun  ia
bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk.",,Sungguhpun begitu," Ali Sastroamidjojo S.H. membalas, jang
ketika  itu mendjadi ketua Tjabang P.N.I. dan kemudian ditahun  limapuluhan mendjadi Dutabesar  Indonesia
jang  pertama  di  Amerika  Serikat,  ,,Sarung  itu  sesuai  dengan  tradisi  Indonesia.",,Tradisi  Indonesia  dimasa
jang lalu—betul," aku meledak, ,,Akan tetapi tidak sesuai dengan Indonesia Baru dari masa datang. 
Kita  harus  melepaskan  diri  kita  dari  pengaruh-pengaruh  masa  lampau  jang  merangkak-rangkak  seperti
pelajan, djongos dan orang dusun jang tidak bernama dan tidak berupa. Mari kita tundjukan bahwa kita sama
progressif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian
modern."Ali berdiri  lagi. ,,Untuk memperoleh pakaian seragam perlu biaja jang besar, sedangkan kita tidak
punja  uang.",,Kita  akan  usahakan  pakaian  jang  paling  murah,"  aku  menjarankan.  ,,Tjukup  dengan  badju
lengan pendek dan pantalon. Supaja kita kelihatan gagah dan tampan tidak perlu biaja jang besar. Kita harus
berpakaian  jang  pantas  dan  kelihatan  sebagai  pemimpin."  Ada  jang  memihak  kepadaku.  Sebagian  lagi
menjokong Ali. Aku kalah. 
Sungguhpun  demikian  keinginan  untuk  berpakaian  seragam  ini  tidak  pernah  hilang  dari  pikiranku.  Dan
begitulah, setelah mengambil sumpah sebagai Presiden ditahun 1945 aku mulai memakai uniform. Pers asing
kemudian mengeritikku. Mereka mengedjek. Uhhh, Presiden Sukarno memakai kantjing dari emas. Uhhh ! Dia
pakai uniform hanja untuk melagak."Tjobalah pertimbangkan, aku  seorang ahli  ilmu djiwa massa. Memang
ada pakaianku jang lain. Akan tetapi aku lebih suka memakai uniform setiap muntjul dihadapan umum, oleh
karena  aku menjadari  bahwa  rakjat  jang  sudah  dindjak-indjak  kolonialis  lebih  senang melihat  Presidennja
berpakaian  gagah.  Taruhlah  Kepala  Negaranja muntjul  dengan  badju  kusut  dan  berkerut  seperti  seorang
wisatawan  dengan  sisi  topinja  jang  lembab  dan  penuh  keringat,  aku  jakin  akan  terdengar  keluhan
keketjewaan. Rakjat Marhaen sudah biasa melihat pakaian sematjam itu dimana-mana. Pemimpin Indonesia
haruslah  seorang  tokoh  jang memerintah.  Dia  harus  kelihatan  berwibawa.  Bagi  suatu  bangsa  jang  pernah
ditaklukkan memang perlu hal-hal jang demikian itu. Rakjat kami sudah begitu terbiasa melihat orang-orang
asing  kulitputih mengenakan uniform  jang hebat,  jang dipandangnja  sebagai  lambang dari  kekuasaan. Dan
merekapun bagitu terbiasa melihat dirinja sendiri pakai sarung, seperti ia djadi tanda dari rasa rendah-diri. 
Ketika  aku  diangkat  mendjadi  Panglima  Tertinggi,  aku menjadari  bahwa  rakjat menginginkan  satu  tokoh
pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Pada mulanja aku bahkan memakai pedang emas dipinggangku. Dan
rakjat kagum. Sebelum orang lain menjebunja, akan kukatakan padamu lebih dulu. Ja, aku tahu bahwa aku
kelihatan  lebih pantas dalam pakaian seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian netjis
dan  rapi,  kalau aku berpakaian militer maka  setjara mental aku berpakaian dalam  selubung  kepertjajaan. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 44 dari 109
Kepertjajaan  ini  pindah  kepada  rakjat.  Dan  mereka  memerlukan  ini.1928  adalah  tahun  propaganda  dan
pidato.  Bandung  kubagi  dalam  daerah-daerah  politik:  Bandung  Utara,  Bandung  Selatan,  Bandung  Timur,
Barat,  Tengah,  daerah  sekitar  dan  sebagainja.  Ditiap  daerah  itu  aku  berpidato  sekali  dalam  seminggu,
sehingga aku diberi djulukan sebagai ,,Singa Podium".Kami tidak mempunjai pengeras-suara, karena itu aku
harus  berteriak  sampai  parau.  Diwaktu  sore  aku  memekik-rnekik  kepada  rakjat  jang  menjemut  ditanah-
lapang.  Dimalam  hari  aku membakar  hati  orang-orang  jang  berdesak-desak  sampai  berdiri  dalam  gedung
pertemuan.  Dan  dipagi  hari  aku menarik  urat  leher  dalam  gedung  bioskop  jang  penuh  sesak  dengan  para
pentjinta tanah-air. Kami pilih gedung bioskop untuk pertemuan pagi, oleh karena pada djam itu kami dapat
menjewanja  dengan  ongkos  murah.  Lalu  berdatangan  pulalah  para  pedjoang  kemerdekaan  dari  segala
pendjuru  pulau  Djawa  ke  Bandung  untuk  mendengarkan  aku  berpidato.  Seorang  laki-laki  mengadakan
perdjalanan dari Sumatra Selatan untuk mendengarkan pidato dari Singa Podium  jang, katanja,  ,,sungguh-
sungguh menjentuh  tali-hati  setiap  orang  seperti pemain  ketjapi". Kenjataan  ini  adalah  kesan  jang  sangat
luarbiasa  baginja,  oleh  karena  ia  tidak mempunjai  uang.  Aku  terpaksa memindjam  uang  segobang  untuk
membelikannja nasi. Keadaan kami terlalu melarat, sehingga uang sepeserpun ada harganja. Aku tidak punja
uang supaja dapat membantunja sekalipun hanja sekian. Akan tetapi kesetiaan dari patriot utama ini patut
dihargai. Setelah dua tahun  ia kukirim kembali untuk mendjalankan tugas didaerahnja sendiri. Kamaruddin
ini mendjadi  salah-seorang kawan  seperdjoanganku  jang akrab  sekarang. Masa  ini djamannja kerdja keras.
Djaman jang memberikan kegembiraan sebesar-besarnja jang pernah kualami. Membikin kerandjingan massa
rakjat sampai mereka mabuk dengan anggurnja ilham adalah suatu kekajaan jang tak ternilai bagiku, untuk
mana aku mempersembahkan hidup ini. Bagiku ia adalah zat hidup. 
Apabila  aku  berbitjara  tentang  negeriku,  semangatku  berkobar-kobar.  Aku  mendjadi  perasa.  Djiwaku
bergetar. Aku dikuasai oleh  getaran-djiwa  ini dalam arti  jang  sebenar-benarnja dan  getaran  ini mendjalar
kepada  orang-orang  jang  mendengarkan.  Sajang,  diantara  pendengarku  semakin  banjak  anggota  polisi.
Mereka  selalu berada dimana  sadja,  kalau  aku berpidato dan menguraikan  siasatku dengan  teliti. Memang
ada tjara-tjara untuk mengelabui orang-orang-asing sehingga mereka tidak bisa menangkap setiap insinuasi.
Engkau  dapat  menggunakan  peribahasa  daerah  atau  menjatakan  suatu  pengertian  dengan  gerak.  Rakjat
mengerti. Dan mereka bersorak. 
Didjaman kami, kami tidak membalas dendam kepada polisi. Taruhlah kami dapat berbuat sedemikian, akan
tetapi hasilnja djauh lebih menjenangkan dengan mempermainkannja. Kalau aku berhadapan dengan wadjah
baru  jang  Mengikutiku  dari  belakang  setelah  selesai  berpidato,  sikapku  selalu  ramah.  Aku  tidak  pernah
membesarkan suara dan mengeledek, ,,Hee, apa-apaan kamu mengikuti aku, ha ?" Tidak pernah sekasar itu.
Dengan  senjum  jang  menjenangkan  aku  seenaknja  membiarkannja  melakukan.  pengedjaran  dibelakangku
dalam  teriknja  sinar matahari menudju  salah  satu daerah pesawahan dipinggir  kota. Dari pesawat-terbang
maka  daerah  pesawahan  dengan  petak-petak  ketjil  kelihatan  menghampar  bagai  selimut  jang  ditambal-
tambal. Dan pematang-pematang jang mengelilingi tiap petak merupakan dinding penahan air supaja tetap
tinggal dalam petak  itu dan menggenangi benih. Kubiarkan orang  itu mengikuti djedjakku kepinggir daerah
pesawahan,  kuletakkan  sepeda  diatas  rumput  dan  berlari  sepandjang  pematang  kerumah  seorang  kawan.
Karena  tiba-tiba  timbul  dalam  pikiranku  hendak  mengundjunginja.  Sudah  tentu  aku  memilih  kawan  jang
tinggal tjukup djauh dari djalan dan kira-kira setengah mil melalui pematang sawah. 
Aku tahu betul, bahwa orang Belanda  jang gemuk dan goblok  itu tidak boleh meninggalkan sepeda mereka
dipinggir  djalan  kalau  tidak  ada  jang  mendjaga.  Dan  adalah  tugas  kewadjiban  mereka  untuk  tidak
membiarkan lawan seperti Bung Karno lepas dari pandangannja. Djadi, apa akal orang Belanda terkutuk itu ?
Tiada  akal mereka  lain  selain memikul  sepeda  jang  berat  itu,  lalu  berdjalan  dengan  terhunjung-hunjung
merentjahi  air  sawah  atau  meniti  pematang  jang  ketjil  itu  sebisa-bisanja.  Memandangi  orang-orang  ini
berkeringat, memusatkan  tenaga dan  terhunjung-hunjung  itu memberikan  kegembiraan  kepadaku  jang  tak
ada taranja. Tjobalah bajangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah peloporpelopor revolusi. Bersumpah
untuk menggulingkan Pemerintah. Dan Sukarno—mendjadi duri jang paling besar. Setiap hari tadjuk-rentiana
menentangku dan tak pernah terluang waktu barang sedjam dimana aku tidak dikedjar-kedjar oleh dua orang
detektif atau beberapa orang mata-mata  sematjam  itu.Aku mendjadi  sasaran utama bagi Belanda. Mereka
mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku
agar  bisa  luput  dari  intipan  ini.  Kalau  para  pemimpin  dari  kota  lain  datang,  aku  harus mentjari  tempat
rahasia  untuk  berbitjara.  Seringkali  aku mengadakan  pertemuan  penting  dibagian  belakang  sebuah mobil
dengan merundukkan  kepala. Dengan begini polisi  tidak dapat mendengar atau melihat apa  jang  terdjadi.
Kami  harus  mendjalankan  tjara  penipuan  jang  demikian  itu.Aku  memikirkan  siasat  gila-gilaan  untuk
membikin bingung polisi. 
Tempat  lain  jang kami pergunakan untuk pertemuan  ialah  rumah pelatjuran. Aduh,  ini  luarbiasa bagusoja.
Hanja semata-mata untuk memenuhi kepentingan tugasku. Kemana lagi seseorang jang dikedjar-kedjar harus
pergi,  supaja aman dan bebas dari ketjurigaan dan dimana kelihatannja  seolah-olah kepergiannja  itu  tidak
untuk  menggulingkan  pemerintah?  Tjoba.......  dimana  lagi  ?  Djadi  berapatlah  kami  disana,  ditempat BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 45 dari 109
pelatjuran, sekitar djam delapan dan sembilan malam, jaitu waktu jang tepat untuk itu. Kami pergi sendiri-
sendiri atau dalam kelompok ketjil. Setelah memperoleh kebulatan kata kami bubar; seorang melalui pintu
depan, dua orang agi melalui pintu samping, aku mengambil djalan belakang dan seterusnja.Selalu pada hari
berikutnja aku harus berurusan dengan Komisaris Besar Polisi, Albrechts. Setelah memeriksa tentang gerak-
gerikku ia menjerang ,,Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada disebuah
rumah  pelatjuran  semalam.  Apakah  tuan mengingkarinja  ?"  ,,Tidak,  tuan"  djawabku  dengan  suara  rendah
sambil memandang  seperti orang  jang berdosa, hal mana  sepantasnja bagi orang  jang  sudah kawin.  ,,Saja
tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saja, saja kira."Kemudian ia menarik mulutnja kebawah
kedekat mulutku dan bersuara  seperti menjalak,  ,,Untuk  apa? Kenapa  tuan pergi  kesana  ?"Lalu  kudjawab,
,,Apa maksud  tuan  ?  Bukankah  saja  seorang  lelaki  ?  Bukankah  umur  saja  lebih  dari  16  tahun  ?",,Nah,"  ia
meringis, mermandang  kepadaku  dekat-dekat.  ,,Kami  tahu.  Apa  tuan  pikir  kami  bodoh?  Lebih  baik  terus-
terang.  Tuan  dapat mentjeritakan  kepada  kami mengapa  tuan  kesana.  Apa  alasannja  ?",,Jaaahhh,  dugaan
tuan untuk apa saja kesana ?" Kataku agak kemalu-maluan. ,,Untuk bertjintaan dengan seorang perempuan,
itulah alasann ja.",,Saja akan buat laporan lengkap mengenai ini.",,Untuk siapa ? Isteri saja ?",,Tidak, untuk
Pemerintah," dia membentak.,,O," kataku terengah mengeluarkan keluhan jang bersuara, .,Baiklah."Pelatjur
adalah mata-mata jang paling baik didunia. 
Aku  dengan  segala  senang  hati mengandjurkan  ini  kepada  setiap  Pemerintah  Dalam  gerakan  P.N.I.-ku  di
Bandung terdapat 670 orang dan mereka adalah anggota  jang paling setia dan patuh daripada anggota  lain
jang  pernah  kuketahui.  Kalau menghendaki mata-mata  jang  djempolan,  berilah  aku  seorang  pelatjur  jang
baik. Hasilnja mengagumkan sekali dalam pekerdjaan ini.Tak dapat dibajangkan betapa bergunanja mereka
ini.  Jang  pertama,  aku  dapat menjuruh mereka menggoda  polisi  Belanda.  Djalan  apa  lagi  jang  lebih  baik
supaja melalaikan orang dari kewadjibannja selain mengadakan pertjintaan jang bernafsu dengan dia. 'kan ?
Dalam keadaan jang mendesak aku menundjuk seorang polisi tertentu dan membisikkan kepada bidadariku,
,,Buka  kupingmu.  Aku  perlu  rahasia  apa  sadja  jang  bisa  kaubudjuk  dari  babi  itu."  Dan  betul-betul  ia
memperolehnja. Polisi-polisi  jang  tolol  ini  tidak pernah mengetahui, dari mana datangnja keterangan  jang
kami peroleh. Tak satupun anggota partai jang gagah dan terhormat dari djenis laki-laki dapat mengerdjakan
tugas ini untukku ! Masih ada prestasi lain jang mengagumkan dari mereka ini. 
Perempuan-perempuan  latjur  adalah  satu-satunja  diantara  kami  jang  selalu  mempunjai  uang.  Mereka
mendjadi penjumbang jang baik apabila memang diperlukan. Anggota-anggotaku ini bukan sadja penjumbang
jang  bersemangat,  bahkan  mendjadi  penjumbang  jang  besar.  Sokongannja  besar  ditambah  lagi  dengan
sokongan  tambahan.  Aku  dapat  menggunakannja  lebih  dari  itu.Sudah  tentu  tindakanku  ini  mendapat
ketjaman  hebat  karena memasukkan  para  pelatjur  dalam  partai.  Sekali  lagi  Ali  jang  berbitjara.  ,,Sangat
memalukan,"  keluhnja.  ,,Kita merendahkan  nama  dan  tudjuan  kita  dengan memakai  perempuan  sundal—
kalau  Bung  Karno  dapat  mema'afkan  saja  memakai  nama  itu.  Ini  sangat  memalukan.",,Kenapa  ?"  aku
menentang.  ,,Mereka  djadi  orang  revolusioner  jang  terbaik.  Saja  tidak mengerti  pendirian  Bung  Ali  jang
sempit.",,Ini melanggar  susila", katanja menjerang.  ,,Apakah Bung Ali pernah menanjakan alasan mengapa
saja  mengumpulkan  670  orang  perempuan  latjur  ?"  tanjaku  kepadanja.  ,,Sebabnja  ialah  karena  saja
menjadari,  bahwa  saja  tidak  akan  dapat madju  tanpa  suatu  kekuatan.  Saja memerlukan  tenaga manusia,
sekalipun tenaga perempuan. Bagi saja persoalannja bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga jang
ampuh,  itulah  satu-satunja  jang  kuperlukan.",,Kita  tjukup  mempunjai  kekuatan  tanpa  mendidik  wanita
......... wanita ini," Ali memprotes. ,,P.N.I. mempunjai tjabang-tjabang diseluruh tanah-air dan semuanja ini
berdjalan tanpa anggota seperti itu. Hanja di Bandung kita melakukan sematjam ini." ,,Dalam pekerdjaan ini
maka  gadis-gadis pesanan—pelatjur  atau  apapun  nama  jang  akan diberikan  kepadanja—adalah  orang-orang
penting," djawabku.  ,,Anggota  lain dapat  kulepaskan. Akan  tetapi melepaskan perempuan  latjur —  tunggu
dulu.  Ambillah  misalnja  Mme.  Pompadour—dia  seorang  pelatjur.  Lihat  betapa  masjhurnja  dia  dalam
sedjarah. Ambil pula Theroigne de Merricourt, pemimpin besar wanita dari Perantjis.  Lihat barisan-roti di
Versailles.  Siapakah  jang memulainja  ? Perempuan-perempuan  latjur.  "Kupu-kupu malam  ini  jang djasanja
diperlukan  untuk  mengambil  bagian  hanja  dibidang  politik,  ternjata  memperlihatkan  hasil  jang  gilang-
gemilang pun dibidang lain. 
Mereka memiliki daja-penarik seperti besi berani. Setiap hari Rabu tjabang partai mengadakan kursus politik
dan anggota-anggota dari kaum bapak akan datang berdujun-dujun apabila dapat melepaskan pandang pada
tentaraku  jang  tjantik-tjantik  itu.  Djadi,  aku  tentu  harus  mengusahakan  supaja  mereka  datang  setiap
minggu.Tidak  sadja  musuh-musuhku  jang  datang  bertamu  kepada  gadis-gadis  itu  guna  memenuhi
kebutuhannja,  akan  tetapi  dari  anggota  kami  sendiripun  ada  djuga.  Dan mendjadi  tanggung-djawab  jang
paling  besarlah  untuk membasmi  anasir-anasir  dalam  partai—baik  laki-laki maupun  perempuan—jang  tidak
bisa menjimpan  rahasia.  Kamipun  harus membasmi  tjutjunguk-tjutjunguk—jaitu  orang  jang  dibajar  untuk
memata-matai  partainja  sendiri.  Setiap  tempat  mempunjai  tjutjunguk-tjutjunguk.  Untuk  mejakinkan,
apakah agen-agen kami djudjur dan dapat menutup mulutnja, kami mengudji mereka. Selama enam bulan
sampai  setahun  gadss-gadis  pelatjur  itu  mendjadi  ,,Tjalon  Anggota".  Ini  berarti  bahwa,  sementara  kami
memberi bahan dan mengawasinja, mereka tetap sebagai tjalon. Kalau sudah diangkat mendjadi mata-mata
jang  diakui  ketjakapannja,  maka  itu  tandanja  kami  sudah  jakin  ia  dapat  dipertjaja  penuh.Sebagai BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 46 dari 109
perempuan  djalanan  seringkali  mereka  harus  berurusan  dengan  hukum  dan  dikenakan  pendjara  selama
tudjuh  hari  atau  denda  lima  rupiah.  Akan  tetapi  aku  mendorongnja  supaja  mendjalani  hukum  kurungan
sadja. 
Suatu kali diadakan  razzia dan  seluruh kawanan dari pasukan Sukarno diangkat  sekaligus. Karena  setia dan
patuh  kepada  pemimpinnja,  maka  ketika  hakim  meminta  denda  mereka  menolak,  ,,Tidak,  kami  tidak
bersedia membajar."Keempatpuluh  orangnja  dibariskan masuk  pendjara.  Aku  gembira mendengarnja,  oleh
karena  pendjara  adalah  sumber  keterangan  jang  baik.  Tambahan  lagi,  ada  baiknja  untuk masa  jang  akan
datang sebab mereka sudah mengenal para petugas pendjara.Kemudian kusampaikanlah instruksi jang kedua
untuk didjalankan nanti  setelah bebas. Misalkan  setelah  itu armadaku mentjari  sasarannja disuatu malam.
Umpamakan  pula  disaat  jang  bersamaan  kepala  rumah  pendjara  sedang  berdjalan-djalan  makan  angin
menggandeng  isterinja. Pada waktu  ia melalui salah seorang bidadari pilihanku  ini, sigadis harus tersenjum
genit  kepadanja  dan  menegur  dengan  merdu,  ,,Selamat  malam"  sambil  menjebut  nama  Belanda  itu.
Beberapa  langkah  setelah  itu  tak  ragu  lagi  tentu  ia akan berpapasan dengan  gadisku  jang  lain dan diapun
akan menjobut namanja dan meraju.,,Hallo.......Selamat malam untukmu."  Isterinja akan gila oleh teguran
ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat-sjaraf kami. 
Didjaman P.N.I. ini orang telah mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat.
Inggit mentjari  penghasilan  dengan mendjual  bedak  dan  bahan  ketjantikan  jang  dibuatnja  sendiri  didapur
kami. Selain  itu kami menerima orang bajar-makan,  sekalipun  rumah kami di Djalan Dewi Sartika 22 ketjil
sadja. Orang jang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi jang memakai beranda muka
sebagai kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari. Kamar tengah mendjadi biro arsitek kami. Sewa
rumah  seluruhnja  75  sebulan. Uang makan  Suhardi  kira-kira  35  rupiah.  Kukatakan  ,,kira-kira"  oleh  karena
selain  djumlah  itu  aku  sering  memindjam  beberapa  rupiah  ekstra.  Bahkan  Inggit  sendiripun  memindjam
sedikit-sedikit dari dia. Adalah suatu rahmat dari Tuhan Jang Maha Pengasih, bahwa kami diberi-Nja nafkah
dengan  djalan  jang  ketjil-ketjil.  Kalau  ada  kawan mempunjai  uang  kelebihan  beberapa  sen,  tak  ajal  lagi
kami  tentu mendapat  suguhan kopi dan peujeum. Sekali aku mendjandjikan kepada Sutoto kawan  sekelas,
bahwa  aku  akan  mentraktirnja,  oleh  karena  ia  sering  mengadjakku  minum.  Disore  berikutnja  ia  datang
bersepeda  untuk  berunding  dengan  pemimpinnja.  Rupanja  ia  kepanasan  dan  pajah  setelah  mendajung
sepedanja  dengan  tjepat  selama  setengah  djam.  Dan  pemimpin  dari  pergerakan  nasional  terpaksa
menjambutnja dengan,  ,,Ma'af, Sutoto, aku  tidak dapat bertindak  sebagai  tuan-rumah untukmu. Aku  tidak
punja  uang."Kemudian  Sutoto  mengeluh,  ,,Ah,  Bung  selalu  tidak  punja  uang."Selagi  kami  duduk-duduk
dengan  muka  suram  ditangga  depan,  seorang  wartawan  lewat  bersepeda.,,Heee,  kemana?"  aku
memanggil.,,Tjari tulisan untuk koranku," ia berteriak mendjawab.,,Aku akan buatkan untukmu.",,Berapa ?"
tanjanja mengendorkan djalan  sepedanja.,,10  rupiah  !" Wartawan  itu  seperti hendak mempertjepat djalan
sepedanja. ,,Oke,  lima rupiah."Tidak ada djawaban. Aku menurunkan tawaranku. ,,Dua rupiah bagaimana ?
Akan kuberikan padamu. Pendeknja tjukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peujeum. Setudju ?",,Setudju
!"Kawanku itu menjandarkan sepedanja kedinding rumah dan sementara dia dan Sutoto duduk disamping aku
menulis  seluruh  tadjuk.  Tambahan  lagi  dengan  pena.  Tak  satupun  jang  kuhapus,  kutjoret  atau  kutulis
kembali.  Begitu  banjak  persoalan  politik  jang  tersimpan  diotakku.  sehingga  selalu  ada  sadja  jang  akan
ditjeritakan. 15 menit kemudian kuserahkan kepadanja 1.000 perkataan. Dan dengan seluruh uang bajaranku
itu aku membawa Sutoto dan Inggit minum kopi dan menikmati penjeum. Bagi kami kemiskinan itu bukanlah
sesuatu jang patut dimalukan. 
Akan  kutjeriterakan  padamu,  bagaimana  kami  hidup  ditahun-tahun  duapuluhan.  Pada  achir  liburan  Natal
saudara  J.A.H.  Ondang,  seorang  kawan,  datang  kerumah  dilarut  malam.  ,,Bung,"  katanja.  ,,Aku  dalam
kesulitan. Apa Bung mau menolongku ?",,Tentu, akan kutolong, Bung", aku tersenjum. ,,Ketjuali kalau perlu
uang djangan tanja padaku, karena kami sendiripun butuh uang.",,Dengarlah," ia menerangkan, ,,Aku pulang
dalam  libur  ini dan kembali kesini dua hari  lebih tjepat daripada dugaan semula. Rupanja njonja tempatku
bajar-rnakanpun  pergi  berpakansi  dan  dia  belun  pulang.  Aku  tidak  bisa masuk  kerumah.",,Kehotel  sadja,"
saranku.,,Tidak  bisa.  Aku  tidak  sanggup  membajarnja.  Isi  kantongku  tjuma  dua  rupiah.  Itulah  seluruh
milikku. Aku  sesungguhnja  tidak mau mengganggu Bung, akan  tetapi hanja Bung  satu-satunja  jang kukenal
baik di Bandung  ini. Apa bisa aku bermalam disini  ?",,Boleh  sadja,  tjuma  rumah kami  jang ketjil  ini  sudah
penuh. Kalau tidak keberatan sekamar dengan kami laki-isteri dan kalau mau tidur ditikar, ja, dengan senang
hati  kami  terima Bung menginap disini." Bukan main  ! Dia berterima-kasih  .  Selama  tiga malam  ia  tinggal
dengan kami. Kami saling bantu-membantu dihari-hari ini. Seringkali kami mendapat tamu. Para simpatisan
jang  berada  dalam  pengawasan  polisi  ketika  masih  beladjar  di  Negeri  Belanda,  dengan  diam-diam
diselundupkan ketanah-air dan dibawa kerumahku untuk minta pertimbangan. 
Kadang-kadang  bermalam  ditempat  kami  orang  jang membawa  ,,Indonesia Merdeka"  jang  terlarang,  jaitu
berkala jang ditjetak oleh kawan-kawan di Negeri Belanda, dan tidak boleh beredar di-tanah-air. Karena itu
kawan-kawan di Amsterdam menggunting artikel-artikel jang penting dan menjisipkannja kedalam madjalah
jang  tidak  terlarang. Dengan djalan demikian banjak bahan keterangan  jang dapat dikirimkan pulang-pergi BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 47 dari 109
melalui  samudra  luas.Pada  tanggal  28  Oktober  tahun  '28  Sukarno  dengan  resmi  mengikrarkan  sumpah
chidmat:  ,,Satu Nusa,  Satu  Bangsa,  Satu  Bahasa. Ditahun  1928  untuk  pertama  kali  kami menjanjikan  lagu
Kebangsaan  ,,Indonesia Raya". Dan ditahun 1928  itu pulalah aku didakwa didepan Dewan Rakjat. Gubernur
Djendral  jang  menjatakan  kegiatanku  sebagai  persoalan  jang  serius  memperingatkan,  bahwa  ia  ,,sangat
menjesalkan  sikap  non-kooperasi  dari  P.N.I.,"  jang  katanja  ,,mengandung  unsur-unsur  jang  bertentangan
dengan  kekuasaan  Belanda."Bulan  Desember  1928  aku  berhasil  mengadakan  suatu  federasi  dari  partaiku
sendiri—Partai  Nasronal  Indonesia—dengan  semua  partaipartai  utama  jang  berhaluan  kebangsaan.
Permufakatan  PerhimpunanPerhimpunan  Politik  Kebangsaan  Indonesia  ini,  jang  disingkat  P.P.P.  K.I.,
memungkinkan  kami  bergerak  dengan  satuan  kekuatan  jang  lebih  besar  daripada  jang  pernah  terdjadi
sebelumnja.  Dan  badan  inipun memberikan  kemungkinan  bahaja  jang  lebih  besar  pula  kepadaku  sebagai
ketua  daripada  jang  pernah  kuhadapi  sebelumnja.Maka mulailah  Pemerintah  Hindia  Belanda mengadakan
pengawasan  jang  tak  kenal  ampun  terhadap  P.N.I.  dan  P.P.P.K.I.  Pengaruh  dari  utjapan-utjapanku  jang
sanggup  menggerakkan  rakjat-banjak  merupakan  antjaman  jang  njata  bagi  Belanda.  Apabila  Sukarno
berpidato, rakjat tentu berkumpul seperti semut. 
Dengan  tuntutanku  kami  selegggarakanlah  kegiatan  bersama  diseluruh  pulau.  Rapat-rapat  jang  diadakan
pada  umumnja  dikendalikan  oleh  pembitjara-pembitjara  dari  P.N.I.  dalam mana  Sukarno mendjadi  tokoh-
penarik  jang  paling  banjak  diminta.  Pemerintah  Hindia  Belanda  mendjamin  apa  jang  dinamakannja
kemerdekaan  berbitjara,  asal  pertemuan  itu  diselenggarakan  ,,didalam  ruangan  dan  tidak  dapat  didengar
dari  luar"  dan  asal  rapat  diadakan  ,,dibawah  satu  atap  dan  dibatasi  oleh  empat  dinding"  dan  asal  jang
mendengarkan ,,diatas umur 18 tahun".Merekapun menghendaki, supaja setiap pengundjung memperlihatkan
surat  undangan.  Djadi,  kami  tjetaklah  sendiri  undangan  itu  dan  dengan  diam-diam membagikannja  pada
waktu  orang masuk. Uang  untuk  biaja  diterima  dari  orang-orang  jang  tidak  dikenal.  Seperti misalnja  dari
amtenar bangsa Indonesia jang bersimpati dan setjara diam-diam menjerahkan sumbangannja kepada kami.
Untuk  mengadakan  rapat  umum  dilapangan  terbuka  kami  harus  minta  izin  dari  Pemerintah  seminggu
sebelumnja. Aturan jang menggelikan ini patut dihargai oleh karena kami dapat minta izin untuk mengutuk
pemerintah.Aku  teringat  akan  peristiwa  disuatu  hari Minggu  di Madiun.  Seperti  biasanja  kalau  Bung  Karno
berbitjara,  lapangan  rapat  begitu  sesak  sehingga  ada  diantaranja  jang  djatuh  pingsan.  Dibagian  depan,
diatas kursi  jang keras dengan  sandarannja  jang  tegak kaku, duduklah empat orang  inspektur polisi. Sudah
mendjadi  kebiasaanku  untuk  memanaskan  hadirin  terlebih  dulu  dengan  pidato  orang  lain  sebelum  tiba
giliranku.  Kalau  aku  akan  berbitjara  selama  satu  djam, maka  pembitjara  sebelumku  hanja  berpidato  lima
menit. Apabila aku berbitjara pendek sadja, orang jang berpidato sebelumku mengambil waktu 45 menit.Ali
djuga  hadir.  Kutanjakan  kepadanja,  apakah  dia  akan menjampaikan  pidato  pokok.  ,,Tidak  Bung,  tidak  !",
djawabnja menolak. 
,,Bung tahu saja baru keluar dari pendjara. Saja harus mendjaga gerak-gerik saja. Kalau tidak begitu, polisi
akan bertindak  lagi. Biarlah  saja duduk  sadja dan mendengarkan Bung Karno. Terlalu berbahaja kalau  saja
bangkit  dan  berbitjara,  sekalipun  hanja  mengutjapkan  beberapa  perkataan."Lautan  manusia  menunggu
giliranku.  Mereka  menunggu  dengan  hati  herdebar-debar.  Aku  duduk  dengan  tenang  diatas  panggung,
mendo'a'  seperti  masih  kulakukan  sekarang  sebelum  mulai  berpidato.  Ketua  memperkenalkanku,  aku
meminum  air  seteguk dan melangkah menudju mimbar.,,Saudara-saudara,"  kataku.  ,,Disebelah  saja duduk
salah-seorang dari  saudara kita  jang baru  sadja keluar dari pendjara,  tidak  lain karena  ia berdjoang untuk
tjita-tjita. Tadi dia menjampaikan  kepada  saja  keinginannja  untuk menjampaikan beberapa  pesan  kepada
saudara-saudara."Rakjat gemuruh menjambutnja. Ali sendiri hampir mau mati. Mata hari menjinarkan panas
jang  menghanguskan  akan  tetapi  Ali  berkeringat  lebih  daripada  itu.  Aku  tidak  mau  mendjerumuskannja
kedalam kesukaran. Akan tetapi setjara psychologis hal  ini penting buat jang hadir, supaja mereka melihat
wadjah  salah-seorang  dari  pemimpinnja  jang  telah  meringkuk  dalam  pendjara  karena  memperdjuangkan
kejakinannja  dan  masih  sadja  mau  mentjoba  lagi.Dengan  hati  jang  berat  Ali  bangkit.  Ia  mengutjapkan
beberapa patah kata. Ialu duduk kembali dengan segera. Keempat inspektur polisi itu tidak mau melepaskan
pandangannja  dari  wadjah  Ali.  Kemudian  aku  berdiri  dan  mengambil-alih  ketegangan  dari  Ali  dan
menggelorakan semangat untuk berontak.,,Sendjata  imperialisme  jang paling djahat adalah politik  ,,Divide
et  Impera".  Belanda  telah  berusaha  memetjah-belah  kita  mendjadi  kelompok  jang  terpisah-pisah  jang
masing-masing membentji satu sama lain. 
Kita  harus  mengatasi  prasangka  kesukuan  dan  prasangka  kedaerahan  dengan  menempa  suatu  kejakinan,
bahwa  suatu  bangsa  itu  tidak  ditentukan  oleh  persamaan  warna  kulit  ataupun  agama.  Ambillah misalnja
Negara Swrss. Rakjat Swiss terdiri dari orang Djerman, orang Perantjis dan orang Italia, akan tetapi mereka
ini semna bangsa Swis. Lihat bangsa Amerika jang terdiri dari orang-orang jang berkulit hitam, putih, merah,
kuning. Demikian djuga  Indonesia, jang terdiri dari berbagai matjam suku.,,Sedjak dunia terkembang, para
pesuruh  dari  Jang  Maha-Pentjipta  telah  mengetahui  bahwa  hanja  dalam  persatuanlah  adanja  kekuatan.
Mungkin saja  ini seorang politikus jang berdjiwa romantik, jang terlalu sering memainkan ketjapi dari pada
idealisme. Ketika orang  Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah jang menggerakkan kesaktian ? Jang
menggerakkan kesaktian itu adalah Musa. Nabi Musa 'alaihissalam. Beliaupun bertjita-tjita tinggi. Dan apakah BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 48 dari 109
jang dilakukan oleh Nabi Musa ? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh suku mendjadi satu kekuatan jang
bulat. 
,,Nabi  Besar  Muhammad  sallallahu  'alaihi  wasallam  pun  berbuat  demikian.  Nabi  Besar  Muhammad  adalah
seorang  organisator  jang  besar.  Beliau  mempersatukan  orang-orang  jang  pertjaja,  mendjadikannja  satu
masjarakat jang kuat dan setjara gagah-perwira melawan peperangan peperangan, pengedjaran-pengedjaran
dan melawan penjakit dari djaman itu.,,Saudara-saudara, apabila kita melihat suatu gerakan didunia, mula
mula  kita  lihat  timbulnja  perasaan  tidak  senang.  Kemudian  orang  bersatu  didalam  organisasi.  Lalu
mengobarkan  revolusi  ! Dan bagaimana pula dengan pergerakan krta  ? Pergerakan kitapun demikian djuga.
Maka oleh karena itu, saudara-saudara, marilah kita ikuti djedjak badan kita jang baru, jaitu P.P.P.K.I., iang
meliputi seluruh tanah-arr. Hajolah kita bergabung mendiadi keluarga jang besar dengan satu tudjuan jang
besar: menggulingkan Pemerintah Kolonial. Melawannja bangkit bersama-sama dan.........  ''Inspektur Polisi
jang memakai tongkat memukulkan tongkatnja sambil berteriak, ,,Stop.... Stop.....'' 
Kemudian  keempat-empatnja  me-lompat  dari  tempat-duduk  mereka.  Rakjat  jang  sudah  tegang
pikirannjaberada  dalam  suasana  berbahaja  karena  polisi  mengantjamku  dan  me-reka  seperti  hendal
menierang keempat  inspektur  itu ketika seorangmemandjat keatas panggung dan bertari kebelakang sambil
bersiulminta  bantuan.  Lima menit  kemudian muntjullah  sebuah  bis membawa  40  orang  polisi  bersendjata
lengkap.  Aku  ditarik  kebelakang  panggung,turun  tangga  menudju  kedjalanan  dan  diiringkan  kekantor
polisi.Setelah mendapat peringatan  jang sungguh-sungguh aku dibebaskan  lagi.  ,,Djangan mentjan perkara,
tuan  Sukarno.  Kalau  terdjadi  sekali  lagi,  kami  akan  giring  tuan  kedalam  tahanan.  Tuan  akan  meringkuli
dibelakang djeradjak-besr untuk waktu iang lama. Mulai sekarang ini djagalah langkah tuan. Tuan tidak akan
begitu bebas  lagi  lain kali  "Malam  itu  Inggit mendapat  suatu bajangan mimpi.  Ia melihat polisi berpakaian
seragam menggeledah rumah kami. Penglihatan ini datang lagi kepadanja dengan kekuatan jang sama persis
sampai  jang seketjilketjilnja selama  lima malam berturut-turut. Dihari  jang kelima aku harus pergi ke Solo
untuk menghadiri rapat umum. Dengan sedih ia mengikutiku sampai kepintu depan. Wadjahnja berkerut dan
tegang. Sewaktu aku pergi, suatu firasat telah menjekap batinja. Ia memanggil nama-kecilku dengan lembut.
,,Kus," katanja lunak, ,,Djangan pergi.........djangan kau pergi." 
Bab 9
Masuk Tahanan
SEPANDJANG  hari  dan malam  senantiasa melekat  dikepala  kami  antjaman masuk  pendjara.  Didalam  Kitab
Undang-Undang  Hukum  Pidana  telah  dinjatakan,  bahwa:  ,,Seseorang  jang  kedapatan  mengeluarkan
perasaan-peraeaan  kebentjian  atau  permusuhan  setjara  tertulis  maupun  lisan—atau  seseorang  jang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan jang menghasut untuk mengadakan
pengatjauan  atau  pemberontakan  terhadap  pemerintah  Belanda,  dapat  dikenakan  hukuman  setinggi-
tingginja tudjuh tahun pendjara." Dengan semakin pesatnja pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka pengawasan
terhadap  Sukarno  semakin  diperkeras  pula.  Aku  sudah mendapat  peringatan  dan  aku menjadari  sungguh-
sungguh  akibat  dan  peringatan  ini.  Semua  orang  revolusioner  bertindak  demikian.  Ini  adalah  bagian  dari
peperangan hebat  jang kami djalankan. Dalam perdjalanan ke Solo dengan salah seorang wakil dari P.N.I.,
Gatot  Mangkupradja,  aku  menjinggung  soal  ini.  ,,Bung,  setiap  agitator  dalam  setiap  revolusi  tentu
mengalami nasib masuk pendjara," aku menegaskan. 
,,Disuatu  tempat,  entah  dengan  tjara  bagaimana,  suatu waktu  tangan  besi  dari  hukum  tentu  akan  djatuh
pula  diatas  pundakku.  Aku  mempersiapkanmu  sebelumnja.",,Apakah  Bung  Karno  takut  ?"  tanja  Gatot.
,,Tidak,  aku  tidak  takut,"  djawabku  dengan  djudjur.  ,,Aku  sudah  tahu  akibatnja  pada  waktu  memulai
pekerdjaan  ini. Akupun  tahu, bahwa pada  satu  saat aku akan ditangkap. Hanja  soal waktu  sadja  lagi. Kita
harus  siap  setjara  mental."  ,,Kalau  Bung,  sebagai  pemimpin  kami,  sudah  siap,  kamipun  siap."  katanja.
,,Seseorang  hendaknja  djangan melibatkan  dirinja  kedalam  perdjuangan mati-matian,  djika  ia  sebelumnja
tidak  insjaf akan akibatnja. Musuh akan mengerahkan  segala alat-alatnja berulang-ulang kali  supaja dapat
terus-menerus  memegang  tjengkeramannja  jang  mematikan.  Tapi,  sekalipun  berabad-abad  mereka
mendjerumuskan  puluhan  ribu  rakjat masuk  bui  dan masih  sadja melemparkan  kita  kedalam  pembuangan
ditempat-tempat  jang  tidak  berpenduduk,  djauh  dari masjarakat manusia,  saatnja  akan  tiba  pada waktu
mana mereka  akan musnah  dan  kita memperoleh  kemenangan.  Kemenangan  kita  adalah  suatu  keharusan
sedjarah—tidak  bisa  dielakkan.",,Kata-kata  itu memberikan  keberanian  padaku,  Bung  Karno."  kata  Gatot.
,,Dalam  perdjalanan  diatas  gerobak-sampah  menudju  ketiang-gantungan,  Pemimpin  Revolusi  Perantjis
berkata  kepada  dirinja  sendiri:  'Aurlace, Danton Toujours  de  l'audace'.  Ia  terus-menerus mengulangi  kata-
kata  itu:  'Beranikan  dirimu,  Danton.  Djangan  kau  takut  !'  Karena  ia  jakin,  bahwa  perbuatan-perbuatannja
akan dilukis dalam sedjarah dan tantangan terhadapnjapun merupakan saat jang bersedjarah.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 49 dari 109
Dia  tidak pernah meragukan akan datangnja kemenangan  jang  terachir dan gilang-gemilang. Djadi, akupun
begitu.",,Ada diantara pedjuang kita  jang selalu keluar masuk bui setjara tetap," kata Gatot menerangkan.
,,Seorang  pemimpin  jang  di  Garut.  Dia  sudah  masuk  14  kali.  Pembesar  disana  menamakannja  sebagai
pengatjau. Dalam djangka waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan didalam pendjara, setelah
itu bebas  selama dua bulan,  lalu masuk  selama enam bulan dan  keluar  lagi  tiga bulan,  kemudian delapan
bulan dibelakang djeradjak besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengah tahun dan hukumannja jang
terachir adalah dua tahun."Kami berangkat dengan taksi. Supir kami, Suhada, tergolong sebagai simpatisan.
Dia  sudah  terlalu  tua  untuk  dapat  mengikuti  kegiatan  kami.  Dia  turut  dengan  kami  tjuma  untuk
mendengarkan dan menjaksikan sadja. Sedjak permulaan perdjalanan Suhada tidak membuka mulutnja, tapi
kini dia bertanja dengan  ramah,  ,,Berapa banjak  saudara-saudara  kita  jang meringkuk dalam pembuangan
?"Aku tidak perlu berpikir mendjawabnja. Aku tahu djumlahnja diluar kepala. ,,Lebih dari duaribu dibuang di
Tanah Merah, ditengah-tengah hutan Boven Digul di Nieuw Guinea jang keadaannja masih seperti di Djaman
Batu. Dan pada waktu pembawa-pembawa obor kemerdekaan ini diusir masuk kedalam hutan lebat, mereka
pergi dengan  tersenjum. Ketika mereka  tidak mau mundur  setapakpun dari  kejakinannja, maka  300 orang
diantaranja  dibawa  ketempat  jang  lebih  menjedihkan,  jaitu  kamp  konsentrasi  di  Tanah  Tinggi.  Disitu
bertaburanlah kuburan mereka. 
Dari  jang  300  orang  itu  hanja  04  orang  jang  masih  hidup.",,Pengorbanan  seperti  itu  telah  pula  terdjadi
dipulau Muting dan pulau Banda," kataku melandjutkan. ,,Tapi ingatlah, tidak ada pengorbanan jang sia-sia.
Ingatkah  engkau  tentang  keempat  pemimpin  jang  digantung  di  Tjiamis  ?"Mereka  menganggukkan
kepala.,,Salah  seorang  dari  mereka  berhasil  menjusupkan  surat  kepadaku  dimalam  sebelum  mendjalani
hukumannja.  Surat  itu  berbunji:  'Bung  Karno,  besok  saja  akan  mendjalani  hukuman  gantung.  Saja
meninggalkan  dunia  jang  fana  ini  dengan  hati  gembira,  menudju  tiang-gantungan  dengan  kejakinan  dan
kekuatan  batin,  oleh  karena  saja  tahu  bahwa  Bung  Karno  akan melandjutkan  peperangan  ini  jang  djuga
merupakan  peperangan  kami.  Teruslah  berdjuang,  Bung  Karno,  putarkan  djalannja  sedjarah  untuk  semua
kami  jang  sudah mendahului  sebelum  perdjuangan  itu  selesai.'"Keadaan  dalam mobil mendjadi  sunji.  Tak
seorangpun  jang  hendak mengutjapkan  sesuatu.  Suhada  terus mengemudikan  kendaraan  dengan  air mata
berlinang.  Satu-satunja  suara  ialah  denjutan  djantung  kami  jang  menderap-derap  serentak  dalam  satu
pukulan  irama.  Di  Solo  dan  dekat  Djogjakarta  kami  mengadakan  beberapa  rapat  umum.  Malam  itu  aku
berbitjara  untuk  pertamakali  tentang  ,,Perang  Pasifik"  jang  akan  berkobar.  Tahun  ini  adalah  1929.  Setiap
orang mengira aku ini gila. Dengan darahku jang mengalir tjepat karena golakan perasaan jang gembira dan
hampir  tak  tertahankan,  keluarlah  dari  mulutku  utjapan  jang  sekarang  sudah  terkenal:  ,,Imperialis,
perhatikanlah ! 
Apabila dalam waktu  jang  tidak  lama  lagi Perang Pasifik menggeledek dan menjambar-njambar membelah
angkasa,  apabila dalam waktu  jang  tidak  lama  lagi  Samudra Pasifik mendjadi merah oleh darah dan bumi
disekelilingnja  menggelegar  oleh  ledakan-ledakan  bom  dan  dinamit,  maka  disaat  itulah  rakjat  Indonesia
melepaskan dirinja dari belenggu pendjadjahan dan mendjadi bangsa  jang merdeka." Utjapan  ini bukanlah
ramalan tukang-tenung, iapun bukan pantulan daripada harapan berdasarkan keinginan belaka. Aku melihat
Djepang  terlalu  agressif.  Bagiku,  apa  jang  dinamakan  ramalan  ini  adalah  hasil  daripada  perhitungan
berdasarkan  situasi  revolusioner  jang  akan  datang.  Rapat  ini  bubar  pada  waktu  tengah  malam.  Kami
bermalam dirumah Sujudi, seorang pengatjara dan anggota kami di Djogja  jang tinggal pada djarak kurang
dari  dua  kilometer  dari  situ.  Kami memasuki  tempat-tidur  pada  djam  satu.Djam  lima  pagi,  ketika  dunia
masih  gelap dan  sunji,  kami  terbangun oleh  suara  jang  keras. Ada orang menggedor pintu. Aku  terbangun
begitu tiba-tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada tetangga jang berkelahi. Gedoran itu masih terus
terdengar.  Ia semakin  lama semakin keras, semakin  lama semakin mendesak Gedoran  ini diiringi oleh suara
jang  kasar  disekitar  rumah  Sujudi.  ,,Inikah  rumah  tempat  pemimpin  revolusioner menginap  ?"  satu  suara
bertanja.  ,,Jah,  inilah  tempatnja,"  suara  garang  jang  lain  mendjawab.  Kemudian  lebih  banjak  suara
terdengar meneriakkan  perintah-perintah.  ,,Kepung  rumah  ini—halangi  pintu—."  Sementara  itu  bunji  jang
meremukkan  dari  pukulan  gada  dipintu  ...............  semakin  lama  semakin  keras,  kian  lama  kian  tjepat.
Dengan  gemetar  aku  menjadari,  bahwa  inilah  saatnja.  Nasibku  sudah  pasti.  Gatot  Mangkupradja  jang
pertama pergi kepintu. Ia membukanja dan masuklah seorang inspektur Belanda dengan setengah lusin polisi
bangsa  Indonesia.  Kami  menamakannja  ,,reserse".  Semua  berpakaian  seragam.  Semua  memegang  pistol
ditangan. Mereka  ini adalah pemburu. Kami binatang buruan. Rentak sepatu jang menundjukkan kekuasaan
terdengar menggema  keseluruh  daerah  sebelah-menjebelah,  rentak  sepatu  pada waktu mereka menderap
sepandjang rumah. 
Orang  kulitputih  jang  bertugas  itu  berteriak,  ,,Dimana  kamar  tempat  Sukarno  tidur  ?"Kamarku  sebelah-
menjebelah dengan kamar Sujudi. Ketudjuh orang  itu berbaris melalui kamar Sujudi dan  terus kekamarku.
Aku  keluar  dari  tempat-tidur  dan  berdiri  disana  dengan  pakaian  pijama.  Aku  tenang.  Sangat  tenang.  Aku
tahu,  inilah  saatnja.  Inspektur  itu  berhadap-hadapan  denganku  dan  berkata,  ,,Atas  nama  Sri  Ratu  saja
menahan  tuan." Aku  telah mempersiapkan diri  selalu untuk menghadapi kesulitan. Betapapun, pada waktu
tiba saatnja timbul djuga perasaan  jang tidak enak.,,Kenakan pakaian tuan,"  ia memerintahkan.  ,,Dan  ikut
dengan saja." Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian. Aku tidak diizinkan membawa barang-BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 50 dari 109
barangku. Bahkan tas dengan pakaian penggantipun tidak boleh. Hanja jang lekat dibadanku.Diluar, dengan
senapan  dalam  sikap  sedia,  berdiri  50  orang  polisi mengepung  rumah  dengan  sekitarnja  dan  djalan  jang
menudju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Jang tengah adalah kendaraan chusus dimana kami, pendjahat-
pendjahat  jang berbahaja, dimasukkan dan diiringkan  kekantor polisi. Kedalam mobil  itu dimasukkan pula
Gatot  dan  supir  taksi  itu,  jang  samasekali  tidak  bersalah  dalam menghasut  rakjat.  Kesalahannja  hanjalah
karena ia terlalu mentjintai. 
Ia mentjintai negerinja, dan  ia mentjintai pemimpinnja. Suhada dibebaskan segera, akan tetapi sementara
itu  mereka  mentjatat  namanja,  karena  orang  inipun  kelihatan  seperti  pendjahat  besar  dimata  mereka.
Beberapa  tahun  kemudian  ia  meninggal.  Permintaannja  jang  terachir  ialah,  ,,Tolonglah,  saja  ingin
mempunjai potret Bung Karno didada  saja." Permintaannja  itu dipenuhi.  Ia  lalu melipatkan  tangannja  jang
kerisut memeluk  potretku  dan  kemudian  berlalu  dengan  tenang. Dengan  pendjagaan  jang  kuat,  diiringkan
dikiri-kanan  oleh  sepeda  motor  dan  dengan  sirene  meraung-raung  dan  lontjeng  berdentang-dentang,
Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, pendjara untuk orang gila.Kami diperiksa satu demi
satu  dan  dimasukkan  kedalam  sel.  Ketika  pintu  besi  terkuntji  rapat  dimuka  kami,  seluruh  dunia  kami
tertutup.  Kami  berada  dalam  kesunjian.  Segala  sesuatu  terdjadi  begitu  tjepat,  sehingga  kami  tidak  punja
kesempatan untuk menjelundupkan sepatah kata kepada pengikut kami. Tidak seorangpun jang mengetahui
dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mengadakan kontak dengan
Inggit. Tidak ada pertjakapan. Kami  tidak diperbolehkan apa-apa. Sekalipun demikian, apa hendak dikata.
Kami tahu apa artinja ini dan masing-masing tenggelam dengan pikirannja sendiri. Apa jang terlintas dalam
pikiranku ialah, bahwa aku tidak memperoleh firasat. Tidak ada tanda-tanda bahaja. 
Aku dengan mudah  tertidur malam  itu  tanpa mengalami  sesuatu  sensasi, bahwa pada  tanggal  9 Desember
1929  bagi  kami  akan  mendjadi  hari  nahas.  Semua  ini  mengedjutkanku.  Seluruh  gerakan  telah  mereka
rentjanakan  dengan  baik.  Djam  dua  siang  kami  diberi  nasi.  Sebelum  dan  sesudah  itu  tidak  ada  hubungan
dengan seorangpun. Setelah satu hari satu malam penuh esok paginja seperti dipagi sebelumnja tepat djam
lima  polisi  datang.  Mereka  tidak  berkata  apa-apa.  Pun  tidak  menjampaikan  kemana  kami  akan  dibawa.
Begitupun tentang apa jang akan diperbuat terhadap kami. Dua buah kendaraan membawa kami kestasiun.
Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk ditiap  kendaraan  itu. Pengangkutan  ini direntjanakan
sampai  kepada  menit  dan  detiknja.  Begitu  kami  sampai,  sebuah  kereta-api  hendak  berangkat.  Kami
diperintahkan naik.  Sebuah  gerbong  istimewa  telah  tersedia buat  kami. Pintu-pintu pada  kedua udjungnja
dikuntji,  setiap djendela ditutup  rapat. Kami dilarang berdjalan-djalan  atau berdiri  untuk maksud  apapun
djuga. Kalau kami akan pergi kebelakang seorang sersan mengiringkan kami. 
Dengan diapit oleh polisi duduklah kami ditempat jang berhadap-hadapan. Selama 12 djam tidak boleh buka
mulut. Satu-satunja  jang dapat kukerdjakan sehari penah  ialah memandangi Belanda  jang pandir  itu. Djam
tudjuh malam  kami  diperintahkan  turun  di  Tjitjalengka  jang  letaknja  30  kilometer  dari  Bandung. Mereka
dengan sengadja menurunkan kami disitu untuk menghindarkan ketegangan jang mungkin timbul. Disana satu
pasukan barisan pengawal telah menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara sepedamotor, setengah
lusin  inspektur  beserta  arak-arakan  kami  jang  terdiri  dari  sedan-sedan  hitam  meluntjur  ke
Bandung.Perdjalanan  itu  tidak  lama.  Kami  hanja  sempat menggetar  gugup  sesaat  ketika  sampai  dirumah
kami jang baru. Di-depannja tertulis: Rumah Pendjara Bantjeuj. 
Bab 10
Pendjara Bantjeuj
BANTJEUJ adalah pendjara tingkat rendah. Didirikan diabad kesembilanbelas, keadaannja kotor, bobrok dan
tua. Disana ada dua matjam sel. Jang satu untuk tahanan politik, satu lagi untuk tahanan pepetek. Pepetek
— sebangsa ikan jang murah dan mendjadi makanan orang jang paling miskin — adalah nama djulukan untuk
rakjat djelata. 
Pepetek  tidur  diatas  lantai.  Kami  tahanan  tingkat  atas  tidur  diatas  pelbed  besi  jang  dialas  dengan  tikar-
rumput setebal karton. Makanannja makanan pepetek nasi merah dengan sambal. Segera setelah aku masuk,
rambutku dipotong pendek  sampai hampir botak dan aku disuruh memakai pakaian  tahanan berwarna biru
pakai nomor dibelakangnja. 
Rumahku adalah Blok F. Suatu petak  jang terdiri dari 36 sel menghadap kepekarangan  jang kotor. 32 buah
masih tetap kosong. Mulai cari udjung maka empat buah nomor jang berturut-turut telah terisi. Aku tinggal
dinomor  lima.  Gatot  tudjuh.  Esok  paginja  Maksum  dan  Supriadinata,  dua  orang  wakil  P.N.I.  lainnja,
dimasukkan berturut-turut kenomor sembilan dan sebelas.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 51 dari 109
Penahanan kami bukanlah keputusan jang mendadak. Ia telah dipersiapkan dengan baik—sampai kepada sel-
selnja.  Berbulan-bulan  sebelum  kami  ditangkap,  kawan-kawan  di  Negeri  Belanda  telah  menulis,  ,,Hati-
hatilah. Pemerintah Belanda  lebih mengetahui tentang kegiatanmu daripada  jang kauketahui sendiri. Tidak
lama lagi engkau akan ditangkap." 
Sebagaimana kuketahui dari Maskun dan Supriadinata, jang ditangkap di Bandung pada saat jang bersamaan
denganku,  diminggu  pagi  itu  telah  diadakan  penggeledahan  diseluruh  Djawa.  Ribuan  orang  telah  ditahan,
termasuk  40  orang  tokoh  P.N.I.,  dengan  dalih  bahwa  Pemerintah  telah  mengetahui  tentang  rentjana
pemberontakan bersendjata jang katanja akan diadakan pada permulaan tabun 1930. Ini bohong. Ini adalah
tipu-muslihat,  agar  dapat mengeluarkan  perintah  segera  untuk menangkap  Sukarno. Malam  itu  kereta-api
didjaga,  stasiun-stasiun  bis  dikepung,  milik  perseorangan  disita  dan  diadakan  penjergapan  setjara
menjeluruh dan serentak dirumah-rumah dan kantor-kantor kami diseluruh Djawa dan Sumatra. 
Usaha  untuk  memperingatkanku  gagal.  Polisi  menjelidiki  dimana  aku  berada.  ,,Dimana  Sukarno  ?"  tanja
mereka ketika datang memeriksa rumah Ali Sastroamidjojo di Solo dimana aku bermalam dihari sebelumnja.
Ali meneruskan berita ini, akan tetapi pada waktu ia mengadakan hubungan dengan Djogja, kepadanja telah
disampaikan,  ,,Terimakasih  atas  peringatan  itu.  Mereka  telah  membawa  Bung  Karno  sepuluh  menit  jang
lalu." 
Gatot,  Maskun,  Supriadinata  dan  aku  dipisahkan  samasekali  dan  masjarakat  luar.  Tidak  boleh  menerima
tamu.  Tidak  ada  hubungan.  Tak  seorangpun  jang  dapat  kami  lihat,  termasuk  tahanan  jang  lain.  Tak
seorangpun  jang  dapat  mendekati  kami.  Setelah  beberapa  hari  datang  seorang  penjelidik  chusus  dan
berlangsunglah  pemeriksaan.  Ia  menanjaku  minggu  demi  minggu  selama  tiga  bulan.  Aku  tidak  mengerti,
mengapa dia begitu susah-susah. Persoalannja sudah tjukup djelas. Ini bukan perkara perampokan, dalam hal
mana  mereka  harus  menjiasati  dimana  barang-barang  rampokan  itu  disembunjikan.  Ini  bukan  perkara
kedjahatan,  dimana  mereka  harus  mengetahui  sebab-sebabnja.  Mereka  tahu  apa  jang  kami  lakukan  dan
mengapa kami melakukannja. 
Selku  lebarnja  satu  setengah meter—  separonja  sudah  terpakai  untuk  tidur—  dan  pandjangnja  betul-betul
sepandjang  peti-majat.  Ia  tidak  berdjendela  tempat  mendjenguk  dan  tidak  berdjeradjak  supaja  bisa
mengintip  keluar.  Tiga  buah  dinding  dari  kuburanku  adalah  semen  mulai  dari  lantai  sampai  keloteng.
Pendjara Belanda didjaman kami  tidak dapat disamakan dengan pendjara  jang bisa disaksikan dilajarputih
dimana pendjahat didjebloskan kedalam sel jang luas berdjeradjak besi, pakai lampu dan masuk udara dari
segala pendjuru. Pintu kami terbuat dari besi hitam padat dengan sebuah  lobang ketjil. Lobang  ini ditutup
dari  luar.  Pendjaga  dapat melihat  kedalam,  akan  tetapi  ia  tertutup  buat  kami.  Tepat  setinggi mata  ada
sebuah  tjelah  tempat  mengintip  lurus  keluar.  Dari  tjelah  itu  aku  tidak  mungkin  melihat  arah  kebawah,
keatas ataupun kesamping. Pun tidak mungkin melihat daerah sekitar  itu seluruhnja ataupun melihat mata
lain  jang mengerdip kepadamu dari balik pintu besi diseberangnja. Sesungguhnja  tiada  jang  terlihat  selain
tembok dan kotoran. 
Tempat  itu gelap,  lembab dan melemaskan. Memang, aku telah  lebih seribu kali menghadapi hal  ini semua
dengan diam-diam djauh dalam kalbuku  sebelum  ini akan  tetapi ketika pintu  jang berat  itu  tertutup  rapat
dihadapanku  untuk  pertama  kali,  aku  rasanja  hendak  mati.  Pengalaman  jang  meremukkan.  Aku  adalah
seorang  jang  biasa  rapi  dan  pemilih.  Aku  adalah  seorang  jang  suka  memuaskan  perasaan.  Aku  menjukai
pakaian  bagus,  makanan  enak,  mentjintai  sesuatu  dan  tak  dapat  menahankan  pengasingan,  kekotoran,
kekakuan,  penghinaan-penghinaan  kedji  jang  tak  terhitung  banjaknja  dari  kehidupan  tawanan.  Aku
berdjingkat  diudjung  djari  kaki  mengintip  melalui  tjelah  itu  dan  berbisik,  ,,Engkau  terkurung,  Sukarno.
Engkau terkurung." 
Hanja tjitjaklah jang mendjadi kawanku selama berada di Bantjeuj. Binatang ketjil jang abu-abu kehidjauan
itu dapat berobah warna menurut keadaan sekitarnja. Ia sering terlihat merangkak disepandjang loteng dan
dinding kalau hari sudah mulai gelap. Didaerah beriklim panas binatang - binatang ini merupakan penangkis
njamuk tjiptaan alam. Mungkin orang  lain tidak menjukai binatang  ini dan tidak menganggapnja  lutju, tapi
bagiku ia adalah tjiptaan Tuhan jang paling mengagumkan selama aku berada dalam tahanan. 
Makanan  kami  diantarkan  kesel.  Djadi  apabila  tjitjak-tjitjakku  berkumpul,  akupun  memberinja  makan.
Kuulurkan  sebutir  nasi  dan  menantikan  seekor  tjitjak  ketjil  merangkak  dari  atas  loteng.  Tentu  ia  akan
merangkak turun didinding, mengintip kepadaku dengan mata seperti butiran mutiara, kemudian melompat
dan memungut nasi itu, lalu lari lagi. Aku tetap duduk disana menantikannja dengan tenang tanpa bergerak
dan, lima menit kemudian ia datang lagi dan aku memberikan butiran nasi jang lain. Ja, aku menjambutnja
dengan  senang  hati  dan mendjadi  sangat  terpikat  kepada  binatang  ini.  Dan  aku  sangat  bersjukur,  karena
masih ada machluk hidup jang turut merasakan pengasinganku ini bersama-sama.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 52 dari 109
Jang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan  itu adalah pengurungan. Seringkali djauh  tengah
malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak ketjil berdinding batu jang begitu sempit, sehingga kalau
aku  merentangkan  tangan,  aku  dapat  menjentuh  kedua  belah  dindingnja.  Dan  aku  tidak  dapat
menahankannja. Rasanja aku tidak dapat bernapas. Kupikir lebih baik aku mati. 
Ketika keadaan ini semakin terasa menekan, suatu perasaan gandjil menjusupi diriku. Ada saat-saat dimana
badanku  terasa  membesar  melebihi  daripada  biasa.  Suatu  perasaan  mentjekam  diriku,  djauh  samasekali
daripada  keadaan  normal.  Aku  berbaring  diatas  tempat  tidurku  jang  keras  dan memedjamkan mata.  Tapi
keras,  tertutup  keras.  Dengan  pelahan,  karena  bajangan  pikiran  jang  kuat,  aku  merasa  tangan  kananku
membesar.  Ia  semakin besar  ........besar  .........besar....... besar  ........besar  ........lebih besar dari pada
selku  sendiri.  Ia  mengembang  dan  mengembang,  dan  membinasakan  dinding  sel.  Tangan  kanan  adalah
lambang  kekuatan,  namun  apakah  ini  sebagai  pertanda  daripada  hari-depanku  atau  tidak,  aku  tidak
mengerti. Aku hanja tahu, bahwa hal  ini datang menguasai diriku disaat aku berada dalam keadaan sangat
tertekan.  Dan  kemudian  ia menjusut  lagi  setjara  pelahan  .........pelahan  ........pelahan  sekali  sampai  ia
mentjapai  ukuran  jang  biasa  lagi.  Kadang-kadang  dimalam  itu  djuga  ia muntjul  kembali.  Aku  tak  pernah
melihat, akan tetapi aku merasakannja. 
Aku mengalami  suatu  bajangan  jang  lain.  Pendjara  Bantjeuj  terletak  dipusat  kota,  tidak  diluar  ditengah-
tengah tempat jang lapang. Disana tidak ada burung. Sekalipun demikian, djauh ditengah malam, bila semua
sudah senjap ketjuali pikiranku, dan disaat Gatot, Maskun dan Supriadinata sudah tidur njenjak semua, aku
mendengar burung perkutut diatas atap kamarku. Kudengar burung-burung  itu bersiul dan rnenjanji, begitu
djelas seakan ia hinggap dipangkuanku. Tak seorangpun pernah mendengarnja, ketjuali aku. Dan aku sering
mendengarnja. 
Setelah  empatpuluh  hari,  aku  diizinkan  untuk  pertamakali  bertemu  dengan  Inggit.  Sampai  saat  itu  tiada
hubungan  apapun  djuga.  Bahkan  suratpun  tidak.  Kami  bertemu  diruang  tamu.  Djaring  kawat memisahkan
kami. Pendjaga-pendjaga berdiri disekeliling menuliskan  segala  jang kami utjapkan. Kami boleh berbahasa
Indonesia  atau  Belanda,  dan  tidak  boleh  dalam  bahasa  daerah.  Kami  tidak  boleh  saling  berpelukan.  Itu
terlarang. Dan  jang kedua, bukanlah mendjadi kebiasaan orang Timur.  Isteriku hanja memandang kedalam
mataku dan dengan seluruh kasih jang dapat ditjurahkannja ia berkata, ,,Apa kabar ?" 
Aku tersenjum dan berkata, ,,Baik, terimakasih." 
Apa  lagi  jang  dapat  kuutjapkan  ?  Demikian  banjak  jang  harus  ditjurahkan,  sehngga  apa  lagi  jang  dapat
kuutjapkan?  Dalam  lima  menit  jang  diberikan  kepada  kami,  kami  membitjarakan  bajangan  gaib  jang
diperolehnja. lnggit senantiasa mendjadi djimat bagiku. Kemana sadja aku pergi, dia turut. Akan tetapi kali
ini adalah jang pertama kali ia tidak ikut denganku. 
Baru sekarang setelah dalam tawanan ia menerangkan, ,,Aku tinggal diminggu itu karena aku kuatir, kalau-
kalau  polisi-polisi  jang  kulihat  dalam  bajangan  itu  betul-betul  datang  dan  menggerebek  rumah.  Memang
itulah jang terdjadi. Persis seperti jang kulihat dalam bajanganku itu." 
Pendjaga memberi isjarat supaja berbitjara lebih keras. ,,Apakah hidupmu terdjamin ?" tanjaku. 
,,P.N.I. memberiku  uang  dan  kawan-kawanmu  djuga mengirimi  uang  dan  oleh-oleh  kalau mereka  datang
mendjengukku. Djangan susahkan tentang diriku. 
Bagaimana  keadaanmu  ?"  Bagaimana  keadaanku  ?  Darimana  aku  akan mulai  bertjeritera  kepadanja.  Kami
terlalu  saling mentjintai  satu  sama  lain  untuk  bisa  rnemikul  bersama-sama  beban  jang  berat  dalam  hati
kami. Aku  tidak  ingin dia  turut merasakan detik-detik  jang berat dalam  siksaan dan  iapun  tidak  ingin  aku
turut  merasakan  kesusahannja.  Kami  berbitjara  bagai  dua  orang  asing  ditengah  djalan.  Aku  ingin
menahannja.  Aku  ingin  meneriakkan  bahwa  aku  mentjintainja  dan  perlakuan  terhadap  kami  tidak  adil
samasekali.  Akan  tetapi  dengan  nada  jang  hambar  tiada  bergaja-hidup  aku  bersungut,  ,,Semua  baik.  Aku
tidak mengeluh." 
Pengawas  pendjara  di  Bantjeuj  orang  Belanda  semua.  Ditingkat  jang  lebih  rendah,  jaitu  mereka  jang
sebenarnja memegang kuntji, adalah orang-orang Indonesia. Blok dari sel kami jang terpisah didjaga chusus
oleh  seorang  sipir  jang  tugasnja  semata-mata  mengawasi  kami.  Bung  Sariko  baik  sekali  terhadapku.  Ia
mengakui tawanan jang istimewa ini sebagai pemimpin politiknja. Ia adalah pendjagaku, akan tetapi dalam
hatinja ia mengakui bahwa aku pelindungnja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 53 dari 109
Setjara  diam-diam  semua  petugas  pendjara  berpihak  kepadaku.  Selalu mereka  berbuat  sesuatu  untukku.
Sarikolah  jang  pertama-tama membuka  djalan  dengan memberiku  rokok,  buku-buku  dan membawa  berita
bahwa  Iskaq,  bendahara  kami,  telah  ditahan.  Setelah  memperlihatkan  kesungguhannja,  disuatu  pagi  ia
berbisik,  ,,Bung, kalau hendak menjampaikan pesan kedalam atau keluar, katakanlah. Saja akan bertindak
sebagai perantara. Inilah tjara saja untuk menjumbangkan tenaga." 
Suratkabar  tidak  dibolehkan  samasekali.  Disaat  itu  keinginanku  untuk  memperolehnja  melebihi  daripada
segala sesuatu didunia ini, ,,Suratkabar, Bung," aku berbisik kembali. ,,Tjarikanlah saja suratkabar." 
Dihari  berikutnja  aku  berada  dikamar-mandi  mentjutji  dibak.  Pada  waktu  mengambil  handuk  aku  dapat
merasakan ada suratkabar dilipatkan kedalamnja. Dihari selandjutnja ketika makananku diantarkan kedalam,
sebuah suratkabar diselipkan dibawah piring. 
Aku memikirkan  suatu  akal,  sehingga  kami  semua  dapat membatjanja.  Aku  berhasil memperoleh  benang-
djahit  dan  pada  djam  enam,  sebelum  dikurung  untuk  malam  hari,  aku  merentangkan  benang  halus  itu
ditanah  sepandjang  empat  sel,  sehingga  ia merentang  dari  pintuku  kepintu  Supriadinata.  Kalau  aku  sudah
selesai membatja suratkabar itu, kuikatkan ia keudjung benang, mengintai keluar, ragu-ragu sebentar untuk
melihat  apakah  ada  orang  jang  datang,  kemudian  berteriak,  ,,Vrij."  Ini  sebagai  tanda  bahwa  blok  kami
tertutup dan tidak ada pendjaga berdiri diposnja saat itu. Kemudian aku memanggil ,,Gatot !" sebagai tanda
untuk  Gatot  supaja  menarik  benangnja.  Dengan  menariknja  setjara  hati-hati  suratkabar  itu  sampai
kepintunja  dan  kemudian  menariknja  melalui  bawah  pintu.  Begitupun  tjaranja  untuk  Maskun  dan
Supriadinata. Kalau sekiranja pendjaga kami melihat benang itu ditjahaja sendja, ia melengah. 
Sarikopun  memberitahu  kepadaku  kapan  akan  diadakan  pemeriksaan.  Kalau  sel  kami  kotor  pada  waktu
pengawas kami  lewat untuk memeriksa, kami mendjadi  sasaran hukuman. Djam  lima  tigapuluh  setiap pagi
tugas  kami  jang  pertama  ialah membersihkan  sel  dan mengosongkan  kaleng  tempat  buang-air.  Aku  selalu
kuatir terhadap Maskun, karena dia jang paling muda dan agak serampangan. Kuperingatkan dia. ,,Maskun,
kau harus melatih diri untuk kebersihan, karena engkau bisa djadi korban pertjuma karena ini." 
Ia menjeringai,  ,,Bung  terlalu  hati-hati  dengan  segala  sesuatu  dan  ini  disebabkan  karena  Bung  orang  tua.
Bung sudah 28 tahun. Alasanku bersifat lebih serampangan karena aku baru 21. Masih muda !",,Baiklah, anak-
muda-pengatjau," djawabku kepadanja. ,,Baik kita lihat siapa jang dapat hukuman siapa jang tidak." 
Pada pemeriksaan selandjutnja tidak lama setelah itu Maskun dihukum tiga hari ditempat. Ini berarti, bahwa
dia tidak dapat membatja buku dan rekreasi. Ia terpaksa tinggal terasing dalam kamarnja. Untuk mentjegah
hal  ini djangan terdjadi  lagi aku memikirkan satu tanda. Perhubungan hanja dapat dilakukan dengan bunji,
karena  kami  tidak  dapat  saling melihat.  Kami menggunakan  tanda-tanda  ketokan. Misalkan  aku mendapat
berita, bahwa esok paginja akan diadakan pemeriksaan mendadak. Aku mengetok pada daun pintu besi jang
menggetar tok ......tok. Dua ketokan berat berarti,,,Besok pengawas datang, djadi bersihkan selmu." 
Ada  diantara  petugas  bangsa  Belanda  jang  merasa,  bahwa  kami  tidak  patut  dipersalahkan  melakukan
kedjahatan, karena mentjintai kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Disamping itu, ia mau
melakukan  sesuatu  asal  diberi  uang.  Apa  sadja.  Bahkan  tidak  perlu  diberi  banjak-banjak.  Mula-mula  aku
menjangka, bahwa mereka sangat takut pada djabatannja untuk mau menerima suap, tapi ternjata mereka
ini termasuk dalam djenis jang rendah, jang mau mengchianati prinsip-prinsip mereka dengan sangat murah.
Seharga sebotol bir. 
Ketika  aku  berhadapan  dengan  seorang  jang  baik  hati,  aku menerangkan,  ,,Saudara,  saja  bekerdja  untuk
rakjatku.  Itulah  satu-satunja  kedjahatanku.  Mengapa  saudara  mendjaga  saja  begitu  teliti  ?  Tjobalah
melengah  sedikit." Terkadang  ini berhasil,  terkadang  tidak. Tapi  kebanjakan  ada  hasilnja.  Itulah  sebabnja
mengapa aku berkawan dengan pengawas bui bernama Bos. Tuan Bos adalah seorang Belanda jang baik tapi
goblok.  Aku  tak  pernah  mentjoba  mempengaruhi  pikirannja  dalam  pandangan  politik.  Aku  sudah  tjukup
bersjukur  dapat mempergunakannja  kadang-kadang  untuk  suatu  kesenangan.  Pada  suatu  hari  Bos  datang
dengan menjeret-njeretkan kakinja ketempatku jang gelap dan aku dapat melihat sebelah matanja bengkak
seperti balon. ,,Hee, Bos," aku berteriak, ,,Kenapa matamu ? Bengkak dan biru !" 
Ia berdiri disana terhujung-hujung dan memegang mata jang sakit itu. ,,Oooooohhh," ia mengeluh kesakitan,
,,Pernah kau lihat jang keterlaluan begini. Oooohhhh, aku sakit sekali. Rasanja sakit sekali." 
Orang jang malang itu betul-betul sangat menderita. ,,Katakanlah, Bos." kataku. ,,Kenapa kau?" Ia mengintip
kepadaku dengan matanja jang satu lagi dan mengeluh, ,,Oooohhhh, ooooohhh, Sukarno, kenapa aku ! Tiga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 54 dari 109
hari jang lalu aku bertjintaan dengan seorang pelatjur. Dan pada waktu aku selesai aku menghapus badanku
dengan saputangan." 
,,Apa hubungannja dengan matamu ?" 
,,Ja,  tentu  sadja  ada  hubungannja,  kumasukkan  saputanganku  kembali  kedalam  kantong  sewaktu  sudah
selesai  sewaktu  sudah  selesai.  Beberapa  djam  kemudian,  tanpa  berpikir,  aku mengeluarkan  saputanganku
lagi dan menggosok mataku dengan itu. Nah, inilah hasilnja. Gadis itu tentu tidak bersih dan mataku infeksi,
jang berasal dari gadis itu. Dan sekarang......sekarang......kaulihat aku ini ! !" 
,,Aah,  kasihan. Bos,  kasihan,  kasihan,"  kataku  seperti  ajam berkotek.  ,,Aku merasa  kasihan padamu." Dan
memang  sesungguhnja aku kasihan kepadanja. Aku  tawanannja. Dia berkelujuran diluar,  telah melepaskan
hawa-nafsunja pada  seorang perempuan  latjur,  sedang aku dikurung dalam  sel  jang dingin dan  tak pernah
diberi kesennpatan sekalipun memegang tangan isteriku .....dan aku....kasihan kepadanja. 
Ketika Bos menjusup pergi sambil mengeluh dan merintih, aku gembira, karena Bos tidak mengatakan padaku
bahwa gadis itu adalah salah-seorang anggota partaiku. Hal jang demikian dapat meruntuhkan persahabatan
kami. Ketika aku tak dapat lebih lama lagi menelan kesepian, kegelapan dan keadaan kotor, maka aku mulai
bermain  dengan  Gatot.  Aku  berhasil  mendapat  buku  wajang.  Wajang  ini  adalah  bentuk  seni  jang  paling
populer di Indonesia. Dengan menggunakan bentuk-bentuk dari kulit jang memberikan bajangan pada lajar-
putih maka  dalang menggambarkan  kisah-kisah  Mahabharata  dan  Ramayana,  kisah-kisah  Hindu  klasik  dari
masa lampau. Ini adalah drama keramat dari Indonesia. 
Gatot kusuruh membatja buku ini. Aku sudah hafal semua kisah-kisah itu. Semendjak ketjil aku mengagumi
tjerita wajang.  Sewaktu masih  di Modjokerto  aku menggambar-gambar wajang  dibatu-tulisku.  Di  Surabaja
aku tidak tidur semalam suntuk sampai djam enam esok paginja mendengarkan dalang mentjeritakan kisah-
kisah  jang mengandung  peladjaran  dan  sedikit  bersamaan  dengan  dongeng  kuno  di  Eropa.  Setelah  Gatot
dengan tekun mempeladjari buku itu, aku menjuruhnja, ,,Sekarang letakkan buku itu dan tjeritakan kembali
dengan suara keras apa jang sudah kau batja tanpa melihat kebuku." 
,,Djadi Bung meminta aku memerankan bagian-bagiannja ?" 
,,Ja," aku berteriak kembali. ,,Djadi dalang." Pertjakapan kami dilakukan dengan suara keras sekali, karena
sel kami terpisah empat meter djauhnja dan setiap satu meter dibatasi oleh dinding-batu jang padat. 
Gatot mulai. Aku mendengarkan  sambil menahan napas,  sehingga  ia  sampai pada bagian  jang mengisahkan
pahlawan  kegemaranku, Gatotkatja.  ,,Gatotkatja  lalu  berhadapan  dengan  Buta,"  teriak Gatot.  ,,Dia  kalah
dalam pertarungan dan dia djatuh. Gatotkatja dikalahkan sementara." 
,,Ja," aku berteriak  jakin.  "Tapi  itu hanja untuk sekali. Dia akan bangkit  lagi. Dia akan menang sekali  lagi.
Engkau tidak bisa membiarkan pahlawan djatuh. Tunggulah saatnja." 
Gatot Mangkupradja melandjutkan, menguraikan pertempuran. Achirnja ia sampai pada: ,,Gatutkatja sudah
bangkit lagi. Gatutkatja sudah berdiri. Dia membunuh Buta itu." 
Oooooo ! Aku gembira ! Aku berteriak tak terkendalikan. ,,Haaa ! Aku tahu itu. Bukankah sudah kukatakan ?
Seorang pahlawan jang hanja mau mengerdjakan jang baik tidak pernah kalah untuk selama-lamanja." 
Kelakuan kami dengan melakonkan wajang  ini  tidak hanja menjenangkan dan menghiburku, akan  tetapi  ia
djuga  meringankan  perasaan  dan  memberi  kekuatan  pada  diriku.  Bajangan-bajangan  hitam  dikepalaku
melebur  bagai  kabut  dan  aku  bisa  tidur  pulas  dengan  rasa  puas  akan  kejakinanku,  bahwa  jang  baik  akan
mengungguli jang djahat.
Bab 11
Pengadilan
16 DJUNI 1930, berita  suratkabar  tentang pidato Gubernur Djendral pada pembukaan  sidang Dewan Rakjat
memuat  pengurnuman  bahwa  ,,Sukarno  akan  dihadapkan  dimuka  pengadilan  dengan  segera."  Tanggalnja
sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanja tiga minggu sebelum aku bertemu dengan pembela-pembelaku
jang  kupilih  sendiri:  Sujudi  S.H.,  ketua  P.N.I.  tjabang  Djawa  Tengah,  jaitu  tuan  rumah  dimana  aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 55 dari 109
ditangkap;  Sartono  S.H.,  seorang  rekan  dari  Algemeene  Studieclub  jang  lama  dan  tinggal  di  Djakarta  dan
mendjadi Wakil Ketua  jang mengurus soal keuangan partai; Sastromuljono S.H., seorang kawan dan patriot
jang  tinggal  di  Bandung.  Tidak  dengan  bajaran.  Dan  memang  tidak  ada  uang  untuk  membajar.  Para
pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masing-masing. 
Dalam  pertemuanku  jang  pertama  dengan  Sartono  aku mengatakan,  ,,Terlintas  dalam  pikiran  saja  bahwa
mendjadi kewadjibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri." 
,,Bung maksud dari segi politik?" 
,,Ja, sedang tanggung-djawab Bung mempersiapkan segi juridisnja." 
Ia kelihatan memikirkan soal itu. ,,Saja tahu," ia mengerutkan dahi, ,,bahwa dalam kedudukan Bung sebagai
Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun jang sanggup mempersiapkan pokokpokok persoalan
seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat Bung, apakah prosedur ini lazim dalam pengadilan ?" 
Aku  memandang  dalam  kemata  kawanku  jang  kelihatan  suram  memikirkan  soal  ini.  Ia  kelihatan  seperti
memerlukan  lebih  banjak  bantuan  daripada  jang  kuperiukan.  Aku menempatkan  sebelah  tanganku  keatas
bahunja  untuk menjenangkan  hatinja.  ,,Sartono,"  kataku,  ,,bukan maksud  saja  untuk membanggakan  diri
saja.  Akan  tetapi  ketika  saja  masuk  bui,  begitulah  jang  kuputuskan.  Kalau  sudah  nasib  saja  untuk
menahankan  siksaan,  biarkanlah  saja.  Bukankah  lebih  baik  Sukarno menderita  untuk  sementara  daripada
Indonesia menderita untuk selama-lamanja ?" 
,,Saja masih  berpikir  apakah  ini  djalan  jang  paling  baik  agar  Bung  bebas  dari  tuntutan  hukum,"  katanja
dengan sedih. 
Ia  tahu  dan  aku  tahu,  bahwa  aku  takkan  bisa  bebas.  Kami  di  zinkan  untuk  bertemu  antara  empat mata
disuatu  ruangan  tersendiri  selama  satu djam dalam  seminggu. Tiada  seorangpun  jang mendengarkan kami,
djadi  akulah  jang  pertama  harus  mengadjak  untuk  membitjarakan  apa  jang  terselip  dalam  pikiran  kami
berdua.  ,,Bung  tahu  betul,"  aku  mulai  dengan  lunak,  ,,bahwa  semuanja  hanja  akan  berpura-pura  sadja.
Berita  bahwa  kepada  saja  sudah  didjatuhkan  hukuman,  telah  menetes  dari  kawan-kawan  kita  di  Negeri
Belanda. Sekalipun informasi jang demikian tidak dikirimkan kepada saja, tapi saja tahu bahwa pengadjuan
kedepan  pengadilan  ini  hanja  sandiwara  sadja.  Bung  pun  tahu. Mereka  harus menghukum  kita.  Terutama
saja. Saja adalah biangkeladinja." 
,,Ja,"  keluhnja,  ,,Saja  sudah  membatja  berita  pers  disuratkabar.",,Seperti  misalnja  kepala  berita  harian
'Sukarno PASTI dihukum' dan 'Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para pembesar.' Saja
tahu. Sajapun membatjanja." Sartono membuka katjamatanja, membersihkannja lalu memakainja kembali. 
,,Semendjak tanggal 29 Desember suasana hangat dari masjarakat disini dan di Negeri Belanda tidak henti-
hentinja menghasut," aku menjatakan, ,,Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku tidak dapat
menjerahkan hal ini kepada orang lain. Ja, memang ada Bung dan pehasehat-penasehat lainnja, akan tetapi
saudara-saudara mempunjai  segi-segi  hukumnja  sendiri  untuk  diadjukan. Tinggal  dua minggu  lagi  kedepan
pengadilan." 
,,Saja  tjepat-tjepat  datang  kemari,  segera  setelah mendengar  kabar,"  ia minta maaf,  ,,Akan  tetapi  polisi
mempersulit persoalannja. Nampaknja untuk beberapa waktu seakan-akan saja sendiri berada dalam bahaja
penahanan." 
Aku  melihat  kepadanja  dengan  mata  berlinang  karena  terimakasih.  ,,Sartono,  saja  menghargai  segala
usahamu. Namun,  tjara  ahli  hukum  bekerdja  tidak menjimpang  dari  ketentuan  hukum.  Dia  sangat  terikat
untuk  mendjalankan  hukum.  Suatu  revolusi  melemparkan  hukum  jang  ada  dan  madju  terus  tanpa
menghiraukan  hukum  itu.  Djadi  sukar  untuk  merentjanakan  suatu  revolusi  dengan  ahli  hukum.  Kita
memerlukan getaran perasaan kemanusiaan. Inilah jang akan saja kemukakan." 
Aku  menjediakan  kertas  dari  rumah.  Tinta  dari  rumah.  Sebuah  kamus  dari  perpustakaan  pendjara.
Pekerdjaan ini sungguh meremukkan tulang-punggung. Aku tidak punja medja untuk dapat bekerdja dengan
enak.  Selain  daripada  tempat-tidur,  satu-satunja  perabot  jang  ada  dalam  selku  adalah  sebuah  kaleng
tempat-buang-air.  Kaleng  jang menguapkan  bau  tidak  enak  itu  adalah  perpaduan  dari  tempat  buang-air-
ketjil dan tempat melepaskan hadjat-besar. Ia terbagi dua untuk masing-masing keperluan itu. Perkakas jang
buruk ini tingginja sekira dua kaki dan lebar dua kaki. Setiap pagi aku harus menjeretnja dari bawah tempat-
tidur, kemudian mendjindjingnja kekakus dan membersihkan kaleng itu.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 56 dari 109
Malam  demi  malam  dan  tak  henti-hentinja  selama  sebulan  setengah  aku  mengangkat  kaleng  itu  keatas
tempat-tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannja dihadapanku. 
Ia  kualas  dengan  beberapa  lapis  kertas  sehingga  tebal  dan  aku  mulai  menulis.  Dengan  tjara  begini  aku
bertekun  menjusun  pembelaanku  jang  kemudian  mendjadi  sedjarah  politik  Indonesia  dengan  nama
,,lndonesia  Menggugat'.  Dalam  buku  ini  aku  mengungkapkan  setjara  terperintji  penderitaan  jang
menjedihkan  dari  rakjatku  sebagai  akibat  penghisapan  selama  tiga  setengah  abad  dibawah  pendjadjahan
Belanda. Thesis tentang kolonialisme ini, jang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa dibeberapa negara
dan  jang diguratkan dengan kata  jang bernjala-njala, adalah hasil penulisan diatas kaleng tempat-buangair
jang bertugas ganda itu. 
18  Agustus  1930,  setelah  delapan  bulan  meringkuk  dalam  tahanan.  perkara  ini  dihadapkan  dimuka
pengadilan.  Setjara  formil  aku  dituduh melanggar  Pasal  169  dari  Kitab Undang-undang Hukum  Pidana  dan
menjalahi pasal 161,-171 dan 153. Ini adalah 'de Haatzaai Artikelen' jaitu pasal-pasal pentjegah penjebaran
rasa bentji. Setjara formil aku dituduh ,,mengambil bagian dalam suatu organisasi jang mempunjai tudjuan
mendjalankan kedjahatan disamping........ usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda............" 
Gedung  pengadilan  jang  terletak  di  Djalan  Landraad  penuh  sesak  oleh  manusia.  Udara  didalam  terasa
menjesakkan. Langit-langit papan  jang berwarna  suram bahkan menambah pekatnja kesuraman dari udara
jang melemaskan dalam ruang pengadilan  itu. Ketika aku memulai pidatoku tiada satupun terdengar suara.
Tiada  satupun  jang  bergerak.  Tiadaa  gemerisik.  Hanja  putaran  lembut  dari  kipas-angin  diatas  kepala
terdengar merintih. Sambil berdiri diatas bangku-pesakitan jang ditinggikan aku menghadap kemedja-hidiau
hakim  dan  aku  mulai  berbitjara.  Aku  berbitjara  berdjam-djam.  Pokok-pokok  dakwaan  terhadap  Belanda
kukemukakan  menurut  jang  sesungguhnja.  Setelah  hampir  mendekati  achir,  ketenanganku  jang  biasa
melebur  mendjadi  pernjataan  keketjewaan.  Aku  teringat  kembali  ketika  terpaksa  berhenti  sebentar  dan
berusaha menguasai pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu mentjetuskan perasaan. 
,,Pengadilan  menuduh  kami  telah  mendjalankan  kedjahatan.  Kenapa  ?  Dengan  apa  kami  mendjalankan
kedjahatan, tuan-tuan Hakim jang terhormat ? Dengan pedang ? Dengan bedil ? Dengan bom ? Sendjata kami
adalah  rentjana,  rentjana  untuk  mempersamakan  pemungutan  padjak,  sehingga  rakjat  Marhaen  jang
mempunjai  penghasilan  maksimum  60  rupiah  setahun  tidak  dibebani  padjak  jang  sama  dengan  orang
kulitputih jang mempunjai penghasilan minimum 9.000 setahun. 
,,Tudjuan  kami  adalah  exorbitante  rechten,  hak-hak  luarbiasa  dari  Gubernur  Djendral,  jang  singkatnja
setjara peri-kemanusian tidak  lain daripada pengatjauan  jang dihalalkan. Satu-satunja dinamit  jang pernah
kami tanamkan adalah suara djeritan penderitaan kami. Medan perdjoangan kami tak lain daripada gedung-
gedung pertemuan dan surat-suratkabar umum. 
,,Tidak  pernah  kami  melanggar  batas-batas  jang  ditentukan  oleh  undang-undang.  Tidak  pernah  kami
mentjoba  membentuk  pasukan  serdadu-serdadu  rahasia,  jang  berusaha  atas  dasar  nihilisme.  Kami  punja
modus operandi ialah untuk menjusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam tjara-tjara jang legal. 
,,Ja,  kami  memang  kaum  revolusioner.  Kata  'revolusioner'  dalam  pengertian  kami  berarti  'radikal',  mau
mengadakan  perobahan  dengan  lekas.  Istilah  itu  harus  diartikan  sebagai  kebalikan  kata  'sabar',  kebalikan
kata  'sedang'.  Tuan-tuan  Hakim  jang  terhormat,  sedangkan  seekor  tjatjing  kalau  ia  disakiti,  dia  akan
menggeliat  dan  berbalikbalik.  Begitupun  kami.  Tidak  berbeda  daripada  itu..,Kami  mengetahui,  bahwa
kemerdekaan memerlukan waktu untuk mentjapainja. 
Kami mengetahui bahwa kemerdekaan  itu  tidak akan  tertjapai dalam  satu helaan nafas  sadja. Akan  tetapi
kami masih  sadja dituduh, dikatakan  'menjusun  suatu komplotan untuk mengadakan  revolusi berdarah dan
terluka,  agar  kami  dapat  merebut  kemerdekaan  penuh  ditahun  30'.  Djikalau  ini  memang  benar,
penggeledahan massal jang tuan-tuan  lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat
persembunjian sendjata-sendjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun jang dapat diketemukan. 
,,Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan ! Seperti tidak ada sendjata jang lebih tadjam lagi daripada golok, bom
dan  dinamit  itu.  Semangat  perdjoangan  rakjat  jang  berkobar-kobar  akan  dapat menghantjurkan manusia
lebih tjepat daripada  ribuan armada perang  jang dipersendjatai  lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa
tank dan meriam. Akan  tetapi  suatu bangsa  tidak mungkin bertahan  tanpa kepertjajaan. Ja, kepertjajaan,
dan itulah jang kami punjai. Itulah sendjata rahasia kami. 
,,Baiklah, tentu orang akan bertanja,  'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan jang engkau
perdjoangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersendjata ?'  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 57 dari 109
,,Saja akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim  jang terhormat, dengan segala kedjudjuran hati kami tidak tahu
bagaimana atau dengan apakah langkah terachir itu akan dilakukan. Mungkin djuga Negeri Belanda achirnja
mengerti,  bahwa  lebih  baik mengachiri  kolonialisme  setjara  damai. Mungkin  djuga  kapitalisme  Barat  akan
runtuh. 
,,Mungkin djuga, seperti sudah sering saja utjapkan, Djepang akan membantu kami.  Imperialisme bertjokol
ditangan  bangsa  kulitkuning  maupun  ditangan  bangsa  kulitputih.  Sudah  djelas  bagi  kita  akan  kerakusan
keradjaan Djepang dengan menaklukkan semenandjung Korea dan mendjalankan pengawasan atas Manchuria
dan  pulau-pulau  di  Lautan  Pasifik.  Pada  suatu  saat  jang  tidak  lama  lagi  Asia  akan  berada  dalam  bahaja
penjembelihan  besar-besaran  dari  Djepang.  Saja  hanja  mengatakan,  bahwa  ini  adalah  kejakinan  saja
djikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul kekiri dan kekanan, maka Pemerintah Kolonial
tidak akan sanggup menahannja. 
,,Oleh karena  itu,  siapakah  jang dapat menentukan  terlebih dulu  rentjana kemerdekaan dari negeri kami,
djikalau  kita  tidak  tahu  apa  jang  akan  terdjadi  dalam masa  jang  akan  datang.  Jang  saja  ketahui,  bahwa
pemimpin-pemimpin  P.N.I.  adalah  pentjinta  perdamaian  dan  ketertiban.  Kami  berdjoang  dengan
kedjudjuran  seorang  satria.  Kami  tidak  menginginkan  pertumpahan  darah.  Kami  hanja  menghendaki
kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakjat kami. 
,,Saja menolak tuduhan mengadakan rentjana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersendjata.
Sungguhpun  begitu,  djikalau  sudah mendjadi  Kehendak  Jang Maha-Kuasa  bahwa  gerakan  jang  saja  pimpin
akan memperoleh  kemadjuan  jang  lebih  pesat  dengan  penderitaan  saja  daripada  dengan  kebebasan  saja,
maka saja menjerahkan diri dengan pengabdian jang setinggi-tingginja kehadapan Ibu lndonesia dan mudah-
mudahan  ia menerima  nasib  saja  sebagai  pengorbanan  jang  harum-semerbak  diatas  pangkuan  persadanja.
Tuan-tuan Hakim  jang  terhormat, dengan hati  jang berdebar-debar  saja, bersama-sama dengan  rakjat dari
bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim !" 
Ketika  aku  dibawa  kembali  kerumah  pendjara, wakil  penuh  dari  Pemerintah menundjukkan  keramahannja
dengan mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginja sebuah suratkabar menulis tentang kedjadian ini dengan
djudul  ,,Meester  ir. Kievet de  Jonge  kelihatan  berdjabatan  tangan  dengan pengatjau  kotor".  Sesudah  tiap
sidang  jang  banjaknja  19  kali  itu,  maka  ada  seorang  Belanda  jang  berani  memuat  tulisantulisan
disuratkabarnja Het  Indische Volk mengenai perlakuan jang sungguh-sungguh tidak adil terhadapku. Dengan
semakin hangatnja tadjuk rentjana jang dibuatnja, maka kerut dahi rekan-rekannja semakin dalam. Mr. J.E.
Stokvis banjak kehilangan kawan karena persoalanku. 
Dimalam akan didjatuhkan putusan pengadilan, enam orang kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu pergi
kerumah Dr. Sosrokartono, seorang ahli kebatinan jang sangat dihormati di Bandung. Kemudian ditjeritakan
kepadaku, bahwa keenam orang  itu ngin menenangkan pikirannja dan sungguhpun hari sudah  lewat malam,
mereka  datang  djuga  kerumah  ahli  kebatinan  itu,  tanpa  ada  perdjandjian  terlebih  dulu.  Sesampai  disana
seorang  pembantu  membukakan  pintu  dan  menjampaikan,  ,,Pak  Sosro  sudah  menunggu-  nunggu"  dan
mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah korsi dalam setengah lingkaran.
Kawan-kawanku itu tentu heran. Dengan tidak bertanja terlebih dulu akan maksud kedatangan mereka, ahli
kebatinan  itu  hanja  mengutjapkan  tiga  buah  kalimat:  ,,Sukarno  adalah  seorang  Satria.  Pedjoang  seperti
Satria boleh sadja djatuh, akan tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunja tidak lama lagi." 
Dihari  berikutnja  Gatot  Mangkupradja,  Maskun,  Supriadinata  dan  Sukarno  didjatuhi  hukuman.  Hukuman
Sukarno jang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran satu setengah kali
dua seperempat meter. Empat tahun lamanja aku tidak melihat matahari. 
Pembela-pembelaku  naik  banding  ke  Rand  van  Justitie,  akan  tetapi  pengadilan  tinggi  ini  tetap  berpegang
kepada  keputusan hukuman. Tidak  lama  setelah  itu  kami dipindahkan  kedalam  lingkungan dinding  tembok
jang tinggi dari pendjara Sukamiskin. 
Bab 12
Pendjara Sukamiskin
DELAPAN bulan lamanja aku berada dalam penahanan keras. Jang dapat kulihat hanja pendjaga selku. Kalau
tawanan-tawanan  lain tidak ada  lagi dipekarangan, aku baru dibawa keluar sarangku selama setengah diam
pagi  dan  sekali  lagi  setengah  djam  diwaktu  sore.  Aku  bahkan  tidak  diberi  kesempatan  untuk  berbitjara
dengan Gatot. Belanda dengan sengadja memisahkan kami.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 58 dari 109
Aku tidak pernah mendapat perlakuan jang kedjam. Sesungguhnja aku selalu diperlakukan terlalu baik. Kalau
tadinja pedjabat pemerintah selalu mentjatat segala gerak-gerikku, maka sekarang petugas pendjara selalu
mendjaga  supaja  aku  tidak mengadakan  protes  terhadap  segala  sesuatu.  Perlakuan  jang  berlebih-lebiban
demikian  itu  sama  sadja  hebatnia  dengan  kekedjaman,  oleh  karena  jang  terachir  ini  masih  memberi
kesempatan untuk berhubungan dengan manusia.Karena mereka kuatir aku akan berhubungan dengan kawan-
kawan  senasib dan merusakkan  tjara mereka berpikir, aku dipekerdjakan dekat Direktur pendjara. Dengan
demikian  pendjagaan  terhadap  diriku  lebih  diperkuat.  Aku  dipekerdjakan  dipertjetakan  dimana  aku
membanting-tulang  memeras  keringat  dalam  puluhan  rim  kertas  untuk  didjadikan  buku-tjatatan.  Aku
menjeret  kertas  itu mengempanja, memuat  dan membongkar mesin-penggaris-dan-potong  jang  besar  dan
penuh gemuk  itu. Mulai dari matahari  terbit aku membuat garis diatas kertas. Sehari penuh, hari berganti
hari,  kerdjaku  tidak  lain dari membuat  garis-garis  itu. Pekerdjaan  jang membosankan untuk  orang  seperti
Sukarno. Sehari-hari hanja membuat garis. 
Diwaktu  djam  makanpun  dianggap  terlalu  berbahaja  untuk  mentjampurkan  ,,Sukarno  orang  berbahaja"
dengan  orang  Indnnesia  lainnja.  Aku  ditjampurkan  dengan  orang  Belanda  hukuman  tingkat  tinggi,  seperti
mereka jang dihukum karena penggelapan uang djabatan atau korupsi. Satu-satunja jang dapat kubitjarakan
dengan  Belanda  kelas  tinggi  ini  adalah  mengenai  makanan  atau  keadaan  tjuatja.  Para  petugas  tetap
mendjaga agar aku tidak membitjarakan soal-soal politik. 
Di  Sukamiskin  aku membiasakan diri makan  tjepat. Bahkan  sekarangpun,  kalau  aku mengadakan djamuan-
makan  kenegaraan,  aku  sudah  selesai makan  sebelum  setengah  dari  para  tetamuku  dilajani.  Tjoba  pikir,
kami semuanja ada kira-kira 900 orang. Kamar-makan jang berukuran ketjil  itu hanja mempunjai 25 medja
kaju, masing-masing memuat  sepuluh  orang.  Kami makan  setjara  bergiliran.  Gong  berbunji,  setiap  orang
masuk  dengan  membawa  piring  aluminium,  tempat  sajur  alumimum,  tjangkir  dan  sendok.  Enam  menit
kemudian kelompok  ini berbaris menudju kran-air diluar untuk mentjutji alat makannja dan  sementara  itu
rombongan 250 orang jang lain berbaris masuk. Enam menit kemudian rombongan jang lain lagi. Tak ubahnja
seperti membuat barang dalam pabrik sadja setjara berurutan. 
Kami  mandi  menurut  waktu.  Aku  diberi  waktu  enam  menit  untuk  rnembersihkan  seluruh  badan,  penuh
dengan minjak dari kepaia  sampai kekaki  jang melekat ditangan, kaki dan pipi.  Setiap enam menit giliran
jang lain. Dan kami ada setengah lusin orang jang berebut air dibawah satu pantjoran. 
Banjak kebiasaan-kebiasaan siang dan malam dalam bui masib terbawa-bawa olehku dalam 35 tahun ini. Aku
sudah terbiasa berbaring diatas tempat jang keras dan tipis, begitupun sekarang Sebagai Kepala Negara aku
tidak tidur diatas alas sutera dan kasur empuk. Sesungguhnja aku sering turun dari tempat-tidur  jang enak
dan menggeletak diatas lantai. Aku lebih enak tidur dengan tjara begitu. 
Setelah beberapa bulan dalam pengasingan  ini, aku dibolehkan menerima kue dan telor dari  luar. Makanan
ini mula-mula diperiksa dengan teliti oleh pendjaga. Sungguhpun demikian, berita masih dapat lolos dengan
pengiriman makanan  ini,  oleh  karena  sebelum masuk  tahanan  aku  sudah mengatur  tanda-tanda,  sehingga
djikalau  terdjadi  sesuatu  jang  tak dapat dihindarkan, maka orang  jang paling dekat kepadaku masih dapat
mengadakan  hubungan.  Dalam  hal  kabar  buruk  Inggit mengirimkan  telor-asin.  Ini  terdjadi  beberapa  kali.
Akan  tetapi  jang  kuketahui  hanjalah  bahwa  ada  kabar buruk. Hanja  itu. Dan  ini  pulalah  jang membikinku
seperti  orang  gila,  karena  tidak mengetahui  bala  apa  jang  telah menimpa.  Rupanja  sudah mendjadi  sifat
manusia untuk bertahan terhadap kesulitan. Inilah saat-saat jang menjiksa diriku. 
Isteriku  diberi  kelonggaran  untuk  berkundjung  hanja  dua  kali  dalam  seminggu  dan  surat-suratku  selalu
diteliti.  Djadi,  saluran  informasi  jang  paling  banjak  bagiku  adalah  buku-buku  agama  jang  diperkenankan
dibawa dari luar. Aku mengakali suatu tjara dengan menggunakan lobang-lobang djarum. Umpamakan Inggit
mengirimiku Quran pada tanggal 24 April. Aku harus membuka Surah 4 halaman 24 dan dengan udjung-djari
aku meraba dengan  teliti. Dibawah huruf-huruf  tertentu  terdapatlah bintik bekas  lobang djarum. Tjaranja
seperti huruf braille. Dibawah huruf A terasa bintik ketjil. Dibawah huruf N sebuah bintik lagi dan seterusnja.
Dengan djalan demikian aku dapat mengetahui isi berita dihari-hari selandjutnja. 
Kalau  isteriku  membawakan  telor  biasa,  aku  meneliti  kulitnja  teriebih  duiu  sebelum  memakannja.  Satu
tusukan  peniti  berarti  ,,kabar  baik".  Dua  tusukan  ,,seorang  kawan  ditangkap".  Tiga  tusukan  berarti
,,Penjergapan besar-besaran. Semua pemimpin ditangkap''. 
Ibu  dan  bapakku  tidak  pernah  datang.  Mereka  tidak  akan  sanggup  memandangi  sianak-sajang  terkurung
dalam  kandang  jang  sempit,  jang  pandjangnja  hanja  limabelas  ubin  dan  lebar  duabelas  ubin  itu.  Mereka
tidak akan sanggup melihat aku dikeluarkan seperti binatang jang digiring untuk diangin-anginkan. Kakakku
Sukarmini datang dua kali, ia bekerdja dengan semangat jang bernjala-njala untuk P.N.I. Kami menggunakan
gerakan tangan atau lain-lain sebagai tanda pemberitaan. Kalau ia menarik telinganja, menjilangkan djarinja BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 59 dari 109
aku  mengerdipkan  mata,  ataupun  menggerakkan  salahsatu  tangan  jang  kelihatannja  kosong  sadja  atau
menggerakkan mukanja, semua ini membawa artinja sendiri-sendiri. Ia bisa banjak berbitjara dengan djalan
ini. 
Ketika  pertamakali  melihatku  ia  surut  memandangi  wadjahku.  Selain  dari  berat  badanku  jang  semakin
berkurang,  iapun  kaget melihat  kulitku.  Dua  kali  ia  datang,  dua  kali  pula  ia memberikan  komentar  jang
sama. ,,Karno, kau sudah djadi hitam!" 
,,Memang," aku tersenjum lesu. ,,Aku sudah djauh lebih hitam dari biasa." 
,,Kenapa begitu ?" ia berteriak. ,,Kau diapakan oleh mereka ?" 
,,Tidak diapa-apakan, tapi aku jang mernbikin kulitku begini." djawabku. ,,Dua kali dalam sehari kami diberi
kesempatan  keluar  sel  selama  beberapa  menit.  Ada  jang  menggunakan  kesempatan  ini  untuk  berdjalan-
djalan  atau  gerak-badan  atau  bermain  seperti  main  bola.  Ada  lagi  jang  duduk-duduk  berteduh  dibawah
pohon." 
,,Kau bagaimana !" tanjanja. 
,,Aku  berbaring-baring  ditanah  untuk  meresapkan  kedalam  tubuhku  chasiat  dari  sinar  matahari  jang
membakar.'' 
,,Aku  tak  pernah melihatmu  berdjemur  begitu.",,Memang  selama  ini  tidak.  Sebetulnja  aku  pusing  karena
terlalu  banjak  tjahaja matahari.  Tapi  aku  harus mengeringkan  tubuhku.  Sel  itu  sangat  dingin,  gelap  dan
lembab, djadi inilah satu-satunja djalan untuk memanaskan tulang-tulangku jang didalam sekali." 
Kekedjaman jang paling hebat jang dapat rnengganggu pikiran manusia adalah pengasingan. Sungguh hebat
akibatnja  !  la  dapat  menggontjangkan  dan  membelokkan  kehidupan  orang.  Aku  menjaksikan  kedjadian-
kedjadian jang memilukan hati Aku menjaksikan kawan setahanan mendjadi gila karena sjahwatnja. Dengan
mata kepalaku  sendiri aku melihat mereka melakukan  ,,onani". Pemuasan nafsu  terhadap diri  sendiri. Aku
mengetahui  dan  telah menjaksikan  akibat  jang menakutkan  daripada  pengasingan  terhadap  laki-laki  jang
normal. 
Dihadapanku  laki-laki  melakukan  pertjintaan  dengan  laki-laki  lain.  Seorang  Belanda  jang  tjerdas  dan
potongan orang gede-gede membanting-tulang seperti budak dibagian benatu pendjara. Aku sedang berada
dekatnja ketika pendjaga pendjara menjampaikan kepadanja bahwa ia akan dipindahkan bekerdja ketempat
jang  lebih  tjotjok  dengan  pembawaan mentalnja  daripada  pekerdjaan membudak  jang  telah  dilakukannja
begitu lama. ,,Kami akan dipindahkan tuan besok," kata pendjaga itu. ,,Mulai dari sekarang tuan tidak perlu
lagi membungkuk dibak-uap dan  tangan  tuan  tidak akan mengelupas  lagi dalam air  jang mendidih. Karena
kelakuan tuan jang baik, tuan diberi pekerdjaan ringan dirumah-obat." 
Belanda  itu  mendjadi  takut.  Mulutnja  bergerak  gugup.  ,,0  tidak.  teriaknja  sambil  menggapai  tangan
pendjaga itu. ,,Tidak ......... tidak......ach, tidak. Djangan aku dipindahkan kesana." 
Pendjaga  jang  keheranan  itu  menjangka  orang  tahanan  itu  salah  dengar.  ,,Tuan  tidak  mengerti,"  kata
pendjaga mengulangi. ,,Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerdjakan jang lebih mudah." 
,,Djangan........  djangan,"  orang  tahanan  itu membela  pendiriannja.  ,,Pertjajalah  padaku,  aku  tidak mau
keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerdja dibagian benatu. Biar bekerdja keras." 
,,Kenapa ?" tanja pendjaga tidak pertjaja. 
,,Karena," bisiknja, ,,Tempatnja tertutup disini dan aku selalu dilingkungi orang sepandjang waktu. disini aku
bisa  berhubungan  rapat  dengan  orang-orang  disekelilingku.  Sedang  dirumah-obat  aku  tak  mendapat
kesempatan  ini  dan  tidak  akan  bisa  menggeser  pada  laki-laki  lain.  Djangan.......djangan  pindahkan  aku
kesana. Inilah akibat pengurungan terhadap manusia. 
Sungguh banjak persoalan homoseksuil diantara orang kulitputih. Seorang Belanda berambut keriting, dengan
pundaknja jang lebar dan sama seperti laki-laki lain jang bisa dilihat dimana-mana, telah didjatuhi hukuman
empat  tahun  kerdja  berat.  Kedjahatannja,  karena  bermain-main  dengan  anak-anak muda.  Tapi walaupun
dihukum  berkali-kali  untuk  menginsjafkannja,  namun  nampaknja  ratusan  anak  laki-laki  jang  berada BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 60 dari 109
disekelilingnja adalah satu-satunja obat bagi penjakitnja, wallahu'alam. Hukumannja telah habis dan dipagi
ia meninggalkan pendjara, kukira dia bisa baik lagi. 
Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk dibangku depan dikelilingi oleh delapan atau sembilan
anak-anak  muda.  Orang  kulitputih  berambut  pirang  dan  berbadan  besar  duduk  dikelas  kamhing  jang
disediakan  untuk  orang  Bumiputera  tentu  mudah  diketahui  orang.  Terutama  kalau  perhatiannja  tidak
terpusat kepada film. Djadi, kembalilah ia mengajunkan langkah menudju bui. Pendjara bukanlah obatnja. Ia
kembali keselnja jang lama sebelum keadaannja berobah. 
Djenis manusia jang begini berkumpul disuatu tempat dikota. Suatu hari terdjadi ribut-ribut disebuah hotel
dan polisi datang. Seorang pemuda kedapatan terbaring dilantai disalahsatu kamar menangis dan mendjerit.
Ia  dalam  keadaan  telandjang  dan  mendjadi  apa  jang  disebut  pelatjur.  Langganannja  adalah  tiga  orang
Belanda  berbadan  tegap  dan  kekar.  Apakah  jang mendjadi  sebab  dari  kegemparan  ini  ?  Anak  pelatjur  itu
kemudian menerangkan  sambil  tersedusedu,  ,,Mula-mula  jang  satu  itu  dari  Korps Diplomatik  ingin  dengan
saja,  lalu  kawannja.  Sekarang  jang  ketiga  mau  dengan  saja  lagi.  Saja  tjapek.  Saja  katakan,  saja  tidak
sanggup lagi dan apa tindakannja ? Dia memukul saja !" 
Orang  kulitputih  itu  dimasukkan  kesel  dibawahku.  Disini  ia  berusaha  lagi menawarkan  kegemarannja  itu.
Pada  waklu  tidak  ada  orang  disekelilingku,  kutanjakan  hal  in  kepadanja.  ,,Kenapa?"  tanjaku.  ,,Kenapa
engkau mau bertjinta denganku ?" Dan ia mendjawab, ,,Karena disini tidak ,ada perempuan." 
Aku mengangguk, ,,Memang benar. Aku sendiri djuga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana bisa
.......... 
"Kemudian ia menambahkan, ,,Jah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?" 
,,Ooooh," kataku terengah. ,,Kau sakit !" 
Sudah  tidak  ragu  lagi  bahwa,  kehidupan  dalam  kurungan menghantjurkan, merobek-robek  kehendak  jang
normal daripada daging.  Ja, bahkan Kitab  Indjil menjatakan, bahwa  seorang  Laki-laki  akan melekat. pada
isterinja. Aku senang berada dalam usia jang masih muda dan berkembang dalam kehidupan ini; seorang jang
kuat  dan  perasa  ketika  pintu-besi  menutup  dibelakangku.  Badanku  ditawan.  tapi  semangatku  mendjerit-
djerit  didalam.  Uratsjarafku  berteriakteriak  oleh  siksaan  dikesunjian  malam.  Keinginan  biasa  untuk
memuaskan diri jang dimiliki oleh laki-laki atas karunia Tuhan jang Maha-Pemurah, tidak padam-padamnja,
hanja disebabkan oleh karena seorang hakim memukulkan palu dan berkata, ,,Perkara ditutup !" 
Setiap hari Natal orang-orang dari Bala Keselamatan menjumbangkan makanan  jang dibungkus untuk orang
tahanan jang diserahkan oleh lelaki dan perempuan berpakaian sopan jang tidak akan membangkitkan berahi
kami  orang  kurungan.  Diminggu  terachir  tahun  1930  seorang  perempuan  tua  djelek-kotor  lagi  gemuk  jang
berumur  lebih  dari  60  tabun  terhujung-hujung  masuk  selku  menjampaikan  kemurahan  hatinja.  Ia
memberikan roti Natal. Aku sadar bahwa aku berada dalam keadaan parah, ketika wanita gemuk seperti babi
itu  kelihatan  indah  diruang-mataku.  Selama  satu  saat  dalam  perdjoangan  batin, maka  dalam  pikiranku  ia
adalah wanita paling tjantik jang pernah kudjumpai. 
Aku dikurung dengan  sungguh-sungguh di Sukamiskin dengan perlakuan  jang sama dengan pelanggar hukum
berkebangsaan  Belanda,  supaja  aku  tidak  ,,meratjuni"  udara  masjarakat  tahanan  Indonesia.  Sukamiskin
adalah tempat bagi pendjahat-pendjahat besar dan terbagi dalam tiga kelas. Mereka jang terkena satu tabun
pendjara,  termasuk  Gatot,  Maskun  dan  Supriadinata.  Kemudian  terdapat  kelas  untuk  hukuman  dari  satu
sampai  sepuluh  tahun  dan  kelompok  jang  terbesar  mendjalani  hukuman  lebih  dari  sepuluh  tahun.  Ada
seorang pembunuh  jang  satu medja denganku, akan  tetapi dia hanja dikenakan duapuluh  tahun. Dan  tidak
dikenakan  seumur  hidup,  karena  jang  dibunuhnja  hanja  seorang  Indonesia.  Jang  seorang  lagi  dihukum  15
tahun bersama-sama dengan saudaranja karena perampokan bersendjata dan melakukan kekedjaman diluar
peri-kemanusiaan. 
Nomor  selku  233.  Menaiki  tangga-besi  ditingkat  kedua  disudut.  Seluruh  blok  itu  dikosongkan  buatku.
Tetanggaku  jang  terdekat  adalah  seorang  pembunuh  jang  merampas  seorang  wanita,  kemudian
membunuhnja dengan tga orang anaknja. 
Kawanku  jang  paling  rapat  ialah  seorang  Indo,  bapaknja  Belanda  totok  dan  ibunja  seorang  Indonesia  dari
Priangan.  Setiap  kali  mendekatiku  ia  selalu  mentjoba  memperlihatkan  keramahannja.  ,,Kawan"  ini  jang
sangat sajang kepadaku dihukum karena membunuh ajahnja jang selalu menjiksa ibunja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 61 dari 109
Di  Sukamiskin  njawa manusia  tidak  ada  harganja,  karena  ia  bisa. melajang  untuk memperoleh  sebungkus
rokok.  Setiap  orang  berada  dalam  kekurangan  dan  memerlukan  begitu  banjak,  sehingga  orang  dapat
menjuruh  penggal  musuhnja  hanja  dengan  menjodorkan  dua  batang  rokok  dan  membisikkan,  ,,Kelihatan
orang disana itu jang pakai tanda dikuduknja ? Bunuh dia dan ini bagianmu." Pertjakapan selandjutnja tidak
perlu.  Dengan  djawaban  ,,Baik"  jang  gembira  orang  itu  lalu  berdjalan-djalan  mendekati  sasarannja  dan
menanamkan  pisau  kedalam  perut  orang  jang  dimaksud.  Sukamiskin  penuh  dengan  orang  jang  kehilangan
semangat hidup sebagai tahanan. Ada seorang jang dikenakan 53 tahun pendjara. Orang seperti dia ini tidak
akan  rugi apa-apa  kalau membunuh  seorang  kawan dalam  kurungan. Terutama  kalau dia bisa memperoleh
barang mewah dengan tjara itu. Begitulah lingkungan dimana putera sang fadjar berada. 
Para pembelaku mentjoba meminta, agar aku mendjalani hukuman diluar dinding tembok  itu seperti djuga
orang  hukuman  jang  lain,  akan  tetapi  permohonan  ini  ditolak.  Hindia  Belanda  tidak  keberatan  memberi
kesempatan kepada Jack si Tukang Bunuh untuk mendjalani hukuman diluar, akan tetapi untuk Singa Podium
hal ini terlalu berbahaja. 
Ternjata bahwa masuk bui disuatu saat sama sadja dengan  jang  lain. Otakku menderita kekurangan darah.
Kepalaku  lekas sekali penuh dan selalu  lelah. Sekalipun mereka mentjoba untuk menghantjurkan otak kami
sampai tak seorangpun jang mempunjai kemauan sendiri, namun aku tidak mau mentalku dirobek-robek oleh
pendjara. Bagaimanapun djuga aku membikin hari-hariku sendiri. Orang dapat melakukan hal ini kalau kuat
mentalnja. Djikalau orang menggantungkan tjita-tjitanja setinggi bintang-bintang dilangit. Aku memaksakan
diriku untuk menjadari bahwa  tjita-tjita  jang besar datangnja pada  saat-saat  jang  sepi,  lalu aku mentjoba
membuktikan kebenaran dari kata-kata mutiara, ,,Tjita-tjita jang besar dapat membelah dinding pendiara."
Ketika membangkitkan diri  setjara mental, aku  tidak  sadja mendjadi biasa dengan keadaanku, akan  tetapi
djuga kupergunakan keadaan itu untuk menjusun rentjana-rentjana dimasa jang akan datang. 
Aku bahkan dapat berkata, bahwa aku berkembang dalam pendjara. Ketetapan hatiku semakin kuat. Ruang
pendjara adalah ruang sekolahku. 
Karena dilarang membatja buku-buku jang berbau politik, maka aku mulai mendalami  Islam. Pada dasarnja
bangsa kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakjat jang tahu akan kewadjiban kami terhadap Tuhan.
Ini dapat disaksikan di Bali, dimana  seni dan  tradisi  samasekali dipersembahkan  kepada  Jang Maha Kuasa.
Kalau orang berdjalan-djalan dikampung-kampung di Djawa Barat, akan terdengar rakjat menjanjikan ajat-
ajat Al-Quranulkarim disore hari. Di Djawa Tengah berdiri sebuah monumen dari kehidupan kerohanian jang
tinggi dari nenek-mojang kami.  Ia  itu tjandi Prambanan sebagai  lambang dari puntjak peradaban Hindu. 50
kilometer  darisitu  mendjulang  tjandi  Borobudur,  tjandi  Buddha  jang  terbesar  diseluruh  dunia.  Orang
mendjumpai mesdjid dan geredja disetiap kampung. Bangsa Indonesia semendjak lahirnja mengabdi kepada
Tuhan.  Tidak  mendjadi  soal  djalan  kepertjajaan  mana  jang  ditempuh,  kami  mengakui  bahwa  hanja
kekuasaan Divina Providensia-lah  jang dapat melahirkan kami melalui abad-abad penderitaan. Kami adalah
bangsa  jang  hidup  dari  pertanian  dan  siapakah  jang menumbuhkan  segala  sesuatu  ?  Al  Chalik,  Jang Maha
Pentjipta. Kami terima ini sebagai kenjataan hidup. 
Djadi aku adalah orang jang takut kepada Tuhan dan tjinta kepada Tuhan sedjak dari lahir dan kejakinan ini
telah bersenjawa dengan diriku. Aku  tak pernah mendapat didikan agama  jang  teratur karena bapak  tidak
mendalam  dibidang  itu.  Aku menemukan  sendiri  agama  Islam  dalam  usia  15  tahun,  ketika  aku menemani
keluarga  Tjokro  mengikuti  organisasi  agama  dan  sosial  bernama  Muhammadijah.  Gedung  pertemuannja
terletak  diseberang  rumah  kami  di Gang  Peneleh.  Sekali  sebulan  dari  djam  delapan  sampai  djauh  tengah
malam  100  orang  berdesak-desak  untuk  mendengarkan  peladjaran  agama  dan  ini  disusul  dengan  tanja-
djawab. Sungguhpun aku asjik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan  Islam dengan betul-betul dan
sungguh-sungguh sampai aku masuk pendjara. Didalam pendjaralah aku mendjadi penganut jang sebenarnja. 
Tak pernah  orang meragukan  adanja  Jang Maha  Esa  kalau  orang bertahun-tahun  lamanja  terkurung dalam
dunia  jang  gelap.  Seseorang merasa  begitu  dekat  kepada  Tuhan  pada waktu  ia mengintip melalui  lobang
ketjil  dalam  selnja  dan melihat  bintang-bintang,  kemudian merunduk  disana  selama  berdjam-djam  dalam
kesunjian jang sepi memikirkan akan suatu jang tidak ada batasnja dan segala sesuatu jang ada. Pengasingan
jang sepi mengurung seseorang samasekali dari dunia luar. Karena pengasingan jang sepi inilah aku semakin
lama semakin pertjaja. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinja bersembahjang dengan tenang. 
Kepadamu  kukatakan,  saudara-saudaraku  jang membatja  buku  ini—harapanku,  sebagai  usaha  untuk  dapat
memahami Sukarno sedikit lebih baik—lima kali sehari aku sudjud setjara lahir dan batin dalam mengadakan
hubungan  dengan  Maha  Pentjipta.  Mungkinkah  orang  seperti  itu  djadi  Komunis  ?  Dimanapun  aku  berada
didunia ini aku sudjud menghadap ke Ka'bah disaat datangnja waktu Subuh, Lohor, Asar, Magrib dan Isa—dan
menjembahNja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 62 dari 109
Segala sesuatu kudjawab dengan ,,Insja Allah" — kalau Tuhan menghendaki. Tanjalah, ,,Hei Sukarno, apakah
engkau  pergi  ke  Bogor minggu  ini  ?"  Aku  akan mendjawab,  ,,Insja  Allah.  Kalau  Tuhan mengizinkan,  saja
pergi." Mungkinkah orang jang demikian dapat mendjadi seorang Komunis ? 
Aku sungguh-sungguh mulai menelan Al Quran ditahun 28. Jaitu, bila aku terbangun aku membatjanja. Lalu
aku  memahami  Tuhan  bukanlah  suatu  pribadi.  Aku  menjadari.  Tuhan  tiada  hingganja,  meliputi  seluruh
djagad. Maha  Kuasa. Maha  Ada.  Tidak  hanja  disini  atau  disana,  akan  tetapi  dmana-mana.  Ia  hanja  satu—
Tuhan  ada  diatas  puntjak  gunung,  diangkasa,  dibalik  awan,  diatas  bintang-bintang  jang  kulihat  setiap
malam. Tuhan ada di Venus, dalam radius dari Saturnus. Ia tidak terbagi-bagi dimatahari dan dibulan. Tidak.
Ia  berada  dimana-mana,  dihadapanku,  dibelakangku,  memimpinku,  mendjagaku.  Ketika  kenjataan  ini
hinggap  dalam  diriku,  aku  nsjaf  bahwa  aku  tidak  perlu  takut-takut  lagi,  karena  Tuhan  tidak  lebih  djauh
daripada  kesadaranku.  Aku  hanja  perlu  memandjat  kedalam  hatiku  untuk  menemuiNja.  Aku  menjadari
bahwa aku senantiasa dilindung-Nja untuk mengerdjakan sesuatu jang baik. Dan bahwa Ia memimpin setiap
langkahku menudju kemerdekaan. 
Suatu malam,  djauh  dilarut malam,  sambil  bersudjud  aku membisik  kepada-Nja,  ,,Tuhan,"  aku mendo'a,
,,setiap manusia  dapat mendjadi  seorang  pemimpin  asal  sadja  dari  keluarganja  sendiri.  Akan  tetapi  saja
mengetahui bahwa Engkaulah Gembala jang sesungguhnja. Saja insjaf bahwa satu-satunja suara kemanusiaan
adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnja saja telah bersiap memikul tanggung-djawab dari
segala apa jang saja kerdjakan—tidak sadja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang djuga terhadap-Mu." 
Orang Belanda memandang kami, orang  Islam,  sama dengan penjembah berhala. Dalam bahasa  Indjil kami
adalah  ,,keturunan  jang  sesat  dan  hilang",  kata mereka.  Jah,  penjembah  berhala  atau  tidak,  aku  seorang
Islam jang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali jang tertinggi dari Vatikan. Bahkan Presiden
dari Irlandiapun mengeluh padaku bahwa ia hanja memperoleh satu. 
Dalam  pendjaraku  aku mempeladjari  semua  agama  untuk melihat  apakah  aku  ini  termasuk  salah  seorang
jang  ,,sesat  dan  hilang".  Kalau  ia  lebih  baik  untukku,  aku  akan mengambilnja.  Kupeladjari  agama  Kristen
pada  Pendeta  Van  Lith.  Aku  terutama  menaruh  perhatian  pada  ,,Chotbah  diatas  Bukit".  Inspirasi  Jesus
menjemangati orang-orang sjahid jang mula-mula, karena itu mereka berdjalan menudju kematiannja sambil
menjanjikan Zabur pudjian untukNja, karena mereka  tahu  ,,Kami meninggalkan Keradjaan  ini, akan  tetapi
kami  akan  memasuki  Keradjaan  Tuhan".  Aku  berpegang  teguh  pada  itu.  Aku  membatja  dan  membatja
kembali  Indjil. Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru  tidak asing  lagi bagiku. Aku  seringkali mengulang
mempeladjarinja. 
Kemudian aku membatja Al Quran. Dan hanja  setelah meneguk pikiran-pikiran Nabi Muhammad  s.a.w. aku
tidak  lagi mentjari-tjari buku  sosiologi  untuk memperoleh djawaban  atas bagaimana dan mengapa  segala-
galanja  ini  terdjadi.  Aku memperoleh  seluruh  djawabannja  dalam  utjapan-utjapan  Nabi.  Dan  aku  sangat
puas. 
Untunglah  aku  telah  menemukan  Tuhan  dan  djadilah  Ia  kawan  jang  paling  kusajangi  dan  kupertjajai
bilamana  aku  menderita  pukulan  jang  hebat.  Suatu  pendjara  tak  obahnja  bagai  sebuah  djala  ikan.  Ia
mempunjai lobang-lobang. Melalui salahsatu lobang datanglah berita? bahwa P.N.I.—anak jang dilahirkan dan
aku  sebagai bapaknja, kuasuh dan besarkan  sehingga dewasa—telah  terpetjah mendjadi dua dan persatuan
terpetjah-belah.  Aku  tak  sanggup  mendengarnja.  Untuk  inilah  kiranja  aku  dipendjarakan,  untuk  inilah
kiranja  aku harus mengalami penahanan  jang  keras. Aku  sudah  sanggup melalui  siksaan batin, penghinaan
dan pengasingan,  karena  aku  senantiasa  dapat melhat diruang mataku  tudjuan  jang  sutji. Tapi  sekarang—
keadaan  ini melebihi  kekuatanku.  Aku melakukan  sesuatu  jang  tidak  biasa  kulakukan  dalam  hidupku.  Aku
menangis. 
Aku tidak menangis pada waktu drtangkap. Aku tidak mentjutjurkan airmata ketika aku dipendjarakan. Aku
tidak patah hati ketika anak kuntji berputar dan rnengurungku dari dunia bebas. Pun tidak barangkali kalau
aku merasa tertekan dan menjesal terhadap diriku sendiri dalam  liang kuburku. Akupun tidak meratap bila
menerima kabar bahwa orangtuaku sakit. Akan tetapi ketika aku mendengar partaiku petjah dan kesempatan
ketjil  bagi  tanah-airku  semakin  menipis,  kukatakan  padamu  saudara,  aku  tak  dapat  menerimanja.  Aku
meratap seperti anak ketjil. 
Namun tak sekalipun aku mempunjai pikiran untuk menjerah. Tidak pernah. Kekalahan tak pernah memasuki
pikiranku. Aku hanja mendoa, ,,Insja Allah, saja akan mempersatukannja kembali." 
Sementara itu, ,,Indonesia Menggugat" telah tersebar keseluruh pengadilan di Eropa dan banjak protes resmi
datang  dari  ahli-ahli  hukum.  Pengadilan  Austria mengemukakan  bahwa,  karena  tuduhan  terhadapku  tidak BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 63 dari 109
pernah  dibuktikan, maka  putusan  hukuman  terhadap  Sukarno  sangat  tidak  berperikemanusiaan.  Para  ahli-
hukum  Belandapun  mengeluarkan  pendapatnja.  Seorang  professor  hukum  di  Djakarta,  karena  kaget  oleh
kekerasan  itu, mengeluarkan  pendapatnja  dalam  sebuah madjalah.  Ia  dipanggil  setelah  itu  oleh  Direktur
Kehakiman jang marah kepadanja dan menegurnja karena telah berani menentang keputusan Agustus dari Sri
Ratu dimuka umum. Demikian banjak tekanan telah dilakukan, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga
Gubernur Djendral merobah hukumanku mendjadi dua tahun. 
Sesaat  sebelum  aku  dibebaskan,  ada  sebuah  tulisan  dengan  djudul  ,,Saja  Memulai  Kehidupan  Baru"  jang
menguraikan tentang diriku dan disebarkan setjara luas. Dipagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada waktu
aku dalam pakaian preman untuk pertamakali selama dua tahun, Direktur Pendjara mengir:ngkanku kepintu
keluar dan bertanja, . 
lr. Sukarno, dapatkah tuan menerima kebenaran dari kata-kata ini ? Apakah tuan betul-betul akan memulai
kehidupan  baru  ?"  Sambil  memegang  dengan  tangan  kananku  tiang  pintu  menudju  kemerdekaan,  aku
mendjawab,  ,,Seorang  pemimpin  tidak  berobah  karena  hukuman.  Saja  masuk  pendjara  untuk
memperdjoangkan kernerdekaan, dan saja meninggalkan pendjara dengan pikiran jang sama." 
 
Bab 13
Keluar Dari Pendjara
BELANDA  telah mendjalankan  daja-upaja  untuk mentjegah  agar  kebebasanku  djangan menimbulkan  pawai
dari  rakjat.  Dimana-mana  diawasi  oleh  pasukan  patroli.  Agar  tertjapai  maksud  tersebut,  maka  djalanan
disekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menjampaikan supaja bertindak lebih bidjaksana menghadapi
ini  dan  tidak mengadakan  penjambutan  setjara  besar-besaran.  Sungguhpun  demikian  Inggit  dan  beberapa
ratus pengikut jang setia berbaris dengan rapi dipinggir djalan pada djam tudjuh pagi jang tjerah, ketika aku
mengachiri tugasku dengan masjarakat Belanda. 
Sudah  mendjadi  kebiasaan  orang  Indonesia  untuk  mengadakan  selamatan,  apabila  seseorang  keluar  dari
pendjara.  Bukan  maksudku  sebagai  kebiasaan  orang  Indonesia  bila  keluar  dari  pendjara  sadja.  Jang
kumaksud,  segala  kedjadian—seperti  dalam  hal  perkawinan,  kenaikan  kedudukan,  anak  lahir,  ja,  malah
keluar  dari  pendjarapun—ditandai  oleh  suatu  pesta-kedamaian.  Karena  itu  penjesuaian  diriku  kepada
masjarakat  ramai  hampir  tidak  dapat  dilakukan  setjara  berangsur-angsur.  Dari  kakus  jang  gelap  dan  sepi
langsung melompat kerumah Inggit, tempat bajar-makan jang ribut. 
Peristiwa  itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, disaat
itu  jang  pertama-tama  kuinginkan  bukanlah  pesta  jang  gembira  atau  alas  tempat-tidur  sutera  jang
mentereng maupun mandi jang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Jang pertama-tama kuinginkan adalah
seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanja kehendak ini terpaksa mengalah dulu. Karena
soal-soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menjerbu siang dan malam hendak melihat
wadjahku.  Dimalam  itu,  kawanku  Bung  Thamrin  menjatakan  kepadaku,  ,,Mata  Bung  Karno  menjinarkan
tjahaja baru." 
,,Tidak,"  djawabku.  ,,Mata  saja menondjol  karena  saja  semakin  kurus.  Kalau muka  kurus, mata  kelihatan
tjekung." 
,,Tidak,"  ia mehegaskan., Mata Bung djadi  sangat besar. Biar gemuk  sekalipun dia  tetap bersinar menjala-
njala. Saja melihat ada tjahaja baru didalamnja." 
,,Entahlah," djawabku, ,,Saja hanja merasa bahwa saja betul-betul dikuasai oleh suatu semangat." 
Pidatoku  jang  paling  terkenal  jang  pernah  kuutjapkan  selama  hidupku  adalah  pidato  jang  kusampaikan
dimalam berikutnja. Aku berangkat ke Surabaja dengan kereta ekspres untuk menjampaikan kepada Kongres
Indonesia Raya  supaja mereka  tetap membulatkan  tekad, oleh karena Bung Karno  sekarang  sudah kembali
lagi dan sudah siap untuk berdjoang disisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata jang berlinang-linang, aku
mengachiri pidato itu dengan menjatakan ,,Ketjintaanku terhadap tanah-air kita jang tertjinta ini belumlah
padam.  Pun  tidak  ada maksudku  untuk  sekedar membikin  roman  dan  bersain,.  Tidak.  Tekad  saja  hendak
berdjoang. Insja Allah, disatu saat kita akan bersatu kembali."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 64 dari 109
Menghukum Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk
pendjara  Sukamiskin,  P.N.I.  dengan  resmi  dinjatakan  sebagai  partai  terlarang.  Kemudian,  wakil-wakilku
mendirikan  Partai  Indonesia,  jang  disingkat  Partindo,  akan  tetapi  pergerakan  itu  tetap  tidak  berdaja.
Kegiatannja  terbatas,  djarang  mengadakan  pertemuan-pertemuan  dan  kalaupun  diadakan,  sedikit  sekali
dikundjungi orang, karena tidak adanja tokoh jang mendjadi lambang kekuatan. 
Karena tidak adanja kepemimpinan jang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh berpendidikan
Negeri  Belanda  jaitu  Sutan  Sjahrir  dan  Hatta,  tidak  menjetudjui  tjara-tjara  bergerak  dari  kawan-kawan
seperdjoangannja. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut Sukarno. Akibatnja
adalah  perpetjahan  jang  tak  dapat  dihindarkan.  Aku memerintahkan  Maskun  dan  Gatot,  jang  dibebaskan
beberapa  bulan  sebelumku,  untuk membenteng djurang  jang  timbul  itu. Mereka  tak  sanggup. Maskun  lalu
mengirimkan pesan kedalam pendjara, ,,Saja terlalu muda. Saja tidak dapat melakukannja." Gatot kemudian
memberi  kabar  lagi,  ,,Kami  berdua  terlalu  ketjil  untuk  dapat melakukan  pekerdjaan  ini.  Lebih  baik  kami
tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar." 
Segera setelah aku keluar dari pendjara, ketika anggota-anggotaku jang lama meminta supaja aku memasuki
Partindo, aku menolak.  ,,Tidak," kataku dengan  tegas.  ,,Pertama  saja harus berbitjara dengan Hatta dulu.
Saja ingin mendengar isi-hatinja."Mereka menjatakan kepadaku, ,,Rakjat akan mengikuti kemana Bung Karno
pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari Bung Hatta ?" 
,,Tidak ada pikiranku untuk mengikuti  salah  satu pihak,  saja  lebih  tjondong untuk menempa kedua-duanja
kembali mendjadi  satu. Dua partai adalah bertentangan dengan kejakinanku untuk persatuan. Perpetjahan
ini hanja menguntungkan pihak lawan." 
Aku  bertemu  dengan  pihak  jang  bertentangan  dirumah  Gatot  tidak  lama  setelah  aku  bebas.  ,,Baiklah
saudara-saudara,  sekarang  apa  sesungguhnja  jang  mendjadi  perbedaan  pokok  kita,"  kataku  ketika  kami
bertemu pertamakali. 
Dengan  tjara  Bung  Karno,  partai  tidak  akan  bisa  stabil,"  Hatta  mengemukakan,  seorang  jang  berlainan
samasekali  denganku  dalam  sifat  dan  pembawaan.  Bung  Hatta  adalah  seorang  ahli  ekonomi  dalam  segi
dagang dan pembawaannja.  Saksama,  tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik.  Seorang  lulusan Fakultas
Ekonomi  di  Rotterdam,  tjara  berpikirnja  masih  sadja  menurut  buku-buku,  mentjoba  menerapkan  rumus-
rumus  ilmiah  jang  tidak  dapat  dirobah  kedalam  suatu  revolusi.  Seperti  biasa  ia  langsung memasuki  pokok
persoalan tanpa omong-iseng setjara berolok-olok sebelumnja. ,,Pada waktu Bung Karno dengan ketiga orang
kawan  kita  lainnja  masuk  pendjara,  seluruh  pergerakan  bertjerai-berai.  Saja  mempunjai  ide  untuk
mengadakan suatu inti dari organisasi jang akan melatih kader jang digembleng dengan tjita-tjita kita." 
,,Apa gunanja kader  ini  ? Bukankah  lebih baik kita mendatangi  langsung  rakjat-djelata dan membakar hati
mereka, seperti selama ini telah saja kerdjakan ?" 
,,Tidak," katanja. ,,Konsepsi saja kita mendjalankan perdjoangan melalui pendidikan praktis untuk rakjat, ini
lebih baik daripada kita bekerdja atas dasar daja penarik pribadi dari  satu orang pemimpin Dengan djalan
demikian,  kalau  para  pemimpin  atasan  tidak  ada,  partai  akan  tetap  berdjalan  dengan  pimpinan  bawahan
jang sudah sadar betul-betul untuk apa kita berdjoang. Dan menurut gilirannja, mereka akan menjampaikan
tjita-tjita  ini  kepada  generasi  jang  akan  datang,  sehingga  untuk  seterusnja  banjak  tenaga  jang  akan
melandjutkan tjita-tjita kita. Kenjataannja sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak ada partai.
Ia terpetjah samasekali oleh karena tidak adanja kepertjajaan rakjat kepada partai itu sendiri Iang ada hanja
kepertjajaan terhadap Sukarno." 
,,Mendidik  rakjat  supaja  tjerdas  akan memerlukan  waktu  bertahun-tahun,  Bung  Hatta.  Djalan  jang  Bung
tempuh baru akan tertjapai kalau hari sudah kiamat," kataku. 
,,Kemerdekaan  tidak  akan  tertjapai  selagi  saja  masih  hidup"  katanja  mempertahankan.  ,,Tapi  setidak-
tidaknja tjara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berdjalan selama bertahun-tahun." 
,,Siapakah  jang  akan  djadi  pimpinan  Bung  ?  Bukukah  ?  Kepada  siapakah  djutaan  rakjat  akan  berpegang  ?
Kepada kata-katakah  ? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata-kata. Kita tidak mungkin memperoleh
kekuatan dengan  kata-kata dalam buku peladjaran. Belanda  tidak  takut pada  kata-kata  itu. Mereka  hanja
takut  kepada  kekuatan  njata,  jang  terdiri  dari  rakjat  jang menggerumutinja  seperti  semut. Mereka  tahu,
bahwa  dengan  djalan  mentjerdaskan  rakjat  kekuasaan  mereka  tidak  akan  terantjam.  Memang  dengan
mentjerdaskan rakjat kita terhindar dari pendjara, akan tetapi kita djuga akan terhindar dari kemerdekaan."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 65 dari 109
,,Rakjat  akan mentertawakan  Bung  Karno  kalau masuk  pendjara  sekali  lagi,"  djawab Hatta.  ,,Rakjat  akan
mengatakan: Itu salahnja sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka, sedang dia
tahu  bahwa  Belanda  akan  menjetopnja.  Dia  itu  gila.  Djadi  perdjoangan  untuk  kemerdekaan  masih  akan
memakan wakru bertahun-tahun lagi. Rakjat harus dididik dulu kearah itu." 
Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati jang tawar aku meninggalkan pertemuan jang berlangsung
selama  beberapa  djam  itu  Perbedaan  kami  seperti  siang  dan malam,  dan Hatta  samasekali  tidak  berobah
pendiriannja.  Masih  aku  mentjoba  untuk  menghilangkan  keretakan  ini.  Selama  beberapa  bulan  aku
mentjoba. Pada pertemuan kami selandjutnja Hatta mengatakan, ,,Saja hendak memberikan djandji kepada
para  pengikut  kita.  Kalau  Belanda menghalang-halangi  generasi  kita  ini  untuk  bergerak—dan  tiap  gerakan
selandjutnja  daripada  para  pemimpin  nasionalis  tentu  akan  mendapat  balasan  jang  demikian—maka  tak
usahlah  generasi  kita  ini bergerak  lagi.  Sebagai  gantinja  kita mengadjar para  intellektuil  jang muda-muda
jang  pada  satu  saat  akan  menggantikan  kita  untuk  meneruskan  adjaran-adjaran  kita  dan  jang  nanti
dibelakang  hari  akan  membawa  kita  kepada  kemerdekaan.  lni  adalah  djandji  kepada  tanah-air  kita.  Ia
merupakan soal prinsip. Soal kehormatan." 
Aku  tak  pernah mengerti  samasekali  perkara  tetek-bengek  setjara  intellektuil  jang  chajal  ini.  Hatta  dan
Sjahrir  tak  pernah membangun  kekuatan.  Apa  jang mereka  kerdjakan  hanja  bitjara.  Tidak  ada  tindakan,
hanja  bersoal-djawab.  Aku  mentjoba  usaha  jang  terachir.  ,,lni  adalah  peperangan,"  kataku.  ,,Suatu
perdjoangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi jang akan datang ataupun
suatu  kehormatan  bagi  sisa  dari  pergerakan,  sehingga  tingkatan  jang  lebih  bawah  dapat memegang  tegah
prinsip-prinsip  jang  telah  dikurangi  setelah  para  pemimpin mereka masuk  bui.  Kehormatan  tidaklah  pada
tempatnja  dalam  perdjoangan  mati-matian  ini.  Ini  adalah  semata-mata  persoaian  kekuatan.  Disaat  Bung
Hatta dan  Sjahrir madju  terus dengan usaha pendidikan pada waktu  itu pula  kepala  saudara-saudara akan
dipukul oleh musuh. 
,,Politik  adalah machtsvorming  dan machtsaanwending—pembentukan  kekuatan  dan  pemakaian  kekuatan.
Dengan  tenaga  jang  terhimpun  kita  dapat  mendesak  musuh  kepodjok  dan  kalau  perlu  menjerangnja.
Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebidjaksanaan penting jang berasal dari buku-buku tidaklah
praktis. Saja kuatir, Hatta, saudara berpidjak diatas landasan revolusioner jang chajal." 
Pada  tahun-tahun duapuluhan, antara kami  telah  terdapat keretakan ketika aku mendjadi eksponen-utama
dari  non-kooperasi,  sedang  dia  sebagai  eksponen-utama  dengan  pendirian  bahwa  kerdja-sama  dengan
Pemerintah  tidak  mendjadi  halangan  untuk  mentjapai  tudjuan.  Hatta  dan  aku  tak  pernah  berada  dalam
getaran-gelombang  jang sama. Tjara  jang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta  ialah dengan
mentjeritakan  tentang  kedjadian disuatu  sore,  ketika dalam perdjalanan  kesuatu  tempat dan  satu-satunja
penumpang  lain  dalam  kendaraan  itu  adalah  seorang  gadis  jang  tjantik.  Disuatu  tempat  jang  sepi  dan
terasing  ban  petjah. Djedjaka Hatta  adalan  seorang  jang  pemerah muka  apabila  bertemu  dengan  seorang
gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini. 
Ketika dua djam kemudian supirnja kembali dengan bantuan  ia mendapati gadis  itu berbaring enak disudut
jang  djauh  dalam  kendaraan  itu  dan  Hatta mendengkur  disudut  jang  lain.  Ah,  susah  orangnja.  Kami  tak
pernah sependapat mengenai suatu persoalan. 
Pada  tanggal  28  Djuli  1932,  aku  memasuki  Partindo  dan  dengan  suara  bulat  terpilih  sebagai  ketua.
Pergerakan ini hidup kembali. 
Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi dimasa jang
akan datang, aku memperoleh kemadjuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku duduk
dimuka  lajarputih.  Maskun  dan  aku  djuga  mendapat  penghasilan  sedikit  dalam  memimpin  bersama-sama
koran partai, ,,Fikiran Rakjat", jang diselenggarakan dirumahku. Kemudian ada lagi orang jang bajar-makan.
Sudah  tentu orang-orang  seperti Maskun  tidak bajar. Bagaimana aku bisa minta uang-makan daripadanja  ?
Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannja kepada isterinja. 
Kuingat  betul  dihari  perkawinannja  akupun mengadakan  pidato  politik.  Penganten  baru  ini  tidak  berbulan
madu  ketjuali  mungkin  dibawah  pohon  kaju  disuatu  tempat,  karena  segera  setelah  perkawinan  mereka
tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah mendjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak bila orang
mengadakan  pertjintaan  dengan  gadis  itu.  Dan  karena  kami  tidak mempunjai  kasur  dihari-hari  itu,  djadi
tidak ada jang akan berderak-derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanja dipisahkan oleh dinding bilik,
kami tidak terganggu satu sama lain.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 66 dari 109
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa jang sulit dengan biro arsitek ini,
karena orang lebih menjukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan dengan kedua
bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Djadi setidak-tidaknja kami harus mendapatkan
271/2  rupiah  setiap  bulan.  Akan  tetapi  seringkali  kami  tidak  menerimanja.  Penghasilan  Rooseno  jang
terutama didapatnja dari mengadjar. Oleh karena kantongnja selalu lebih penuh daripada kami, kebanjakan
pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanja. 
Sekali  sebulan  aku muntjul  untuk menanjakan  bagian  keuntunganku.  Karena  aku mentjukupi  kebutuhanku
dari kantongnja, aku akan bertanja, ,,Berapa kau berutang padaku ?" 
Dan dia akan mendjawab, ,,Bagian Bung 15 rupiah." 
Kataku, ,,Baik." Aku tidak pernah memeriksanja. Apa jang dikatakannja aku pertjaja sadja. 
Kami  mengadakan  pembagian  kerdja  jang  adil  dan  tjukup  beralasan.  Rooseno  mendjadi  insinjur-
kalkulatornja.  Dia  mengerdjakan  soal-soal  detail.  Dia  jang  membuat  perhitungan  dan  kalkulasi  dan
mengerdjakan perhitungan  ilmu pasti  jang  sukar  itu. Sebagai arsitek  seniman aku mengatur bentuk-bentuk
jang baik  dari  gedung-gedung.  Sudah  tentu  tidak banjak perlu diatur,  akan  tetapi  sekalipun demikian  ada
beberapa buah rumah jang kurentjanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rentjanaku bagus-
bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah. 
Aku  tidak  begitu  memikirkan  benda-benda  duniawi  seperti  uang.  Hanja  orang-orang  jang  tidak  pernah
menghirup apinja nasionalisme jang dapat melibatkan dirinja dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan
adalah makanan hidupku.  Ideologi.  Idealisme. Makanan daripada djiwaku.  Inilah  semua  jang kumakan. Aku
sendiri  hidup  dalam  kekurangan,  akan  tetapi  apa  salahnja  ?  Mendajungkan  partaiku  dan  rakjatku  setjara
bersama-sama kepulau harapan, untuk itulah aku hidup. 
Sesuai dengan  tjita-tjita dari P.N.I., partaiku  jang  lama,  tentang bagaimana  seharusnja  seorang pemimpin
berpakaian,  maka  anggota-anggota  mengumpulkan  uang  untuk  mengadakan  pakaian  untukku.  Ganti  kain
katun  atau  linnen,  Sukarno  tiba-tiba  diberi  kain  shantung  Ganti  kemedja-sport  dengan  leher  terbuka,
Sukarno  mulai  memakai  dasi  jang  bagus.  Pergerakan  kami  begitu  pertjaja  padaku,  sehingga  pakaian  ini
diusahakan  mereka  setjara  sukarela.  Aku  teringat  badju  suteraku  jang  pertama.  Pembelinja  bernama
Saddak. O. dia sungguhsungguh memudjaku. 
Ini seperti jang dikatakan oleh  Indjil, ,,Jang kaja djiwanja membantu jang miskin dalam satu persaudaraan
jang besar." Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian—atau uang Dipagi hari aku keluar
dari  pendjara  sebagai  seorang  bebas,  seorang  laki-laki  jang  belum  pernah  kulihat  sebelumnja,
menggenggamkan  kepadaku  dengan  begitu  sadja  uang  empatratus  rupiah,  lain  tidak  karena  aku  tidak
mempunjai  uang.  Pada waktu  sekarang  orang  ini,  jang  bernama  Dasaad  ,  adalah  seorang  kapitalis-sosialis
jang paling kaja di Indonesia dan kawanku jang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menjodorkan redjeki jang
ketjil  itu kepadaku,  ia tak mengharapkan akan memperolehnja kembali. Seingatku  ia tak pernah menerima
uang itu kembali. Aku masih sadja memindjam-mindjam kepadanja. 
Dalam  masa  ini  aku  menjadari  untuk  lebih  berhati-hati  dengan  utjapan-utjapanku.  Pengaruhku  terhadap
rakjat  sudah  tumbuh  sedemikian,  sehingga  kalau  aku  berkata,  ,,Makan  batu", mereka  akan memakannja.
Kukira ini timbul disebabkan karena apa jang kuutjapkan dengan keras sesungguhnja adalah apa jang mereka
sendiri pikirkan dan  rasakan dalam hati-sanubarinja. Aku merumuskan perasaan-perasaan  jang  tersembunji
dari  rakjatku  mendjadi  istilah-istilah  politik  dan  sosial,  jang  tentu  akan  mereka  utjapkan  sendiri  kalau
mereka dapat. Aku menggugat jang tua-tua untuk mengingat kembali akan penderitaan-penderitaannja dan
melenjapkan  penderitaan-penderitaan  itu.  Aku  menggugat  para  pemuda  untuk  memikirkan  nasib  mereka
sendiri dan bekerdja keras untuk masa depan. Aku mendjadi mulut mereka. 
Sebagai pemuda aku mula-mula mengisap kata-kata  jang tertulis dari negarawan-negarawan besar didunia,
kemudian kuminum utjapan-utjapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami,  lalu menggodok semua  ini
dengan falsafah dasar jang digali dari hati rakjat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakjat Indonesia, lalu
mendjadi Bung Karno, penjambung lidah rakjat Indonesia. 
Aku  berbitjara  kapan  sadja  dan  dimana  sadja.  Didalam  dan  diluar.  Dibawah  teriknja  sinar matahari  dan
dimusim hudjan. Pada suatu kali air hudjan sudah sampai kemata-kakiku dan oleh karena banjak tempat jang
tidak  bisa  ditempuh, maka  aku  baru  sampai  djam  tiga  pada  rapat  jang  seharusnja  diadakan mulai  djam
sembilan pagi. Rakjat jang sudah bertjerai-berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpajung daun pisang dan
lain-lain jang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat tjuatja demikian buruknja, sehingga BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 67 dari 109
sekalipun  pakai  djashudjan  aku  basah-kujup  oleh  air  jang  mentjutjur  dari  langit.  Diwaktu  itulah  aku
mengadjak, ,,Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menjanji bersama-sama ?"
Disela-sela petir jang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian jang  lain. Lalu ratusan
suara berpadu. Dan  tidak  lama antaranja menggemalah 20.000  suara mendjadi  satu paduan  jang  gembira.
Dilapangan  terbuka  jang  sederhana  ini  di  Djawa  Tengah  maka  njanjian-njanjian  rakjat  mengikat  kami
mendjadi  satu,  ikatannja  lebih  erat  daripada  rantai  besi.  Ketika  hudjan  semakin  reda,  aku  mengachiri
wedjanganku. Tak seorangpun jang meninggalkan tempat itu. 
Salah  seorang  pengikut  kemudian  setelah  itu memberikan  komentarnja,  ,,Ini  adalah  suatu  kedjadian  jang
tidak dapat dilakukan oleh orang semata-mata. Bakat jang demikian itu terletak Antara Bung dan alam." 
Kusampaikan kepadanja, ,,Sebabnja ialah karena ini bukanlah kemauan saja pribadi untuk memperdjoangkan
kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saja mendjalankan kata-kata Tuhan. Untuk pekerdjaan inilah saja
dilahirkan.'' 
Pada waktu  sekarang,  orang-orang  anti-Sukarno  tertawa mengedjek  bahwa  segala  sesuatu  diatur  terlebih
dulu untuk  Sukarno  sebelum  ia memperlihatkan diri. Aku hanja mengatakan, memang benar bahwa  rakjat
berdjedjal-djedjal dikiri-kanan djalan kalau Bapak akan berpidato. Djuga adalah benar, bahwa orang dapat
memaksa  seseorang  untuk  berdiri  akan  tetapi  ia  tidak  akan  dapat  dipaksa  untuk  tersenjum  dengan  penuh
kepertjajaan  atau  memandang  dengan  perasaan  kagum  atau  melambai  kepadaku  dengan  gembira.  Aku
meminta kepada manusia umumnja untuk menjelidiki muka-muka jang menengadah dari rakjatku kalau aku
berpidato. Mereka melihat tersenjum kepadaku. Mendo'akan, Menjintaiku. Ini semua tidak dapat dipaksakan
oleh pemerintah. 
Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda tidak
dapat menjuruh mereka BERHENTI  tersenjum kepadaku dimasa  tahun-tahun  tiga-puluhan. Dengan  tiba-tiba
semangat nasional mendjalari seluruh tanah-air. Dengan tiba-tiba keinginan merdeka menular kembali. 
Aku  berpidato  di  Solo  dimana  puteri-puteri  dari  kraton  jang  tjantikjantik  pada  keluar  untuk
mendengarkanku. Wanita-wanita  jang dipingit, dimuliakan dan  jang halus  ini begitu  tertarik sehingga salah
seorang  jang  hamil  memukul-mukul  perutnja  berkali-kali  dan  mendengungkan,  ,,Saja  ingin  seorang  anak
seperti  Sukarno."  Mendadak  aku  mendapat  ilham.  Aku  menjerahkan  kepada  mereka  beberapa  petji  dan
meminta  mereka  berkeliling  dalam  lautan  manusia  itu  mengumpulkan  uang  untuk  pergerakan  kami.  Ah,
Bung, sungguh menggemparkan. 
Aku malahan mentjaplok  terhadap Belanda.  Seorang pemuda bernama Paris mendjadi muridku dan pindah
samasekali kepihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Djawa Timur. Patih ditempat
itu djuga hadir. Sebagai seorang pedjabat kolonial, adalah mendjadi kewadjibannja jang tak dapat disangkal
lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang jang sangat baik hati ini berdiri
mendengarkan pidatoku dengan sungguh-sungguh dan dengan seluruh hatinja. Tanpa berpikir dia  lupa pada
dirinja sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk mendengarkan pidaboku. Diantara orang
banjak  itu  terdapat  djuga  Van  der  Plas,  Direktur  Urusan  Bumiputera.  Dan  itulah  kami.  Kamilah  orang
Bumiputera. Pekerdjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi orang-orang jang mengawasi kami—termasuk
patih itu. 
Patih itu seketika djuga diperhentikan. Timbullah pertengkaran jang hebat didalam Dewan Rakjat. Thamrin
mentjoba  untuk  mempertahankannja.  Dia  mengemukakan  alasan,  ,,Apa  salahnja  dia  turut  bersorak?
Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak ? Mengapa dia harus
kehilangan djabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan diri ?" 
Thamrin  mentjoba  dengan  gagah-berani,  sekalipun  demikian  patih  itu  tetap  kehilangan  djabatannja.  Ini
adalah djabatan jang penting dan dia orang jang penting. Orang jang baikhati ini mempunjai anak dan isteri
jang harus ditanggungnja. Akupun susah memikirkannja. 
Polisi  mulai  memperkeras  djaring-djaring  mereka.  Surat-suratkabar  ketika  itu  penuh  dengan  berita
pemberontakan  diatas  kapal  Zeven  Provincien,  jaitu  sebuah  kapal-perang  jang  para  opsirnja  terdiri  dari
Belanda  dan  orang-bawahannja  orang-orang  Indonesia.  Belanda,  karena  mengetahui  tentang  tjaraku
mempergunakan  suatu  keadaan.  Pada waktunja, mengeluarkan  larangan  untuk mengadakan  pembitjaraan
setjara  terbuka  mengenai  peristiwa  ini,  takut  kalau  hal  ini  akan  merangsang  rakjat  untuk  bangkit  dan
memberontak.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 68 dari 109
Persoalanku adalah, bagaimana tjaranja untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato berikutnja.
Tangan polisi sudah gatalgatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan gelisah. kamipun
tegang dan gelisah. Kami mengatur atjara sehingga aku mendjadi pembitjara pertama. Ini maksudnja untuk
membikin  bingung  polisi,  jang  tentu  tidak  akan  menjangka  bahwa  aku  akan  memberanikan  diri  untuk
menggelorakan  lima  menit  pertama  dari  rapat  tersebut.  Dengan  djalan  ini,  sekalipun  mereka  akan
menghentikan  rapat  kami,  aku  telah  menjampaikan  pesan-pesanku  dan  rakjat  tentu  sudah  akan  puas
melihatku. Djadi, berdirilah aku dan langsung berbitjara tentang peristiwa kapal Zeven Provincien itu. Polisi
langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup. 
Aku kembali lagi ketempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar-hitam mereka, seperti aku takkan
lepas-lepas dari daftar itu. 
Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa jang membatja ,,Fikiran Rakjat" atau memakai
petji akan dikenakan tahanan. 
Kemudian aku menulis brosur jang bernama ,,Mentjapai Indonesia Merdeka". Brosur tersebut dianggap sangat
menghasut,  sehingga  ia  dirampas  dan  dinjatakan  terlarang  segera  setelah  ia mulai  beredar.  Banjak  jang
disita.  Rumah-rumah  digeledahi.  Kumpulan  jang  terdiri  dari  lebih  dari  tiga  orang  dikepung.  Perangkap
diperkeras. 
Tanggal  satu  Agustus  kami mengadakan  pertemuan  pimpinan  dirumah  Thamrin  di Djakarta.  Pertemuan  ini
selesai  sudah  lewat  tengah  malam.  Ketika  aku  turun  rumah  menudju  djalan  raja,  disana  sudah  berdiri
seorang  Komisaris  Polisi,  menungguku  dengan  tenang  didepan  rumah.  Kedjadian  ini  adalah  pengulangan
kembali  dari  penangkapan  jang  terdahulu.  Dia  rnengutjapkan  kata-kata  jang  sama,  ,,Tuan  Sukarno,  atas
nama Sri Ratu saja menangkap tuan." 
Bab 14
Masuk Kurungan
Tepat delapan bulan sampai kepada hari-harinja aku sudah berada  lagi dalam tahanan. Penahanan kembali
ini  tidak  disebabkan  oleh  satu  kedjadian  jang  chusus.  Kesalahanku  tjuma  oleh  karena  aku  tidak menutup
mulutku jang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari pendjara. 
Komisaris  itu membelebab kepadaku.  ,,Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berobah. Tidak ada harapan tingkah-
laku tuan bisa baik lagi. Menurut tjatatan kami, tuan hanja beberapa djam sadja sebagai orang bebas ketika
tuan  naik  kereta-api  menudju  Surabaja,  lalu  tuan  kembali  bikin  katjau  lagi  dan  sedjak  waktu  itu  tidak
berhenti-henti bikin ribut. Djadi djelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa mendjadi
pengatjau." 
,,Kemana tuan bawa saja ?" tanjaku. ,,Masuk tahanan." ,,Di Bandung lagi?" 
,,Sekarang tidak. Sekarang ini tuan kami tahan di Hopbiro Polisi drsini." 
Dikantor  Polisi  mereka  tidak  mengurungku.  Kepadaku  hanja  ditundjukkan  sebuah  bangku  pandjang  dan
membiarkanku disana. Aku bertanja hepada perwira pengawas, 
,Tuan, apakah bisa saja memanggil isteri saja ?" Dia tidak mendjawab. 
,,Dapatkah saja menjampaikan `pesan kepada pembela saja?" Ia masih tidak mendjawab. 
,,Bolehkah  saja bertemu dengan  salah  seorang anggota Volksraad atau  salah  seorang pemimpin dari partai
saja ?" Tidak ada djawaban.Dia hanja menarik korsi kemedjanja dan menulis, terus menulis suatu dokumen
jang  berisi  tidak  kurang  dari  seribu  halaman  dakwaan  kepadaku.  Karena  aku  seorang  djahat  jang  begitu
berbahaja, mereka tidak membiarkanku seorang diri. Polisi jang bersendjata  lengkap mengawalku dibangku
itu. 
Aku nongkrong disana berdjam-djam  lamanja. Dan aku mulai memikir. Selama saat-saat jang tegang dalam
kehidupan orang, seringkali pikiran manusia memusatkan diri kepada soal-soal jang paling tidak berarti atau
matjam  soal-soal  jang  kelihatannja  tidak  ada  sangkutpautnja.  Ia  seakan-akan  mendjadi  pintu  pengaman
daripada  tabi'at manusia  untuk mengeluarkan  tekanan  ketakutan  jang  bertjokol  dalam  airinja.  Disini  aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 69 dari 109
mendjadi  seorang  jang kalah dua kali. Apakah  jarg akan  terdjadi  terhadap diriku  ? Apakah aku hanja akan
didjebloskan  kedalam  pendjara  ?  Apakah  mereka  melemparkanku  ketempat  pengasingan  ?  Atau
menggantungku  ?  Apakah  sesungguhnja  ?  Apa  ?  Dalam  usia  32  tahun maka  seluruh  kehidupanku  ini  sudah
menjelesaikan lingkarannja. 
Satu-satunja  jang dapat kulihat dalam pikiranku hanjalah permainan bulutangkis dan bolanja  jang  terbang
kian  kemari menurut  kemauan  dari  para  pemainnja. Nehru  jang  telah  sebelas  kali  keluar-masuk  pendjara
pada suatu waktu menjamakan dirinja dengan bola bulutangkis. Sambil duduk disana aku berkata pada diriku
sendiri.  ,,Tidak  karno,  engkau  lebih  menjerupai  sebuah  ranting  dalam  unggun  kajubakar  jang  sedang
menjala."  ,,Kenapa  begitu  ?"  Aku  bertanja  pada  diriku  sendiri.  ,,Karena,"  datang  djawabnja,  ,,ranting  itu
turut mengambil bagian dalam menjalakan api  jang berkobar-kobar, akan  tetapi dibalik  itu  iapun dimakan
oleh  apa  jang  hebat  itu.  Keadaan  ini  sama  dengan  keadaanmu.  Engkau  turut  mengambil  bagian  dalam
mengobarkan apinja revolusi, akan tetapi.......... 
"Pertjakapan  dengan  diriku  sendiri  terputus  dengan  tiba-tiba.  Djelas  bahwa  aku  sesungguhnja  dapat
disamakan dengan sepotong kajubakar, karena tiba-tiba—achirnja—nampaknja akupun dimakan oleh djilatan
api jang menggelora itu dalam mana aku turut mengambil bagian sebagai kaju pembakarnja. 
Aku menghilangkan pikiran ini dari ingatanku dan mentjoba memikirkan soal jang lain. Tidak lama kemudian
aku  dikuasai  oleh  kelelahan,  lalu  tertidur  diatas  bangku  kaju  jang  keras  itu.  Ketika  tjahaja  diluar masih
keabu-abuan, mereka memasukkanku  kedalam  kereta-api.  Tempat  selandjutnja  adalah  Sukamiskin.  Tetapi
mereka tidak perasa. Aku tidak dimasukkan kedalam selku jang lama. 
Mereka  mengurungku  dalam  sebuah  sel  chusus,  dibuat  ditengah-tengah  ruangan  besar  jang  telah
dikosongkan.  Disitulah  aku  terkurung  disebuah  sel  sempit  dalam  ruangan  jang  besar.  Dan  seorang  diri.
Delapan bulan lamanja aku hidup seperti seorang pertapa jang bisu. 
Kemudian mulai  lagi pemeriksaan. Tjara bekerdjanja adalah demikian, mula-mula orang ditahan, dihudjani
dengan  ribuan  pertanjaan.  lalu  dikirim  djauh-djauh—untuk  tidak  kembali  lagi.  Sesuai  dengan  ketentuan-
ketentuan dalam undang-undang luarbiasa, maka tidak perlu lagi d adakan pemeriksaan menurut hukum atau
pengesahan  hukuman.  Dengan  hanja  membuat  keputusan  sendiri  untuk  pembuangan,  maka  Gubernur
Djendral  memerintahkan  ribuan  manusia  untuk  dibuang  djauh-djauh  untuk  hilang  begitu  sadja  tak  tentu
rimbanja. Nampaknja  Sukarno akan mengalami nasib  jang demikian  itu. Dengan  tidak diadili  terlebih dulu
hukuman  sudah  didjatuhkan  kepadaku.  Aku  akan  dibuang  kesalahsatu  pulau  jang  paling  djauh.  Berapa
lamakah ? Hingga semangatku dan djasadku mendjadi busuk. 
Aku akan menghadapi pembuangan ini. Setelah pendjara, maka langkah selandjutnja akan menjusul setjara
otomatis. Sikapnja seakan-akan mereka sudah tjukup baik hati terhadapku dengan membebaskanku boberapa
bulan jang lalu. Dan aku membalas kebaikan mereka dengan berbuat hal-hal jang tidak baik seperti dahulu.
Nampaknja mirip seperti aku tak tahu berterimakasih. 
Djam lima-tigapuluh disuatu pagi aku dimasukkan tjepat-tjepat kedalam kereta akspres dan dikurung dalam
kamar  jang  ketjil  dari  salahsatu  gerbong  jang  sengadja  dikosongkan.  Dua  orang  berpakaian  seragam
mengawalku.  Seorang  didalam.  Seorang  lagi  diluar  pintu.  Sungguhpun  aku  tidak  melihat  tanda-tanda
kehadiran orang lain, kepadaku disampaikan bahwa keluargakupun ada dalam kereta-api itu. Keluargaku jang
baru bertambah terdiri djuga dari Ibu Amsi, mertuaku, dan Ratna Djuami, jaitu kemenakan Inggit jang masih
ketjiil dan mendjadi anak angkat kami. Menurut kebiasaan kami pengambilan anak angkat tidak memerlukan
pengesahan. Ia berarti bahwa seseorang tinggal denganmu dan engkau mentjintainja. 
Sesampai  di  Surabaja  keluargaku  dipisahkan  kehotel  sedangkan  aku  disimpan  lagi  diantara  empat  dinding
tembok  selama  dua  hari  dua  malam  berada  disana.  Disinilah  bapak  dan  ibu  bertemu  dengan  si  anak
tersajang, untuk mana mereka telah membina harapan-harapan jang begitu besar. Inilah pertamakali mereka
melihatku dibelakang djeradjak-besi dan aku kelihatan  tidak banjak menjerupai Karno, pradjurit-pahlawan
besar dari Mahabharata itu. Pengalaman ini sangat menjajat hati mereka, hingga mereka hampir tak sanggup
memandangi  keadaanku.  Kedjadian  ini  sudah  lebih  dari  tigapuluh  tahun  jang  lalu,  akan  tetapi  rasa  pedih
jang meremukkan dari pertemuan kami itu masih tetap melekat dalam djiwaku sampai sekarang. 
,,O, Karno........anakku Karno,"  bapakku  tersedu-sedu, mentjurahkan  seluruh  kepiluan  hatinja,  ,,Apa  jang
dapat  kulakukanmengenai  dirimu?  Apa  jang  dapat  kami  kerdjakan  untukmu  ?  Pertama,  engkau meringkuk
beberapa tahun dalam tahanan, jang menjebabkan kesedihan hati kami jang amat sangat. Dan sekarang lagi
engkau dibuang djauh-djauh keluar Djawa.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 70 dari 109
"Pipikupun basah dengan airmata, akan tetapi aku berusaha untuk tersenjum sedikit. ,,Akan kuberikan segala
sesuatu,  Pak,  sekiranja  saja mendapat  kedudukan  jang  baik,  jang  akan memberikan  kegembiraan  kepada
orangtuaku  sebagaimana  sepantasnja dengan pendidikan  jang diberikan  kepada  saja. Akan  tetapi,  rupanja
Tuhan tidak menghendakinja." 
Sementara  airmata  mengalir  diwadjahnja  jang  manis  ibuku  jang  lembut  hati  itu  membisikkan,  ,,Sudah
suratan takdir bahwa Sukarno menjusun pergerakan jang menjebabkan dia dipendjarakan,  lalu dibuang dan
kemudian  dia  akan  membebaskan  kita  semua.  Sukarno  tidak  lagi  kepunjaan  orangtuanja.  Karno  sudah
mendjadi kepunjaan rakjat Indonesia. Kami mau tidak mau menjesuaikan diri dengan kenjataan ini." 
Kami hanja diizinkan bertemu selama tiga menit. Aku tjukup lama dibawa keluar sel untuk mendjabat tangan
bapak  dan mentjium  ibu.  Kami merasa  takut  kalau  pertemuan  ini  akan memisahkan  kami  untuk  selama-
lamanja,  kami  takut  kalau  perpisahan  jang  tergesa-gesa  ini  adalah  detik  jang  terachir  kami  dapat  saling
memandangi wadjah satu sama lain. 
Hari berikutnja, dengan roda-roda jang mentjiut melalui tikungan, aku dilarikan kepelabuhan dimana orang
telah  berdjedjal-djedjal  dipinggiran  djalan  untuk  melambaikan  utjapan  selamat  djalan  dengan  bendera-
bendera Merah-Putih dari kertas  jang mereka buat  sendiri. Dengan didampingi dikiri-kanan oleh dua orang
reserse, aku dibawa naik keatas kapal barang dan ditahan dikamar kelas dua disebelah kandang ternak. 
Delapan hari kemudian kami sampai ketempat tudjuan: Pulau Bunga, pulau jang terpentjil. 
Bab 15
Pembuangan
ENDEH,  sebuah  kampung  nelajan  telah  dipilih  sebagai  pendjara  terbuka  untukku  jang  ditentukan  oleh
Gubernur  Djendral  sebagai  tempat  dimana  aku  akan menghabiskan  sisa  umurku.  Kampung  ini mempunjai
penduduk  sebanjak  5.000  kepala.  Keadaannja  masih  terbelakang.  Mereka  djadi  nelajan.  Petani  kelapa.
Petani biasa. 
Hingga  sekarangpun  kota  itu masih  ketinggalan,  ia  baru  dapat  ditjapai  dengan  djip  selama  delapan  djam
perdjalanan dari kota jang terdekat. Djalan rajanja adalah sebuah djalanan jang tidak diaspal jang ditebas
melalui  hutan.  Dimusim  hudjan  lumpurnja  mendjadi  bungkah-bungkah.  Dan  apabila  matahari  jang
menghanguskan memantjar dengan terik, maka bungkah-bungkah itu mendjadi keras dan terdjadilah lobang
dan  aluran  baru.  Endeh  dapat  didjalani  dari  udjung  keudjung  dalam  beberapa  djam  sadja.  Ia  tidak
mempunjai  telpon,  tidak  punja  telegrap.  Satu-satunja  hubungan  jang  ada  dengan  dunia  luar  dilakukan
dengan dua buah kapal pos jang keluar-masuk sekali sebulan. Djadi, dua kali dalam sebulan kami menerima
surat-surat dan surat kabar dari luar. 
Didalam  kota  Endeh  terdapat  sebuah  kampung  jang  lebih  ketjil  lagi,  terdiri  dari  pondok-pondok  beratap
ilalang,  bernama Ambugaga. Djalanan Ambugaga  itu  sangat  sederhana,  sehingga daerah  rambahan dimana
terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air-leding. Kalau hendak mandi aku membawa
sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnja jang dingin dan ditengah-tengahnja berbingkah - bingkah
batu.  Disekeliling  dan  sebelah-menjebelah  rumah  ini  hanja  terdapat  kebun  pisang,  kelapa  dan  djagung.
Diseluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun matjam hiburan lain. 
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga jang terpentjil itu, bagiku mendjadi udjung dunia. 
,,Kenapa, ja ? Kenapa disini ?" Inggit bertanja. 
,,Pulau Muting, Banda atau  tempat  jang djelek  seperti  itu, ketempat-tempat mana  rakjat kita diasingkan,
tidak  akan  lebih  baik  daripada  ini,"  keluhku  dengan  berat  ketika  kami memeriksa  rumah  jang  gelap  dan
kosong dimalam hari kami sampai disana. ,,Diwaktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan pembuangan,
mula-mula  orang  kita  dibuang  keluar  Indonesia.  Tapi,  kemudian mereka menjadari,  biar  kemanapun  kita
dieksternir,  kita  dapat  menjusun  kekuatan  untuk  melawan  mereka.  Belanda  achirnja  memutuskan  untuk
mengasingkan para pemberontak didalam negeri sadja, dimana mereka langsung dapat mengawasi kita. 
,,Kenapa  dipilih  Flores  ?"  Inggit  mengulangi  ketika  membuka  kerandjang  buku,  satu-satunja  kekajaan
pribadiku jang kami bawa. ,,Kebanjakan para pemimpin diasingkan ke Digul."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 71 dari 109
,,Itu makanja," kuterangkan sambil mengeluarkan buku-buku sekolah jang kubawa, sehingga setiap pagi dan
malam aku dapat mengadjar Ratna Djuami dirumah. ,,Di Digul ada 2.600 orang jang dibuang. Tentu aku akan
memperoleh kehidupan jang enak disana. Dapatkah kaubajangkan, apa jang akan diperbuat Sukarno dengan
2.600  pradjurit  jang  sudah  disiapkan  itu  ?  Aku  akan merobah muka Negeri  Belanda  dari New Guinea  jang
terpentjil itu." 
Inggit  tidak pernah mengeluh. Sudah mendjadi nasibnja dalam kehidupan  ini untuk memberiku ketenangan
pikiran dan memberikan bantuan dengan  kasih mesra, bukan menambah persoalan. Akan  tetapi  aku djuga
dapat merasakan,  bahwa  dia  susah.  Bukan mengenai  dirinja  sendiri.  Dia  susah mengenai  diriku.  Memang
terasa lebih berat untuk memandang seseorang jang ditjintai kena siksa daripada mengalami sendiri siksaan
itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menjaksikan suaminja direnggutkan dari kekuatan hidupnja, dari
tjita-tjitanja, dari kegembiraan hidupnja, bahkan direnggutkan  sedikit dari kelaki-lakiannja. Aku mendjadi
seekor  burung  elang  jang  telah  dipotong  sajapnja.  Setiap  kali  Inggit memandangiku,  setiap  kali  itu  pula
setetes darah menitik dari uratnja. 
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami djarang membitjarakan soal
jang  rumit  dari  hati  kehati.  Sekalipun  hatiku  sendiri  gelap  dengan  keputus-asaan,  namun  aku  mentjoba
menggembirakan  hatinja.  Aku  selalu  memperlihatkan  wadjah  jang  baik,  sehingga  wadjah  itu  tidak
menundjukkan apa jang sesungguhnja tergurat dalam hatiku. 
Ach,  saat  jang  sangat  tidak  menjenangkan  bagiku.  Kedua  reserse  jang  mengantarku  menjerahkanku  dari
kapal  seperti menjerahkan muatan  ternak  jang  lain.  Pada  waktu  kapal  mereka mengangkat  sauh,  kedua
orang  dengan  siapa  aku  hanja  boleh  berbitjara,  diluar  keluargaku,  sudah  pergi.  Setiap  orang  menjingkir
daripadaku.  Endeh  kembali  mendjadi  pendjaraku,  hanja  lebih  besar  dari  jang  sudah-sudah.  Disini  bukan
sadja  aku  tidak  bisa mendapat  kawan,  akan  tetapi  aku malahan  kehilangan  satu  orang  jang  turut  dengan
kami.  Mertuaku,  Ibu  Amsi  jang  baik  dan  tersajang  itu  meninggal  diatas  pangkuanku.  Akulah  jang
membawanja kekuburan. Ia menderita sakit arterio-sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok paginja
ia  tidak  bangun-bangun.  Keesokan  harinja  tidak  bangun.  Dihari  berikutnjapun  tidak.  Aku  menggontjang-
gontjang  badannja  dengan  keras,  akan  tetapi  dipagi  tanggal  12  Oktober  1935,  setelah  lima  hari  dalam
keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar. 
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Dibulan-bulan pertama jang sangat menjiksa, ditempat pembuangan
itu  dikala  batin  kami  dirobek-robek  tak  kenal  ampun  setiap  djam  setiap  detik,  diwaktu  itu  tidak  satupun
perkataan  jang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat tinggal bersama
dengan  rukun adalah karena kami orang baik-baik. Aku djuga sedikit, barangkali.  Ibu Amsi  lebih sederhana
lagi daripada anaknja. Ia tidak bisa tulis-batja. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mentjintainja setulus hati. 
Dengan  tanganku  sendiri  kubuat  kuburannja.  Aku  sendiri  membangun  dinding  kuburan  itu  dengan  batu
tembok.  Aku  seorang  diri mentjari  batu-kali, memotong  dan mengasahnja  untuk  batu-nisan.  Dipekuburan
kampung  jang  sederhana  melalui  djalanan  sempit  djauh  ditengah  hutan  berkumpullah  beberapa  gelintir
manusia  untuk memberikan  penghormatannja  jang  terachir.  Ini  adalah  kemalanganku  jang  pertama.  Dan,
terasa berat. 
Satu-satunja manusia  jang tinggal, dengan siapa aku dapat berbitjara, adalah  Inggit. Disuatu malam ketika
kami duduk berdua diberanda  ketjil,  hanja berdua —  seperti biasanja —  Inggit mengalihkan  pandangannja
sebentar  dari  djahitannja  untuk  mengungkapkan,  ,,Tidak  mungkin  orang-orang  disini  tidak  mengenalmu.
Mereka  tentu  sudah  membatja  tentang  dirimu  atau  melihat  gambarmu  disuratkabar.  Sudah  pasti  banjak
orang sini jang sudah mengenalmu. Sudah pasti banjak." 
,,Mereka  tahu  siapa  aku,  baiklah.  Kalau  sekiranja mereka  tidak  pernah mendengar  tentang  diriku,  tentu
Belanda  tidak mendjalankan  tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakjat  tidak  tahu
samasekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini." 
Aku mengerti  kemana  tudjuan  Inggit.  Ia  ingin memperoleh  djawaban,  mengapa  setiap  orang menjingkir,
seperti  aku  ini  hama  penjakit.  ,,Orang-orang  jang  terkemuka  disini,  tidak mengatjuhkanku,  bukan  karena
tidak kenal. Akan tetapi djustru karena mereka mengenalku," kataku. ,,Orang-orang terpandang disini terdiri
dari orang Belanda, amtenar-amtenar bangsa kita dan orang-orang  jang memerintah  seperti Radja. Mereka
samasekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama-sama denganku. Aku tentu
akan menjebabkan mereka kehilangan kedudukannja." 
,,Lagi pula, negeri ini terlalu ketjil," bisiknja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 72 dari 109
,,Jah," aku mengangguk dengan lesu, ,,negeri ini terlalu ketjil.?" 
Kami  keduanja membisu,  akan  tetapi  bau  dari  pokok  persoalan  itu masih  sadja mengapung  dengan  berat
dalam ruangan itu, seperti bau wangi-wangian jang murah. Akulah pertama memetjah kesunjian jang pekat
itu. 
,,Orang tinggi-tinggi  ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, ketjuali untuk memata-
mataiku.  Bahkan  kaum  keluarganja  dilarang  untuk  berkenalan  denganku.  Dan  mereka  tidak  mau
melanggarnja, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut." 
Inggit  menambahkan,  ,,Kudengar  adik  Radja  tertarik  pada  pergerakan  kebangsaan,  sampai  Belanda
mengusirnja  dari  sekolah  di  Surabaja.  Kemudian  dia  dipulangkan  kemari,  sehingga  tidak  dapa;t  lagi
mempeladjari politik." 
,,Itulah  jang  kumaksud,"  kataku.  ,,Mana mungkin  ia  djadi  kawanku.  Dia  berada  disini  karena  alasan  jang
sama denganku — sebagai hukuman." 
,,Tapi rakjat biasapun menjingkir dari kita," Inggit menegaskan dengan suara ketjil. 
,,Aku tahu." 
,,Djadi bukan karena kita tidak mau kenal." 
,,Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal." 
Inggit  sedang  mendjahit  badju  kebaja  untuk  dia  sendiri.  Sambil  meletakkan  djahitannja  ia  memandang
kepadaku. 
,,Tjoba," aku merenung dengan keras, ,,di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada dalam
kurungan.  Disini  aku  diasingkan  dari  masjarakat,  diasingkan  dari  orang-orang  jang  dapat  mempersoalkan
tugas  hidupku.  Orang  disini  jang  mengerti,  takut  untuk  berbitjara.  Mereka  jang  mau  berbitjara,  tidak
mengerti.  Inilah maksud  jang  terutama dari pembuangan  ini. Baiklah  ! Kalau begitu  keadaannja, aku akan
bekerdja  tanpa  bantuan  orang-orang  terpeladjar  jang  tolol  ini.  Aku  akan  mendekati  rakjat  djelata  jang
paling  rendah. Rakjat-rakjat  jang  terlalu  sederhana untuk bisa memikirkan  soal politik. Rakjat-rakjat  jang
tak  dapat menulis  dan  jang merasa  dirinja  tidak  kehilangan  apa-apa. Dengan  begini,  setidak-tidaknja  ada
orang dengan siapa aku berbitjara." 
Aku membentuk masjarakatku  sendiri dengan pemetik kelapa,  supir, budjang  jang  tidak bekerdja —  inilah
kawan-kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelajan. Kukatakan padanja bahwa
tidak ada larangan berkundjung kerumahku. Dia datang kerumahku. Kemudian dia membawa Darham tukang-
djahit. Setelah itu aku datang ketempat mereka. Dan begitulah mulanja. 
Aku mendekat kepada rakjat djelata, karena aku melihat diriku sendiri didalam orang-orang jang melarat ini.
Seperti dipagi  jang berhudjan dalam bulan Mei aku nongkrong  seorang diri disudut beranda  jang ketjil  itu.
Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku ! Aku merindukan pulau Djawa, aku merindukan kawan-kawan untuk
mentjintaiku. Merindukan hidup dan  segala  sesuatu  jang dirampas dariku. Selagi duduk disana aku melihat
seorang  lelaki  lewat.  Seorang  diri.  Dan  basah-kujup.  Tiba-tiba  ia menggigil.  Kukira  belas-kasihku meliputi
seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun badanku kering,
aku serta-merta merasa basah-kujup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan
tetapi  ia  lebih daripada  itu. Aku sangat perasa terhadap orang jang miskin — baik dia miskin harta maupun
miskin dalam djiwanja. 
Disamping  kekosongan  kerdja,  kesepian  dan  ketiadaan  kawan  aku  djuga menderita  suasana  tertekan  jang
hebat  sekali.  Flores  adalah  puntjak  penganiajaan  pada  hari-hari  pertama  itu.  Aku  memerlukan  suatu
pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnja aku mulai menulis tjerita sandiwara.
Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah. 
Karjaku jang pertama didjiwai oleh Frankenstein, bernama ,,Dr. Setan". Peran utama adalah seorang tokoh
Boris Karloff  Indonesia  jang menghidupkan majat dengan memindahkan hati dari orang  jang hidup. Seperti
semua karjaku  jang  lain,  tjerita  ini membawakan  suatu moral. Pesan  jang  tersembunji didalamnja adalah,
bahwa tubuh Indonesia jang sudah tidak bernjawa dapat bangkit dan hidup lagi.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 73 dari 109
Aku  menjusun  suatu  perkumpulan  Sandiwara  Kelimutu,  dinamai  menurut  danau  jang  mempunjai  air  tiga
warna  di  Pulau  Bunga.  Aku  mendjadi  direkturnja.  Setiap  tjerita  dilatih  malam  hari  selama  dua  minggu
dibawah  pohon  kaju,  diterangi  oleh  sinar  bulan.  Kami  hanja  mempunjai  satu  naskah,  karena  itu  aku
membatjakan  setiap  peran  dan  para  pemainku  jang  bermain  setjara  sukarela  mengingatnja  dengan
mengulang-ulang.  Kalau  orang  dalam  keadaan  ketjewa,  betapapun  besarnja  rintangan  akan  dapat
disingkirkannja. Inilah satu-satunja napas kehidupanku. Aku harus mendjaganja supaja ia hidup terus. Kalau
salah  seorang  tidak  dapat  memainkan  perannja  dengan  baik,  aku  melatihnja  sampai  djauh  malam.  Aku
malahan  berbaring  berkalikali  dilantai  untuk  memberi  tjontoh  kepada  Ali  Pambe,  seorang  montir  mobil,
bagaimana memerankan dengan baik seseorang jang mati. 
Untuk  melatih  anggota-anggota  sehingga  mentjapai  hasil  baik  sungguh  banjak  kesukaran  jang  harus
ditempuh.  Pada  suatu  kali,  Ali  Pambe  memerankan  djurubahasa  dari  bahasa  Endeh  kebahasa  Indonesia.
Tetapi  Ali  butahuruf.  lidah  Indonesianja masih  kaku.  Karena  itu  aku  harus mengadjarnja  dulu  berbahasa
Indonesia sebelum aku dapat mengadjarkan perannja. 
Perkumpulan semua terdiri dari laki-laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Tjukup aneh,
di  Pulau  Bunga  jang  terbelakang  dan masih  kuno  itu  ada  suatu  daerah—  bernama  Keo  —  dimana  sampai
sekarang anak-anak gadis diizinkan mengadakan hubungan djasmaniah dengan laki-laki. Dan jang paling baik
diantara  mereka  —  paling  pandai  dalam  memuaskan  laki-laki  —  itulah  jang  paling  diidamkan  untuk
perkawinan. Dalam umur dua-puluhan  gadis-gadis  ini adalah  jang kuberi  istilah  ,,djenis Afrika-jang-belum-
beradab, liar dan tidak dapat didjinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua. Dalam umur
tigapuluh dia  seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia empatpuluh  ia adalah Amerika —
unggul dan djagoan. Sampai pada umur limapuluh tabun ia menjamai Eropa— laju dan berdjatuhan. 
Lepas dari persamaan setjara ilmu bumi jang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang
peranan  diatas  panggung.  bahkan  djuga  tidak  nenek-nenek  jang  sudah  berumur  enampuluh  tahun  jang
mengingatkanku  pada  benua  Australia  —  djustru  terlalu  djauh  dari  djalan  jang  ditempuh  !  Alasan  jang
pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bajangan. Jang kedua, wanita ini takut kepadaku. Dari
itu,  aku  memetjahkan  persoalan  ini  dengan  hampir  tidak  menulis  peran  wanita.  Dan  kalaupun  ada,  ia
dimainkan oleh laki-laki. 
Aku  sendiri menjewa  sebuah gudang dari geredja dan menjulapnja mendjadi gedung kesenian. Aku  sendiri
jang mendjual kartjisnja. Setiap pertundjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain dihadapan 500
penonton.  Ini adalah  suatu kedjadian besar dalam masjarakat disana. Orang-orang Belanda djuga membeli
kartjis. Hasilnja dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami. 
Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia
terlihat seperti hutan atau istana atau apa sadja jang hendak kami lukiskan. Aku membuat pita-pita reklame
dari  kertas  dan menggantungkannja  ditempat-tempat  umum  seperti  pasarmalam.  Aku membuat  alat  dan
perabot  kami.  Aku melatih  dua  orang  laki-laki  dan  dua  wanita  untuk menjanjikan  kerontjong—  lagu-lagu
gembira  —  jang  diperdengarkan  didalam  waktu  istirahat.  Dan  aku  bersjukur  atas  usaha  ini  semua.  Ia
memberikan keasjikan padaku. Ia mengisi detik-detik jang suram ini. 
Setelah tiap kali pertundjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ja, aku bekerdja keras sekali untuk
menjelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menjenangkan hati pemain-pemainnja. Ini besar artinja bagiku. 
Tidak  ada  jang  dapat  menghalang-halangiku  bertindak.  Aku  mendjadi  seorang  penjelundup  terkenal  dan
berpengalaman dan aku djuga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelajaran antar-
pulau awak kapalnja adalah orang-orang Indonesia dan semua mereka mendjadi simpatisan. Ketika terdengar
bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi setjara pribadi menjelundupkan satu untukku dalam
pelajaran selandjutnja. Tidak ada kesukaran dalam hal ini. 
Disuatu  pagi  jang  saju  turunlah  dari  sebuah  kapal  jang  akan menudju  Surabaja  seorang  stokar  berbadan
tegap  lagi  kekar.  Ia  datang  kepadaku  didermaga  jang  penuh-sesak,  seperti  biasanja  kalau  kapal  datang.
Dengan diam-diam dia membisikkan kepadaku, ,,Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menjelundupkan
Bung Karno. Tidak ada orang jang akan tahu." 
,,Terimakasih,  saudara.  Lebih  baik  djangan,"  aku  memandang  kepadanja  dengan  perasaan  terirnakasih.
,,Memang seringkali terbuka djalan seperti jang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran menggoda,
untak lari setjara diam-diam dan kembaili bekerdja bagi rakjat kita."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 74 dari 109
,,Kalau begitu mengapa tidak ditjoba sadja ?" ia mendesak. ,,Kami akan sembunjikan Bung Karno dan memb
awa Bung ke tempat kawan-kawan. Kami djamin selamat." 
,,Kalau saja lari, ini hanja saja lakukan untuk memperdjoangkan kemerdekaan. Begitu saja mulai bekerdja,
saja akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Djadi tidak ada gunanja." 
,,Apakah Bung Karno tidak bisa bekerdja setjara rahasia ?" 
,,Itu bukan  tjaranja Bung Karno. Nilaiku adalah  sebagai  lambang diatas. Dengan  tetap  tinggal disini  rakjat
Marhaen  melihat,  bagaimana  pemimpinnja  djuga  menderita  untuk  tjita-tjita.  Saja  telah  memikirkan
budjukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk-baiknja. Nampaknja lebih baik bagi Sukarno untuk
tetap mendjadi lambang daripada pengorbanan menudju tjita-tjita." 
,,Sekiranja disuatu saat berobah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami." 
Aku  merangkul  kawanku  itu  kedadaku  dan  tanpa  ragu-ragu  mentjiumnja  pada  kedua  belah  pipinja.
,,Terimakasih, disatu masa kita semua akan merdeka, begitupun saja." 
,,Bung betul-betul jakin ?" stokar itu bertanja. 
Djawabanku chas menurut  tjara Djawa. Aku mendjawab dengan kiasan.  ,,Kalau ada asap dibelakang kapal
ini,  tentu  ada  apinja.  Kejakinan  ini  didasarkan  pada  pertimbangan  akal.'llmu'ljakin.  Kalau  saja  berdjalan
dibelakang  kapal  ini  dan  melihat  api  itu  dengan  mata  kepala  sendiri,  maka  kejakinanku  berdasarkan
penglihatan.'Ainu'Ijakin.  Akan  tetapi mungkin  penglihatan  saja  salah.  Kalau  saja memasukkan  tangan  saja
kedalam  api  itu  dan  tangan  saja  hangus,  maka  ini  adalah  kejakinan  jang  sungguh-sungguh  berdasarkan
kebenaran  jang tak dapat dibantah  lagi. Maka dengan Hakku'ljakin  inilah saja memahami, bahwa kita akan
merdeka. 
,,Belanda  berbaris  berdampingan  dengan  kedju  dan mentega,  sedang  kita  berbaris  bersama-sama  dengan
mataharinja sedjarah. Disatu hari, betapapun djuga, kita akan menang. Dalam fadjar itu, saudara, saja tidak
akan lari dengan diam-diam, akan tetapi saja akan berpawai keluar dari sini dengan kepala jang tegak." 
Dikurangi  dengan padjak, maka  hasilku  dalam pembuangan  ini dari pemerintah  kurang  dari  sepuluh dollar
seminggu.  Kemari  kami  karenanja  sering  kosong.  Karena  itu  aku  mentjari  uang  tambahan  dengan
mendjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap
barang  jang  kudjualkan.  Dengan  mendjadjakannja  dari  rumah  kerumah  membawa  tjontoh,  aku  berkata,
,,Njonja, harga saja lebih murah dari toko-toko disini. Apa njonja mau memesan sama saja ?" 
Kemudian kukirim poswisel ketoko  ini dan  setelah  selang boberapa kapal kain  itu datang. Lamanja  sampai
berbulan-bulan,  akan  tetapi  satu  hal  jang  ada  padaku,  jaitu waktu.  Apa  perlunja  aku  tjepat-tiepat  ?  Aku
malahan  mendapat  bagian  jang  ketjil  dengan  seorang  pedagang  sekutuku.  Kami  membuat  harga  rahasia
antara  kami  berdua.  Berapa  lebih  jang  dia  peroleh  itu  mendjadi  bagiannja.  Dengan  djalan  begini  dia
mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit. 
Hendaknja  djangan  ada  diantara  kawan-kawanku  di  Djawa  jang  membanggakan  diri,  bahwa  dia  terus-
menerus membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa  ini. Ja, mungkin ada satudua,
akan  tetapi djarang  sekali. Kalaupun ada kiriman  jang datang, aku  segera meneruskan  sebagian besar dari
isinja  kepada  kawan-kawan  jang  tidak beruntung di Digul.  Ini  kulakukan djuga  kalau  aku memperoleh  sisa
uang boberapa rupiah. 
Sekalipun kami hanja punja uang sedikit, kami berhasil mentjukupi diri sendiri. Aku orang  jang sederhana.
Kebutuhanku sederhana. Misalnja, aku tidak minum susu atau minuman lain jang datang dari luarnegeri, pun
tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sajur, buah-buahan, terkadang
ajam  atau  telor  dan  ikan  asin  kering  sedikit.  Sajuran  diambil  dari  jang  kutanam  dipekarangan  samping
rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelajan. 
Di Endeh aku dibatasi bergerak, djuga untuk menikmati kesenangan jang ketjil-ketjil. Aku dibolehkan pergi
ketepi pantai untuk menjaksikan  kawan-kawanku para nelajan,  akan  tetapi  tidak boleh naik perahu untuk
berbitjara  dengan mereka.  Naik  perahu  dapat  berarti melarikan  diri.  Aku  djuga  boleh  berkeliaran  dalam
batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap sadja, aku djadi sasaran hakuman.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 75 dari 109
Dikota  ini  ada  delapan  orang  polisi,  djadi  sungguhpun  berpakaian  preman  aku  mengenal  mereka  itu.
Disamping itu, hanja mereka jang memakai sepeda hitam dengan merek ,,Hima". Jang terlalu djelas adalah
bahwa mereka berada pada djarak jang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda jang misterius
selalu berada pada djarak 60 meter dibelakangku, maka tahulah aku. 
Aku  teringat  disuatu  sore  ketika  seorang  ,,preman" membuntutiku  didjalan-raja  jang  djuga  didjalani  oleh
angsa,  kambing,  kerbau  dan  sapi.  Aku  bersepeda melalui  rumah-rumah  panggung  dan menudju  kesungai.
Djalan  menudju  kesitu  pendek,  djadi  dia  lalu  mendajung  mengembus-ngembus  hampir  bahu-membahu
denganku.  Pada  waktu  dia  berhenti  disana  untuk  mendjalankan  mata-mata,  dua  ekor  andjing  melompat
padanja  sambil menjalak  dan menggeram-geram.  Pemaksa  hukum  jang  tinggi  kedjam  ini  karena  kagetnja
memandjat keatas sepedanja dan berdiri diatas tempat duduk dengan kedua belah tangannja berpegang erat
kepohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor diwaktu  itu, namun pemandangan  ini  lebih
menjegarkan badanku daripada air sungai jang sedjuk. 
Setelah  itu  aku memprotes  kepada  kepalanja,  ,,Saja  tidak  peduli  apakah  anak-buah  tuan  'setjara  rahasia'
membajangi saja, akan tetapi saja tidak ingin dia terlalu dekat." 
Orang  itu  menjampaikan  penjesalannja.  ,,Ma'af,  tuan  Sukarno.  Kami  menginstruksikan  kepadanja  untuk
tetap berada dalam djarak 60 meter." 
Aku  berada  dalam  pengawasan  tetap.  Disuatu  sore  aku mengadjar  sekelompok  pemuda menjanjikan  lagu
kebangsaan  ,,Indonesia  Raya".  Karena  ia  terlarang,  untuk  keamanan  aku  memilih  suatu  tempat  diluar
rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anak-anak ini. Masih sadja
ada orang jang melaporkan kedjahatan jang sungguh-sungguh ini. 
Saudara  dari  Radja  lalu  diperintahkan  untuk memperoleh  kepastian,  kedjahatan  apa  jang  telah  dilakukan
oleh  Sukarno  dengan  tindakan  pengkhianatannja  merusak  anak-anak  dibawah  umur.  Dengan  patuh  dia
menjuarakan  akibat  psychologis  terhadap  penduduk  preman.  Djawabnja  adalah,  ,,Tidak  ada  samasekali.
Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia Raya'." 
Sekalipun demikian, aku dipanggil kekantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F5,-—jaitu dua dollar. 
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Disinilah aku mendengar,
bahwa  Pak  Tjokro  telah  pergi  mendahului  kami.  Sebelum  ia  pergi,  ketika  masih  dalam  sakit  keras,  aku
menulis  surat  kepadanja,  ,,Bapak,  sebagai  patriot  besar  jang menghimpun  rakjat  kita  dalam  perdjoangan
untuk  kemerdekaan,  tidak  akan  kami  lupakan  untuk  selama-lamanja.  Saja mendo'akan  agar  bapak  segera
sembuh  kembali."  Berminggu-minggu  kemudian,  ketika  kapal  datang  membawa  suratkabar  kami,
disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan
surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku jang tertjinta itu. 
Djuga terdjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahjul. Selamanja aku pertjaja pada hari
baik dan hari nahas, aku pertjaja pada djimat jang membawa rahmat dan djimat jang mempunjai pengaruh
djahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk tjintjin pakai batu. Dalam batu  itu terlihat  lobang
berisi  tjairan  hitarn  jang  tidak  pernah  tenggelam.  Seperti  bidji  ketjil  jang mengapung  dan  selalu  berada
diatas.  Seorang  pengagum memberikan  benda  jang  aneh  ini  kepadaku  dengan  utjapan,  ,,Sukarno,  semoga
engkau tetap berada diatas seperti bidji jang mengapung ini." Ia dinodai oleh kekuatan guna-guna, tapi aku
mempertjajainja. Diwaktu  itu  aku mempertjajai  apa  sadja,  karena  aku memerlukan  segala  kekuatan  jang
bisa kuperoleh. 
,,Djangan lupa, Sukarno," katanja, ,,Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung." 
Baiklah,  aku  pertjaja.  Tidak  lama  setelah  itu  aku  dibuang  ke  Pulau  Bunga.  Aku  tidak  begitu  pertjaja  lagi
kepadanja.  Demikianlah,  ketika  kujakinkan  pada  diriku  sendiri,  kepertjajaan  jang  kegila-gilaan  ini  harus
dihentikan.  Dan  kukatakan  pada  diriku,  ,,Engkau  sudah melihat,  penjakit  tahjul  jang  djahat,  akan  tetapi
mengapa  engkau  tidak  pernah  makan  dipiring  retak,  oleh  karena  engkau  pertjaja  bahwa  bentjana  akan
menimpamu kalau engkau melakukannja ?" 
Harus  kuakui  bahwa  ini  benar.  Suatu  hari  aku  sengadja  minta  piring  retak.  Aku  gemetar  sedikit  karena
pikiran sudah tjukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepertjajaan jang kuat ini. 
Akan  tetapi kuletakkan djuga piring  itu diatas medja dan memandangnja. Kemudian aku berpidato kepada
piring  jang  gandjil  ini  jang  begitu  berkuasa  terhadap  djiwaku.  Kataku,  ,,Hei  engkau  ...............  engkau BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 76 dari 109
barang  jang  mati,  tidak  bernjawa  dan  dungu.  Engkau  tidak  punja  kuasa  untuk  menentukan  nasibku.
Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu." 
Beginilah tjaranja aku mengatasi tiap-tiap rasa takut jang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut  ini
dengan tenang dan sedjak itu tidak takut lagi. 
Aaaah,  masih  sadja  batu  itu  ada  padaku.  Aku  sangat  ingin  mempunjai  keberanian  untuk  melepaskan
pembawa untung besar  ini. Selagi berpikir keras tentang batu  ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah
mendjadi sedjarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punja uang, sedangkan ini adalah harta jang senantiasa
diperlukannja. Sampai kini keadaannja sama sadja. Keadaanku sangat melarat ketika aku berkenalan dengan
seorang  saudagar  kopra  jang makmur  dikota  itu.  Aku memutuskan  untuk mendjual  pembawa  untung  jang
besar ini kepadanja. 
Dan sebagai pendjual jang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan jang muluk-muluk. 
,,Tjoba lihat," kataku mengadu untung, ,,Saja punja barang jang susah didapat. Orang akan selalu beruntung
besar  dengan  batu  seperti  ini,  karena  batu  begini  hanja  ada  satu-satunja.  Tidak  ada  duanja  didunia."
Kebetulan  utjapanku  ini  memang  benar  dan  aku  tidak  rnembohong  dan  kebetulan  pula  aku  sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanjak mungkin dari dia. 
Kemudian  aku  menekan  gas  jang  terachir,  ,,Dengarlah,  begini.  Saudara  saja  lihat  adalah  orang  jang
mempunjai  sifat-sifat baik, maka dari  itu  saja menawarkan  suatu kesempatan  jang  sangat  istimewa. Kalau
saudara menjerahkan seratus limapuluh rupiah, jang tidak berarti bagi saudara, saja akan berikan batu ini." 
,,Setudju,"  teriaknja  dan  segera  mengadakan  pertukaran.  Tjaraku  melakukan  djual-beli  begitu  berhasil,
sehingga ia betul-betul takut aku akan merobah pendirian lagi. 
Dan  dengan  begitu  berpindah  tanganlah  hartaku  jang  terachir  itu,  benda  pembawa  untung  dan  terdjamin
kekuatannja. Tidakkah aku harus berienma-kasih kepada Puilau Bunga, karena aku dibebaskan dari belenggu
tahjul ? 
Di  Endeh  jang  terpentjil  dan membosankan  itu  banjak waktuku  teriuang  untuk  berpikir. Didepan  rumahku
tumbuh sebatang pohon keluih. Djam demi djam aku lalu duduk bersandar disitu, berharap dan berkehendak.
Dibawah dahan-dahannja aku mendo'a dan memikirkan akan suatu hari  ............... suatu hari  ...............
Ia  adalah  perasaan  jang  sama  seperti  jang menguasai Mac  Arthur  dikemudian  hari.  Dengan menggetarnja
setiap djaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan kejakinanku, bahwa bagaimanapun djuga —
disuatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanja patriotisme jang berkobar-kobarlah dan jang masih
tetap membakar panas dadaku didalam, jang menjebabkan aku terus hidup. 
Inggit selamanja menjakinkan padaku, bahwa dia merasakan didalam tuiang-tuiangnja aku disatu hari akan
mendjadi orang jang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannja. Aku tidak pernah
berbitjara tentang masa depan, aku hanja memikirkannja. Pada setiap djam aku dalam keadaan bangun aku
memikirkannja. 
Kukira,  selama  tiga  setengah  abad  dibawah  pendjadjahan  Belanda  dunia-iuar  hanja  satu  kali  mendengar
tentang negeri kami. Ditahun 1883 Rakata, gunung kami jang terkenal  itu, meletus.  Ia memuntahkan batu,
kerikil  dan  abu menempuh  orbit  jang mengelilingi  bumi  selama  bertahun-tahun.  Lama  setelah  itu,  ketika
langit di Eropah mendjadi merah, orang menundjuk kepada gunung Rakata.  Ini sama halnja denganku. Aku
telah membikin ribut-ribut dan sekarang aku disuruh diam. 
Ketika  sekawanan kutjing berkandang dekat pohon keluih  itu dan karena  tempat  itu  tidak  lagi  tenang, aku
lalu  berdjalan-djalan  kedalam  hutan.  Aku mentjari  tempat  jang  tenang  dimana  angin mendesirkan  daun-
daunan  bagai  bisikan,  karena  bisikan  Tuhan  ini  terdengar  seperti  njanjian  nina-bobok  ditelingaku.  Ialah
njanjian dari pulau Djawaku jang tertjinta. 
Tempat  pelarian menjendiri  jang  kugemari  adalah  dibawah  pohon  sukun  jang menghadap  kelaut.  Sukun,
sedjenis buah-buahan seperti avocado, adalah sematjam buah jang kalau dikupas, diiris pandjang-pandjang
seperti  ketimun,  rasanja  menjerupai  ubi.  Aku  lalu  duduk  dan  memandang  pohon  itu.  Dan  aku  melihat
pekerdjaan  daripada  Trimurti  dalam  agama Hindu.  Aku melihat  Brahma  Jang Maha  Pentjipta  dalam  tunas
jang berketjambah dikulit kaju  jang keabu-abuan  itu.Aku melihat Wishnu Jang Maha Pelindung dalam buah
jang  londjong berwarna hidjau. Aku melihat Shiwa Jang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati  jang gugur BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 77 dari 109
dari batangnja jang besar. Dan aku merasakan djaringan-djaringan jang sudah tua dalam badanku mendjadi
rontok dan mati didalam. 
Kemudian aku dihinggapi oleh penjakit kepala dan merasa tidak sehat samasekali. Tapi setiap pagi aku masih
merangkak keluar tempattidur untuk duduk-duduk dibawah pohon sukun djauh dari rumah. Pohon sukun itu
berdiri diatas  sebuah bukit  ketjil menghadapi  teluk. Disana, dengan pemandangan  kelaut  lepas  tiada  jang
menghalangi,  dengan  langit  biru  jang  tak  ada  batasnja  dan mega  putih  jang menggelembung  dan  dimana
sesekali  seekor  kambing  jang  sedang  bertualang  lewat  sendirian,  disana  itulah  aku  duduk melamun  djam
demi djam. 
Terkadang terasa udara jang dingin ditepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin,
sedang  keadaan  udara  tidak  dingin  samasekali.  Tapi masih  sadja  aku  duduk  disana.  Suatu  kekuatan  gaib
menjeretku ketempat itu hari demi hari. 
Aku  memandangi  samudra  bergolak  dengan  hempasan  gelombangnja  jang  besar  memukul  pantai  dengan
pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinja. Pasang naik dan pasang
surut, namun  ia  terus menggelora  setjara abadi. Keadaan  ini  sama dengan  revolusi kami, kupikir. Revolusi
kami tidak mempunjai titik batasnja. Revolusi kami, seperti djuga samudra luas, adalah hasil tjiptaan Tuhan,
satu-satunja  Maha-Penjebab  dan  Maha  Pentjipta.  Dan  aku  tahu  diwaktu  itu  ...............  aku  harus  tahu
sekarang  ............... bahwa  semua  tjiptaan dari  Jang Maha  Esa,  termasuk diriku  sendiri dan  tanah-airku,
berada dibawah aturan hukum dari Jang Maha Ada. 
Disuatu hari aku tidak mempunjai kekuatan untuk duduk dibawah pohon itu seperti biasanja. Aku tak dapat
bangun dari tempat-tidur. 
Jaitu dihari dokter menjampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria. 
Bab 16
Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Djakarta, bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin  lalu mengadjukan
protes  dalam  Dewan  Rakjat.  Katanja,  ,,Pemerintah  harus  bertanggung-djawab  atas  keselamatan  diri
Sukarno.  Dia  harus  dipindahkan  kenegeri  jang  lebih  besar  dan  lebih  sehat,  dan  keadaannja  hendaklah
mendapat perhatian jang lebih besar." 
,,Kita harus mentjari lebih dulu tempat lain dimana rakjatnja tidak berpolitik," djawab ketua berlindung. 
,,Ja,  ja,  dan  jang  djuga  primitif  dan  terbelakang,  sehingga  ia  tidak membangkitkan  tantangan.  Ja,  saja
mengetahui  semua  itu.  Akan  tetapi  saja memperingatkan  kepada  tuan  sekarang,  andaikata  Sukarno mati,
maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang jang bertanggung-djawab atas
pembunuhan  itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit pajah. Hidup-matinja sekarang terletak
ditangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan setjepat mungkin." 
Den Haag serta-merta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui disuatu malam seminggu kemudian. Aku sedang
berbaring dengan tenang dirumah ketika Darham, tukang djahit, tiba-tiba masuk dengan tjepat. la terengah-
engah karena berlari. 
,,Saja baru dari toko De Leeuw", katanja dengan napas turun-naik. 
,,Toko rempah-rempah itu dari sini ada satu kilometer djauhnja. Kau berlari sedjauh itu ?" tanjaku. 
,,Ja,"  katanja masih  terengah.  ,,Bung Karno  tentu  tahu,  toko  itu  kepunjaan  Lie  Siang Tek  saudagar  kopra
jang sangat kaja." 
,,Ja,  ja,"  djawabku  hendak  mengetahui  persoalannja,  ,,tapi  apa  hubungannja  sampai  engkau  berlari-lari
kesini ?" 
,,Orangnja  tjukup  kaja  untuk  dapat memiliki  radio,"  Darham  melandjutkan  tanpa  menghiraukan  ketidak-
sabaranku.  ,,Tadi  djam  setengah  delapan,  sewaktu  berbelandja,  saja  mendengar  berita  radio  jang
menjatakan bahwa Ir. Sukarno akan dipindahkan ketempat lain."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 78 dari 109
Kudengarkan  berita  itu  dengan  tenang.  Sesungguhnja  aku  terdiam  sebentar  oleh  karena  bersjukur  kepada
Tuhan. Kemudian kutanjakan dengan segala ketenangan hati, ,,Kemana katanja ?" 
,,Bengkulu." 
,,Di Sumatera Selatan ?" 
,,Ja." 
,,Apakah disebutkan kapan ?" 
,,Tidak, hanja itu jang diumumkan." 
Ini terdjadi dibulan Februari 1938. Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga. 
Disaat  kami  meninggalkan  Endeh  banjak  orang  datang  untuk  melepasku.  Ada  jang  datang  untuk
mengutjapkan  selamat  djalan.  Ada  lagi  jang mendo'akanku  jang  tidak  baik.  Jang  lain  lagi  hanja  sekedar
untuk  melihat-lihat  sadja.  Beberapa  diantaranja  malahan  meminta  untuk  bisa  ikut.  Salah  seorang  dari
mereka adalah pelajan kami. Selama dalam perdjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang tidur dilantai
dekat  tempat-tidurku  dan  selalu  berada  disitu  seperti  seekor  andjing  jang memperlihatkan  kesetiaannja.
Jang seorang lagi adalah Darham jang tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemedja dan sepasang pijama
berwarna  kuning-gading  sebagai  hadiah  perpisahan,  tapi  kemudian  diapun  berlajar  bersama-sama  dengan
kami. 
Belanda  berusaha  sebaik-baiknja  mengelabui  saat  kedatangan  kami,  karena  takut  rakjat  akan  datang
beramai-ramai.  Dalam  siaran  radio  diberitakan,  bahwa  kedatangan  kami  diharapkan  djam  empat  sore,
sedangkan dipagi hari itu sesungguhnja kami sudah sampai. Surabaja, pelabuhan jang biasa ramai, masih sepi
seperti dikesunjian malam  ketika  kapal  kami menurunkan  sauh. Polisi menutup daerah  tjerotjok,  sehingga
rakjat tidak dibolehkan berada didaerah sekitar itu. Ketika aku memidjakkan kaki keanak-tangga jang paling
bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas pandjang jang pertama dari negeri kelahiranku jang
tertjinta,  pintu  dari  kendaraan  jang  telah menunggu  terbuka  dan  aku  dimasukkan  kedalam.  Aku  dilarikan
dengan keretaapi malam menudju Merak, negeri jang paling udjung di Djawa Barat. Disana, dengan setjara
tjepat dan diam-diam, aku ditolakkan keatas kapal dagang menudju Bengkulu. 
Bengkulu adalah negeri jang bergunung-gunung dilingkungi oleh Bukit Barisan dan merupakan kota pedagang
ketjil dan pemilik perkebunan ketjil. Disamping kembang  raksasanja, Raflesia Arnoldi  jang  lebarnja sampai
tiga kaki, negeri ini tidak mempunjai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan. 
Daerah  jang merupakan benteng  Islam  itu masih  sangat  kolot. Wanitanja menutupi badannja dengan  rapi.
Mereka  djarang  menemani  suaminja.  Pada  waktu  aku  pertama  menghadiri  pertemuan  kekeluargaan,  aku
bertanja, ,,Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dari laki-laki ?" Tidak seorang djuga jang
mendjawab, karena itu aku menjingkirkan penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir memisahkanku
dari penduduk kota itu. 
Mesdjid  kami  keadaannja  kotor,  kolot  dan  tua.  Aku  kemudian membuat  rentjana  sebuah mesdjid  dengan
tiang-tiang  jang  tiantik,  dengan  ukiran  timbul  sederhana  dan  pagar  tembok  putih  jang  tidak  ruwet  dan
kubudjuk mereka untuk mendirikannja. Orang tua-tua dikota itu tidak suka kepada orang jang menginginkan
perobahan.  Keluarlah  utjapan-utjapan  jang  tidak  enak  diantara  kami  dan  pada  permulaan  aku  membuat
musuh. Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama karena aku begitu haus akan kawan. 
Polisi  keamanan  tetap  mengawasi  rumahku  siang-malam.  Setiap  tamu  ditjatat  namanja,  esok  harinja
dipanggil menghadap untuk ditanjai, kemudian dibajangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu heberanian
untuk  dapat memperlihatkan  keramahan  pada  Sukarno.  Kawanku  jang  satu-satunja  adalah  seorang  kepala
sekolah  rakjat  jang  seringkali  datang meskipun  tahu  bahwa  ia  ditandai  oleh  Pemerintah,—  dan membawa
seorang anak gadis tjilik jang selalu kupeluk diatas pangkuanku. 
Aku  tak  pernah  melupakan  keramahannja  ini.  Pada  waktu  aku  sudah  mendjadi  Presiden,  kepadanja
kutanjakan, ,,Apa jang dapat saja lakukan untuk saudara ? Katakanlah keinginan saudara." Temanku sedang
mendekati adjalnja, tapi djawabnja hanja, ,,Tolonglah keluarga saja kalau saja pergi. Lindungilah anak gadis
saja." Pesannja ini kupenuhi sebaik-baiknja. Aku bahkan mentjarikan suami buat anaknja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 79 dari 109
Banjak baji  jang dulu pernah  kutimang diatas pangkuanku  sekarang  sudah mendjadi wanita-wanita  tjantik
dan kemudian orangtuanja datang kepadaku memohon,  ,,Tolonglah, Pak,  tolong pilihkan djodoh buat anak
saja."  Aku  telah  mentjarikan  isteri  Hatta  untuknja.  Aku  mentjarikan  isteri  kawanku  Rooseno  untuknja.
Sekarang aku rnempunjai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satusatunja Kepala Negara
jang djuga mendjadi tjalo dalam mengatur perkawinan, kukira. 
Kebetulan  dalam  masa-masa  itu  perkawinanku  sendiripun  perlu  diatur  kembali.  Kemungkinan  disebabkan
oleh  tjara  hidup  orang  Indonesia  jang  merasa  tidak  sernpurna  kalau  tidak  memperoleh  keturunan  dari
perkawinannja.  Malahan  kebanjakan  dari  orang  Indonesia  jang  beristeri  satu,  anaknja  segerobak.  Setiap
tahun  djumlah  djiwa  kami  bertambah  dengan  dua  djuta  lebih.  Barangkali  tidak  ada  hal  lain  jang  dapat
diperbuat oleh rakjat kami jang miskin. Barangkali djuga karena kami adalah bangsa jang bernafsu besar dan
berdarah panas, dan mengisi malam-rnalam  kami  jang panas  itu dengan  berkasih-kasihan. Pada  suatu  kali
Djendral Romulo menjatakan, ,,Saja kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah bangsa jang paling
bagus.'' Djawabku, ,,Mungkin djuga, akan tetapi diantaranja orang Indonesialah jang paling bernafsu !" 
Diantara  kami  terdapat  keluarga  jang  mempunjai  11,  13,  18  orang  anak.  Saudara  perempuan  bapakku
melahirkan 23. Setiap orang mempunjai anak. Setiap orang, ketjuali Sukarno. Inggit tidak dapat melahirkan,
karena  itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku tetap dalam keadaan kosong. Kehendakku belum
terpenuhi.  Sudah  hampir  20  tahun  kami  kawin.  Namun masih  belum memperoleh  seorang  putera.  Terasa
olehku,  bahwa  selama  ini  sudah  begitu  banjak  kebahagiaan  jang  telah  dirampas  dari  diriku  ...............
Mengapa keinginan inipun harus didjauhkan pula ? 
Ketika  perasaan  jang  menekan  ini  mulai  memukul-mukul  dadaku  selama  24  djam  dalam  sehari,  kutjoba
menghilangkannja dengan merapati anak-anak pada setiap kesempatan jang kuperoleh. Di Pulau Bunga aku
mengambil dua orang anak angkat  lagi—Sukarti, anak  seorang pegawai berasal dari Djawa dan Jumir, anak
keluarga  djauh  Inggit,  jang  pada  waktu  sekarang  sudah  mempunjai  enam  orang  anak.  Di  Bengkulu  aku
memperlakukan anak orang lain seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo, mempunjai
seorang  anak  laki-laki  berumur  10  tahun.  Berdjam-djam  lamanja  aku menghabiskan  waktu  bersama-sama
dengan  Ahmad  ini.  Kalau  ada  anak  Belanda  meludahinja,  akulah  jang  mengeringkan  air-matanja  dan
menguatkan hatinja dengan kata-kata, ,,Ahmad, negeri ini kita punja. Disatu waktu kita djadi tuan dinegeri
kita  sendiri.  Disatu  waktu  kita  bisa  berbuat  menurut  kemauan  kita,  bukan  menurut  jang  diperintahkan
kepada kita. Djangan kuatir." 
Kemudian aku mendjadi seorang pendidik. Ketua Muhammadijah setempat, Pak Hassan Din, datang disuatu
pagi  dengan  tidak  memberi  tahu  lebih  dulu,  seperti  jang  telah  mendjadi  kebiasaan  kami.  ,,Disini,"  ia
memulai,  ,,Muhammadijah  menjelenggarakan  sekolah  rendah  agama  dan  kami  sedang  kekurangan  guru.
Selama  di  Endeh  kami  tahu  Bung  Karno  telah  mengadakan  hubungan  rapat  dengan  'Persatuan  Islam'  di
Bandung dan kami dengar Bung Karno  sepaham dengan Ahmad Hassan, guru  jang  tjerdas  itu. Apakah Bung
bersedia pula membantu kami sebagai guru ?" 
,,Saja menganggap permintaan ini sebagai rahmat," djawabku. 
,,Tapi ............... ingatlah ............... djangan membitjarakan soal politik." 
,,Ah, tidak," aku tersenjum menjeringai, ,,hanja saja akan menjinggung tentang Nabi Besar Muhammad jang
selalu mengadjarkan ketjintaan terhadap tanah-air." 
Dalam kelasku terdapat Fatmawati, puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti ,,Teratai".Wati": ,,kepunjaan". 
Rambutnja jang seperti sutera dibelah ditengah dan mendjurai kebelakang berdjalin dua. Fatmawati berasal
dari keluarga biasa di Tjurup, sebuah kampung beberapa kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih muda dari
Ratna  Djuami.  Dan  ketika  ia mengikuti  Ratna  Djuami memasuki  sekolah  rumah  tangga  di  Bengkulu—  jang
merupakan  sekolah  tertinggi  jang  ada  didaerah  itu —  ia mentjari  tempat  tinggal. Dengan  senang  hati  aku
menjambutnja sebagai anggota keluarga kami. 
Aku  senang  terhadap  Fatmawati.  Kuadjar  dia main  bulutangkis.  Ia  berdjalan-djalan  denganku  sepandjang
tepi  pantai  jang  berpasir  dan,  sementara  alunan  ombak  jang  berbuih  putih  memukul-mukul  kaki,  kami
mempersoalkan  kehidupan  atau  mempersoalkan  Ketuhanan  dan  agama  Islam.  Dalam  kesempatan  jang
demikian itulah ia menanjakan, ,,Mengapa orang Islam dibolehkan mempunjai isteri lebih dari satu ?"  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 80 dari 109
,,Ditahun 650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannja terhadap orang
Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganja sendiri," djawabku. ,,Sembojan jang dipakai didjaman
itu 'Pedang disatu tangan dan Al Quran ditangan jang lain'. Diantara laki-laki banjak terdapat korban." 
,,Ini berarti banjak djanda," kata Fatmawati pelahan-lahan. 
,,Pasti,"  kataku,  ,,Akan  tetapi  untuk menghindarkan  hawa  nafsu  kehewanan  atau  perkelahian  perempuan
diantara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahju dari Tuhan jang mengizinkan laki-laki mempunjai isteri
sampai empat orang agar tertjapai suasana jang tenang. Tapi di Bali orang mendjalankan poligami jang tidak
terbatas. Seorang pangeran  jang  sudah berumur 76  tahun belum  lama  ini miengawin;  isterinja  jang ke-36.
Umurnja 16." 
,,Usia  jang  tjotjok  untuk  perkawinan,"  kata  Fatmawati  jang  berumur  limabelas  setengah  tahun
mengemukakan pendapatnja. 
Di  Bante  Pandjang  arusnja  didalam  deras  sekali  dan  banjak  terdapat  ikan  ju.  Orang  tidak  dibolehkan
berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu-karang jang bersegi-tiga jang merupakan kolam. Pada waktu
kami mengarunginja ia bertanja, ,,Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan ?" 
,,Sebaliknja,  adjaran  Nabi  menaikkan  deradjat  perempuan.  Sebelum  itu  kedudukan  perempuan  seperti
dalam  neraka.  Orang  tua menguburkan  anak-anak  gadis  hidup-hidup  oleh  karena  dianggap  tidak  penting.
Laki-laki hanja menjerahkan mas-kawin kepada sibapak dan membeli anak gadisnja untuk didjadikan  isteri.
Pada  waktu  sekarang  perempuan  tidak  dibeli  seperti  membeli  kambing.  Perempuan  sekarang  mendjadi
teman-hidup jang sama kedudukannja dalam perkawinan. 
,,Hukum perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banjak djumlah perempuan
daripada  laki-laki.  Perempuan  jang  kelebihan  ini  berhak  atas  kehidupan  perkawinan,  karena  itu  Islam
memberi  kesempatan  kepada  mereka  untuk  mendjadi  isteri-isteri  jang  sjah  dan  terhormat  dalam
masjarakat.  Akan  tetapi  di  Tibet,  dimana  laki-laki  lebih  banjak  daripada  perempuan,  mereka
mempraktekkan polyandri. Inilah bukti penjesuaian hukum agama dengan hukum masjarakat di Timur." 
,,Bagaimana  orang  Barat mengatasinja  ?",,Seringkali  orang  Barat mempunjai  njai.  Kerugiannja,  anak-anak
jang mereka peroleh disingkirkan dimasjarakat atau ditutup-tutup atau mendapat nama jang djelek seumur
hidupnja. Dalam masjarakat kita anak dari isteri kedua dan selandjutnja mendapat kedudukan jang baik dan
dihormati dalam masjarakat." 
Fatmawati  bungkem  sambil  berdjalan  sepandjang  pantai,  kemudian  bertanja,  ,,Perlukah  seorang  Islam
mendapat persetudjuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri jang kedua ?" 
,,Tidak  wadjib.  Hal  ini  tidak  disebut-sebut  dalam  Quran.  Ini  ditambahkan  kemudian  dalam  Fiqh,
..............." 
,,...............  hukum-hukum  jang  ditambah  oleh  manusia  ditahun-tahun  700  dan  800-an  jang,  menurut
pertimbangan akal, didasarkan pada A1 Quran dan Hadith, jaitu qijas." 
,,Benar" kataku tersenjum kepada muridku jang ketjil itu lagi tjerdas. 
Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang tjerdik-pandai dari
kampung.  Orang  datang,  kepadaku  untuk  minta  nasehat.  Seperti  misalnja  persoalan  kerbau  kepunjaan
seorang  Marhaen  jang  dituntut  oleh  seorang  pegawai.  Marhaen.  itu  mendjadi  hampir  putus  asa,  karena
kerbau  ini  sangat  besar  artinja  baginja.  Ia  datang  padaku  sebagai  ,,Dukun"-nja.  Aku  menasehatkan
kepadanja, ,,Adjukan persoalan ini kepengadilan dan saja akan mendo'akan.'' Tiga hari kemudian kerbau itu
kembali. 
Ada lagi perempuan jang datang menangis-nangis kepadaku, ,,Saja sudah tudjuh bulan tidak haid." 
,,Apa jang dapat saja lakukan ? Saja bukan dokter," kataku. 
,,Bapak  menolong  semua  orang.  Bapak  adalah  djuruselamat  kami.  Saja  pertjaja  kepada  bapak  dan  saja
merasa sangat sakit. Tolonglah ............... tolonglah ............... tolonglah saja."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 81 dari 109
Kepertjajaannja  kepadaku  luarbiasa,  dan  aku  tidak  dapat  berbuat  sesuatu  jang  akan  menimbulkan
keketjewaannja.  Karena  itu  kubatjakan  untuknja  Surah  pertama  dari  Quran  ditambah  dengan  do'a  jang
maksudnja sama dengan 'Bapak kami jang ada disorga'. Kemudian perempuan itu sembuh dari penjakitnja. 
Tetanggaku,  seorang  pemerah  susu,  sangat membutuhkan  uang.  Dia  jakin,  bahwa  dengan mengemukakan
persoalannja itu kepadaku, bagaimanapun djuga akan dapat dipetjahkan. Memang ia benar. Aku keluar dan
menggadaikan badjuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen jang diperlukannja. 
Djadi  dimata  orang  kampung  jang  bersahadja  itu  lambat-laun  aku  dipandang  seperti  Dewa.  Apa  jang
ditundjukkan  Fatmawati  kepadaku  adalah  pemudjaan  kepahlawanan.  Umurku  lebih  dari  20  tahun
daripadanja  dan  ia  memanggilku  Bapak,  pun  untuk  seterusnja.  Bagiku  ia  hanja  seorang  anak  jang
menjenangkan,  salah-seorang  dari  begitu  banjak  anak-anak  jang  mengelilingiku  untuk  menghilangkan
kesepian jang djadi melarut dalam hatiku. Jang kuberikan kepadanja adalah kasih-sajang seorang bapak. 
Inggit  tidak melihat hal  itu dengan  tjara  jang demikian. Kami mempunjai  radio dikamar belakang. Disuatu
malam  kawan-kawan  mendengarkannja  bersama-sama  kami.  Fatmawatipun  datang  mendengarkan.  Ada
tempat kosong disebelahku diatas divan, djadi  ia duduk dekatku. Malam  itu djuga  Inggit menjatakan, ,,Aku
merasakan  ada  pertjintaan  sedang menjala  dirumah  ini.  Djangan  tjoba-tjoba menjembunjikan.  Seseorang
tidak bisa membohong dengan sorotan matanja jang rnenjinar, kalau ada orang lain mendekat." 
,,Djangan begitu," djawabku dengan bernafsu. ,,Dia itu tidak ubahnja seperti anakku sendiri." 
,,Menurut  adat  kita,  perempuan  tidak  begitu  rapat  kepada  laki-laki.  Anak-anak  gadis menurut  kebiasaan
lebih rapat kepada siibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Sukarno, supaja mendudukkan hal ini menurut
tjara jang sepantasnja." 
Maka terdjadilah, kalau ada pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit selalu
memihak kepada anak jang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak mau berdiri difihaknja.
Lalu  mendjulanglah  suatu  dinding  pemisah  jang  tidak  terlihat,  antara  kami,  dan  aku  didesak  memihak
kepada Fatmawati. 
Setelah dua tahun ia pindah kerumah neneknja tidak djauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih sadja
dalam  satu  lingkungan,  karena  bibinja  kawin  dengan  kemenakanku  dan  adanja  pesta-pesta,  kemudian
berkumpul bersama-sama dihari libur dan sebagainja. 
Tahun herganti  tahun dan Fatmawati  tidak  lagi anak-anak.  Ia  sudah mendjadi  seorang perempuan  tjantik.
Umurnja sudah 17 tahun dan terdengar kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia 53
tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia jang utama dalam kehidupan. Aku menginginkan
anak. lsteriku tidak dapat memberikannja kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi
memikirkan  soal-soal  jang  demikian.  Disuatu  pagi  aku  terbangun  dengan  keringat  dingin.  Aku  menjadari
bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku memerlukannja. Kemudian aku menjadari pula,
bahwa aku berbalik kembali kemasa duapuluh tahun jang silam. Kembali ketengah kantjah perdjoangan itu-
itu djuga,  perdjoangan  antara baik dan  djahat. Aku memikirkan  tentang Ardjuna, pahlawan Mahabharata,
jang bertanja kepada Dewa, Batara Krishna, ,,Hai, dimana engkau ?" Maka Krishna mendiawab ,,Aku berada
didalam sang baju. Aku ada didalam air. Aku berada dibulan. Aku ada didalam sinarnja sang tjandra. Akupun
ada dalam senjumnja gadis jang menjebabkan engkau tergila-gila." 
Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau didalam senjuman indah dari gadis tjantik itu terdapat pula
Tuhan  apakah  dengan  mengagumi  senjuman  itu  aku  berdosa  karena  berbuat  kedjahatan  ?  Tidak.  Kalau
begitu,  apabila  aku mentjintai  senjuman  indah  gadis  tjantik  itu,  apabila  senjum  itu  suatu  pantjaran  dari
Tuhan dan Dia mentjiptakan gadis tjantik  itu sedangkan aku hanja mengagumi tjiptaanNja  itu, mengapalah
dianggap dosa kalau aku memetiknja ! 
Sekali lagi, ini adalah peperangan kekal antara baik dan djahat, mentjoba memakan habis kesenangan ketjil
jang kuperoleh ditengah-tengah kekosongan dalam hidupku. Ketika berdjalan-djalan disuatu sore, Fatmawati
bertanja kepadaku, ,,Djenis perempuan mana jang Bapak sukai ?" 
Aku  memandang  kepada  gadis  desa  ini  jang  berpakaian  badjukurung  merah,  dan  berkerudung  kuning
diselubungkan dengan sopan. ,,Saja menjukai perempuan dengan kasliannja. Bukan wanita modern pakai rok
pendek, badju ketat dan gintju bibir jang menjilaukan. Saja lebih menjukai wanita kolot jang setia mendjaga
suaminja dan senantiasa mengambilkan alas kakinja. Saja tidak menjukai wanita Amerika dari generasi baru,
jang saja dengar menjuruh suaminja mentjutji piring."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 82 dari 109
,,Saja setudju," dia membisikkan, mengintip kemalu-maluan padaku melalui bulu-mata jang merebah. 
,,Dan saja menjukai perempuan jang merasa berbahagia dengan anak banjak. Saja sangat mentjintat anak-
anak." 
,,Saja djuga," katanja. 
Minggu berganti bulan dan bulanpun silih berganti, perasaan tjoba-tjoba dalam hati bersemi mendjadi kasih.
Walaupun  bagaimana  kutjoba  sekuatku  memadamkan  hati  muda  jang  sedang  bergolak,  karena  rasa
penghargaan jang besar terhadap Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinja. 
,,Ini  semua  kesalahanku,"  dia mengulangi  berkali-kali  ketika mengemukakan  persoalan  ini  disuatu malam
jang  tidak menjenangkan.  ,,Inilah  djadinja,  kalau menaruh  anak  orang  lain  dirumah.  Tapi  aku  tak  pernah
membajangkan akan kedjadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri." 
,,Aku  sangat bersjukur mengenai kehidupan kita berdua," aku menerangkan.  ,,Selama  ini kau djadi  tulang-
punggungku dan mendjadi tangan kananku selama separo dari umurku. Tapi bagaimanapun djuga, aku ingin
merasakan kegembiraan mempunjai anak. Terutama aku berdo'a, disatu hari untuk memperoleh anak  laki-
laki." 
,,Dan aku tidak bisa beranak, itukah jang dimaksud ?" 
,,Ja," aku mengakui. 
,,Aku tidak bisa menerima isteri kedua. Aku minta tjerai." 
Kami tahu, bukanlah dia jang menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan sendiri.
,,Aku tidak berrnaksud mentjeraikanmu,'' kataku. 
,,Aku tidak memerlukan kasihanmu," bentaknja. 
,,Tidak  ada  maksudku  untuk  menjingkirkanmu,"  aku  melandjutkan,  ,,Adalah  keinginanku  untuk
menempatkanmu dalam kedudukan jang paling atas dan keinginankulah supaja engkau tetap mendjadi isteri
jang  pertama,  djadi  memegang  segala  kehormatan  jang  bersangkut  dengan  ini  dalam  kebiasaan  kita,
sementara  aku  mendjalankan  hukum  agama  dan  hukum  sipil  dan  mengambil  isteri  jang  kedua  untuk
melandjutkan keturunanku." 
,,Tidak." 
,,Untuk  kawin  lagi  adalah  suatu  keharusan  bagiku,  akan  tetapi  aku mengadjukan  satu  usul.  Sekalipun  aku
tjinta  terhadap  Fatmawati,  akan  kulupakan  dia  kalau  kaudapatkan  perempuan  lain  jang  menurut
perkiraanmu  lebih  tjotjok  untukku.  Tundjuklah  seorang  jang  tidak  seperti  anak  lagi  dan  dengan  demikian
dapat membebaskanmu dari kebentjian jang kaurasakan sekarang." 
Airmata menggenangi mataku pada waktu aku bersoal dengan dia.  ,,Kalau  sekiranja aku mendjalani hidup
jang  normal  dengan  kegembiraan  jang  normal  pula,  mungkin  aku  dapat  menerima  kekosongan  ini  tanpa
keturunan.  Akan  tetapi  aku  tidak mengalami  selain  daripada  kemiskinan  dan  kesukaran-kesukaran  hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam usia 28 aku sudah disingkirkan. Duabelas tahun dari masa muda seorang
laki-laki  kuhabiskan  dalam  kehidupan  pengasingan.  Di  suatu  tempat  ...............  dengan  djalan  apapun
...............  tentu akan ada  imbalannja. Kurasakan, bahwa aku  tidak dapat menahankan djika  jang  inipun
dirampas dariku." 
Ratna Djuami kembali ke Djawa untuk melandjutkan  sekolahnja.  Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian.
Hubungan kami tegang, akan tetapi ia kami landjutkan djuga. Aku tidak tahu apa jang harus diperbuat oleh
karena  itu  kutjari  keasjikan  dengan  bekerdja.  Aku  mengerdjakan  rentjana  rumah  untuk  rakjat.  Aku
mengadjar  guru-guru  Muhammadijah.  Aku mengorganisir  Seminar  Alim-Ulama  AntarPulau  Sumatera-Djawa
dan berhasil mengemukakan kepada mereka rentjana memodernkan Islam. 
Akupun menerima  tjalon menantu dari Residen  sebagai murid dalam peladjaran bahasa Djawa,  karena dia
bekerdja  sebagai  asisten  kebun  disuatu  perkebunan  teh  dan  para  pekerdjanja  berasal  dari  Djawa.  Dan  di
Bengkulu  hanja  Sukarno  jang  menguasai  bahasadaerah  itu.  Pemuda  ini  dan  aku  mendjadi  sahabat  karib. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 83 dari 109
Ketika  Jimmy  achirnja  melangsungkan  perkawinannja  aku  ditundjuknja  untuk  bertindak  sebagai  walinja,
akan  tetapi Residen  itu  rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan,  ,,Tidak mungkin  seorang  tawanan-
utama  dari  negeri  ini mendjadi wali  dalam  perkawinan  anak  saja."  Sekalipu,  demikian  dia mengundangku
menghadiri upatjara perkawinan itu. 
Setelah  satu  tahun,  dalam  waktu  mana  aku  tidak  mau  menerima  pembajaran,  Jimmy  menghadiahkan
kepadaku  dua  ekor  Dachshaund.  Aku  sajang  sekali  kepada  andjing-andjing  itu.  Ia  kubawa  tidur.  Aku
memanggilnja  dengan  mengetuk-ngetukkan  lidahku.  ,,Tuktuktuktuk"  dan  karena  aku  tidak  pernah
memberinja nama, lalu binatang-binatang ini dikenal sebagai ,,Ketuk Satu" dan ,,Ketuk Dua". 
Aku  mentjoba  mengalihkan  pikiranku  dari  persoalan  pribadi  dengan  memelihara  hewan-hewan  lain.  Aku
memperoleh  50  ekor  burung  gelatik dengan  harga  sangat murah. Kemudian  kubeli  sangkar  jang besar  dan
menambahkan  burung  barau-barau  sepasang,  djadi  dia  tidak  kesepian.  Tapi  kesenangan  inipun  tidak
menjenangkan  hatiku.  Kulepaskan  binatang-binatang  ini.  Aku  tidak  sampai  hati  melihat  machluk  jang
dikurung dalam sangkar. 
Karena  sekumpulan  binatang  ini  tidak  memuaskan  hatiku,  aku  berpindah  pada  pekerdjaan  memperindah
halaman belakang. Djalanan menudju kedjalan besar ditutupi dengan batu-karang. Aku mempekerdjakan dua
orang kuli untuk mengangkatnja. Ketua organisasi pemuda setempat mengetahui apa jang kukerdjakan dan
disuatu  hari  Minggu  dia  datang  dengan  selusin  kawan-kawan  dan  dalam  tempo  dua  djam  mereka
menjelesaikan segala-galanja. 
Ketika pekerdjaan  ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang, aku mengadakan kelompok
perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan ,,Teori Evolusi D?rwin" atau ,,Mana jang lebih baik,
beras  atau  djagung  —  dan  mengapa  ?"  atau  pokok  pembitjaraan  seperti  ,,Apa  pengaruh  bulan  terhadap
tingkah-laku  perempuan".  Aku  menjusun  pendapatku  sambil  berdebat.  Terkadang  aku  pertjaja  apa  jang
kuutjapkan,  terkadang  tidak.  Terkadang  aku  hanja  mentjoba  untuk menjalakan  api  dibawah  semangatku
sendiri. 
Aku  djuga  meminjaki  otakku  dengan  menulis  artikel.  Karena  ini  terlarang,  kupergunakan  nama  samaran
Guntur  atau  Abdurrachman.  Satu  kesukaranku  ialah  karena  aku  tidak mengetik  dan  tulisanku  jang  sangat
djelas dan mudah dibatja sudah diketahui orang. Tulisan tangan membukakan watak seseorang. Usaha untuk
merobahnja sedikit masih memperlihatkan tulisan jang sarna, karena itu aku merobahnja samasekali dengan
huruf tjetak atau menulisnja dengan tangan kiri. 
Dibulan  Mei  1940  Hitler  menjerbu  Negeri  Belanda.  Pemerintah  segera  memanggilku  kemarkas  di  Fort
Marlborough,  sebuah  benteng  dari  batu  dan  besi  menghadap  kesebuah  tebing  jang  tjuram.  Muka-muka
mereka kelihatan  suram.  ,,Insinjur Sukarno," mereka berkata.  ,,Kami hendak memperingati kedjadian  jang
menjedihkan  ini.  Sebagai  satu-satunja  seniman  di  Bengkulu  tuan  ditundjuk  untuk  membuat  tugu
peringatan.",,Maksud tuan, setelah menguber-uber saja karena saja menghendaki kemerdekaan untuk rakjat
saja,  tiba-tiba  sekarang  meminta  saja,  sebagai  tawanan  tuan,  untuk  membuat  tugu  karena  bangsa  lain
merebut kemerdekaan negeri tuan ?" 
,,Ja." 
Betapapun  aku  berhasrat  hendak  memuaskan  selera  seniku,  namun  apa  jang  kuperbuat  hanjalah
menumpukkan  tiga  buah  batu,  jang  satu  diatas  jang  lain.  Dan  itulah  seluruhnja  jang  kukerdjakan.  Untuk
menjatakan  pendapat  Belanda  itu  dengan  kata-kata  manis:  mereka  djidjik  melihatnja.  Akan  tetapi
sebenarnja tidak timbul perasaanku untuk mentjiptakan suatu jang indah bagi mereka. 
Menjinggung  tentang  peperangan,  sewaktu masih  di  Bandung  aku  telah melihat  lebih  dulu  pengaruh  dari
ketegangan-ketegangan di Eropa dan berkembangnja Hitlerisme. Pada pertengahan tahun-tahun tigapuluhan
aku meramalkan bahwa Djepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh
dan bahwa dengan  lindungan peristiwa  ini  Indonesia akan memperoleh kemerdekaannja. Sedjak dari waktu
itu aku memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung dan aku
menjirnpulkan,  bahwa  matarantai  jang  lemah  dari  rantai  imperialisme  Djepang  adalah  Indonesia.  Negeri
kami  jang  terbentang  luas  adalah  jang  paling mudah  untuk  diputuskan.  Lalu  di  Flores,  ditahun  1938  aku
meramalkan  bahwa  Indonesia  akan  mendesak  kedepan  dan  memutuskan  belenggunja  ditahun  1945.  Aku
bahkan menulis  suatu  tjerita  sandiwara mengenai  kejakinanku  berdjudul  ,,Indonesra  '45".  Sementara  aku
menunggu, menahankannja dengan sabar, aku gelisah dan takut.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 84 dari 109
Aku mendjadi pembantu tetap dari suratkabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis dengan memakai
namaku sendiri, karena walaupun hanja untuk sementara waktu, perasaanku membawaku kesatu pihak jang
sama dengan Negeri Belanda. Dibulan Djuli 1941 aku menulis dalam ,,Harian Pemandangan" sebagai berikut: 
,,Patriotisme  tidak boleh disandarkan pada nasionalismedengan pengertian kebangsaan  jang  sempit  jang —
seperti Italia dan Djerman — meletakkan kepentingan bangsa dan negeri diatas kepentingan kesedjahteraan
manusia-manusia  didalamnja.  Saja  berdo'a  kepada  Allah  Ta'ala  agar melindungi  kita  dari  kefasikan  untuk
mempertjajai fasisme dalam menudju kemerdekaan. 
,,Pemboman  rumah-rumah,  pembunahan  perempuan  dan  anak-anak,  penjerangan  terhadap  negeri-negeri
jang  lemah, penangkapan orang-orang  jang  tidak bersalah, penjembelihan  terhadap djutaan orang  Jahudi,
itulah ISME jang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan adanja parlemen. Fasisme adalah usaha
terachir untuk menjelamatkan kapitalisme. 
,,Seluruh manusia harus membentji Hitler-Hitler dan Mussolini-Mussolini jang ada dipermukaan bumi ini. Dan
pandjinja  tjita-tjita  Indonesia haruslah Anti-Nazisme dan Anti-Fasisme. Hari  ini  saja mengangkat pena  saja
guna memuntahkan saja punja kebentjian terhadap penjakit ini jang mau tidak mau menjeret kita kedalam
peperangan dan bentjana besar. 
,,Kebedjatan moral  ini  tidak  sadja menghinggapi orang kulitputih. Akan  tetapi Djepangpun dihinggapi oleh
nafsu  untuk  memperoleh  kekuasaan  ini,  jang  memerlukan  konsesi  minjak.  batubara  dan  minjak-pelumas
untuk  armadanja  dan  jang menjebabkan  rakjatnja  lupa  alcan  kesatriaan mereka  dalam  usahanja  hendak
mentjekamkan kukunja kepada saudara-saudaranja. 
,,Djepang, itu naga pembawa-bentjana dengan keserakahan untuk mentjaplok dalam waktu jang tidak lama
lagi akan terdjun kedalam peperangan buas jang membahajakan perdamaian dan keselamatan bangsa-bangsa
Asia  dalam  perlombaannja melawan  Barat.  Laksana  tiga  ekor  radja-singa  berhadapan  satu-sama-lain  jang
sudah  siap untuk menerkam,  Inggris  siap di Singapura, Djepang mempersiapkan  sendjata dalam  lingkungan
perbatasannja  dan  dikepulauan  Mariana,  Amerika  dengan  benteng-bentengnja  di  Hawaii,  Guam,  Manila,
Pearl Harbour. 
,,Saudara-saudara, waktunja sudah dekat, disaat mana air biru dari Samudra Pasifik akan mendjadi korban
berdarah jang tidak ada tandingannja didalam sedjarah dunia !" 
Akan tetapi peperangan ini jang kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih djauh
didepan. Djadi ketika itu aku menjimpannja dalam pikiranku sadja untuk mempersendjatai raga-ku melawan
peperangan jang mengamuk-amuk didadaku. 
Diachir tahun 1941 aku mengawatkan Ratna Djuami dan tunangannja Asmara Hadi, seorang pengikut lamaku,
untuk datang ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami bertiga berdjalan-
djalan  sepandjang  Bante  Pandjang.  ,,Kuharapkan  kalian  mengerti,"  aku  mengemukakan.  ,,Aku  ini  hanja
seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Tjobalah, bagaimana pendapatmu keduanja ?" 
Asmara Hadi menjatakan, ,,Setjara pribadi saja setudju dengan bapak. Saja mempersamakan bapak dengan
Napoleon  dan  para  pemimpin  besar  lainnja  dalam  sedjarah,  jang—  saja  batja —  setjara  fisik  sangat  kuat.
Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik. Sungguhpun bapak diasingkan djauh semendjak tahun
1934, bapak tetap mendjadi lambang kami. Rakjat mendo'akan agar bapak segera bangkit lagi dan memimpin
mereka kembali. Dan  rakjat  tahu dari  tulisan-tulisan bapak, bahwa waktunja  sudah dekat. Apa kata  rakjat
nanti kalau bapak sekarang mentjeraikan ibu Inggit diwaktu dia sudah tua dan jang setia mendampingi bapak
selama masa pendjara dan pembuangan ? Bagaimana djadinja nanti ?" 
,,Tjoba,  Umi,"  kataku  sungguh-sungguh  kepada  Ratna  Djuami,  menjebutnja  dengan  nama  ketjilnja.
,,Dapatkah kau memahami kepedihanku ?" 
,,Saja sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saja dapat merasakan kepedihan bapak, tapi saja rasa ini
akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik." 
,,Tapi engkau masih muda. Engkau hendaknja lebih mengerti daripada ibumu," aku mempertahankan. ,,Dan
engkau  tidak  usah  kuatir  tentang  dirimu.  Kalaupun  aku  mengawini  Fatmawati,  aku  masih  tetap
mentjintaimu. Gelombang-gelombang jang berbuih putih ini akan mendjadi saksi." 
Sebelum ,diperoleh suatu keputusan, Djepang menjerbu Sumatra. Harinja adalah 12 Februari 1942.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 85 dari 109
Bab 17
Pelarian
JANG  mendjadi  sasaran  pertama  dari  pendaratan,  tentara  Djepang  adalah  kota  Palembang,  Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang-langgang, Hanja untuk
satu hal Belanda tidak lari, jaitu untuk mengawasi Sukarno. 
Belanda  kuatir  meninggalkanku,  oleh  karena  Djepang  sudah  pasti  akan  menggunakan  bakatku  untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian djuga terhadap
Pasukan  Sekutu.Merekapun  kuatir  terhadap  masa  datang,  kalau  perang  sudah  selesai.  Lepasnja  Sukarno
ketali-hati rakjat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah djalan untuk menguasai kembali
kepulauan Hindia. 
Mereka bahkan lebih menjadari daripadaku, bahwa di Djawa dan dimana-mana rakjat masih belum melupkan
Sukano.  Rakjat masih menempatkan  Sukano  dipuntjak  impian mereka.  Boleh  djadi  ini  disebabkan,  karena
tidak  ada  tokoh  lain  jang  dapat menduduki  tempat  Sukarno  didalam  hati  rakjat.  Semendjak  aku  dibuang,
maka  pergerakan  kebangsaan  telah  bertjerai-berai.  Semua  pemimpin  dimasukkan  kedalam  bui  atau
diasingkan. Ditahun  '36  sebuah partai  jang  telah dilemahkan,  jaitu Gerindo, bergerak kembali, akan  tetapi
tidak mempunjai  tokoh  jang mudah  terbakar. Tidak  ada pemberontakan  rakjat. Apa  jang  dapat dilakukan
oleh massa  hanjalah mengingat-ingat  kembali  waktu  jang  telah  silam.  Dan  ini memang mereka  lakukan.
Selama masa aku dipisahkan dari  rakjat, mereka hanja mengenang detik-detik  jang memberi pengharapan
dan  kemenangan  dibawah  Singa  Podium. Telah  ternjata  didalam  sedjarah  agama  dan  politik,  bahwa  djika
pihak  lawan memerangi  usaha  seorang  pemimpin  dengan djalan pengasingan  atau  lain-lain,  namanja  akan
semakin berurat-berakar dalam hati rakjat. Demikian pula halnja dengan Sukarno. Kepopuleranku dikalangan
rakjat sampai sedemikian, sehingga nampaknja seolah-olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu. 
Tersiarlah berita bahwa Djepang  sudah bergerak menudju Bengkulu. Sehari  sebelum  ia menduduki kota  ini
dua orang polisi dengan  tergopoh-gopoh datang ketempatku.  ,,Kemasi barang-barang," perintahnja.  ,,Tuan
akan dibawa keluar." 
,,Kapan ?" 
,,Malam  ini djuga. Dan djangan banjak  tanja.  Ikuti  sadja perintah. Tuan  sekeluarga  akan diangkut  tengah
malam nanti. Setjara diam-diam dan rahasia. Hanja boleh membawa dua kopor ketjil berisi pakaian. Barang
lain tinggalkan. Tuan akan didjaga keras mulai dari sekarang, djadi djangan tjoba-tjoba melarikan diri." 
Sukarti  jang  berumur  delapan  tahun  itu  dapat  merasakan  ketegangan  jang  timbul.  Karena  takut  dia
bergantung  kepadaku  dengan  kedua  belah  tangannja.  ,,Pegang  saja,  Oom,"  bisiknja.  Oom  adalah  paman
dalam  bahasa  Belanda.Ketika  polisi  itu  meneriakkan  perintahnja,  aku  membelai  kepala  anak  itu  untuk.
menenangkan hatinja. ,,Boleh saja bertanja kemana kami akan dibawa ?" tanjaku. 
,,Ke  Padang.  Tuan  akan  selamat,  karena  tentara  kita  dipusatkan  disana  untuk  membantu  pengungsian.
Ribuan  pelarian  preman  dan  militer  diungsikan  dari  Padang,  jaitu  pelabuhan  tempat  pemberangkatan
menudju Australia. 'Dan djuga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi jang terachir." 
,,Berapa lama kita di Padang ?" 
,,Hanja satu malam. Iring-iringan kapal sebanjak tudjuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat dihari
berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru-buru. Kita berlomba dengan waktu." 
Kami  mendapat  kesempatan  hanja  beberapa  djam  untuk  berkemas.  Tidak  ada  waktu  untuk  takut  atau
bingung. Timbul pertanjaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan dari
pendudukan  tentara  Djepang.  Ataukah  suatu  kerugian,  djika  tetap  berada  dalam  tjengkeraman  Belanda.
Perasaanku  katjau-balau.  Meninggalkan  kota  Bengkulu  berarti  meninggalkan  tempat  pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menudju tempat pembuangan jang
baru. Kalau ini kuingat, hatiku djadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu-waktu jang lain, aku tidak ingin
meninggalkan  tanah-airku  jang  tertjinta.  Bagaimana  aku  bisa  membanting-tulang  demi  kemerdekaan
negeriku dari tempat jang ribuan mil djauhnja.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 86 dari 109
Kedjadian-kedjadian  susul-menjusul  begitu  tjepat,  sehingga  tidak  tersisa waktu  untuk  berpikir.  Aku  hanja
berhasil mentjuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanja ketjil dan dalam waktu lima menit
aku menjelundup  kerumah paman  Fatmawati, dimana  seluruh  keluarga  gadis  itu berkumpul bersama-sama
untuk menguatkan  hati mereka  dalam menghadapi  penjerbuan.  Aku mengetuk  pintunja  dengan  lunak  dan
berbitjara pelahan, ,,Saja Sukarno. Bukalah pintu. Saja datang untuk mengutjapkan perpisahan." 
Aku  memperoleh  kesempatan  selama  satu  detik  jang  singkat  berhadapan  dengan  Fatmawati.  Kami
berpegangan  tangan  dengan  erat dan  kataku  kepadanja,  ,,Hanja Tuhanlah  Jang Maha Tahu  apa  jang  akan
terdjadi  terhadap  kita.  Mungkin  kita  tidak  akan  dapat  keluar  dari  peperangan  ini  dalam  keadaan  masih
hidup. Mungkin djuga kita  terdampar dibagian dunia  jang berdjauhan. Akan  tetapi kemanapun djalan  jang
akan  kita  tempuh,  atau  apapun  jang  akan  terdjadi  terhadapmu  dan  aku,  dimanapun  kita  terkandas,  aku
menjadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati ketjintaan kita satu sama  lain.  Insja Allah,
entah kapan ...............entah dimana...............kita akan berdjumpa lagi." 
Djam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuklinggau, kota penghubung djalan
keretaapi Palembang — Bengkulu. Ditengah malam  itu kepala polisi datang dengan diam-diam. Tidak djauh
dari  rumah  kami  dibelakang  semak-belukar  dia menjembunjikan  sebuah mobil  pick-up.  Didalamnja  empat
orang  polisi.  Dalam  tempo  limabelas menit  Inggit,  Sukarti,  aku  sendiri,  Riwu  —  pembantu  kami  berumur
duapuluh  tiga  tahun  jang dibawa dari  Flores dan  tidak mau  ketinggalan — dan barang-barang  kami  semua
dipadatkan dalam kendaraan jang sesak itu. 
Dekat  rumahku  ada dua buah pompa-bensin.  Jang  satu  terletak di  Fort Marlborough  tidak djauh dari  situ;
jang  satu  lagi  dipekaranganku  sendiri, milik  Pemerintah,  dibawah  serumpun  pohon  kelapa.  Belanda mulai
mendjalankan politik bumi-hangusnja. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan bensin dan
minjak  pelumas  di  Fort  Marlborough  terbang  keudara  dengan  ledakan  jang  hebat.  Ini  sebagai  tanda  bagi
pendjaga  kami  untuk membakar  pula  drum-drum  dirumahku.  Tindakan  ini mempunjai  tudjuan  berganda.
Disamping  mentjegah,  agar  ia  tidak  djatuh  ketangan musuh,  iapun memberikan  kesenangan.  Ledakannja
dapat  terdengar  kesekitar  sampai bermil-mil dan  sedjauh-djauhnja mata memandang diseluruh  kota hanja
kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota Bengkulu. 
Untuk menghilangkan djedjak, polisi  itu mengambil djalan kearah  selatan. Setelah djelas bahwa  tidak ada
orang  jang  mengikuti  djedjak  kami,  mereka  memutar  haluan  keutara  menudju  Muko-Muko,  sekira  240
kilometer  dari  Bengkulu  dimana  kami  akan  bermalam.  Selama  dalam  perdjalanan  kami  harus mengarungi
tigabelas  buah  sungai  jang  lebar  berlumpur  dan  banjak  buaja.  Tidak  ada  djambatan  samasekali.  Kami
menjeberanginja dengan rakit dan perahu jang dibuat oleh rakjat setempat. Dihari berikutnja djam lima sore
rombongan jang kelelahan ini sampai di Muko-Muko. 
Kami bermalam disebuah rumah jang didjaga keras oleh polisi. Djam tiga pagi kami dibangunkan lagi. ,,Mari
kita landjutkan perdjalanan," gerutu salah-seorang jang bertugas. ,,Sekarang berangkat." 
,,Kenapa begini pagi ?" tanjaku. 
,,Rantau kita masih djauh dan hari  ini harus sampai sedjauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnja matahari." 
Sesampai  didjalanan  baru  kami  ketahui,  bahwa  pengiring  kami  dari  Bengkulu  sudah  digantikan  oleh  enam
orang  pengawal  bermuka  kaku  dari Muko-Muko.  Selain  dari membawa  tempat-minum mereka menjandang
senapan  dan  pistol.  Ada  lagi  perobahan  jang  lain.  Kendaraan  kami  sudah  diganti  dengan  gerobak-sapi.  Ia
dimuat  dengan  persediaan  makanan.  Beras  dan  kaleng-kaleng.  Melebihi  persediaan  untuk  sehari.  Tjukup
untuk seminggu, kukira. 
,,Perdjalanan selandjutnja kita tempuh dengan djalan-kaki," kata seorang jang menjandang tempat-minum. 
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. ,,Djalan-kaki sampai ke Padang ?" 
,,Betul." 
,,Sedjauh tigaratus kilometer ?" tanjanja kehabisan napas. 
,,Ja, betul," orang itu memotong. ,,Hajo kita. djalan."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 87 dari 109
,,Kenapa tidak dengan mobil sadja ?" tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang keatas gerobak. 
,,Kita melalui  hutan  lebat,  rapat  dan  susah  didjalani.  Satu-satunja  tjara  supaja  sampai  di  Padang  dengan
menempuh djalan-setapak jang berkelok-kelok berliku-liku dan dibeberapa tempat susah dilalui." 
Aku bisa tahan berdjalan kalau dibandingkan dengan  jang  lain, oleh karena aku selalu  latihan. Akan tetapi
Inggitlah  jang menimbulkan  kekuatiranku.  ,,Djangan  kuatir,"  aku membudjuknja.  ,,Polisi-polisi  jang  bebal
inipun bukan pedjalan marathon, sama sadja dengan kau." 
Betapapun  kekuatiran  jang  timbul,  bagi  kami  tidak  ada  pilihan  lain.  Dibelakang  kami,  tentara  Djepang.
Didepan, tentara Belanda. Dikiri-kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat
siang dan malam. Djadi kami berdjalanlah. Terus berdjalan. Tak henti-hentinja berdjalan. Menempuh hutan
jang  lebat  disepandjang  pantai  Barat  Sumatera  Selatan.  Aku memakai  sepatu.  Isteriku  hanja  pakai  sandal
terbuka  seperti  jang  biasa  dipakai  oleh  wanita  Indonesia,  dan  tidak  bisa  diharapkan  dapat  meringankan
perdjalanan berhari-hari melalui hutan rotan dan rumput liar jang kering dan menggores-gores kaki setinggi
lutut  bermil-mil  djauhnja.  Kaki  Inggit  letjet  dan  bengkak.  Kadang-kadang  ia  naik  gerobak-sapi  itu.  Akan
tetapi  djalannja  tjuram  dan  achirnja  bukan  sapi  itu  jang menolong  kami,  akan  tetapi  akulah  jang  harus
menolong  sapi  itu.  Aku  menariknja.  Dan  menolaknja.  Seringkali  binatang  itu  hanja  berdiri  sadja  dan
menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri. 
Ditengah hutan jang demikian sesekali kami mendjumpai sebuah pondok jang terpentjil kepunjaan pemburu
atau pentjari kajubakar. Djam enam sore kami berhenti dipondok seperti itu. Kami berada ditengah-tengah
pesawangan,  dan  kalaupun  disuruh  berdjalan  terus  tak  seorangpun  diantara  kami  jang  masih  sanggup
berdjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi,
badannja terbakar oleh terik matahari. 
Pondok  itu berbentuk  rumah-panggung,  supaja  terhindar dari antjaman binatang. Sekalipun demikian kami
dapat  mentjium  adanja  tamu-tamu  jang  tidak  diundang.  Seekor  ular  mendjalar  melalui  kaki.  Tjitjak
berkeliaran diatas  atap. Diatas  lantai  terhampar  sehelai  tikar  kasar. Aku  terkapar diatas  tikar  itu. Pahaku
mendjadi  bantal  Inggit.  Dan  Sukarti  menggolekkan  kepalanja  diatas  badan  ibunja.  Bunji  binatang  buas
dimalam  hari  disekeliling  tempat  pelarian  kami  membikin  badan  djadi  dingin.  Tetangga  kami  adalah
harimau,  beruang,  kutjing-hutan,  rusa,  babi-hutan  dan monjet  tak  terhitung  banjaknja.  Teriakan monjet
jang  membisingkan  diatas  pohon-pohon  kaju  tidak  henti-hentinja.  ,,Radja-hutan  tidak  akan  menjerang,
ketjuali  kalau  dia  lapar,"  tjerita  polisi  jang menjandang  tempat-minum.  Kami mendo'a,  semoga  binatang-
binatang itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal-kehormatan kami
jang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki djauhnja. 
Ditengah  malam  Sukarti  mengintip  dipinggir  teratak  itu  jang  tidak  berpintu.  ,,Saja  takut,  Oom,"  dia
menggigil. ,,Oom tidak takut ?" 
,,Ja,  Karti,"  bisikku  menenangkan  hatinja.  ,,Oom  takut.  Tapi  polisi  ini  membikin  Oom  berani."  Aku
merangkak dengan Karti  kebagian pinggir dan mengintip  kebawah.  ,,Kaulihat  keenam orang  itu  ? Ditengah
malam  sunjipun  polisi mendjaga  berganti-ganti  pakai  bedil.  Polisi  berdjaga-djaga. Mereka  lebih  takut  lagi
daripada kita kalau tidak menjelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung-djawab polisi untuk
menjerahkan  Sukarno  hidup-hidup  ketangan  pembesar  di  Padang.  Karena  itu mari, marilah  kita  tidur  dan
biarlah polisi mendjaga keselamatan kita. Ja ?" 
Disubuh  itu kami sarapan dengan buah-buahan dari hutan, nasi dari persediaan  jang dibawa oleh pengawal
kami  dan  singkong  sedikit. Hari masih  gelap  ketika  kami  kembali mengajunkan  langkah. Mendjelang  siang
kami djumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian jang  lekat dibadan diair yang djernih
dan  sedjuk  itu  dan  melepaskan  dahaga  sepuas-puas  hati.  Masuk  sedikit  lagi  kedalam  semak-belukar,
dikelilingi oleh  sawah  jang  terhampar, ada  sebuah dangau. Kami memasuki dangau  itu untuk  tidur-tiduran
sekedar pelepas kelelahan. 
Kami  dapat mendengar  gemerisik  binatang-liar  pada  dedaunan  jang  tidak  bergerak  dan  kami melangkahi
djedjak harimau  jang  tak  terhitung banjaknja, namun  satu-satunja binatang  jang menghalangi djalan kami
ialah  siamang.  Kami  melihat  siamang  hampir  sebesar  orang-hutan  berdiri  tegak  seperti  manusia.  Berdiri
diatas kakinja jang belakang binatang-binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah
jang berat. Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, selain daripada djantung kami jang memukul-mukul dada
dengan keras.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 88 dari 109
Dengan menggunakan  korek-api  jang  dibawa  oleh  polisi,  kami memasak  nasi  dalam  kaleng, memasukkan
sajuran kedalamnja dan menambahkan ikan jang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami jang sepuluh
orang. Makanan  ini  tidaklah mewah,  tapi  kami  djuga  tidak mati  kelaparan  karenanja.  Inggit  terlalu  amat
lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. ,,Aku terlalu tjapek," ia mengeluh pandjang sambil
bersandar  lesu ketebing  suatu  lurah  jang  sedang kami  lalui.  ,,Kalau aku duduk,  takut nanti  tidak bisa  lagi
berdiri." 
Dihari  ketiga  salah-seorang  polisi  Belanda menjerah  karena  putus  asa  dan  kehabisan  tenaga.  Kami  hanja
memikirkan  diri  kami  sendiri,  tetapi,  disamping  matahari  jang  membakar,  haus,  kehabisan  tenaga  dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka  tidak ada melakukan  tindakan
jang  kedjam  terhadap  kami.  Sekalipun  kami  adalah  orang  tawanan dan  orang  jang menawan,  kami  semua
sama merasakan pahit-getirnja perdjalanan. Tetapi djarang terdjadi pertjakapan. Tiada manusia jang lewat
dan  kami  tidak  merasakan  kegembiraan.  Aku  sendiri  berusaha  untuk  berolok-olok.  Sudah  mendjadi
pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananja. ,,Sekalipun ada penjerbuan, akan tetapi saja
berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman  ini kepada saja,"
aku berolok-olok. 
Seorang  jang  pendek  dan  botak  tersenjum,  ,,Selama  empat  tahun  di  Bengkulu  apakah  tuan  tidak  pernah
melangkah keluar batas jang didjaga kuat untuk tuan ?" 
,,Ada, sekali. Saja membuat suatu tjerita sandiwara jang dipertundjukkan pada malam amal disuatu tempat
diluar  batas.  Ini  terdjadi  tepat  setelah  Residen  baru  menggantikan  pedjabat  lama  jang  saja  kenal  baik.
Orangnja  sedjenis  manusia  jang  menghamba  kepada.peraturan.  Saja  bertanja  kepadanja,  'Tuan  Residen,
dapatkah tuan meng izinkan saja untuk pergi ketempat ini jang terletak sedikit diluar batas ?" 
,,Untuk  memutuskan  sendiri  mengenai  persoalan  jang  sangat  penting  ini  rupanja  tidak  mungkin  baginja.
Karena  itu  dia  bersusahpajah  mengirim  telegram  kepada  Gubernur  Djendral  di  Djawa.  Lalu  apa  djawab
Gubernur Djendral. Dia menelegram kembali, menjatakan kegembiraannja mendengar  semua  itu. Katanja,
'Saja  gembira  mendengar  bahwa  Ir.  Sukarno  tidak  lagi  berpolitik  dan  memusatkan  perhatiannja  pada
pertundjukan sandiwara ? Apakah ini tidak menggelikan ? !" 
Polisi  itu  terpaksa  tertawa  menundjukkan  penghargaan.  Ketika  Riwu  meluntjur  dari  pohon  kelapa  dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnja jang segar, aku mentjeritakan kisah Manap Sofiano,
seorang pemain jang mendjalankan peran prima donna dalam pertundjukanku. 
,,Suatu  hari  dia  membeli  piano  dalam  lelang  dan  menjampaikan  kepada  tukang-lelang,  'Sukarno  akan
mendjamin  pembajarannja.'  'O,  baik,'  djawab  orang  itu  setudju,  'kalau  tuan  kawan  dari  Sukarno,  baiklah.'
Tiga bulan kemudian  Sofiano mengepak barang-barangnja hendak pindah.  Sebelum dia pergi  saja katakan,
'Hee,  tinggalkan dulu  surat perdjandjian  jang diketahui oleh  kepala  kampung dan  jang menjatakan bahwa
engkau berdjandji hendak membajarnja. Dengan begitu, kalau sekiranja kaulupa, saja mempunjai dasar jang
sja.' 
,,Setelah berbulan-bulan  tidak ada kabar-berita dari  Sofiano,  saja menulis  surat kepadanja,  'Sudah  sampai
waktunja. Bajar sekarang, kalau tidak, akan saja adjukan kedepan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas,
'Saja  tidak menjusahkan  diri  saja  sendiri,  akan  tetapi  saja mempunjai  lima  orang  anak.  Kalau  saja masuk
pendjara, mereka akan terlantar.' 
,,Tentu saja tidak mau menjakiti anak-anak jang tidak bersalah, djadi apa lagi jang dapat saja lakukan ? Saja
kemudian membajar utang  sedjumlah 60  rupiah  itu. Disamping  itu," aku  tersenjum meringis,  ,,dia  seorang
pemain jang baik, sehingga saja dapat mema'afkan segala-galanja." 
Dengan pertjakapan ringan demikian ini aku mentjoba menaikkan semangat pasukan kami jang melarat itu.
Dihari jang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menudju kota. Bertepatan dengan
kedatanganku,  kapal  jang  direntjanakan  untuk  mengangkut  kami  telah  meledak  mendjadi  sepihan  dekat
pulau  Enggano,  tidak  djauh  dari  pantai.  Tentara Djepang  berada  dalam  djarak  beberapa  hari  perdjalanan
dibelakang kami. Angkatan laut Djepang sudah berada beberapa mil dari kami. 
Kota Padang diselubungi oleh  suasana  chaos,  suasana bingung dan  ragu. Hanja dalam  satu hal orang  tidak
ragu  lagi,  jaitu  bahwa  Belanda  penakluk  jang  perkasa  itu  sedang  dalam  keadaan  panik.  Para  pedagang
meninggalkan  tokonja.  Terdjadilah  perampokan,  penggarongan,  suasana  gugup.  ,,Lihat,"  kata  seorang
Belanda, jang tingginja satu meter delapan puluh lima, mengedjek ketika dia hendak lari membiarkan kami BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 89 dari 109
tidak  dilindungi,  ,Belum  lagi  kami  pergi,  kamu  orang  Burniputera  sudah  tidak  sanggup mengendalikan  diri
sendiri." 
Tentara  Belanda mentjoba  untuk mengangkutku  dengan  pesawat  terbang,  akan  tetapi  semuanja  terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menjelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri
Belanda  sekarang  adalah bagaimana menjelamatkan dirinja  sendiri. Mereka  seperti pengetjut, mereka  lari
pontang-panting.  Belanda membiarkan  kepulauan  ini  dan  rakjat  Indonesia  djadi  umpan  tanpa  pertahanan.
Tidak  ada  jang  mempertahankannja,  ketjuali  Sukarno.  Negeri  Belanda  membiarkanku  tinggal.  Ini  adalah
kesalahan jang besar dari mereka. 
Sesampai dihotel aku mengatakan pada Inggit, ,,Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini." 
Dimana-mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu-buru pada detik-detik terachir. 
,,Kau mau kemana ?" tanja Inggit gemetar ketakutan. 
,,Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mentjarinja dan berusaha mentjari tempat tinggal." 
Waworuntu menjambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. ,,Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan
airmata mengalir  kepipinja.  ,,Saja mendapat  rumah bagus disini dan banjak  kamarnja,  tapi  saja  sendirian
sadja. Isteri saja dan anak-anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saja. Bawalah keluarga Bung
Karno kesini  ........ bawalah kesini dan anggaplah  ini  rumah Bung sendiri." Orang  jang baik hati  ini dengan
kemauannja  sendiri  pindah  dari  kamar-tidurnja  jang  besar  didepan  disebelah  ruang-tarnu,  dan
mengosongkannja untuk Inggit dan aku. 
Ini  terdjadi  beberapa  hari  sebelum  Balatentara  Keradjaan  Dai  Nippon  menduduki  Padang.  Ketika  aku
berdjalan-djalan disepandjang djalan aku menjadari, bahwa saudara-saudaraku jang terlantar, lemah, patuh
dan  tidak  mendapat  perlindungan  perlu  dikurnpulkan.  Tidak  ada  seorangpun  jang  mengawasinja.  Tidak
seorangpun,  ketjuali  Sukarno.  Tindakan-tindakan  jang  benar  adalah  usaha  untuk memenuhi  bakti  kepada
Tuhan.  Aku  menjadari,  bahwa  waktunja  sudah  datang  lagi  bagiku  untuk  terus  madju  dan  mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan. 
Disana  ada  suatu  organisasi  dagang  setempat.  Aku  menemui  ketuanja  dan  dia  berusaha  mengumpulkan
orang-orangnja.  Kemudian  aku  menjuruh  Waworuntu  kesatu  djurusan  dan  Riwu  kedjur-usan  lain  untuk
mengumpulkan  jang  lain.  Diadakanlah  rapat  umum  dilapangan  pasar.  Disana  aku  membentuk  Komando
Rakjat jang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk mendjaga ketertiban. ,,Saudara-saudara,"
aku menggeledek  dalam  pidatoku  jang  pertama  semendjak  sembilan  tahun,  ,,Saja minta  kepada  saudara-
saudara untuk mematuhi  tentara  jang akan datang. Djepang mempunjai  tentara  jang kuat. Sebaliknja kita
sangat  lemah.  Tugas  saudara-saudara  bukan  untuk  melawan  mereka.  Ingatlah,  kita  tidak  mempunjai
sendjata.  Kita  tidak  terlatih  untuk  berperang.  Kita  akan  dihantjur-leburkan,  djikalau  kita mentjoba-tjoba
untuk melakukan perlawanan setjara terang-terangan. 
,,Orang  jang  tidak  bersendjata  tidak mungkin melawan  pradjurit-pradjurit  jang  puluhan  ribu,  akan  tetapi
sebaliknja  ingatlah  saudara-saudara,  sekalipun  semua  tentara  dari  semua  negeri  diseluruh  djagad  ini
digabung mendjadi  satu  tidak  akan mampu  untuk membelenggu  satu  djiwa  jang  tunggal,  karena  ia  telah
bertekad  untuk  tetap merdeka.  Saudara-saudara,  saja  bertanja  kepada  saudara-saudara  semua  :  Siapakah
jang dapat membelenggu suatu rakjat djikalau semangat rakjat itu sendiri tidak mau dibelenggu ? 
,,Kita  harus mentjari  kemenangan  jang  sebesar-besarnja  dari musuh  ini.  Maka  dari  itu,  saudara-saudara,
hati-hatilah. Rakjat kita harus diperingatkan supaja djangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana,
hindarkanlah  pertumpahan  darah  disaat-saat  permulaan.  Djangan  panik.  Saja  ulangi  :  djangan  panik.
Ketentuan pertama  jang diberikan oleh pemimpinmu  adalah untuk mentaati orang Djepang. Dan pertjaja.
Pertjaja kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita." 
Rapat  itu  diachiri  dengan  do'a  bersama  jang  kupimpim  sendiri  sebagai  Imam.  Orang  Islam  tidak  dapat
mengchotbahkan atau mengadib-kan isi daripada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu titik,
disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata-kata dari Ajat selandjutnja dan dihadapan ribuan
orang jang menunggu-nunggu landjutannja aku mendesis kepada seorang Hadji jang duduk bersila dekat itu,
,,Ehh — apa lagi terusnja ?" 
Do'a  itu  berachir,  rakjat  bubar,  aku  kembali  kerumah  Waworuntu  dan  menunggu.  Aku  tidak  perlu  lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu djam empat pagi. Mungkin djuga djam lima. Aku BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 90 dari 109
berbaring ditempat-tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku njalang samasekali. Malam
itu  adalah malam  jang  sunji  sepi.  Tiada  terdengar  suara  jang  gandjil.  Sesungguhnja,  pun  tidak  terdengar
suara  jang  biasa.  Keluargaku  tidur  dengan  tenang.  Tiba-tiba  mereka  terbangun  oleh  bunji  jang  semakin
santer. Mula-mula menderu seperti guntur. Suara jang menggulung-gulung itu semakin keras, semakin keras,
semakin  keras  lagi.  Bunji  jang menakutkan  dan membikin  badan  djadi  dingin-membeku  adalah  gunturnja
kereta-kereta berlapis-badja dan tank-tank dan balatentara berdjalan-kaki berbaris memasuki kota Padang. 
Djepang sudah datang. 
Bab 18
Djepang Mendarat
UDARANJA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring disana dengan badan gemetar. Aku melihat sambaran
petir ini sebagai gemuruhnja pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berachirnja suatu djaman. 
Esok  paginja  aku  bangun  diwaktu  subuh  dan  berdjalan  dengan  tenang  sepandjang  djalanan  kota.  Djepang
membuka toko-toko dengan paksa tanpa ada jang mendjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakjat untuk
menjerbu  isi  toko-toko  itu.  Kesempatan  pertama  bagi  rakjat  jang  miskin  untuk  menikmati  kemewahan.
Dalam pada itu Djepang dengan tjerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan keadaan didjalan-
djalan, dengan demikian menambah kebentjian terhadap kekuasaan kulitputih. 
Disetiap  djalanan  Djepang  disambut  dengan  sorak-sorai  kemenangan.
,,Apa sebabnja ini !" tanja Waworuntu.
,,Rakjat bentji kepada Belanda. Lebih-lebih lagi karena Belanda lari terbirit-birit dan membiarkan kita tidak
berdaja.  Tidak  ada  satu  orang  Belanda  jang  berusaha  untuk melindungi  kita  atau  melindungi  negeri  ini.
Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah jang penghabisan, tapi njatanja lari ketakutan." 
,,Tjoba  pikir,"  kataku  ketika  kami melangkah  pelahan.  ,,Faktor  pertama  jang menjebabkan  penjambutan
jang  spontan  ini  adalah  adanja  perasaan  dendam  terhadap  tuan-tuan  Belanda,  jang  telah  dikalahkan  oleh
penakluk baru. Kalau engkau membentji  seseorang  tentu engkau akan mentjintai orang  jang mendupaknja
keluar. Disamping itu, tuan-tuan kulitputih kita jang sombong dan mahakuat itu bertekuk-lutut setjara tidak
bermalu  kepada  suatu  bangsa  Asia.  Tidak  heran,  kalau  rakjat  menjambut  Djepang  sebagai  pembebas
mereka." 
Waworuntu, kawan baik dan kawanku jang sesungguhnja, jang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat tenang
kepadaku. 
,,Dan apakah Bung djuga menjambutnja sebagai pembebas ?
,,Tidak ! Saja tahu siapa mereka. Saja sudah melihat perbuatan mereka dimasa jang  lalu. Saja tahu bahwa
mereka  orang  Fasis.  Akan  tetapi  sajapun  tahu,  bahwa  inilah  saat  berachirnja  Imperialisme  Belanda.  Pun
seperti  jang  saja  ramalkan,  kita  akan  mengalami  satu  periode  pendudukan  Djepang,  disusul  kemudian
dengan menjingsingnja  fadjar  kemerdekaan,  dimana  kita  bebas  dari  segala  dominasi  asing  untuk  selama-
lamanja." 
Diseberang djalan kami lihat serdadu Djepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan. 
,,Lalu maksud Bung akan memperalat Djepang" tanja Waworuntu dengan tjepat.
Kami  terus  berdjalan.  Kami  tidak  dapat  berbuat  apa-apa.  ,,Sudah  tentu,"  djawabku  dengan  suara  redup.
,,Saja  mengetahui  semua  tentang  kekurang-adjaran  mereka.  Saja  mengetahui  tentang  kelakuan  orang
Nippon  didaerah  pendudukannja  —  tapi  baiklah.  Saja  sudah  siap  sepenuhnja  untuk  mendjalani  masa  ini
selarna  beberapa  tahun.  Saja  harus  mempertimbangkan  dengan  akal  kebidjaksanaan,  apa  jang  dapat
dilakukan oleh Djepang untuk rakjat kita." 
Kita  harus  berterimakasih  kepada  Djepang.  Kita  dapat memperalat mereka.  Kalau manusia  berada  dalam
lobang  Kolonialisme  dan  tidak mempunjai  kekuatan  jang  radikal  supaja  bebas  dari  lobang  itu  atau  untuk
mengusir pendjadjahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 91 dari 109
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata-kata itu nampak meresap dalam hatinja. 
,,Tjoba pikir, Bung," kataku, ,,Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan jang menjala-njala ini, —
ataupun perobahan ini sendiri — perlu sekali guna mentjapai tudjuan, untuk mana saja membaktikan seluruh
hidupku." 
Kami terus berdjalan, bungkem. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Kemudian kawanku memberikan
pendapat,  ,,Mungkin  rakjat  kita  akan  selalu  memandangnja  sebagai  pembebas  dan  tetap  tinggal  pro-
Djepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk melepaskan negeri kita dari tjengkeramannja." 
,,Tidak mungkin," djawabku menerangkan. ,,Pandirlah suatu bangsa pendjadjah kalau mereka mengimpikan
akan ditjintai terus atau mengchajalkan bahwa masjarakat jang terdjadjah akan tetap puas dibawah telapak
dominasinja. Tidak pandang betapa  lemah, mundur atau  lalimnja pendjadjah  jang  lama dan tidak pandang
betapa baiknja pendjadjah jang baru dalam tingkah-laku atau ketjerdasannja, maka rakjat jang sekali sudah
terdjadjah selalu menganggap hilangnja dominasi asing sebagai pembebasan. Inipun akan terdjadi disini." 
,,Kapan ini akan terdjadi ?" 
,,Kalau kita sudah siap," kataku ringkas. 
Aku  tidak mengadakan gerakan. Aku hanja menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan dari
daerah Padang datang kerumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinja. Berbitjara dalam bahasa Perantjis,
ia berkata, ,,Est-ce vous pouves parler Francais " 
,,Oui," djawabku. ,,Je sais Francais."
,,Je suis Sakaguchi," katanja.
"Bon," kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n'est-ce pas ?" 
,,Oui. Vous avez raison."
Menundjukkan  tanda-pengenal  resminja  ia  menerangkan,  ,,Saja  anggota  dari  Sendenbu,  Departemen
Propaganda." 
,,Apakah jang tuan kehendaki dari saja ?" aku bertanja dengan hati-hati. 
,,Tidak  apa-apa.  Saja  mengetahui  bahwa  saja  perlu  berkenalan  dengan  tuan  dan  begitulah  saja  datang.
Hanja itu. Saja datang bukan menjampaikan perintah kepada tuan." 
Sakaguchi  tersenjum  lebar. Agaknja  tidak perlu bagi  seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati
karena itu aku bertanja, ,,Mengapa tuan djustru datang kepada saja ?" 
,,Menemui  tuan  Sukarno  jang  sudah  terkenal  adalah  tugas  saja  jang  pertama.  Kami  mengetahui  semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang jang berpengaruh." 
,,Itukah sebabnja tuan menemui saja disini, dan bukan meminta saja datang kekantor tuan ?" 
,,Betul," ia membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinja. Tuan
Sukarno terkenal diseluruh kepulauan ini." 
,,Boleh saja bertanja dari mana tuan mendapat keterangan ini ?" 
,,Tuan  lupa,  tuan  Sukarno,  sebelum  perang  banjak  orang  Djepang  tinggal  disini  dan  banjak  jang  kembali
kesini dalam tentara Diepang." 
,,Oo." BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 92 dari 109
,,Kami mempunjai  djaring mata-mata  jang  paling  rapi.  Kami mengetahui  segala-galanja mengenai  semua
orang,  begitu  pula  tempat-tempatnja.  Segera  setelah mendudaki  Bengkulu  kami menjelidiki  dimana  tuan
berada. Tindakan kami, jang pertama-tama ialah untuk datang kepada tuan." 
,,Dan tindakan jang kedua ?" 
,,Mendjaga tuan." 
Ketika  tentara  Djepang  datang,  Padang  mengibarkan  bendera  Merah-Putih.  Rakjat  menjangka  mereka
,,dibebaskan". Setelah berabad-abad  larangan, sungguh menggetarkan hati menjaksikan bendera kami Sang
Merah-Putih  jang  sutji  itu  melambai-lambai  dengan  megahnja.  Akan  tetapi  tidak  lama,  segera  keluar
pengumuman  jang  ditempelkan  dipohon-pohon  dan  didepan  toko-toko,  bahwa  hanjalah  bendera Matahari-
Terbit  jang boleh dikibarkan. Serentak dengan kedjadian  ini,  jang  terasa  sebagai  suatu  tamparan, Djepang
menguasai surat-suratkabar. "Pembebasan" kota Padang tidak lama umurnja. 
Aku  pergi  kekantor  Sakaguchi  dan minta  agar  perintah  penurunan  bendera  itu  diundurkan.  ,,Perintah  ini
sangat  berat  untuk  kami  terima  dan  akan mempersulit  keadaan,"  kataku.  ,,Kalau  tidak  dilakukan  setjara
sebidjaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat jang serius untuk kedua belah pihak." 
Sakaguchi menundjukkan bahwa  ia mengerti persoalan  itu, akan tetapi memperingatkan. ,,Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknja djangan terlalu menunda-nunda hal ini." 
Ini adalah hari jang gelap bagi rakjat dan bagi Sukarno. Mula-mula aku pergi kemesdjid dan aku sembahjang.
Kemudian dalam  suatu  rapat aku menginstruksikan  kepada  saudara-saudaraku  tuntuk menurunkan bendera
sampai ,,datang waktunja dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri, bebas dari segala dominasi
asing." 
Setiap  bendera  turun  kebawah.  Aku  bentji  kepada  Hitler,  akan  tetapi  kedjadian  ini  dengan  tidak  sadar
mengingatkan  daku  pada  salah  satu  utjapannja:  Gross  sein  heisst  es  Massen  bewegen  können  Besarlah
seseorang jang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno jang berbitjara, mungkin
mereka  akan  berontak,  karena  terlalu  tiba-tiba  seperti  tersentak  dari  tidur  mereka  menjadari,  bahwa
putera-putera  dari  negara  Matahari-Terbit  bukanlah  pahlawan-pahlawan  sebagaimana  mereka  bajangkan.
Dan aku kuatir akan terdjadinja pemberontakan. Kami adalah  rakjat  jang tidak berpengalaman untuk pada
saat itu biasa menendang kekuatan jang terlatih baik seperti tentara Djepang. 
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbitjara dalam bahasa Perantjis. Berbulan-bulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. ,,Monsicur Sukarno," katanja
,,saja membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan." 
"Memohon?" aku mengulangi.
,,Oui, Monsieur. Memohon." 
Dari sikap kapten Sakaguchi  jang merendah djelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan mendjadi kenjataan.
Djepang akan mengusulkan agar supaja aku bekerdja dengan mereka. Komandan dari divisi jang kuat itu jang
memasuki  kota  Padang  dimalam  pendaratan  adalah  Kolonel  Fujiyama,  Komandan  Militer  kota  Bukittinggi.
Dialah jang minta disampaikan supaja ,,memohon" tuan Sukamo untuk datang. 
Tuan Sukarnopun datang. 
Kami berangkat dengan kereta-api dan dengan  tjepat  tersiar kabar, bahwa  Sukarno ada dalam kereta-api.
Mereka jang berada dalam gerbong kami menjampaikan kepada gerbong-gerbong jang  lain. Ketika berhenti
di  Padangpandjang  setiap  orang  dipelataran  stasiun  mulai  bersorak  memanggil  Sukarno.  Gerbong  kami
diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku didjendela dan berpidato dengan singkat untuk
menenangkan rakjat. Tak satupun dari ini jang tidak berkesan pada Sakaguchi. 
Djauhnja  satu  setengah  djam  perdjalanan  kekota  pegunungan  jang  sedjuk  itu.  Pusat  dari Minangkabau  ini
terkenal  dengan  bendinja  jang  riang-menjenangkan  dan  digunakan  sebagai  alat  angkutan  didjalanan  jang
mendaki. Dan  ia terkenal dengan rumah-adat bergondjong bewarna-warni, simbolik daripada seni-bangunan
Minangkabau.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 93 dari 109
Bukittinggi adalah kota jang sangat penting. Letaknja strategis, dan hanja dapat ditjapai dari tiga djurusan,
dan  letaknja  didaerah  pegunungan  itu  sedemikian,  sehingga  penduduknja  menguasai  semua  lalu-lintas
keluar-masuk.  Markas  Kolonel  Fujiyama,  gedung  besar  bekas  kepunjaan  seorang  Belanda  jang  kaja,  pun
terletak  setjara  strategis.  Letaknja  ketinggian  diatas  puntjak  Lembah  Ngarai,  sebuah  lembah  jang  dalam
dengan bukitnja jang tinggi pada kedua belah sisinja berbentuk dinding-batu terdjal dan gundul mendjulang
keatas. Dibawah, didalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai jang dengan seenaknja mentjari
djalannja sendiri. Disekeliling ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan menghidjau dengan  lebat. Kalau
orang  memandang  keluar,  dari  djendela  rumah  Fujiyama,  beribu-ribu  kaki  djauhaja  kebawah  terlihatlah
suatu pemandangan indah jang sangat mengagumkan. 
Disanalah aku mengadakan pertemuan jang sampai sekarang tidak banjak orang mengetahuinja, akan tetapi
sesungguhnja merupakan  pertemuan  jang maha-penting.  Pertemuan  jang  sangat  besar  artinja.  Pertemuan
jang menentukan strategiku selandjutnja selama peperangan. Pertemuan jang sampai sekarang memberikan
tjap kepadaku sebagai ,,kollaborator Djepang" 
Komandan  Fujiyama  berbitjara  dalam  bahasanja.  Didalam  ruangan  itupun  hadir  seorang  djurubahasa
berkebangsaan  Amerika  jang  dibawa  mereka  ke  Singapura.  ,,Tuan  Sukarno,"  kata  Fujiyama  sambil
menjilakanku  duduk.  ,,Peperangan  ini  bertudjuan  untuk membebaskan  Asia  dari  penaklukan  kolonialisme
Barat." 
Aku menjadari,  bahwa mereka  sedang menduga  isi  hatiku  dan  aku memilih  kata-kataku  dengan  hati-hati
sekali. Setiap patah kata jang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang-timbang dan mereka
udji. Aku mengetahuinja. ,,Orang Diepang mempunjai satu sembojan jang berbunji, 'Asia. Bebas'. 
Benarkah ini ?" tanjaku setelah beberapa saat. 
,,Ja, tuan Sukarno," sahutnja sambil menjodorkan rokok kepadaku. ,,Itu benar." 
Dengan  lamban  kuisap  rokok  itu  dan  kemudian  berkata  seperti  tidak  atjuh,  ,,Dan  apakah  tuan  bermaksud
hendak berpegang pada sembojan itu ?" 
,,Ja, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada sembojan itu," katanja memandang kepadaku dengan teliti. 
,,Jah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia ?" 
,,Tentu, tuan Sukarno." 
Aku menarik napas pandjang.  ,,Kalau demikian,  saja dapat menarik kesimpulan bahwa  tudjuan  tuan djuga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?" 
Belum sampai satu debaran djantung antaranja, ,,Ja, tuan Sukarno. Tepat sekali." 
Sementara  berlangsung  pembitjaraan  tingkat  tinggi  ini  seorang  pradjurit  Djepang  berperawakan  ketjil
beringsut  menjuguhkan  air  teh.  Sjarafku  sangat  tegang  dan  aku  mentjarik-tjarik  kuku  djariku,  suatu
kebiasaanku  kalau  sedang  gelisah.  Kami  menunggu  sampai  bunji  mangkok  teh  jang  gemerinting  tidak
terdengar  lagi.  Bahkan  setelah  pradjurit  itu  pergi,  bunji  gemerintjing  seolah-olah masih  sadja mengapung
diudara  jang  hening.  Setidak-tidaknja,  dalam  diriku.  Gigiku  dan  tulang-belulangku  semua  gemerintjing.
Hidup atau matinja tanah-airku tergantung kepada sukses atau tidaknja pembitjaraan ini. 
Setelah  dia  pergi,  Fujiyama  kemudian  melandjutkan.  ,,Didalam  rangka  pengertian  inilah  kami  ingin
mengetahui, apakah tuan mempunjai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon." 
,,Dengan tjara bagaimana ?" 
,,Dalam memelihara ketenteraman." 
,,Bolehkah  saja  bertanja,  bagaimana  tjaranja  saja  seorang  diri  dapat  memelihara  ketenteraman  untuk
tentara Djepang ?" 
Panglima  Tentara  ke  25  dari  Angkatan Darat  Keradjaan Djepang  ini  tersenjum.  Pada  tingkatannja mereka
banjak melakukan  seperti  ini.  ,,Kami mengetahui, bahwa Sukarno  sendirilah  jang menguasai massa  rakjat. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 94 dari 109
Karena itu, tjara jang paling mudah untuk mendekati rakjat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami bukanlah
untuk mendekati  rakjat  Indonesia  jang berdjuta-djuta. Tugas kami adalah untuk memenangkan  satu orang
Indonesia. Jaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakjat jang djutaan itu untuk kami." 
Sikapnja memperlihatkan dengan djelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Diluar, didjalanan  rakjat
kami  tidak  lagi  bersorak-sorai  begitu  keras menjambut  rakjatnja.  Kegembiraan  jang  pertama  sudah mulai
luntur.  Dia  tahu,  kalau  dia  berbalik  menentangku  dan  melukaiku  dengan  salahsatu  djalan,  kalau  dia
mentjoba-tjoba memaksaku, seluruh rakjat akan bangkit melawannja. Djepang memerlukan tenagaku dan ini
kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku untuk suatu revolusi. 
Ini  tidak  obahnja  seperti  permainan  volley.  Hanja  jang  dipertarungkan  itu  adalah  kemerdekaan.  Kolonel
Fujiyama  pertama  memukul  bola.  Sekarang  giliranku.  Tuhan,  aku  mendo'a  dalam  hati,  tundjukkanlah
kepadaku, djalan jang benar. 
,,Nah,"  kataku.  ,,Sekarang  saja mengetahui  apa  jang  tuan  inginkan,  saja  kira  tuan mengetahui  keinginan
saja." 
,,Tidak, tuan Sukarno, saja tidak tahu. Apakah sesungguhnja jang dikehendaki oleh rakjat Indonesia.?" 
,,Merdeka." 
,,Sebagai  seorang  patriot  jang  mentjintai  rakjatnja  dan  menginginkan  kemerdekaan  mereka,  tuan  harus
menjadari  bahwa  Indonesia  Merdeka.hanja  dapat  dibangun  dengan  bekerdja-sama  dengan  Djepang,"  ia
membalas. 
,,Ja,"  aku  mengangguk.  ,,Sekarang  sudah  djelas  dan  terang  bagi  saja  bahwa  tali-hidup  kami  berada  di
Djepang ............... Maukah pemerintah tuan membantu saja untuk kemerdekaan Indonesia?" 
,,Kalau  tuan mendjandjikan  kerdja-sama  jang mutlak  selama masa  pendudukan  kami,  kami  akan  berikan
djandji jang tidak bersjarat untuk membina kemerdekaan tanah-air tuan." 
,,Dapatkah  tuan  mendjamin  bahwa,  selama  saja  bekerdja  untuk  kepentingan  tuan,  saja  djuga  diberi
kebebasan bekerdja  untuk  rakjat  saja dengan pengertian, bahwa  tudjuan  saja  jang  terachir  adalah disatu
waktu...............  dengan  salah-satu  djalan  ..............  membebaskan  rakjat  dari  kekuasaan  Belanda  —
maupun Djepang ?" 
,,Kami mendjamin. Pemerintah Djepang tidak akan menghalang-halangi tuan." 
Aku memandang kepadanja. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi-hati satu sama lain. 
,,Djadi, tuan Sukarno," ia melandjutkan menjatakan pengakuannja dengan hati-hati. ,,Saja seorang penguasa
pemerintahan. Negeri  tuan adalah  suatu bangsa dengan  latar kebudajaan,  keturunan, agama dan berbagai
adat kebiasaan Djawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melaju, Polynesia, Tiongkok, Filipina, Arab dan
lain-lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ketempat lain sukar. Tugas saja adalah untuk
mengendalikan  daerah  ini  dalam  keadaan  tertib  dan  lantjar  dengan  segera.  Tjara  jang  paling  tepat  ialah
dengan  memelihara  ketenteraman  rakjat  dan  mendjalankan  segala  sesuatu  dengan  harmonis.  Untuk
mentjapai tudjuan ini, kepada saja disampaikan bahwa saja harus bekerdja dengan Sukarno. Sebaliknja saja
mendjandjikan kerdja-sama jang resmi dan aktif didalam bidang politik." 
Mau tidak mau aku harus mempertjajai orang  jang berperawakan ketjil  ini, oleh karena aku melihat kuntji
persoalan  ada  ditangannja.  ,,Baiklah,"  kataku.  ,,Kalau  ini  jang  tuan  djandjikan,  saja  setudju.  Saja  akan
berikan  bantuan  saja  sepenuhnja.  Saja  akan  mendjalankan  propaganda  untuk  tuan.  Tapi  hanja  kalau  ia
berlangsung  menurut  garis  menudju  pembebasan  Indonesia  dan  hanja  dengan  pengertian,  bahwa  sambil
bekerdja-sama dengan tuan sajapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakjat saja." 
,,Setudju," katanja. 
,,Djuga dengan pengertian bahwa djandji, dalam mana saja tetap tidak dikekang dalam usaha saja jang tidak
henti-hentinja  untuk  nasionalisme,  tidak  hanja  diketahui  oleh  tuan  sendiri melainkan  djuga  oleh  seluruh
Komando Atasan."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 95 dari 109
,,Pemerintah  saja  tentu  akan  diberitahu mengenai  hal  itu.  Diatas  dasar  inilah  kita  bekerdja-sama,  saling
bantu-membantu satu sama lain." 
Sebagai  kelandjutan  dari  pertemuan  jang  bersedjarah  ini  jang  berlangsung  selama  dua  djam,  mereka
menjadjikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mentjobanja. Dan rasanja enak sekali, kukira. 
Keinginan mereka untuk bersikap  ramah-tamah  tidak berachir  sampai disini  sadja. Aku  tidak disuruh pergi,
melainkan  ditanjai  kapan  bermaksud  hendak  pulang.  ,,Setelah menundjukkan  bahwa  aku  sudah  siap,  aku
diiringkan  sampai  diluar.  Disana  Sakaguchi  memandangku  dengan  muka  berseri,  ,,Izinkan  kami  untuk
menjediakan kendaraan untuk tuan," dan menundjuk kearah sebuah mobil Buick hitam berkilat. 
Kendaraan  seperti  ini  tidak  banjak  terdapat  di  Bukittinggi,  djadi  ini  sudah  pasti  diambil  dari  seorang
saudagar  kaja  dan  dimanapun  ia  berada  disaat  ini,  tentu  ia  tidak  dapat  melakukan  perdjalanan  pakai
kendaraan. 
,,Buick  ini  adalah  untuk  tuan,"  Sakaguchi membungkuk  dengan  hormat,  ,,Diserahkan  kepada  tuan  selama
tuan menghendakinja." 
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh-sungguh bangga.  Inilah aku, baru sadja  lepas dari pembuangan,
sebuah Buick jang tjantik menantikanku. Sudah tentu  ia tidak ada bensin.  Isinja hampir tidak tjukup untuk
dilarikan  ke  Padang.  Mereka  telah  memberikan  kehormatan  kepadaku,  mereka  memberiku  makan  dan
mereka telah memberiku kendaraan — akan tetapi tidak ada bensin. 
Kawan-kawan — dan mereka  jang bukan  kawanku,  akan  tetapi  jang  kuharapkan dapat memahami  Sukarno
lebih  baik  setelah  membatja  buku  ini  —  ini  adalah  pertamakali  aku  mentjeritakan  kisahku  tentang
bagaimana,  bilamana  dan  dimana,  dan  mengapa  aku  mengambil  keputusan  untuk  menjeret  diriku
berdampingan dengan Djepang. Boneka............... pengchianat ............... aku tahu semua kata-kata itu.
Akan  tetapi  djika  tidak  dengan  sjarat,  bahwa mereka  turut membantu  dalam  usaha mentjapai  kebebasan
negeriku,  aku  pasti  takkan  melakukannja.  Sampai  kepada  detik  ini  hal  ini  tak  pernah  diterangkan
sebagaimana mestinja. Dunia  luar  tidak mengerti. Mereka hanja  tahu Sukarno  seorang collaborator. Bagiku
untuk menuntut  lebih  banjak  lagi  kebebasan-kebebasan  politik,  aku  terpaksa mengerdjakan  berbagai  hal
jang  merobek-robek  djantungku.  Dengan  hati  jang  berat  aku  melakukannja.  Kalau  aku  tidak  menepati
djandjiku, mereka tidak akan menepati djandji mereka pula. 
Disuatu  pagi  Sakaguchi  datang  kepadaku.  Dia  menjenangkan,  akan  tetapi  keras.  ,,Kami  menghadapi
persoalan  beras  jang  rumit,"  katanja  dengan  berkerut.  ,,Nampaknja  beras  di  Padang  susah.  Sebenarnja
hampir  tidak  ada.  Saja memberi  peringatan  kepada  tuan,  kalau  orang  Djepang  tidak  dapat  beras,  orang
Indonesia tidak akan dapat apa-apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari orang-
orang  jang  mengendalikannja,  oleh  karena  tindakan  ini  akan  menimbulkan  kekatjauan  dan  bertentangan
dengan tjara kerdja-sama  jang kita usahakan. Setidak-tidaknja tjara  jang baik,  jang sampai sekarang telah
kita  tjoba  untuk melakukannja.  Tentu  ada  djalan  lain,  tuan  Sukarno,  karena  saja  jakin  tuan mengetahui.
Saja menjarankan, supaja tuan mendesak rakjat kepala-batu agar berpikir sedikit." 
Aku  segera minta  bantuan  saudagar-saudagar  beras.  Kuterangkan,  bahwa  aku memerlukan  sekian  ton  dan
segera  !  Jah,  selama  masih  Sukarno  jang  memintanja,  aku  memperolehnja.  Sebanjak  jang  kuminta  dan
setjepat  jang  kuingini.  Memenuhi  permintaanku  berarti  memetjahkan  persoalan  setiap  orang.  Djepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan. 
Suatu  krisis  jang  lain  ialah mengenai  kehidupan  seks  dari  para  pradjurit  Djepang.  Rupanja mereka  tidak
memperoleh apa-apa selama beberpa waktu. Ini adalah semata-mata persoalan mereka, akan tetapi mereka
berada  ditanah-aiiku.  Perempuan  jang  mereka  inginkan  untuk  dirusak  adalah  perempuan-perempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang jang ta'at beragama. Perempuannja dididik dan dibesarkan dengan hati-
hati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, ,,Kalau anak buah tuan mentjoba-tjoba berbuat sesuatu dengan
anak-anak gadis kami, rakjat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra." 
Aku menginsjafi, bahwa aku  tidak dapat membiarkan  tentara Djepang bermain-main dengan  gadis Minang.
Dan  akupun  menginsjafi,  bagaimana  sikap  Djepang  kalau  persoalan  ini  tidak  dipetjahkan,  dan  aku  akan
dihadapkan pada persoalan jang lebih besar lagi. 
Kuminta pendapat seorang kiai. ,,Menurut agama Islam," kataku memulai, ,,Laki-laki tidak boleh bertjintaan
dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininja. Ini adalah perbuatan dosa."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 96 dari 109
,,Itu benar," katanja. 
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengutjapkan maksudku, karena  itu aku berpikir sebentar,
lalu berkata, ,,Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?" 
,,Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin," protes orang alim itu dengan kaget. 
Kemudian kubentangkan  rentjana  itu.  ,,Semata-mata  sebagai  tindakan darurat, demi nama baik anak-anak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saja bermaksud hendak menggunakan lajanan dari para pelatjur
didaerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinja dan tidak akan menoleh untuk
merusak anak gadis kita." 
,,Dalam  keadaan-keadaan  jang  demikian,"  kata  orang  alim  itu  dengan  ramah,  ,,sekalipun  seseorang  harus
membunuh, perbuatannja tidak dianggap sebagai dosa." 
Dengan berpegang kepada djaminan  ini, bahwa  rentjanaku  tidak akan ditafsirkan  sebagai dosa  jang besar,
maka  aku  mendatangi  para  pelatjur.  ,,Saja  tidak  akan  menjarankan  saudara-saudara  untuk  melakukan
sesuatu  jang  bertentangan  dengan  kebiasaanmu,"  aku  menegaskan,  ,,akan  tetapi  rentjana  ini  sedjalan
dengan pekerdjaan saudara-saudara sendiri." ,,Saja dengar, Djepang kaja-kaja dan rojal dengan uang," salah
seorang  tertawa gembira, nampaknja  senang dengan usulku  ini.  ,,Benar," aku menjetudjui.  ,,Mereka djuga
punja djam tangan dan perhiasan lainnja." 
,,Saja  menganggap  rentjana  ini  saling  menguntungkan  dalam  segala  segi,"  ulas  perempuan  jang  djadi
djurubitjara.  ,,Tidak  hanja  kami  akan  mendjadi  patriot  besar,  tapi  ini  djuga  suatu  perdjandjian  jang
menguntungkan." 
Kukumpulkanlah 120 orang disatu daerah jang terpentjil dan menempatkan mereka dalam kamp jang dipagar
tinggi  sekelilingnja.  Setiap  pradjurit  diberi  kartu  dengan  ketentuan  hanja  boleh mengundjungi  tempat  itu
sekali dalam seminggu. Dalam setiap kundjungan kartunja dilobangi. Barangkali tjerita ini tidak begitu baik
untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknja tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk
menjerahkan  perempuan.  Memang,  aku mengetahui  satu  perkataan  untuk memberi  nama  djenis manusia
seperti itu. Akan tetapi persoalannja sungguh-sungguh gawat ketika itu, jang dapat membangkitkan bentjana
jang  hebat.  Karena  itu  aku mengobatinja  dengan  tjara  jang  kutahu  paling  baik.  Hasilnjapun  sangat  baik,
kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rentjana itu. 
Oleh  karena  Djepang  memerlukan  tenagaku  untuk  memetjahkan  setiap  persoalan  pemerintahan,  mereka
senantiasa berusaha supaja aku tidak kekurangan apa-apa. Fujiyama menawarkan apa sadja. Semua tawaran
kutolak. Aku menerima hanja jang perlu-perlu sadja. 
Tugasku dalam menghubungi rakjat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masjarakat jang djauh-djauh.
Dalam mengadakan perdjalanan keliling  ini sudah tentu aku memertjikkan harapan-harapan kepada kepala-
kepala  setempat.  Dan  kepada  rakjat.  Dan  menghidupkan  kesadaran  nasional  mereka  untuk  hari  depan.
Perdjalanan ini memerlukan bensin. 
Fujiyama dalam waktu-waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi duaratus liter. Diapun memberikan
kartu  pandjang  jang  ditjoret-tjoret  dalam  bahasa  Djepang  dengan  memberikan  keterangan,  kalau  pergi
ketempat ini-ini dan didjalan ini-ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku mendjaga,
agar  meminta  tidak  lebih  daripada  jang  diperlukan.  Seringkali  orang-orangku  masuk  duapuluh  kilometer
kedaerah pedalaman untuk mentjari gudang bensin  jang disembunjikan oleh Belanda. Aku mentjoba  setiap
sesuatu dan segala sesuatu supaja tidak bergantung lebih banjak kepada Djepang. Tidak lupa Fujiyama setiap
kali bertanja, ,,Apakah tuan Sukarno memerlukan uang ?" 
Dan  kudjawab  dengan,  ,,Tidak,  terimakasih.  Rakjat  memberikan  segala-galanja  kepada  saja.  Ketika  saja
sakit baru-baru ini, tersebarlah berita kepada rakjat. Didjalan-djalan terdengarlah rakjat meneruskan berita
dari  jang  satu kepada  jang  lain,  'Hee,  tablet calcium Bung Karno  sudah habis. Dia memerlukan  lagi. Tjoba
tjarikan.' Dan dalam waktu satu djam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku. 
,,Darimana diperolehnja ?" dia bertanja tak-atjuh. 
,,Saja  tidak  tahu,"  djawabku  tak-atjuh  pula.  Jang  tidak  kusampaikan  kepadanja  ialah,  bahwa  di  Padang
banjak  orang  Tionghoa  punja  toko  jang  bisa mentjarikan  apa  sadja  kalau mereka mau.  Dan  kalau  untuk
Sukarno mereka mau.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 97 dari 109
,,Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal jang lain ?" 
Dan  aku  mendjawab,  ,,Tidak,  terimakasih.  Saja  tinggal  dirumah  Waworuntu  tidak  membajar.  Rumah  itu
tjukup buat kami. Saja tidak memerlukan perlakuan jang istimewa." 
,,Bolehkah saja membantu tuan dengan adjudan sebagai pembantu tuan ?" 
,,Tidak  usah,  terimakasih.  Bangsa  lain  tidak  dapat memahami  tjara  bantuan  kami  jang  diberikan  dengan
sukarela, namun  itulah tjara kami. Saja mempunjai  lebih dari tjukup tenaga pembantu." Seorang wartawan
setempat mendjadi  supirku. Namanja  Suska.  Suska,  ketika  buku  ini  ditulis,  adalah  Dutabesar  Indonesia  di
India. Seorang  lagi  jang pernah mendjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia  setjara  sukarela
untuk memberikan  tenaga  tanpa bajaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerdja  sebagai  sekretaris penuh
tanpa gadji. 
Karena ia tidak dapat membudjukku ketjuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian, menanjakan
kepada jang lain-lain apa jang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaja mendjawab, ,,Terimakasih, Bung
Karno tidak memerlukan apa-apa. Rakjat memberikan apa sadja jang diperlukannja." 
Aku  tidak  banjak  minta,  djadi  kalau  menuntut  sesuatu  biasanja  aku  memperolehnja.  Dan  tidak  lama
kemudian  aku mau  tidak mau memulai dengan  tuntutan. Tanggal  1 Maret Djepang menjerbu  pulau Djawa
dengan  tjara  jang  sama  seperti  Sumatra  :  Belanda  lari  puntang-panting.  Djepang  sekarang  berkuasa  atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka. 
Sebagai  balasannja  mulailah  timbul  kegiatan  gerakan-bawah-tanah  dari  para  nasionalis  jang  sangat  anti
Djepang. Beberapa orang  jang  terlibat dalam  sabotase dan permusuhan  setjara  terang-terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia jang sangat ditakuti. Salahsatu dari jang malang ini kukenal baik. Namanja Anwar. Orang
ini  disiksa.  Kenpeitai  ingin  mendjadikannja  sebagai  tjontoh  perbuatan  djahat,  oleh  karena  dialah  orang
subversif jang pertama-tama ditangkap, Djepang mentjabut kuku djarinja. 
Aku  tjepat-tjepat  pergi  ke  Bukittinggi  dan  menjimpan  tasku  dirumah  Munadji  seorang  kawan,  dan  pergi
menemui  para  pembesar.  Sementara  itu  pentjuri memasuki  rumah  Munadji  dan melarikan  barangku  jang
sedikit  itu,  karena  aku  tidak pernah punja barang banjak. Melajanglah  tasku  itu, didalamnja  kalung  emas
kepunjaan Inggit dengan liontin pakai berlian. 
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanja untuk menerima barang itu
tanpa bajaran. Di Bukittinggi, mereka hanja mau memberikan dan tidak mau menerima sesuatu dariku. Djadi
polisi menduga,  pentjuri  itu  tentu  orang  pendatang. Mendjalarlah  dari mulut  kemulut  bahwa  Bung  Karno
mendjadi  korban  pentjurian  dan  dua  hari  kemudian  harta  itu  kembali  setjara  adjaib.  Untuk menghindari
hukuman, sipentjuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim untuk menjembunjikan
barang  itu  disudut  sebidang  sawah,  setelah  mana  orang  alim  itu  harus  pergi  kesana  untuk  mendo'a  dan
..............lihat ! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kedjadiannja . 
Dua  hari  telah  berdjalan  aku  kembali memperdjoangkan  persoalan  Anwar  kepada  Djepang.  Kataku,  ,,Saja
kenal baik kepadanja. Selama tuan menepati djandji untuk kerdja-sama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia  dan  orang-orang  nasionalis  jang  lain  tidak  akan  berkomplot menentang  tuan.  Dia  hanja  salah  terima
mengenai  penurunan bendera Merah-Putih dan peristiwa-peristiwa  lain jang terdjadi sebagai pertanda dari
pemutusan djandji tuan. Dia tidak bermaksud apa-apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannja,
saja  jakin  saja dapat menggunakan  tenaganja dengan baik.  Saja  sendiri memberikan djaminan  akan djiwa
patriotismenja." 
Dua djam setelah kundjungan jang kedua ini mereka melepaskannja. 
Bab 19
Pendudukan Djepang
SEMENTARA itu Djendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan jang bermarkas-besar di Djakarta,
memerintahkan  agar  para  pemimpin  bangsa  Indonesia membentuk  suatu  badan  pernerintahan  sipil,  akan
tetapi mereka keberatan dengan alasan, ,,Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 98 dari 109
Imamura  lalu mengirim  surat  kepada  Kolonel  Fujiyama  dan menjatakan  "Sebagian  besar  daripada  tentara
pendudukan beserta pimpinan. Jang mengendalikan  tentara  ini berada di Djawa. Tugas pemerintahan  jang
sesungguhnja  ada  disini  dan  ternjata  urusan  sipil  tidak  berdjalan  dengan  baik.  Kami  sangat  memerlukan
bantuan dari orang jang paling berpengaruh." Surat itu achirnja menjimpulkan, ,,Ini adalah perintah militer
supaja memberangkatkan Sukarno." 
Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku
ke Djakarta, hatiku menari-nari gembira. Semendjak pendaratan Djepang di Padang empat bulan  jang  lalu
aku  mendo'a  agar  dapat  kembali  kepulau  Djawa  jang  tertjinta,  akan  tetapi  aku  tidak  tahu  bagaimana
tjaranja  memenuhi  keinginan  hati  ini.  Sekaranglah  Tuhan  mendengarkan  do'aku  dan  memerintahkanku
kembali. 
Dekat Palembang kami  terlibat dalam  suatu ketjelakaan. Dua buah kendaraan. Djepang dengan ketjepatan
jang  penuh  bertabrakan  dihadapan  kami.  Satu  dari  kendaraan  itu  adalah  sebuah  djip.  Itulah  pertamakali
dalam hidupku aku melihat djip. Kendaraan  jang  satu  lagi  sebuah  truk besar. Kedua perwira. didalam  truk
itu tergontjang, akan tetapi tidak apa-apa selain dari babak-belur sedikit. Dengan memberanikan diri mereka
tjepat-tjepat  lari  meneruskan  perdjalanan.  Djip  itu  hantjur  samasekali.  Penumpangnja,  seorang  kapten,
mendapat  luka  parah.  Adjudannja  terpelanting  kepinggir  djalan  dan  hanja  pusing  dan  terbaring  dibawah
sebatang  kaju.  Sewaktu  dia  sadar  lagi  dia  menjatakan  kepada  kami,  ,,Kami  perlu  segera  sampai  di
Palembang. Saja bawa Buick ini." 
,,Tapi,"  protesku,  ,,Ini  milik  saja.  Komandan  daerah  ini  memberikan  izin  istimewa  kepada  saja."
Kutundjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinja." 
Sebagian  dari  ,,pertjakapan"  ini  kami  lakukan  dengan  gerak.  Sekalipun  melihat  surat  itu,  adjudan  itu
menghormat dengan kaku, mengutjapkan sesuatu seakan dia berkata, ,Ini urusan penting. Ma'af sadja." Lalu
dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar didjalanan itu. Polisi Militer jang
segera  datang  ketempat  ketjelakaan  ini  mengerti  tanda-tanda  pengenalku.  Kendaraan  selandjutnja  jang
kebetulan  lewat  adalah  sebuah  truk.  Sertamerta  kendaraan  itu  disita  dan  kami  meneruskan  perdjalanan
dengan meninggalkan pemiliknja dipinggir djalan itu. 
Kami menambah  dua  orang  penumpang  lagi.  Seorang  Indonesia  jang  terbanting  dari  atas  truk  besar  tadi
menggeletak  disemak-semak,  mukanja  tertelungkup  ketanah  bermandi  darah  jang  menggenang.  Ia  sudah
tidak  bernjawa  lagi.  Aku  tidak  dapat meninggalkan  orang  jang malang  itu  ditengah  hutan,  dikelilingi  oleh
muka-muka masam. Dengan mengangkat majat jang berlumuran darah keatas truk, aku membawanja untuk
dikuburkan sebagaimana mestinja. Jang seorang  lagi adalah pradjurit Djepang, ditugaskan untuk membawa
kami. Inggit disuruh duduk disebelahnja. Penumpang  lain dibelakang, Satu-satunja kesukaran jang kuhadapi
ialah  mengenai  Inggit  jang  tidak  mau  duduk  disebelah  Djepang.  Achirnja  aku  menjelesaikannja  dengan
meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua diantara Inggit dan pradjurit itu. 
Sesampai  di  Palembang  aku  menghadapi  kesukaran  jang  lebib  banjak.  Para  pembesar  disana  tidak
mengizinkan  kami meneruskan  perdjalanan  ke  Djakarta  sebagaimana  instruksi  jang  telah  kuterima. Orang
jang bertugas menolakku dengan utjapan singkat, ,Dilarang bepergian antara Sumatra dan Djawa. 
,,Tentu  ada  kekeliruan  pengertian  dalam  hal  ini,"  aku  memberi  alasan.  ,,Perintah  ini  saja  terima  dari
komandan atasan saudara sendiri." 
,,Sekarang, ini tidak ada perdjalanan orang preman antara Sumatra dan Djawa," dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menjuruhku pergi. 
Ketika  aku  bertahan  terus  dia menekan  knop  dan  aku  dihadapkan  kemarkas  Kenpetai  jang menjeramkan.
Kenpeitai memutuskan  untuk mengadakan  pemeriksaan  terhadap  diriku.  ,,Kami memerlukan  lebih  banjak
keterangan  tentang  diri  tuan,  tuan  Sukarno,"  kata  seorang  perwira  berperut  buntjit  melengking,  sambil
mempermainkan  pedang  Samurai  ditangannja.  ,,Kami  mendapat  keterangan  dari  saluran-saluran  kami,
bahwa tuan orang jang tidak baik, hatinja tidak bersih terhadap kepentingan kami." 
,,Tidak benar," aku mendengus  tidak  sabar.  ,,Saja dapat membuktikan  , ketidak-benaran keterangan   itu."
Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik  jang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat
digunakan dalam keadaan-keadaan seperti ini. Dia membatja pelahan-lahan. Kemudian diulangnja membatja
sekali  lagi.  Dan  setjarik  karton  berwama  putih  inilah  jang  menjelamatkan  djiwaku.  Namun  persoalan
pengangkutan  tidaklah  dipertjepat.  Sekarang  dia  minta  bantuanku  lagi  untuk  menjelesaikan  persoalan
setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 99 dari 109
Sibuntjit telah menjarungkan kembali pedang Samurainja. Sambil tersenjum dia berkata, ,,Kalau betul tuan
orang baik dan dengan maksud-maksud baik, saja minta tuan mengundurkan keberangkatan dan membantu
kami mengatasi kesukaran-kesukaran disini jang disebabkan oleh rakjat tuan jang pandir. 
Dia  duduk  dipinggir medja.  Aku  dikorsi.  Kami  berhadap-hadapan  dan  pada  djarak  jang  dekat mukanja  itu
menarik  sekali  untuk  dipeladjari. Mulutnja  tersenjum,  akan  tetapi matanja  tidak.  ,,Lebih  baik  kami  tidak
menahan  tuan dengan paksa,  tuan  Sukarno," dia mendesis.  ,,Akan  saja bantu dengan  apa  jang dapat  saja
berikan," djawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain jang dapat diutjapkan dalam suasana
demikian itu. 
Orang Djepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku melakukan
satu  hal  jang  tidak mereka  senangi  samasekali.  Akan  tetapi  sebaliknja mereka  lalu melakukan  banjak  hal
jang  tidak  kusukai  djuga.  Aku  telah menjaksikan  perbuatan-perbuatan  kurang-adjar  dan memuakkan  dan
menjampaikan  hal  ini  kepada mereka.  Kukatakan  kepada  Sibuntjit,  "Seringkali  saja  Iihat  anak-buah  tuan
terlalu mudah melajangkan  tangan. Dengan mata  kepala  saja  sendiri  saja menjaksikan mereka  berkalikali
menampar orang Indonesia." 
Aku  menahan  napas  dan  berhenti,  akan  tetapi  Sibuntjit  hanja  memandang  kepadaku,  dengan  sombong
mengajun-ajunkan kakinja  -  setiap kali hampir-hampir mengenai kakiku  - dan menantikan utjapanku untuk
memberikan  kesimpulan.  ,,Pukulan-pukulan  terhadap  rakjat  kami  ini harus dihentikan.  Ini bukanlah djalan
untuk mentjiptakan persahabatan dan membangkitkan kepertjajaan  rakjat," aku menegaskan.  ,,Kalau  tuan
menghendaki kerdjasama dari saja jang baik, tuan hendaknja memperlihatkan kerdjasama pada saja." 
,,Itu  keliru,"  katanja memberungut.  ,,Kelakuan  buruk  ini  dilakukan  oleh  pradjurit-pradjurit  Korea.  Orang
Korea  terkenal  dengan  sifatnja  jang  gatal  tangan.  Pradjurit-pradjurit  Djepang  sikapnja  djauh  lebih  baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu." 
,,Komandan," kataku. ,Orang Indonesia jang kena pukul tidak membedakan siapa jang bertindak itu. Soalnja
ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan ? Dan tidak dilakukan oleh siapapun ?" 
,,Baik,  tuan  Sukarno,  tuan  dapat memegang  perkataan  saja.  Para  Komandan  Bataljon  akan  diperintahkan
supaja segera menghentikan perbuatan lantjang tangan ini." Sedjak itu sikap mereka berobah. 
Sebulan  kemudian  mereka  membebaskanku  untuk  berangkat,  akan  tetapi  tentara  Djepang  di  Palembang
hanja  mempunjai  sebuah  kapal,  jaitu  sebuah  perahu-motor  dengan  mesin  caterpillar.  Perahu  jang  akan
mengarungi  lautan  ini  pandjangnja  delapan meter,  sedangkan  penumpangnja  terdiri  dari  seorang  kapten,
dua pradjurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang-barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu dan
Ketuk Dua. Aku mentjoba untuk mengusahakan  kapal  jang  lebih besar,  akan  tetapi  kepadaku disampaikan
supaja  kami  menunggu.  Jah,  menunggu.  Aku  sudah  lima  setengah  bulan  lamanja  menunggu  di  Sumatra.
Tjukuplah  itu.  Sekalipun  kapal  itu  sama-sekali  tidak memenuhi  sjarat  sebagai  kapal  laut,  akan  tetapi  ini
adalah kesempatan pertama jang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus kupergunakan. 
Empat hari empat malam  lamanja kami terkatung-katung ditengah  lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap
detik dan  setiap menit  angin  laut dan  kabut-air menjapu muka bumi  selama duapuluh empat djam dalam
sehari. Pelajaran  ini djauh daripada menjenangkan. Ketika  kami melalui  Selat Bangka membadailah  topan
jang  keras  dan  kami  harus menahankannja  diatas  perahu  jang  terbuka,  tanpa  setjarikpun  alat  pelindung.
Kemudian  perahu-motor  kami  hampir  terbalik  karena menubruk  pulau-karang  jang  rendah.  Lagi  pula  aku
gelisah menghadapi tantangan-tantangan ini, oleh karena aku tak pernah beladjar berenang. Dimasa mudaku
sportku dalam air hanja memakai ban dalam jang dipompa, lalu duduk didalamnja dan mentjebur-tjebur. 
Kami  membawa  sajuran  jang  telah  dimasak,  ikan  kering  dan  persediaan  lainnja  dalam  stoples  dan  nasi
seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Jang masuk kedalam perutku hanjalah air djeruk sedikit. Aku
terlalu mabuk,  sehingga  kukira  aku  akan mati. Kapal  ketjil  kami melambung  keatas dan dihempaskan  lagi
oleh gelombang kebawah, tergontjang, mengoleng-oleng dan berpusing-pusing. Dan aku putjat seperti majat
selama empat hari itu. 
Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak-ngentak, matahari membakarku angus, kabut
air-laut membikin  bibirku  petjah-petjah,  perutku  lapar  dan  badan  lemah  -  ach,  peduli  amat  !  Bukankah
sekarang  aku  pulang  ?  Aku  sekarang  kembali  ke  Djawa.  Karena  sangat  bersjukur  dapat  kembali  dalam
keadaan  hidup  dan  selamat,  kusumbangkan  seluruh  milikku  kepada  kapten  itu  semuanja!  Ini  adalah
permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainja dengan kesegaran baru.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 100 dari 109
Lintasan pertama dari tanahku jang tertjinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Djawa. Hari
sudah  sore dan panas  ketika  kami menderum-derum melalui  iring-iringan perahu-lajar penangkap-ikan dan
sampan-sampan  nelajan  jang  berbau  hanjir.  Melewati  perairan  diluar  aquarium  jang  dibuat  didok  dan
memasuki  pelabuhan  Pasar  Ikan  jang  sempit,  dimana  hampir  tidak mungkin  dua  buah  perahu  berpapasan.
Pasar  ikan penuh  sesak dengan  tempat pendjualan hasil dari  laut. Airnja  kotor. Daun-daunan,  kepala  ikan
dan  sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau hanjir dari  ikan mati memenuhi udara,  sekitar  itu. Akan
tetapi,  ketika  aku  dibantu  melangkahkan  kaki  ketangga  batu  jang  membawaku  keatas  daratan,  aku
berbitjara dalam hatiku, ,,Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat jang lebih indah
seumur  hidupku."

Didarat tak seorangpun jang datang mendjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang nelajan
untuk menghubungi bekas  iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengatjara  jang membelaku dulu di Bandung,
jaitu Sartono, dan Hatta jang djuga berada di Djakarta. Diudjung darmaga tampak sebuah kantor-emperan.
Pradjurit  pendjaganja  mempersilakanku  masuk  dan  menjuruhku  duduk.  Dan  kududuklah  disitu.  Aku
menunggu. 
Anwar  jang pertama datang. Tuhan melindunginja. Dia datang berlari dengan mata berlinang-linang. Kami
berpelukan  dan mentjium  satu  sama  lain  tanpa mempedulikan  sekitar  kami.  Pertemuan  ini  tidak  diiringi
dengan pukulan punggung  jang keras. Suasananja menggambarkan perasaan  sjukur  jang diutjapkan dengan
tidak  bersuara.  Hanja  airmata mengalir  kepipi  kami.  Seperti  kukatakan,  kami  tidak  banjak mengutjapkan
kata-kata.  Kami  tidak  sanggup  mengeluarkannja.  la  tidak  bisa  lewat  dari  kerongkongan.  Sebaliknja  ia
mentjutjur dari mata kami. 
,,Bagaimana kabamja Harsono ?" tanjaku, suaraku berobah karena terharu. 
,,Baik." 
,,Utari ?" 
,,Semua baik. Jang lebih penting lagi saja menanjakan bagaimana keadaan Bung Karno." 
,,Akupun baik." 
Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama  lain pada djarak satu  lengan. Didepannja  ia
lihat  sekarang  seorang  laki-laki  jang  letih  dan  kurus,  pakai  djas  putih  jang  lapang  dan  tjelana  tidak
berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan djaman. la adalah buatan Darham, pendjahit dari Pulau Bunga jang
tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan. 
Anwar  memakai  djas  kuning-gading  dengan  potongan  ,,doublebreast".  Setelah  aku  menjeka  pipi  dan
mentjium tanah dibawahku, lalu menggosok mataku untuk mejakinkan apakah jang berdiri didepanku betul-
betul Anwar, bukan-pajangan, aku kemudian kembali pada kenjataan. Kuraba-raba djasnja.  ,Djasmu bagus
sekali potongannja," aku memudji. 
,,Bikinan De Koning," ia melagak. 
Pendjahit paling terkenal di Djakarta diwaktu Belanda. !Bagaimana kau membajarnja ?" 
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti tjorong kemulutnja dan berbitjara  langsung ketelingaku. ,,Saja
masuk dari pintu belakang. Ongkosnja terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan  jang bekerdja sebagai
pendjahit-pembantu ditoko De Koning." ,,Apa dia mau kira-kira membikinkan untukku ?" ,,Tentu mau. Kalau
Bung Karno sudah senggang sedikit, saja bawa kesana." 
Seringkali  generasi muda menukil  kembali utjapan-utjapan  jang abadi dan  jang akan hidup  terus. Utjapan
jang  keluar  dalam  detik-detik  jang  besar  didalam  sedjarah.  Utjapan  jang  akan  menggeletarkan  tulang
sumsum, utjapan jang membangkitkan semangat, utjapan jang dituliskan dengan kata-kata indah seperti ini
disaat  pertemuan  kami.  Akan  tetapi  sajang,  ketika  kami  bertemu  dan  setelah  aku  menanjakan  tentang
keadaan  Anwar  beserta  keluarganja,  pokok  persoalan  selandjutnja  jang  kutanjakan  kepadanja  hanjalah
mengenai  tukang  djahitnja.  Diminggu  itu  djuga  aku  pergi  mendjahitkan  pakaian  jang  pertama  selama
bertahun-tahun. 
Setengah djam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama
bertahun-tahun.  Dan  sekalipun  banjak  jang  hendak  dikatakan  dan  banjak  jang  hendak  ditanjakan,  namun BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 101 dari 109
masing-masing  kami  hanja  punja  satu  pertanjaan  untuk  jang  lain. Hatta membisik,  ,,Bagaimana  pendapat
Bung Karno mengenai pendudukan ini ?" Aku membisikkan kembali, ,,Djepang tidak akan lama disini. Mereka
akan  kalah  dan  kita  akan  hantjurkan  mereka.  Inipun  asal  kita  tidak  menentang  mereka  setjara  terang-
terangan. 
Kemudian  aku  bertanja,  ,,Bagaimana,  Bung  Hatta,  bagaimana  semangat  nasionalisme  dari  rakjat  kita  ?"
,,Semangat  rakjat  tidak  dibinasakan  oleh  peperangan.  Rakjat  sudah  mulai  tjuriga  kepada  Djepang  jang
mendjadi ,,pembebas" itu dan rakjat sangat menantikan kedatangan Bung Karno. 
Djepang telah menjediakan sebuah rumah bertingkat-dua dan manis potongannja, terletak disebuah djalan-
raja Djakarta. Rumah itu mempunjai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, ketjuali piring-
piring  barang  petjah-belah  lainnja  jang  sudah  dibanting-bantingkan  oleh  Belanda  sebelum  berangkat.
Tentunja  tidak  ada  penjambutan  kedatanganku  kembali  pulang,  karena  tak  seorangpun  jang  tahu  kapan
Sukarno,  akan  sampai.  Dan  lagi  adanja  larangan  jang  keras  untuk  mengadakan  pertemuan.  Sekalipun
demikian  didalam  rumah  kudapati  telah  ada  beberapa  anggota  dari  ,,Panitia  Penjambutan  Bung  Karno".
Wadjah mereka  bersinar  dengan  kegembiraan  jang  tenang  dan mereka  berlutut,  lalu mentjium  tanganku.
Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu. Orang-orang  jang kutjintai
ini telah ditundjuk untuk mentjarikanku rumah tinggal jang tjotjok. 
,,Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp-tawanan," kata Ahmad Subardjo. ,,Kalau Bung Karno berdjalan-
djalan, akan melihat banjak rumah-rumah bagus jang kosong. Isteri saja meneliti sebelah satu djalan. Isteri
Sartono diseberangnja. Dalam beberapa hari sadja mereka menemukan rumah ini." ,,Rumah ini besar sekali,"
kataku  sambil  memeriksa  bagian  dalam.  ,,Kami  berpendapat,  bahwa  pemimpin  kita  tentu  memerlukan
ruangan banjak untuk tetamu. Semendjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang dalam waktu tidak
lama lagi, rakjat dari desa-desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah jang djauh semakin meluap-
luap. Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toch sanggup untuk datang dan melihat sendiri wadjah
Bung Karno, Mereka  tidak pertjaja bahwa Bung Karno betul-betul ada disini dan bebas dan  sudah  siap  lagi
untuk menduduki  tempat  sebagai  pahlawan mereka."  Malam  itu  Inggit  dan  aku  berdialan-djalan  disekitar
rumah  kami  jang  baru  itu.  Didjalanan  jang  lebar  dengan  dikiri-kanannja  barisan  pohon-pohon,  jang
merupakan daerah elite di Djakarta. Telah pandjang waktu berlalu dibelakangku. Hampir  tigabelas  tahun.
Masa  tahanan  dan  pembuangan  telah  berlalu.  Dan  perang  telah  terdjadi.  Tapi  sjukur,  Aku  sudah  pulang
ketempatku semula. Aku kembali mendjadi pemimpin dari rakjatku. Aku sudah kembali ...... 
Bab 20
Kollabolator Atau Pahlawan ?
MALAM itu aku pergi kerumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan jang pertama guna membitjarakan taktik
kami  bekerdja  untuk  masa  jang  akan  datang.  ,,Bung  Hatta  dan  saja  dimasa  jang  lalu  telah  mengalarni
pertentangan jang mendalam," kataku. ,,Memang disatu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi
sekarang  kita menghadapi  suatu  tugas  jang  djauh  lebih  besar  daripada  jang  dapat  dilakukan  oleh  salah-
seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau  strategi  tidak ada  lagi. Pada waktu  sekarang kita  satu.
Dan kita bersatu didalam perdjoangan bersama." 
,,Saja setudju," Hatta menjatakan. 
Kami  berdjabat  tangan  dengan  kesungguhan  hati  "inilah",  kataku  berdjandji,  ,,djandji  kita  sebagai
Dwitunggal. Inilah sumpah kita jang djantan untuk bekerdja berdampingan dan tidak akan berpetjah hingga
negeri ini mentjapai kemerdekaan sepenuhnja." 
Bersama-sama  dengan  Sjahrir,  satu-satunja  orang  jang  turut  hadir,  rentjana-rentjana  gerakan  untuk masa
jang akan datang kami susun dengan tjepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerdja dengan dua tjara.
Diatas-tanah  setjara  terang-terangan  dan  dibawah-tanah  setjara  rahasia.  Jang  satu memenuhi  tugas  jang
tidak dapat dilakukan oleh tjara jang lain. 
"Untuk memperoleh konsesi-konsesi politik jang berkenaan dengan pendidikan militer dan djabatan-djabatan
pemerintahan bagi orang-orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan tjara kollaborasi." kataku. 
,,Djelaslah,  bahwa  kekuatan  Bung  Karno  adalah  untuk  menggerakkan  massa,"  Hatta  menegaskan.  ,,Djadi
Bung Karno harus bekerdja setjara terang-terangan." ,,Betul, Bung Hatta membantu saja. Karena Bung Hatta
terlalu terkenal untuk bisa bekerdja dibawah-tanah."  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 102 dari 109
,,Biarlah  saja,"  Sjahrir  menjarankan,  ,,untuk  mengadakan  gerakan  bawah-tanah  dan  menjusun  bagian
penjadap-berita dan gerakan rahasia lainnja." 
Pembitjaraan  singkat  itu,  jang berlangsung  selama  satu djam, mengembangkan  suatu  landasan  jang begitu
ringkas. Dan kelihatannja seolah-olah dikerdjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali duapuluh
tahun kemudian. Sebenarnja strategi kami adalah satu-satunja pilihan jang mungkin didjalankan ketika  itu.
Djadi  kami  tidak  mernpunjai  pilihan  lain.  ,,Inilah  kesempatan  jang  kita  tunggu-  tunggu,"  kataku
bersemangat. ,,Saja jakin akan hal ini. Pendudukan Djepang adalah kesempatan jang besar dan bagus sekali
untuk mendidik dan mempersiapkan  rakjat kita.  Semua pegawai Belanda masuk kamp-tawanan. Sebaliknja
djumlah orang Djepang  tidak akan mentjukupi untuk melantjarkan  roda pemerintahan diseluruh kepulauan
kita.  Tentu  mereka  sangat  mernerlukan  tenaga  kita.  Indonesia  segera  akan  melihat,  bahwa  madjikannja
tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita." 
Aku berdjalan hilir-mudik ketika berpikir dengan keras, ,,Akan tetapi rakjat kita harus menderita, lebih dulu,
karena  hanja  dengan  penderitaanlah  ia  dapat  bangkit.  Rakjat  kita  adalah  bangsa  jang  suka  damai,  mau
senang  dan  mengalah  dan  perna'af.  Sungguhpun  rakjat  Indonesia  hampir  mentjapai  djumlah  tudjuhpuluh
djuta dan diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakjat tidak pernah bergolak sedernikian
panas  sehingga  sanggup  bertempur  melawan  Belanda.  Belanda  menenteramkan  penguasaannja  dengan
memberikan kebaikan-kebaikan palsu. Djepang tidak. 
,,Kita tahu, bahwa Djepang tidak segan-segan memenggal kepala orang dengan sekali ajunan pedangnja. Kita
mengetahui muslihat mereka, memaksa sikorban merninum berliter-liter air dan kemudian melompat keatas
perutnja. Kita sudah mengenal djeritan ditengah malam jang menakutkan jang keluar dari markas Kenpetai.
Kita  mendengar  pradjurit-pradjurit  Kenpetai  dengan  sengadja  dalam  keadaan  mabuk-mabukan  untuk
menumpulkan  perasaannja.  ,,Orang  Djepang memang  keras.  Kedjam.  Tjepat melakukan  tindakan  kurang-
adjar. Dan ini akan membuka mata rakjat untuk mengadakan perlawanan. 
,,Mereka djuga akan memberikan pada kita kepertjajaan terhadap diri sendiri." Hatta menguraikan. ,,Bangsa
Asia  tidak  lagi  lebih  rendah  dari  orang  Barat."  ,,Kondisi-kondisi  inilah  jang  akan  mentjiptakan  suatu
kebulatan tekad. Kalau rakjat kita betul-betul digentjet, maka akan datanglah revolusi mental. Setelah itu,
revolusi fisik." 
Aku duduk. Melalui lobang sandal aku mengelupas kuku djari kakiku, suatu tanda jang pasti bahwa pikiranku
gelisah. Tanpa  kusadari aku mengelupas  kuku  ibu-djari  kakiku  terlalu dalarn hingga berdarah.  ,,Kita harus
melantjarkan gerakan kebangsaan," kataku berbitjara dalam mulut. 
,,Tidak mungkin," Hatta membalas. ,Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun dilarang." 
,,Kita  tidak  bisa membangkitkan  semangat  rakjat  kalau  tidak  ada  pergerakan  rakjat,"  kunjatakan  dengan
tegas.  ,,Saja  tidak  bisa  duduk-duduk  sadja  dibelakang medja  setjara  passif.  Kalau  hanja  sebagai  pemberi
nasehat, itu tidak tjukup bagi saja. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menjuruh rakjat berdjoang, sekalipun
dengan  diam-diam,  tanpa  bimbingan.  Kalau  saja  tidak  bisa  Membentuk  suatu  gerakan  sendiri,  saja  akan
mengadakan infiltrasi kedalarn gerakan jang didukung oleh Djepang. Bagaimana dengan Gerakan Tiga-A ?" 
Gerakan Tiga-A adalah suatu organisasi jang setjara psychologis keliru. la bekerdja dengan sembojannja jang
menusuk hati: &"Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Tjahaja Asia" 
,,Gerakan itu tidak betul," Sjahrir menggerutu. ,,Tudjuannja tadinja hendak mengumpulkan bahan makanan
dari kita, mengaut kekajaan alam kita dan bahkan djuga mengumpulkan tenaga manusia." 
,,Akan tetapi gerakan  itu tidak memberikan apa-apa sebagai balasannja," Hatta menambahkan.  ,,Ditambah
lagi  dengan  propagandanja  jang  sangat  dibesar-besarkan,  tidak  adanja  pemimpin  bangsa  Indonesia  jang
duduk  dalam  putjuk  pimpinannja  dan  ketidak-senangan  rakjat  jang  sernakin  meningkat  menjebabkan
gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno mendjauhkan diri dari Gerakan Tiga-A." 
,,Tidak. Saja pikir, malah saja akan memasukinja." ,,Kenapa ?" ,,Ja. Untuk merombaknja." 
Dimalam pertama aku di Djakarta aku pergi tidur dengan kepala jang pusing, oleh karena pikiranku gelisah.
Hitam-putihnja baru diketahui dihari esok. Aku harus menghadap Letnan Djendral  Imamura.  la menerimaku
dikamar-duduknja  dalam  istana  jang  putih  dan  besar  itu,  bekas  istana Gubemur  Djendral Hindia  Belanda.
Kamar  duduk  itu  sekarang  mendjadi  kamar-studiku.  Djendral  Imamura  adalah  seorang  Samurai  sedjati. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 103 dari 109
Kurus,  melebihi  tinggi  orang  biasa,  bersifat  sopan,  hormat  dan  berbudi  luhur.  Setelah  mempersilakanku
duduk, iapun duduk. Sikapnja lurus seperti tongkat. 
Aku berbitjara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Djepang. Kami mempunjai djurubahasa. Aku pergi
sendirian  tanpa  pengikut.  Djendral  itu  dengan  adjudannja  tentu.  Djendral-djendral  selalu  punja.  Dialah
mula-mula membuka pembitjaraan  ,,Saja memanggil  tuan  ke Djawa dengan maksud  jang baik. Tuan  tidak
akan dipaksakan bekerdja bertentangan dengan kemauan  tuan. Hasil dari pembitjaraan kita  - apakah  tuan
bersedia  untuk  bekerdja-sama  dengan  kami  atau  tetap  sebagai  penonton  sadja  -  samasekali  tergantung
kepada tuan sendiri." 
,,Boleh  saja bertanja, apakah  rentjana Dai Nippon Teikoku untuk  Indonesia  ?" Mendjawab  Imamura,  ,,Saja
hanja  Panglima  Tertinggi  dari  tentara  ekspedisi.  Tenno Heika  sendirilah  jang  berhak menentukan,  apakah
negeri  tuan  akan  diberi  otonomi  dalam  arti  jang  luas  dibawah  lindungan  pemerintah-Nja.  Ataukah  akan
memperoleh  kemerdekaan  sebagai  negara-bagian  dalam  suatu  federasi  dengan  Dai  Nippon.  Ataupun
mendjadi  negara merdeka  dan  berdaulat  penuh.  Saja  tidak  dapat memberikan  djandji  jang  tepat  tentang
bentuk  kemerdekaan  jang  akan  diberikan  kepada  negeri  tuan.  Keputusan  jang  demikian  itu  tidak  dapat
diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami tjita-tjita dan sjarat-
sjarat tuan, dan ini sedjalan dengan tjita-tjita kami." Kalimatku selandjutnja adalah, ,Terimakasih, Djendral.
Terima  kasih  karena  tuanlah  orang  jang  mendupak  Belanda  jang  terkutuk  itu  keluar.  Saja  mentjobanja
selama  bertahun-tahun.  Negeri  saja mentjoba  selama  berabad-abad.  Akan  tetapi  Imamura-lah  orang  jang
berhasil."  ,Boleh  saja  bertjeritera,  Ir.  Sukarno,  bagaimana  saja menaklukkan  orang  Kulitputih  jang  kuat-
perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah ! Semata-mata gertak." 
Wadjahku diwaktu itu tentu mentjerminkan kebingungan, karena Djendral itu berkenan untuk tersenjum dan
kemudian  dengan  riang mentjeriterakan  kemenangan  itu.  ,,Pada  waktu  tentara  saja mendarat  di  Djawa,
pasukan saja hanja tinggal beberapa bataljon dan saja harus memetjah-metjahnja  lagi. Sebagian mendarat
di  Djawa  Barat,  sebagian  di  Djawa  Tengah,  sebagian  di  Djakarta,  beberapa  lagi  di  Banten.  Jang  langsung
dibawah pimpinan  saja mendarat di Kalidjati. Dan pasukan  ini  tjompang-tjamping. Orang-orang  saja punja
senapan, tapi tidak punja uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Djendral sudah terbang ke Bandung." 
,,Kota  itu  dilindungi  oleh  gunung-gunung,  tentu  dia menganggap  kota  itu  dapat  dipertahankan."  ,,Betul,"
Imamura  mengangguk.  ,,Lalu  saja  mengadakan  hubungan  dengan  Bandung  dan  memerintahkannja  ke
Kalidjati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera  lagi, Saja bemarkas disebuah kamar
jang  ketjil.  Dengan  suara-suara  jang  gaduh,  tapi  tanpa  pasukan  untuk  menjokong  keberanian  saja,  saja
menuntut, 'Nah, apakah tuan sekarang akan menjerah ? Kalau tidak, saja akan membom tuan sampai lenjap
dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnja segera terburu-buru dan menjerah." 
,,Dengan sisa tentara jang terpetjah-petjah dan melarat," kataku kepada penakluk jang menghadapiku, tuan
mengusir  orang-orang  jang  akan  selalu  dianggap  sebagai  penindas-penindas  sedjati  dari  Indonesia.  Saja
berterima-kasih kepada tuan untuk selama-lamanja." 
Drama  jang  kupertundjukkan  ini  mengingatkan  daku  kepada  pahlawan  Filipina,  Djendral  Aguinaldo.  Dia
melawan  Spanjol  selama  bertahun-tahun,  dan  ketika  Amerika  menaklukkan  bekas  penakluk  itu,  jang
pertama-tama  diutjapkan  oleh  Aguinaldo  kepada  orang  Amerika  adalah,  ,,Terima-kasih."  Kemudian  ketika
Amerika  Serikat  bermaksud  hendak  tetap  berkuasa  di  Filipina,  Aguinaldo  menjepakkannja  keluar  dengan
keras. 
"Berapa  lama  menurut  pikiran  tuan  tentara  akan  memegang  ke  kuasaan  pemerintahan  disini?"  tanjaku.
,,Terus-terang  saja  tidak  tahu.  Saja  tidak mempujnjai  rentjana  sampai  kesitu." Nah,  dia  belum.  Tapi  aku
sudah  punja.  Dan  aku  mulai  dengan  siasat  jang  pertama.  ,,Untuk  memimpin  rakjat  kami  sesuai  dengan
pemerintahan  militer,  saja  memerlukan  orang  sebagai  pembantu  pimpinan.  Urusan  pemerintahan  hanja
dapat dilantjarkan, kalau orang-orang  Indonesia ditempatkan pada djabatan-djabatan pemerintahan. Hanja
orang Indonesialah jang mengetahui daerah, bahasa-bahasa daerah dan adat-istiadat saudara-saudaranja." 
,,Kalau  ini  pemetjahan  jang  terbaik  untuk  memadjukan  kemakmuran  dan  kesedjahteraan,  maka  orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk  ikut dalam menjelesaikan urusan dalam negeri setjara meningkat.
Djabatan-djabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan segera." 
Kalau  dilihat  dari  konsesi-konsesi  jang  diberikan  kepadaku  dibidang  politik,  maka  kekuasaan  berada
ditanganku. Sang Djendral adalab  seorang pemimpin militer.  la mengetahui  tentang  sendjata. Aku  seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Didalam tanganku ia seorang baji.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 104 dari 109
Kugariskan  rentjanaku  kepada  Hatta malam  itu  djuga.  ,Dengan  biaja  pemerintah  Djepang  akan  kita  didik
rakjat kita  sebagai penjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah  tidak hanja
menerima perintah. Rakjat dipersiapkan mendjadi  kepala.  kepala dan administrator-administrator. Mereka
dididik  untuk  memegang  roda  pemerintahan  guna  suatu-hari-jang-akan-datang,  pada  waktu  mana  kita
mengambil  alih  kekuasaan  dan  menjatakan  kemerdekaan.  Kalau  tidak  begitu  bagaimana  mungkin  kita
melengkapkan  susunan  pemerintahan  tanpa  personil"  Tanpa menunggu  djawaban  atas  keterangan  itu  aku
melandjutkan, ,,Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana-mana Belanda.... Belanda. ...... pendeknja
setiap satu djabatan diduduki oleh si Belanda buruk  !"  ,,Dan rakjat kita tjukup djadi pengantar-surat sadja
atau pesuruh," Hatta menambahkan, ,,Selalu dalam kedudukan menghambakan diri Selalu patuh." ,,Sekarang
rakjat  jang  kurus-kering,  diindjak-indjak  lagi  bebal  ini  akan  mendjadi  pedjabat-pedjabat  dalam
pemerintahan.  Mereka  akan  beladjar  membuat  keputusan,  mereka  akan  mempeladjari  bagaimana
melantjarkan tugas, mereka akan mempeladjari bagaimana memberikan perintah. Saja sudah menanamkan
bibitnja dan Djepang akan memupuknja. 
Aku  meludah  ketanah.  ,,Itulah  sebabnja  mengapa  setiap  orang  jang  tjerdas  membentji  Belanda.  Orang
Belanda mengharapkan kerdjasama kita, akan  tetapi  tidak  sedikitpun memberi kesempatan pada kita  jang
menguntungkan dari kerdjasama  itu. Kalau  saja mengingat-ingat perangai Belarida  jang munafik,  saja mau
muntah.  Apakah  jang  dikerdjakan  Belanda  untuk  kita  ? Nol  besar  !  Saja menjadari,  tentu  ada  orang  jang
menentang saja, karena saja bekerdjasama dengan Djepang. Tapi, apa salahnja ? Memperalat apa jang sudah
diletakkan  didepan  saja  adalah  taktik  jang  paling  baik.  Dan  itulah  sebabnja  mengapa  saja  bersedia
menerimanja." 
Bulan Nopember Gerakan Tiga-A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang djabatan resmiku dalam
suatu  badan  baru  jang  bernama  PUTERA.  Tokyo menganggap  ,,Pusat  Tenaga  Rakjat"  ini  sebagai  alat  dari
Sukarno  untuk  mengerahkan  bantuan  rakjat  digaris  belakang  bagi  kepentingan  peperangan  mereka.  Tapi
Sukarno mengartikannja sebagai alat jang nomor dua paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak
politik jang sempurna. 
Sebagai  Ketua  dari  PUTERA  tugasku  ialah  meringankan  kesulitan-kesulitan  jang  timbul  didalam  negeri.
Ambillah misalnja  persoalan  tekstil  jang  rumit.  Oleh  ketiadaan  kain  rakjat  Marhaen memakai  badju  dari
karung  atau  bagor.  Anak-anak  jang  baru--lahir  dibungkus  dengan  taplak-medja.  Aku  pergi  berkeliling
menjampaikan seruan kepada rakjat desa. Kataku, ,,Dinegeri kita tumbuh sematjam tanaman jang bemama
rosella. Seratnja bisa -ditenun mendjadi kain. Hajo kita tanani rosella. Mari kita tenun kain dari rosella." 
Rakjat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakjat terpaksa mentjari akal untuk menutupi kekurangan, mereka
melakukannja.  Akan  tetapi  sementara  aku  mendjalankan  gerakan  itu,  aku  memilih  patriot-patriot  jang
dipertjaja dan memperkerdjakannja pada pembesar-pembesar setempat. Kataku, ,,Pekerdjaan ini akan lebih
berhasil,  kalau  orang  Indonesia  ditugaskan  untuk melaksanakannja.  Ini  orangnja,  djadikanlah  dia  sebagai
kepala dari gerakan ini. Saja sendiri mendjamin kesetiaannja." 
Kami  tidak mempunjai  sabun. Kusampaikanlah kepada  tetangga kami,  supaja membuat  sabun dari minjak-
kelapa  dan  abu  daun-kelapa  jang  dibakar.  Abu  itu mengandung  bahan  kimia  jang  berbuih  djika  ditjampur
dengan minjak. Kemudian kupilih salah-seorang pengikutku jang paling dipertjaja, Ialu kusampaikan kepada
pedjabat jang berhubungan dengan itu, ,,Saja mempunjai seorang kawan disini jang mengetahui bagaimana
melakukannja. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan." 
Kami tidak punja listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, ,,Hajo kita tanam djarak. Tanaman ini
mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bidjinja kita dapat membuat minjak kastroli jang bisa menjala
dengan  terang."  Apa  sebabnja  aku  mengetahui  hal  ini  ?  Oleh  karena  aku  orang  Djawa.  Oleh  karena
keluargaku  melarat  dan  terpaksa  memakainja.  Oleh  karena  selama  sebagian  dari  hidupku  aku  harus
membakar bidji djarak karena tidak mampu membeli bola lampu. 
Itulah  sebabnja  mengapa  para  penakluk  memerlukan  pimpinan  dari  daerah  jang  diduduki  itu.  Hanja
penduduk  aslilah  jang  tahu,  bagainiana memetjahkan  persoalan  penduduk. Musuh  tidak  dapat menduduki
suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu - ini selalu - dimana sadja - bilamana sadja. 
Kami tidak mempunjai obat-obatan. "Pakailah obat asli peninggalan nenek-mojang kita," aku mengandjurkan.
,,Untuk penjakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari alang-alang." Rakjat
Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan-penemuan ini. 
Kekurangan makanan merupakan kesulitan jang paling rumit untuk diatasi. Tentara Djepang merampas setiap
butir  beras.  Kalau  bukan  orang  penting  djangan  diharap  akan memperolehnja  sekalipun  satu  kilo.  Di  Bali BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 105 dari 109
orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sedjumlah besar bidji pepaja dan membagikannja
kepada  setiap  orang  masing-masing  dua  butir.  Buah-buahan  jang  enak  ini  kemudian  tumbuh  disetiap
pendjuru pulau. 
Untuk  memerangi  kelaparan,  maka  tentara  Djepang  membuat  djaringan  radio  jang  tetap  dengan
menempatkan pengeras-suara disetiap desa, sehingga setiap orang jang sebelum itu hanja mendengar nama
Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. ,,Saudara-saudara kaum wanita," terdengar suara Sukarno
mendengung melalui  tiap pengeras-suara,  ,,Dalam waktu  saudara  jang  terluang,  kerdjakanlah  seperti  jang
dikerdjakan  oleh  Ibu  Inggit  dan  saja  sendiri.  Tanamlah  djagung.  Dihalaman muka  saudara  sendiri  saudara
dapat  menanamnja  tjukup  untuk  menambah  kebutuhan  keluarga  saudara."  Nah,  karena  Sukarno  jang
mengatakan  ini  kepada  mereka,  mereka  menanamnja.  Dan  disetiap  halaman  bertunaslah  buah  djagung.
Usaha ini ada ketolongannja. 
Mau  tidak  mau  aku  harus  membelokkan  kebentjian  rakjat  terhadap  orang  Djepang,  karena  kekurangan
makanan  ini.  Karena  itu  aku  mengadakan  pidato-pidato  seperti  ini.  ,,Agen-agen  musuh  membisikkan
ditelinga  saudara,  bahwa  Dai Nippon  jang mendjadi  sebab  kesulitan  kita.  Itu  tidak  benar.  Berbulan-bulan
jang  lalu  dunia  mengetahui,  bahwa  India  diamuk  oleh  kelaparan.  Negara-negara  Sekutupun  menderita
kemelaratan  dan  setiap  hari  rakjat  mereka  berbaris  untuk  memperoleh  sepotong  roti.  Djika  mereka
mengatakan  'Tidak'  itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara-saudara pertjaja kepada berita bohong  ini,
maka saudara sama sadja seperti katak dibawah tempurung. 
Bertahun-tahun  jang  lalu Winston Churchil  sudah mengeluh  tentang kekurangan bahan makanan di  Inggris.
Djadi, saudara-saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana-mana. 
,,Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muang Thai. Akan tetapi kapal-kapal pengangkut  itu sudah
ditenggelamkan  kedasar  laut.  Kekurangan makanan  adalah  kedjadian  jang  biasa  dalam  peperangan.  Akan
tetapi siapakah jang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini ? Belanda. Bukan Dai Nippon
Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merobah sawah-sawah kita mendjadi kebun tebu, tembakau atau hasil
lain jang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinja sendiri. Maka dari itu, sampai dihari kita berdiri sendiri
bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor beras." 
Aku ditugaskan untuk ,,menjerang Sekutu, memudji negara-negara As - jaitu sekutu Djerman dan Djepang -
menimbulkan  kebentjian  terhadap  musuh-musuh  kita  Inggris,  Amerika  dan  Belanda,  dan  bantulah  Dai
Nippon."  Akan  tetapi,  sekalipun  pidato-pidatoku  diteliti  terlebih  dulu  dengan  katja-pembesar  oleh  Bagian
Propaganda,  kalau  dipeladjari  sungguh-sungguh  ternjatalah  bahwa  75%  dari  isi  pidato  itu  semata-mata
menanamkan kesadaran nasional. 
Misalnja sadja, sambil menundjuk kepada seorang pradjurit Djepang jang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, ,,Lihat, dia mendjalankan tugasnja oleh karena dia tjinta kepada tanah-airnja. Dia
berperang  untuk  bangsanja.  Dia  bersedia  mati  demi  kehormatan  tanah-airnja.  Begitupun.......kita  ......
harus  !  Kemudian  aku  menanamkan  kepada  rakjat  tentang  kebesaran  negeri  kami  sebelum  mengalami
pendjadjahan.  ,,Keradjaan  Madjapahit memperoleh  kemenangan  jang  gilang-gemilang  setelah  digembleng
dengan  penderitaan  dalam  peperangan-peperangan  melawan  Kublai  Khan.  Sultan  Agung  Hanjokrokusumo
membikin  negara Mataram mendjadi  negara  jang  kuat  setelah mengalami  tjobaan-tjobaan didalam perang
Senapati. Dan orang  Islam didjaman. keemasannja barulah mendjadi kuat  setelah mengalami Perang Salib.
Tuhan  Jang MahaKuasa  berfirman  dalam Quran:  'Ada masa-masa  dimana  kesukaranmu  sangat  berguna  dan
perlu'." 
Aku  pandai  memilih  kata-kata  sehingga  orang-asing,  sekalipun  bisa  berbahasa  Indonesia,  tidak  dapat
menangkap arti kiasan jang chas menurut daerah. Aku memetik tjerita-tjerita dari Mahabharata, oleh karena
80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan tjerita itu. Mereka tahu, bahwa Ardjuna adalah pahlawan dari
Pandawa-Lima,  dimana  keradjaan  mereka  telah  direbut  setjara  litjik  dalam  suatu  peperangan  besar.
Pandawa-Lima ini melambangkan kebaikan. Jang menaklukkan mereka adalah lambang kedjahatan. 
Setiap  nama mentjerminkan watak manusia  didalam  pikiran  kami.  Ardjuna  perlambang  dari  pengendalian
diri-sendiri.  Saudaranja,  Werkudara,  melambangkan  seseorang  Jang  kuat  berpegang  kepada  kebenaran.
Sebutlah Gatutkatja, serta-merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Tjakil, orang tahu bahwa
itu  raksasa  jang djahat. Dalam pewajangan maka  tokoh-takoh  jang baik  selalu duduk dikanan,  jang djahat
disebelah kiri. Muka-muka jang berwarna keemasan putih atau hitam menundjukkan orang jang baik-baik dan
jang merah bandit2nja. Dengan mudah sekali aku membawakan djalan pikiranku dalam perumpamaan ini.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 106 dari 109
Tjara  jang  lain  ialah  dengan  perlambang  hewan.  Dari  tulisan-tulisanku  jang  dibuat  sebelum  perang  rakiat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Djepang  sebagai  imperialis modern di Asia. Djadi, dalam masa
inilah aku mentjetak satu perumpamaan jang terkenal: ,,Dibawah Matahari-Terbit, manakala Liong Barongsai
dari  Tiongkok  bekerdja-sama  dengan  Gadjah-Putih  dari  Muang  Thai,  dengan  Karibu  dari  Filipina,  dengan
Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari  India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan  sekarang,
dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hantjur-lebur dari permukaan benua kita !" 
Menurut tjara berpikir orang Indonesia ini tjukup djelas. Maksudnja ialah bahwa daerah-daerah jang diduduki
bersatu dalam tekad untuk melenjapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerdjasama dengan Matahari-
Terbit. Aku mengatakan, kita bekerdja-sama DIBAWAH Matahari-Terbit. 
Imamura  senang  sekali dengan  kepandaianku berpidato,  jang dianggapnja  semata-mata  sebagai  alat untuk
dapat  mempertahankan  daerah  takluknja.  Ketika  aku  minta  izin  untuk  ,,menulis  dan  berkeliling  guna
meringankan  kesulitan-kesulitan  didaerah  jang  tidak  bisa  ditjapai",  dia menjediakan  surat-suratkabar  dan
pesawat-terbang  untuk  itu.  Dia  mengizinkanku  untuk  mengadakan  rapat-rapat  raksasa  Aku  berpidato
dihadapan 50.000 orang dalam  suatu  rapat, aku berpidato dihadapan 100.000 orang dalam  rapat-jang  lain.
Tidak hanja nama Sukarno, melainkan djuga wadjah Sukarno  telah mendjalar keseluruh pelosok kepulauan
Indonesia. Untuk  ini aku harus berterima kasih kepada Djepang. Sekali  lagi aku menggelorakan hati  rakjat.
Aku  membangkitkan  semangat  rakjat.  Aku  mengojak-ojak  kesadaran  rakjat.  Dan  Dai  Nippon  semakin
memerlukan bantuanku. 
Sungguhpun demikian, djanganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan mewah
selama peperangan. Tidak. Kalau  rakjat  lapar, Sukarnopun  lapar. Kalau  tidak ada makanan, Sukarno djuga
tidak mempunjai makanan. Aku sendiri terpaksa mentjari beras untuk memberi makan keluargaku. Pemimpin
dari  suatu  bangsa  pergi  kekampung-kampung  untuk  mengumpulkan  lima  kilo  beras,  tak  ubahnja  dengan
rakjat desa jang paling miskin. 
Dan pada  suatu  kali  aku  tidak  lekas memadamkan  lampu pada waktu penggelapan.  Setjelah  ketjil  tjahaja
selama  satu  detik  tampak  bersinar  dari  luar  jang  gelap.  Segera  setelah  aku mematikannja,  terdengarlah
suara  orang menggedor-gedor  pintu  dengan  keras. Dengan  tjepat  Inggit mendjawabnja  dan  ia  berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer. 
,,Ada  apa  ?"  tanja  Inggit  gemetar. Kaptennja menggeram,  ,,Siapa  jang  punja  rumah  ini  ?"  ,,Saja,"  djawab
Inggit. ,,Tidak," teriaknja, ,,Kami maksud tuan rumah. Siapa suami njonja ?" 
Aku  sedang  berada  djauh  didalam,  akan  tetapi  aku  keluar  djuga  Kapten  itu membentak-bentak  kepadaku
karena tjahaja lampu jang sedetik itu, kemudian tangannja melajang plang ...... plang ...........plang.......
plang,  kemplangannja  dengan  tjepat  melekat  dimukaku.  Melihat  pemandangan  itu  Inggit  berlutut  dan
mendjerit,  ,,Aduh.......  Aduh.....djangan  tampar  dia.  Saja  jang  harus  bertanggung-djawab.  Itu  bukan
salahnja. Oooo, ma'afkanlah dia. Saja jang lalai ........ !" 
Orang-orang  itu  tidak  peduli.  Mereka  lebih  mau  menghukumku.  Mukaku  petjah-petjah.  Dari  bibir  dan
hidungku banjak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengutjapkan  sepatah kata. Aku tidak bertahan
untuk  diriku  sendiri.  Aku  hanja  menahankannja  dengan  tenang  sambil  berkata  kepada  diriku  sendiri,
,,Sukarno,  kesakitan  jang  kaurasakan  sekarang  hanjalah  merupakan  kerikil  didjalan  raja  menudju
kemerdekaan.  Langkahilah  dia.  Kalau  engkau  djatuh  karenanja,  berdirilah  engkau  kembali  dan  terus
berdjalan." 
Aku melaporkan kedjadian  ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu sadja dia
minta maaf dan menjatakan,  ,,Kapten  itu  tidak mengetahui  siapa  tuan" dan  selandjutnja katanja,  ,,segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu";, akan tetapi orang-orang itu tetap mengawasiku setiap saat. 
Pada  suatu  kesempatan  Imamura  berpidato  dihadapan  rakjat.  Sambutan  rakjat  lembek.  Aku
menterdjemahkannja dengan  semangat  jang berkobar-kobar dan dengan memberikan beberapa putar-balik
kata-kata gaja Sukarno. Rakjatku djadi gila karenanja. Pada  setiap utjapan mereka bersorak dan berteriak
dan  bertepuk.  Hal  ini  membangkitkan  ketjurigaan  Kenpeitai.  Aku  diiringkan  kemarkasnja,  dimana  aku
dibentak-disenggak  dan  diantjam.  Aku  merasa  jakin  dalam  diriku,  bahwa  aku  akan  digantung.  Tapi
untunglah. Seorang djurubahasa jang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku. Akan tetapi orang ini
setia  kepadaku  dan  dia  mendjamin  utjapan-utjapanku.  Kemudian  setelah  mengalami  detik-detik  jang
menakutkan selama berdjam-djam aku dibebaskan kembali.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 107 dari 109
Kemanapun  aku  pergi,  aku  diiringi  oleh  perwira-perwira  Djepang  atau  menelitiku  setjara  diam-diam.
Seringkali  Kenpeitai  datang  diwaktu  jang  tidak  tertentu.  Aku  harus  mendjaga  diriku  setiap  saat.  Orang
Djepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempertjajaiku sepenuhnja. Kaki-tangan kami dalam gerakan-
bawah-tanah  mengabarkan,  bahwa  ada  rentjana  Djepang  untuk  membunuh  semua  pemimpin  bangsa
Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Djepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil hati rakjat
untuk  kepentingan  mereka.  Akan  tetapi  disaat  tugas  ini  selesai,  gilirankupun  akan  datang  pula.  Aku
senantiasa dalam bahaja. 
Berbahaja  atau  tidak,  namun  aku  tetap  mengadakan  hubungan  rahasia  dengan  gerakan-bawah-tanah.
Kadang-kadang  djauh  tengah  malam,  pada  waktu  semua  lampu  sudah  padam  dan  semua  orang  sudah
menutup pintunja, aku mengadakan pembitjaraan diklinik Dr. Suharto. Adakalanja aku mengadakan kontak
dengan seorang penghubung diluar tempat terbuka setjara beramah-tamah, kelihatan tersenjum seolah-olah
kami  berbitjara  dengan  senang.  Kemudian  dihari  berikutnja  setjara  berbisik-bisik  tersebarlah  instruksi
kepada anggota-anggota bawah-tanah,  ,,Ini boleh kita kerdjakan  ............  ini  tidak." Perintah-perintah  ini
datangnja  dariku.  Aku  sendirilah  jang  memiliki  fakta-fakta  tertentu.  Aku  merupakan  saluran  informasi
kekedua djurusan. Akan tetapi Djepang mempunjai tjara-tjara untuk melemahkan semangat seseorang. 
Orang  jang  tertangkap  karena  memakai  bahasa  Belanda  dipukuli.  Perempuan-perempuan  ditarik  dari
rumahnja dan diangkut dengan kapal, katanja ke-"tempat-pendidikan", tapi kemudian mereka didjerumuskan
kedalam rumah perzinaan. Laki-laki dan perempuan jang tidak membungkukkan badan pada waktu melewati
seorang  pendjaga  didjalanan  mendapat  tamparan.  Dari  tjara  hukuman  jang  demikian  karena  kesalahan
ketjil-ketjil dapatlah orang membajangkan, bagaimana hukuman jang harus dihadapi oleh orang-orang jang
kedapatan bergerak dibawah-tanah. Dan kenjataan ini memaksa orang untuk bertindak hati-hati sekali. 
Tjutjunguk ada dimana-mana. Dengan menjamar  sebagai  tukang  sate mereka berdjalan  sepandjang waktu,
sambil mendengar-dengar kan  suara  titit.....titit dari  radio,  jang berarti bahwa ada  seseorang  jang  sedang
menerima 'atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan radio gelap.
la  didjatuhi  hukuman  mati.  Dr.  Suharto,  seorang  kawan  seperdjoanganku  jang  akrab  dan  kawan
sesungguhnja,  tidak  minta  pertolonganku  supaja  berusaha  melepaskannja,  oleh  karena  dia  menganggap
tuduhan  itu  terlalu berat dan djika aku  turut membelanja dapat mendjerumuskan ku kedalam bahaja  jang
besar. 
Akan tetapi aku mempunjai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnja, kalau
ada  kekeruhan  tugas merekalah  untuk menjalurkan  berita  itu  kepadaku.  Berita  disampaikan  setjara  lisan.
Tidak  ada  jang  berani menjatakannja  dengan  tertulis.  Berita  itu  diteruskannja  kepada  seorang  agen  jang
bekerdja di Sendenbu, jang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA. 
Achirnja sampailah kabar iepadaku, bahwa telah terdjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini ditahan
dan disiksa. Aku mendengar, bahwa  tanggal  ia akan mendjalani hukuman mati  telah ditetapkan. Dan pada
suatu  hari  Suharto  mendapati  kemenakannja  sudah  kembali  lagi  dan  sedang  duduk  diberanda  depan
rumahnja. Semuanja terdjadi dengan sangat tjepat, tidak dengan ribut-ribut. 
Orang Indonesia mempunjai keluarga jang besar dan ratusan sanaksaudara, sehingga berita dapat berdjalan
dari desa kedesa keseluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Tjara  ini  lebih baik daripada telpon.
Dengan  tjara  berita  dari  mulut  kemulut  ini  datanglah  pesan  jang  lain:  ,,Pengatjara  Sujudi  ditahan.
Sampaikan kepada Sukarno." Sujudi telah mengorbankan reputasinja untukku. Dirumahnjalah aku ditangkap
dalam  bulan  Desember  tahun  1929.  Aku  mengadakan  hubungan  dengan  para  pembesar  jang  mengurus
perkaranja, memberikan diriku  sendiri sebagai djaminan untuk menjelamatkan Sujudi.  ,,Tidak mungkin dia
mengadakan  komplot  menentang  Dai  Nippon,"  aku  mempertahankan.  ,,Tuduhan  ini  tentu  keliru.  Sujudi
adalah nasionalis jang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon jang kami hormati, karena Nipponlah jang
membantu kami untuk kemerdekaan." Setelah itu ia bebas. 
Sampai  pula  laporan  kepadaku  bahwa  Amir  Sjarifuddin,  salahseorang  pemimpin  kami  dari  gerakan-hawah-
tanah,  selama  berminggu-minggu  telah  digantung  oleh  Kenpetai  dengan  kakinja  keatas.  Dia  disuruh
meminum air-kentjingnja sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannja
dengan  menegaskan  kepada  para  pedjabat  jang  bersangkutan,  ,,Bebaskan  dia  atau  kalau  tidak,  djangan
diharap  lagi  kerdja-sama  dari  saja."  Untuk  dapat  membuat  pernjataan  seperti  itu,  sungguh-sungguh
diperlukan  hati  jang  kuat. Akan  tetapi  untuk dapat memandangi  keadaan Amir  Sjarifuddin  ketika Djepang
mengeluarkannja, memerlukan kekuatan hati jang lebih besar lagi. Badannja kurus seperti lidi. Orang tidak
dapat  pertjaja,  bahwa  seseorang masih  sanggup menahankan  penderitaan  seperti  itu  dan masih mungkin
keluar dIm keadaan bernjawa.  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 108 dari 109
Aku  telah  banjak  menjelesaikan  persoalan-persoalan  demikian  ini.  Sampai  sekarang  ia  terkubur  djauh
didalam  hatiku.  Tidaklah  kusorak-sorakkan  djasa  jang  telah  kuberikan  kepada  orang  lain  dari  atas  atap
rumah,  betapapun  djuga  banjaknja.  Selama  hidupku  aku  telah mendjalankan  amal  djariah  kepada  semua
manusia, apabila aku sanggup nielakukannja. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah jang penting bagiku. 
Bab 21
Puteraku Jang Pertama
SEBENARNJA  keadaanku  tidak  dapat  dikatakan  sehat  ditahun  1943,  baik  djasmani  maupun  rohani.
Ketegangan-ketegangan  jang  timbul  telah  mengorek-ngorek  djiwa  dan  ragaku  dengan  hebat.  Sebagai
penderita malaria  jang melarut  aku  dimasukkan  kerumah-sakit  selama  berminggu-minggu  terus- menerus.
Pada  suatu  kali,  oleh  karena  tidak  ada  tempat-tidur  jang  kosong,  aku  dimasukkan  ke  Kamar  Bersalin.
Perempuan  tjantik-tjantik  dibawa  masuk  disebelahku,  akan  tetapi  keadaanku  terlalu  pajah  untuk  dapat
memperhatikan mereka. 
Tambahan  lagi aku menderita penjakit  gindjal. Kadang-kadang  aku meringkuk dengan  kaki  rapat  kebadan,
oleh karena  serangan-serangan  jang  tidak  tertahankan  sakitnja. Adakalanja keluar keringat dingin, bahkan
kadang-kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terdjadi, bahwa setelah
selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan. 
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti jang diharapkan. Aku menghadapi persoalan-persoalan jang sungguh-
sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh gontjangan-gontjangan urat sjaraf. Hubungan  Inggit denganku
tidak baik. Disuatu malam, karena  ingin mendapat kata-kata  jang menghibur hati dan ketenangan pikiran,
aku menemani seorang kawan kesebuah Rumah Geisha. Sekembali dirumah,  Inggit mengamuk seperti orang
gila.  Dia  berteriak-teriak  kepadaku.  Barang-barang  beterbangan  dan  sebuah  tjangkir  mengenai  pinggir
kepalaku. 
Rupanja  persoalan  Fatmawati  masih  mengapung-apung  diantara  kami,  sekalipun  tidak  ada  kontak  antara
Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan
bahwa kami  sudah  selamat  sampai di Djakarta. Hanja  itu. Surat  ini kupertjajakan kepada  seorang  suruhan
jang dipertjaja jang menitipkannja pula kepada tukang-mas dalam perdjalanan menudju Sumatra. 
Pada waktu  itu  kami  sudah pindah,  karena  aku  tidak  senang  tinggal dirumah bertingkat. Dirumah baru  ini
anak  kami  dengan  suaminja  Asmara  Hadi  tinggal  bersama-sama  dengan  kami.  Pada  achirnja  merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. ,,Bu," Ratna
Djuami  menangis  dihadapan  Inggit  pada  suatu  malam.  ,,Bapak  kelihatan  sekarang  sangat  pentjemas  dan
penggugup. Pikirannja nampaknja katjau. Dan kesehatannja selalu terganggu." 
,,Kami kira  ini disebabkan kehidupan pribadinja,"  sambung Asmara Hadi  terus-terang.  ,,Kalau  sekiranja dia
tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan  lain, tentu akan  lain halnja. Akan tetapi perasaan tidak bahagia
ini jang ditumpukkan keatas bebannja jang sudah tjukup berat itu sangat melemahkan kekuatannja." 
Aku meminta pengertian Inggit. ,Aku sendiri, akan mentjarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan
segala  sesuatu  jang  kauperlukan. Kaupun  tahu, diantara  kita  semakin  sering  terdjadi pertengkaran dan  ini
tentu tidak baik untukmu." 
,,Ini  djalan  satu-satunja,  Bu,"  Asmara  Hadi mengeluh.  ,,Negeri  kita memerlukan  bapak.  Tidak  hanja  ibu,
ataupun  saja maupun  Ratna  Djuami  jang memerlukannja.  Dia  kepunjaan  kita  semua.  Rakjat memerlukan
bapak  sebagai  pemimpinnja,  tidak  jang  lain.  Dan  apa  jang  akan  terdjadi  terhadap  Indonesia,  kalau  dia
hantjur ?" 
Setelah  pertjeraian  telah  disepakati  bahwa  Inggit  kembali  kekota  kelahirannja.  Dipagi  itu  ia  harus  pergi
kedokter-gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada  isteriku dan aku tidak akan membiarkannja pergi seorang
diri. Karena  itu  Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan  letih, merasa badan
kami  tidak  enak,  dan  sesampai  dirumah  kami mendapati  serombongan wanita  jang  akan  bertamu  kepada
Inggit.  Sedjam  lamanja mereka berkundjung,  sekalipun  tidak banjak  jang dipertjakapkan. Kuingat diwaktu
itu aku merasakan kegelisahan jang amat sangat. Saat jang melelahkan sekali. 
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang-barangnja, mejakinkan diri kalau-kalau
ada sesuatu jang kurang, lalu aku mengutjapkan selamat tinggal kepadanja ................  BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA                                                                                                        Halaman 109 dari 109
Bulan Djuni 1943 Fatma dan aku kawin setjara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnja beserta orangtuanja
ke  Djawa  urusannja  terlalu  berbelit-belit  dan  pandjang,  pun  aku  tidak  bisa  segera  mendjemputnja  ke
Sumatra,  sedang  aku  tak mungkin  rasanja menunggu  leliih  lama  lagi.  Mendadak  timbul  keinginanku  jang
keras untuk  kawin. Menurut hukum  Islam perkawinan dapat dilangsungkan,  asal  ada pengantin perempuan
dan  sesuatu  jang mewakili mempelai  laki-laki. Aku mempunjai  lebih daripada  sesuatu  itu. Aku mempunjai
seseorang.  Kukirimlah  telegram  kepada  seorang  kawan  jang  akrab  dan memintanja  untuk mewakiliku.  la
memperlihatkan  telegram  itu  kepada  orangtua  Fatma  dan  usul  ini mendapat  persetudjuan.  Pengantin  dan
wakilku  pergi menghadap'kadi  dan  sekalipun  dia masih  di  Bengkulu  dan  aku  di Djakarta,  dengan  demikian
kami sudah mengikat tali perkawinan. 
Ditahun berikutnja Fatmawati melahirkan  seorang putera. Aku  tidak  sanggup menggambarkan kegembiraan
jang diberikannja  kepadaku. Umurku  sudah 43  tahun dan achirnja Tuhan  Jang Maha Pengasih mengaruniai
kami seorang anak. 
Disaat mendengar  bahwa  Fatma  dalam  keadaan  hamil, maka  ibu,  bapak  dan  kakakku  perempuan  datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orangtua kami dari keduabelah pihak tinggal dengan kami
dipaviljun  dekat  rumah  hingga  sang  baji  lahir.  Bapaklah  jang  mengawasi  segala  pekerdjaan.  Dialah  jang
duduk setiap djam memberi petundjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinja. Selalu aku
melihat mereka duduk bersama-sama dan  selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan  sesuatu  seperti,
,,Nah,  djangan  lupa  mentjatat  bedak  baji,  pisau  ketjil  untuk  pemotong  talipusatnja  dan  emban  untuk
menahan perutmu sendiri." 
Dimalam Fatma akan melahirkan kanii mendjamu tamu-tamu penting - orang Djepang dan orang  Indonesia.
Fatmawati sibuk melajani sebagai njonja-rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku sendiri
membimbingnja  kekamar  dan memanggil  dokter. Mulai  dari  saat  itu  aku  tetap  berada  disisinja,  pun  tidak
tidur barang  satu  kedjap  sampai  ia memberikan  kepadaku  seorang putera  jang  tidak  ternilai  itu. Kududuk
diatas  tempat-tidur mendampinginja, memegang  tangannja  sementara  ia melahirkan.  Aku  bukanlah  orang
jang bisa  tahan melihat darah, akan  tetapi disaat didjadikannja  seorang manusia  idamanku  ini adalah  saat
jang  paling  nikmat  dari  seluruh  hidupku.  Djam  lima  waktu  subuh,  ketika  terdengar  azan  dari  mesdjid
memanggil ummat untuk menjembah Tuhannja, anakku jang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah. 
Tuhan Jang Maha-Penjajang dan Maha-Bidjaksana telah memandjangkan umur bapakku untuk dapat melihat
darah-dagingku mengindjak dunia ini. Setelah itu ia djatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan-bulan dengan
tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas jang penghabisan. 
Aku teringat akan ,,Si Tukang Kebun", sebuah buku tjerita jang kubatja pada waktu masib berumur 13 tahun.
Waktu  itu aku  tidak mengerti maknanja  jang  lebih dalam.  la mentjeritakan  tentang bagaimana daun-daun
kaju jang sudah tjoklat dan kering harus djatuh dan memberikan tempatnja kepada putjuk jang hidjau dan
baru. 
Duapuluh tahun kemudian barulah aku mengerti. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls