BAB III
MENGENAL BEBERAPA ISTILAH DALAM TASAWUF
A. HAQIQOH MUHAMMADIYAH
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam ‘aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterima dan diakui oleh ijma’ (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama’ tasawwuf (awliya’ Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari Quran dan Hadits Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Konsep ‘aqidah Nur Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah makhluq pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Pada artikel ini, insha Allah akan dijelaskan, dalil-dalil qath’i (bukti yang pasti) berupa ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan atribut Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nur (cahaya) yang dikaruniakan Allah Ta’ala bagi segenap alam semesta. Akan kita dapati pula, penjelasan dari berbagai ulama ahli tafsir (mufassir) akan makna ayat-ayat tersebut.
I. Konsep Nur Muhammad dalam Al Quran[1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang menyebut Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nuur (cahaya), atau sebagai “Siraajan Muniiran” (makna literal: Lampu yang Bercahaya).
Hal ini dapat kita perhatikan dari ayat-ayat berikut:
1. dalam QS. Al-Maidah 5:15
قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ
“…Sungguh telah datang padamu dari Allah, nuur (cahaya) dan kitab yang jelas dan menjelaskan”
2. dalam QS.An-Nur 24:35
مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ
“…Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti suatu misykat (bundel) di mana di dalamnya ada suatu lampu, lampu itu ada dalam gelas, dan gelas itu seperti bintang yang berkelip, dinyalakan dari pohon yang terberkati, suatu zaitun yang tak terdapat di timur maupun di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir sudah bercahaya sekalipun api belum menyentuhnya; cahaya di atas cahaya…”
3. dalam QS. Al-Ahzab 33: 45-46
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً وَدَاعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً
“Wahai Nabi sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai seorang Saksi, Seorang Pembawa kabar gembira, dan seorang Pemberi Peringatan, dan sebagai Seorang Penyeru (Da’i) kepada Allah dengan izin-Nya, dan
sebagai suatu Lampu yang menebarkan Cahaya“.
sebagai suatu Lampu yang menebarkan Cahaya“.
Tafsir Dan Interpretasi Ayat :
I. Mengenai ayat pertama (5:15)
- Qadi ‘Iyad berkata, “Beliau (Nabi) dinamai cahaya (Nuurun) karena kejelasan perkaranya dan karena fakta bahwa Nubuwwahnya (Kenabiannya) telah dijadikan amat jelas, dan juga karena menerangi cahaya orang-orang mukmin dan ‘arif billah dengan apa yang beliau bawa.”
- Suyuti dalam Tafsir al-Jalalayn, Fayruzzabadi dalam Tafsir Ibn ‘Abbas berjudul Tanwir al-Miqbas (hlm. 72), Shaykh al-Islam, Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Mujaddid abad keenam, dalam Tafsir al-Kabir-nya (11:189), Qadi Baydawi dalam Tafsirnya yang berjudul Anwar al-Tanzil, al-Baghawi dalam Tafsir-nya berjudul Ma’aalim
al-Tanzil (2:23), Imam al-Shirbini dalam Tafsirnya berjudul al-Siraj al-Munir (hlm. 360), pengarang Tafsir Abi Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam Tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”
al-Tanzil (2:23), Imam al-Shirbini dalam Tafsirnya berjudul al-Siraj al-Munir (hlm. 360), pengarang Tafsir Abi Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam Tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”
- Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (6:92) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memunahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nuurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
- al-Khazin dalam Tafsir-nya (2:28) mengatakan serupa: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah bermakna: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam. Allah menyebut beliau cahaya tidak dengan alasan apa pun melainkan karena seseorang terbimbing olehnya (Muhammad SallAllahu ‘alayhi wasallam) dengan cara yang sama seperti seseorang terbimbing oleh cahaya dalam kegelapan.”
- Sayyid Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya berjudul Tafsir Ruhul Ma’ani (6:97) secara serupa berkata: “Telah datang padamu suatu cahaya (Nuurun) dari Allah: adalah, suatu cahaya yang amat terang yaitu cahaya dari cahaya-cahaya dan yang terpilih dari semua Nabi, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”
- Isma’il al-Haqqi dalam komentarnya atas Alusi berjudul Tafsir Ruh al-Bayan (2:370) secara serupa juga berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah dan suatu Kitab yang menjelaskan segala
sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin, penerj) adalah Quran….
sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin, penerj) adalah Quran….
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam disebut Cahaya (Nuurun) karena yang pertama yang dibawa keluar dari kegelapan kelalaian dengan cahaya dari kekuatan-Nya, adalah cahaya (Nuur) Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana beliau (Nabi Sall-Allahu ‘alayhi wasallam) pernah bersabda: ‘Hal pertama yang Allah ciptakan adalah cahayaku.”
Riwayaat ini berkenaan dengan pertanyaan Jabir ibn ‘Abd Allah yang bertanya tentang apa yang diciptakan Allah pertama kali sebelum segala sesuatu lainnya. Riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq (wafat 211H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55) dan Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi (periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya, Muslim 400. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abd al-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052), ahli hadits India, juga disebut oleh ‘Abd al-Hayy al-Lucknawi (wafat 1304 H) ahli hadits kontemporer India. Demikian pula oleh Al-Alusi dan Bayhaqi dengan matan [redaksi susunan kata hadits, penerj.] yang berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain.
Sebagai suatu catatan khusus adalah suatu fakta bahwa kaum Mu’tazili [kaum yang terlalu mengandalkan ra'yu atau logika akal, penerj.] berkeras bahwa Cahaya dalam ayat 5:15 merefer hanya pada Quran dan tidak pada Nabi. Alusi berkata dalam kelanjutan kutipan di atas: “Abu ‘Ali al-Jubba’i berkata bahwa cahaya/nuurun berkaitan dengan Quran karena Quran membuka dan memberikan jalan petunjuk dan keyakinan. al-Zamakhshari (dalam al-Kasysyaf 1:601) juga puas dengan penjelasan ini.” Penjelasan yang lebih dalam akan dua pendapat ini dijelaskan oleh Shah ‘Abd al-’Aziz al-Multani dalam al-Nabras (hlm. 28-29): “al-Kasysyaf memproklamasikan dirinya sebagai Bapak Mu’tazilaa… Abu ‘Ali al-Jubba’i adalah seperti Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab-nya kaum Mu’tazila Basra.” Kesamaan antara pendapat Mu’tazila dengan Wahhabi dan “Salafi” modern ditekankan oleh Imam Kawtsari di banyak tempat di kitab Maqalat-nya, di mana beliau menunjukkan bahwa seperti halnya Mu’tazilah, penolakan kaum Wahhabi (dan juga Salafi modern, penerj.) atas karakteristik awliya’ adalah kamuflase atas penolakan (karakteristik) yang sama dari diri para Nabi.
Ada suatu penjelasan yg patut dicatat di antara Ahlus Sunnah yang mendeskripsikan makna Nabi baik kepada Cahaya (Nuurun) maupun Kitab, al-Sayyid al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’aani (6:97): “Saya tidak menganggapnya dibuat-buat bahwa yang dimaksud baik dengan Cahaya (Nuurun) maupun Kitabun Mubin adalah sang Nabi, konjungsi dengan cara yang sama seperti yang dikatakan al-Jubba’i (bahwa baik Cahaya maupun Kitab adalah Quran). Tidak ada keraguan bahwa dapat dikatakan semua merefer ke Nabi. Mungkin Anda akan ragu utk menerima ini dari sudut pandang ‘ibara (ekspresi); tapi cobalah dari sudut pandang ‘isyarah.”
- Al-Qari berkata dalam Syarah al-Shifa’ (1:505, Mecca ed), bahwa “Telah pula dikatakan bahwa baik Cahaya maupun Kitab merefer pada Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, karena beliau adalah suatu cahaya yang cemerlang dan sumber dari segala cahaya, beliau adalah pula suatu kitab/buku
yang mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia.” Ia juga berkata (1:114, Madina ed.): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi, karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan penampilannya (tajallinya) di antara semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif.”
yang mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia.” Ia juga berkata (1:114, Madina ed.): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi, karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan penampilannya (tajallinya) di antara semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif.”
II. Mengenai ayat kedua (QS. 24:35)
- Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut, penerj.) adalah Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
- Ibn Kathir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip suatu laporan via Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
- Qadi ‘Iyad berkata dalam al-Syifa’ (edisi English p. 135): Niftawayh berkata berkaitan dengan kata-kata Allah: “…minyaknya hampir-hampir bercahaya sekalipun api tidak menyentuhnya…” (24:35): “Ini adalah perumpamaan yang Allah berikan berkaitan dengan Nabi-Nya. Ia berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa wajah ini (wajah Rasulullah SAW, pen.) telah hampir menunjukkan kenabiannya bahkan sebelum beliau menerima wahyu Quran, sebagaimana Ibn Rawaha berkata:
Bahkan jika seandainya tidak ada tanda-tanda nyata di antara kami, wajahnya telah bercerita padamu akan berita-berita.”
- Di antara mereka yang berkata bahwa makna “matsalu nuurihi” — perumpamaan Cahaya-Nya — adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah: Ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir-nya (18:95), Qadi ‘Iyad dalam al-Syifa’, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil (5:63) dalam catatan al-Khazin, dari Sa’id ibn Hubayr dan
ad-Dahhak, al-Khazin dalam Tafsir-nya (5:63), Suyuti dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49), Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad (1:110, 2:449).
ad-Dahhak, al-Khazin dalam Tafsir-nya (5:63), Suyuti dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49), Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad (1:110, 2:449).
- al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Quran (18:93) berkata: “Nabi adalah suatu cahaya (Nuurun) dan suatu lampu yang memancarkan cahaya.”
- al-Qari dalam Syarah al-Shifa’ berkata: “Makna yang paling jelas adalah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya (Nuur) adalah Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam.”
III. Mengenai ayat ketiga (QS. 33: 45-46)
- Qadi al-Baydawi berkata dalam Tafsir-nya: “Itu adalah matahari berdasarkan firman-Nya: “Telah Kami jadikan matahari sebagai suatu lampu”; atau, itu mungkin berarti suatu lampu”.
- Ibn Kathir menyatakan dalam Tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…dan suatu lampu yang bersinar’, adalah: statusmu (Wahai Nabi, penj) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala.”
- Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (1:147) berkata: “kata itu (lampu) digunakan untuk segala sesuatu yang mencahayai.”
- al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171) berkata: “Beliau dinamai Lampu karena dari satu lampu muncul banyak lampu, dan cahayanya tidak berkurang.”
- `Abd Allah ibn Rawaha al-Ansari cucu dari penyair Imru’ al-Qays berkata tentang Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam: law lam takun fihi ayatun mubina lakana manzaruhu yunabbi’uka bi al-khabari “Bahkan seandainya, tidak ada ayat (tanda) berkenaan dengan ia (SAW), yang nyata dan jelas sungguh memandangnya saja sudah bercerita padamu akan khabar/berita” Ibn Hajar meriwayatkannya dalam al-Isaba (2:299) dan berkata: “Ini adalah syair terindah dengan mana Nabi pernah dipuji.” Ibn Sayyid al-Nas berkata tentang Ibn Rawaha ini dalam Minah al-Madh (hlm.. 166): “Ia terbunuh sebagai syahid di perang Mu’ta pada 8 JumadilAwwal sebelum Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Di hari itu ia adalah salah satu dari komandan. Ia adalah salah seorang dari penyair yang berbuat kebaikan dan biasa menangkis segala bahaya yang menyerang Rasulullah. Adalah berkenaan dengan dia dan dua temannya Hassan (ibn Tsabit) dan Ka’b (ibn Zuhayr) yang disinggung dalam ayat “Kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan dan bedzikir pada Allah sebanyak-banyaknya.” (As-Syu’ara 26:227).”
- Dan sebagai atribut dari Allah adalah Dzu al-Nur yang berarti Sang Pencipta cahaya, dan Penerang langit dan bumi dengan cahaya-cahaya-Nya, juga sebagai Penerang qalbu orang2 mukmin dengan petunjuk/hidayah. Imam Nawawi berkata Syarah Sahih Muslim, dalam komentarnya atas doa Nabi yang dimulai dengan: “Ya Allah, Engkaulah Cahaya Langit dan bumi dan milik-Mu lah segala puji…” (Kitab Salat al-Musafirin #199): “Para ulama berkata bahwa makna “Engkau adalah cahaya langit dan bumi” adalah: Engkaulah Dzat Yang menyinari mereka (langit dan bumi) dan Pencipta cahaya mereka. Abu ‘Ubayda berkata: “Maknanya adalah bahwa dengan cahaya-Mu penduduk langit dan bumi memperoleh hidayah.” al-Khattabi berkata dalam komentarnya atas nama Allah an-Nur: “Itu berarti Ia yang dengan cahaya-Nya yang buta dapat melihat, dan yang tersesat dapat terbimbing, di mana Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan adalah mungkin bahwa makna al-Nur adalah: Dzu al-Nur, dan adalah tidak benar bahwa al-Nur adalah atribut dari Zat Allah, karena itu hanyalah atribut dari aksi (sifatu fi’li), yaitu: Ia adalah Pencipta dari cahaya.” Yang lain berkata: “Makna cahaya langit dan bumi adalah: Sang Pengatur matahari dan bulan dan bintang-bintang mereka (langit dan bumi).”"
II. Penciptaan Nur Muhammad s.a.w [2]
Suatu hari Sayedena Ali, karamallahu wajhahu, misanan dan menantu Nabi Muhammad s.a.w. bertanya, Wahai Muhammad, kedua orang tuaku akan menjadi jaminanku, mohon katakan padaku apa yang diciptakan Allah Ta’ala sebelum semua makhluq ciptaan? Berikut ini adalah jawaban nya yang indah :
Sesungguhnya, sebelum Rabb mu menciptakan lainnya, Dia menciptakan dari Nur Nya nur Nabimu, dan Nur itu diistirahatkan haithu mashaAllah, dimana Allah menghendakinya untuk istirahat. Dan pada waktu itu tidak ada hal lainnya yang hadir tidak lawh al-mahfoudh, tidak Sang Pena, tidak Surga ataupun Neraka, tidak Malaikat Muqarabin (Angelic Host), tidak langit ataupun dunia; tiada matahari, tiada rembulan, tiada bintang, tiada jinn atau manusia atau malaikat belum ada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Kemudian Allah Subhanallah dengan iradat Nya menghendaki adanya ciptaan. Dia kemudian membagi Nur ini menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan Pena, dari bagian kedua lawh al-mahfoudh, dari bagian ketiga Arsy.
Kini telah diketahui bahwa ketika Allah menciptakan lawh al-mahfoudh dan Pena, pada Pena itu terdapat seratus simpul, jarak antara kedua simpul adalah sejauh dua tahun perjalanan. Allah kemudia memerintahkan Pena untuk menulis, dan Pena bertanya, Ya Allah, apa yang harus saya tulis? Allah berkata, Tulislah : la ilaha illAllah, Muhammadan Rasulullah. Atas itu Pena berseru, Oh, betapa sebuah nama yang indah, agungMuhammad itu bahwa dia disebut bersama Asma Mu yang Suci, ya Allah.
Allah kemudian berkata, Wahai Pena, jagalah kelakuan mu ! Nama ini adalah nama Kekasih Ku, dari Nurnya Aku menciptakan Arsy dan Pena dan lawh al-mahfoudh; kamu, juga diciptakan dari Nur nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apapun.
Ketika Allah S.W.T. telah mengatakan kalimat tersebut, Pena itu terbelah dua karena takutnya akan Allah, dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup/terhalang, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contoh nya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang/meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.
Kemudian Allah memerintahkan Pena untuk menulis. Apa yang harus saya tulis, Ya Allah? bertanya Pena. Kemudian Rabb al Alamin berkata, Tulislah semua yang akan terjadi sampai Hari Pengadilan ! Berkata Pena, Ya Allah, apa yang harus saya mulai? Barkata Allah, Kamu harus memulai dengan kata-kata ini : Bismillah al-Rahman al-Rahim. Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian Pena bersiap untuk menulis kata-kata itu pada Kitab (lawh al-mahfoudh), dan dia menyelesaikan tulisan itu dalam 700 tahun.
Ketika Pena telah menulis kata-kata itu, Allah S.W.T. berbicara dan berkata, Telah memakan 700 tahun untuk kamu menulis tiga Nama Ku; Nama Keagungan Ku, Kasih Sayang Ku dan Empati Ku. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini saya buat sebagai sebuah hadiah bagi ummat Kekasih Ku Muhammad.
Dengan Keagungan Ku Aku berjanji bahwa bilamana abdi manapun dari ummat ini menyebutkan kata Bismillah dengan niat yang murni, Aku akan menulis 700 tahun pahala yang tak terhitung untuk abdi tadi, dan 700 tahun dosa akan Aku hapuskan.
Sekarang (selanjutnya), bagaian ke-empat dari Nur itu Aku bagi lagi menjadi empat bagian :
Dari bagian pertama Aku ciptakan Malaikat Penyangga Singgasana (hamalat al-‘Arsy);
Dari bagian kedua Aku telah ciptakan Kursi, majelis Ilahiah (Langit atas yang menyangga Singgasana Ilahiah, ‘Arsy);
Dari bagian ketiga Aku ciptakan seluruh malaikat (makhluq) langit lainnya;
Dan bagian ke-empat Aku bagi lagi menjadi empat bagian:
Dari bagian pertama Aku membuat semua langit, dari bagian kedua Aku membuat bumi-bumi , dari bagian ketiga Aku membuat Jin dan api.Bagian keempat Aku bagi lagi menjadi empat bagian : dari bagian pertama Aku membuat cahaya yang menyoroti muka kaum beriman; dari bagian kedua Aku membuat cahaya di dalam jantung mereka, merendamnya dengan ilmu ilahiah; dari bagian ketiga cahaya bagi lidah mereka yang adalah cahaya Tawhid (Hu Allahu Ahad), dan dari bagian keempat Aku membuat berbagai cahaya dari ruh Muhammad s.a.w.
Ruh yang cantik ini diciptakan 360,000 tahun sebelum penciptaan dunia ini, dan itu dibentuk sangat (paling) cantik dan dibuat dari bahan yang tak terbandingkan.
Kepalanya dibuat dari petunjuk, lehernya dibuat dari kerendahan hati, matanya dari kesederhanaan dan kejujuran, dahinya dari kedekatan (kepada Allah), mulutnya dari kesabaran, lidahnya dari kesungguhan, pipinya dari cinta dan ke-hati-hati-an, perutnya dari tirakat terhadap makanan dan hal-hal keduniaan, kaki dan lututnya dari mengikuti jalan lurus, dan jantungnya yang mulia dipenuhi dengan rahman.
Kepalanya dibuat dari petunjuk, lehernya dibuat dari kerendahan hati, matanya dari kesederhanaan dan kejujuran, dahinya dari kedekatan (kepada Allah), mulutnya dari kesabaran, lidahnya dari kesungguhan, pipinya dari cinta dan ke-hati-hati-an, perutnya dari tirakat terhadap makanan dan hal-hal keduniaan, kaki dan lututnya dari mengikuti jalan lurus, dan jantungnya yang mulia dipenuhi dengan rahman.
Ruh yang penuh kemuliaan ini diajari dengan rahmat dan dilengkapi dengan adab semua kekuatan yang indah. Kepadanya diberikan risalahnya dan kualitas kenabiannya dipasang.
Kemudian Mahkota Kedekatan Ilahiah dipasangkan pada kepalanya yang penuh barokah, masyhur dan tinggi diatas semua lainnya, didekorasi dengan Ridha Ilahiah dan diberi nama Habibullah (Kekasih Allah)yang murni dan suci.
Duabelas Tabir { Bismi=786 7+8+6=21 Mirror of 21= 12 Bulan, 12th Rabil Awal, 12 suku, 12 Menunjukkan Penuntasan}
Sesudah ini Allah S.W.T., menciptakan duabelas tabir.
1. Yang pertama dari itu adalah Tabir Kekuatan didalam mana Ruh Nabi s.a.w. mukim (tinggal) selama 12,000 tahun, membaca Subhana rabbil-ala (Maha Suci Rabb-ku, Maha Tinggi).
2. Yang kedua adalah Tabir Kebesaran dalam mana dia ditutupi selama 11,000 tahun,berkata, Subhanal Alim al-Hakim (Maha Suci Rabb-ku, Maha Tahu, Maha Bijak).
3. Tabir ke-tiga adalah Tabir Kebaikan dalam mana dia dipingit selama 10,000 tahun , mengucapkan Subhana man huwa daim, la yaqta (Maha Suci Rabb-ku Yang Abadi, Yang Tidak Berakhir).
4. Tabir ke-empat adalah Tabir Rahman, disitu ruh mulia itu tinggal selama 9,000 tahun, memuja Allah, berkata: Subhana-rafi-al-‘ala (Maha Suci Rabb ku Yang Ditinggikan, Maha Tinggi).
5. Tabir ke-lima adalah Tabir Nikmat, dan di situ tinggal selama 8,000 tahun, mengagungkan Allah dan berkata, Subhana man huwa qaimun la yanam. (Maha Suci Rabb-ku Yang Selalu Ada, Yang Tidak Tidur).
6. Tabir ke-enam adalah Tabir Kemurahan; dimana dia tinggal selama 7,000 tahun, memuja, Subhana-man huwal-ghaniyu la yafqaru (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Kaya, Yang Tidak Pernah Menjadi Miskin).
7. Kemudian diikuti tabir ke tujuh, Tabir Kedudukan. Disini ruh tercerahkan itu tinggal selama 6,000 tahun, memuja Allah dan berkata : Subhana man huwal Khaliq-an-Nur (Maha Suci Rabb-ku Maha Pencipta, Maha Cahaya Light).
8. Berikutnya, Dia menyelimutinya dengan tabir ke delapan, Tabir Petunjuk dimana dia tinggal selama 5,000 tahun, memuja Allah dan berkata, Subhana man lam yazil wa la yazal. (Maha Suci Rabb-ku Yang Keberadaan Nya Tak Pernah Berhenti, Yang Tidak Musnah).
9. Kemudian diikuti tabir ke sembilan, yaitu Tabir Kenabian dimana dia tinggal selama 4,000 tahun, mengagungkan Allah: Subhana man taqarrab bil-qudrati wal-baqa. (Maha Suci Rabb-ku yang Mengajak Dekat dengan Maha Kuat dan Maha Langgeng).
10. Kemudian datang Tabir Keunggulan, tabir ke sepuluh dimana ruh yang tercerahkan ini tinggal selama 3,000 tahun, membaca pepujian untuk Pencipta dari Semua Sebab, berkata, Subhana dhil-‘arsyi ?amma yasifun. (Maha Suci Rabb-ku Pemilik Singgasana Diatas Semua Karakter Yang Dilekatkan Kepada Nya).
11. Tabir ke-sebelas adalah Tabir Cahaya. Disana dia tinggal selama 2,000 tahun, berdoa, Subhana dhil-Mulk wal-Malakut. (Maha Suci Rabb-ku Maha Raja semua Kerajaan Langit dan Bumi).
12. Tabir ke-dua belas adalah Tabir Intervensi (Syafaat), dan disana dia tinggal selama 1,000 tahun, berkata Subhana-rabbil-azhim (Maha Suci Rabb-ku, Maha Anggun).
Setelah itu Allah menciptakan sebuah pohon yang dikenal sebagai Pohon Kepastian. Pohon ini memiliki empat cabang. Dia menempatkan ruh yang diberkahi tadi pada salah satu cabang, dan dia terus menerus memuja Allah untuk 40,000 tahun, mengatakan, Allahu dhul-Jalali wal-Ikram. (Allah, Pemilik Keperkasaan dan Kebaikan).
Setelah dia memuja Nya demikian itu dengan pepujian yang banyak dan beragam, Allah S.W.T. menciptakan sebuah cermin ,dan Dia meletakannya demikian hingga menghadapi ruh Habibullah, dan memerintahkan ruh itu untuk memandangi cermin itu.
Ruh itu melihat ke dalam cermin dan melihat dirinya terpantul sebagai pemilik bentuk yang paling cantik/ bagus dan sempurna.
Dia kemudian membaca lima kali, Shukran lillahi taala (terima kasih kepada Allah, Maha Tinggi Dia), dan tersungkur dalam posisi sujud dihadapan Rabb-nya. Dia tetap bersujud seperti itu selama 100 tahun, mengatakan Subhanal-aliyyul-azhim, wa la yajhalu. (Maha Suci Rabb ku Maha Tinggi Maha Anggun, Yang Tidak Mengabaikan Apapun); Subhanal-halim alladhi la yuajjalu. (Maha Suci Rabb-ku Maha Toleran, Yang Tidak Tergesa-gesa); Subhanal-jawad alladhi la yabkhalu. (Maha Suci Rabb ku Maha Pemurah Yang Tidak Pelit).
Karena itulah Penyebab (Adanya) Makhluq mewajibkan ummat Muhammad s.a.w. untuk melakukan sujud (sajda) lima kali dalam sehari lima shalat dalam jangka waktu siang sampai malam ini adalah sebuah hadiah kehormatan bagi ummat Muhammad s.a.w.
Dari Nur Muhammad, berikutnya Allah menciptakan sebuah lampu jamrut hijau dari Cahaya,dan dilekatkan pada pohon itu melalui seuntai rantai cahaya.
Kemudian Dia menempatkan ruh Muhammad s.a.w. di dalam lampu itu dan memerintahkannya untuk memuja Dia dengan Nama Paling Indah (Asma al-Husna).
Itu dilakukannya, dan dia mulai membaca setiap satu dari Nama itu selama 1,000 tahun.
Ketika dia sampai kepada Nama ar-Rahman (Maha Kasih), pandangan ar-Rahman jatuh kepadanya dan ruh itu mulai berkeringat karena kerendahan hatinya.
Tetesan keringat jatuh dari padanya, sebanyak yang jatuh itu menjadi nabi dan rasul, setiap tetes keringat beraroma mawar berubah menjadi ruh seorang nabi .
Mereka semua berkumpul di sekitar lampu di pohon itu, dan Azza wa Jala berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w., Lihatlah ini sejumlah besar nabi yang Aku ciptakan dari tetesan keringatmu yang menyerupai mutiara.
Mematuhi perintah ini, dia memandangi mereka itu, dan ketika cahaya mata itu menyentuh menyinari objek itu, maka ruh para nabi itu sekonyong konyong tenggelam dalam Nur Muhammad s.a.w., dan mereka berteriak, Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?
Mematuhi perintah ini, dia memandangi mereka itu, dan ketika cahaya mata itu menyentuh menyinari objek itu, maka ruh para nabi itu sekonyong konyong tenggelam dalam Nur Muhammad s.a.w., dan mereka berteriak, Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?
Allah menjawab mereka, Ini adalah Cahaya dari Muhammad Kekasih Ku, dan kalau kamu akan beriman kepadanya dan menegaskan risalah kenabiannya, Aku akan menghadiahkan kepada kamu kehormatan berupa kenabian.
Dengan itu semua ruh para nabi itu menyatakan iman mereka kepada kenabiannya, dan Allah berkata, Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini, dan mereka semua setuju. Sebagaimana disebutkan di dalam al Quran yang Suci:
Dan ketika Allah bersepakat dengan para nabi itu : Bahwa Aku telah memberi kamu Kitab dan Kebijakan; kemudian akan datang kepadamu seorang Rasul yang menegaskan kembali apa-apa yang telah apa padamukamu akan beriman kepadanya dan kamu akan membantunya; apa kamu setuju? Dia berkata. Dan apakah kamu menerima beban Ku kepadamu dengan syarat seperti itu. Mereka berkata, ?Benar kami setuju. Allah berkata, ? Bersaksilah demikian, dan Aku akan bersama kamu diantara para saksi. (Ali Imran, 3:75-76)
Kemudian ruh yang murni dan suci itu kembali melanjutkan bacaan Asma ul Husna lagi. Ketika dia sampai kepada Nama al-Qahhar, kepalanya mulai berkeringat sekali lagi karena intensitas dari al Qahhar itu, dan dari butiran keringat itu Allah menciptakan ruh para malaikat yang diberkati.
Dari keringat pada mukanya, Allah menciptakan Singgasana dan Hadhirat Ilahiah, Kitab Induk dan Pena, matahari, rembulan dan bintang -bintang.
Dari keringat di dadanya Dia menciptakan para ulama, para syuhada dan para mutaqin.
Dari keringat pada punggungnya dibuat lah Bayt-al-Mamur (rumah surgawi), Kabatullah (Kaba), dan Bayt-al-Muqaddas (Haram Jerusalem), dan Rauda-i-Mutahhara (kuburan Nabi Suci s.a.w.di Madinah), begitu juga semua mesjid di dunia ini.
Dari keringat pada alisnya dibuat semua ruh kaum beriman, dan dari keringat punggung bagian bawahnya (the coccyx) dibuatlah semua ruh kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung.
Dari keringat di kaki nya dibuatlah semua tanah dari timur ke barat, dan semua apa-apa yang berada didalamnya. Dari setiap tetes keringatlah ruh seorang beriman atau tak-beriman dibuatnya. Itulah sebabnya Nabi Suci s.a.w.disebut juga sebagai Abu Arwah, Ayah para Ruh. Semua ruh ini berkumpul mengelilingi ruh Muhammad s.a.w., berputar mengelilinginya dengan pepujian dan pengagungannya selama 1,000 tahun; kemudian Allah memerintahkan para ruh itu untuk memandang ruh Muhammad s.a.w..Para ruh mematuhi.
Siapa Memandang kepada Ruh Muhammad s.a.w.
Nah, di antara mereka yang pandangannya jatuh kepada kepalanya ditakdirkan menjadi raja dan kepala negara di dunia ini. Mereka yang memandang kepada dahinya menjadi pemimpin yang adil. Mereka yang memandang matanya akan menjadi hafiz Kalimat Allah (yaitu seorang yang memegangnya kedalam ingatannya). Mereka yang memandang alisnya akan menjadi pelukis dan artist.
Mereka yang memandang telinganya akan menjadi mereka yang menerima peringatan dan nasehat. Mereka yang melihat pipinya yang penuh barakah menjadi pelaksana karya yang bagus dan pantas. Mereka yang melihat mukanya menjadi hakim dan pembuat wewangian, dan mereka yang melihat bibirnya yang penuh barokah menjadi menteri.
Barang siapa melihat mulutnya akan menjadi mereka yang banyak berpuasa. Barangsiapa yang melihat giginya akan menjadi kelihatan bagus/cantik, dan siapa yang melihat lidahnya akan menjadi utusan /duta raja-raja. Barang siapa melihat tenggorokannya yang penuh barokah akan menjadi khatib dan muadhdhin (yang mengumandangkan adhan).
Barang siapa memandang janggutnya akan menjadi pejuang di jalan Allah. Barang siapa memandang lengan atasnya akan menjadi seorang pemanah atau pengemudi kapal laut, dan barang siapa melihat lehernya akan menjadi usahawan dan pedagang.
Siapa yang melihat tangan kananya akan menjadi seorang pemimpin, dan siapa yang melihat tangan kirinya akan menjadi seorang pembagi (yang menguasai timbangan dan mengukur catu kebutuhan hidup).
Siapa yang melihat telapak tangannya menjadi seorang yang gemar memberi; siapa yang melihat belakang tangannya akan menjadi kolektor. Siapa yang melihat bagian dalam dari tangan kanannya menjadi seorang pelukis; siapa yang melihat ujung jari tangan kanannyaakan menjadi seorang calligrapher, dan siapa yang melihat ujung jari tangan kirinya akan menjadi seorang pandai besi.
Siapa yang melihat dadanya yang penuh baraokah akan menjadi seorang terpelajar, meninggalkan keduniaan (ascetic) dan berilmu. Siapa yang melihat punggungnya akan menjadi seorang yang rendah hati dan patuh pada hukum Sharia. Siapa yang melihat sisi badanya yang penuh barokah akan menjadi seorang pejuang. Siapa yang melihat perutnya akan menjadi orang yang puas, dan siapa yang melihat lutut kanannya akan menjadi mereka yang melaksanakan ruk?u dan sujud. Siapa yang melihat kakinya yang penuh barokah akan menjadi seorang pemburu, dan siapa yang melihat telapak kakinya menjadi mereka yang suka bepergian.
Siapa yang melihat bayangannya akan mejadi penyanyi dan pemain saz (lute). Semua yang memandang tetapi tidak melihat apa-apa akan menjadi kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung. Mereka yang tidak memandang sama sekali akan menjadi mereka akan menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan, seperti Nimrod, Pharoah dan sejenisnya.
Kini semua ruh itu diatur dalam empat baris.
Di baris pertama berdiri ruh para nabi dan rasul, a.s.;
Di baris kedua ditempatkan ruh para orang suci, para sahabat Allah;
Di baris ketiga berdiri ruh kaum beriman, laki dan perempuan;
Di baris ke empat berdiri ruh kaum tak-beriman.
Semua ruh ini tetap berada dalam dunia ruh di hadhirat Allah S.W.T.sampai waktu mereka tiba untuk dikirim ke dunia fisik.
Tidak seorang pun tahu kecuali Allah S.W.T. yang tahu berapa selang waktu dari waktu diciptakannya ruh penuh barokah Nabi Muhammad sampai diturunkannya dia dari dunia ruh ke bentuk fisiknya itu.
Diceritakan bahwa Nabi Suci Muhammad s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibra'il, Berapa lama sejak engkau diciptakan?
Malaikat itu menjawab, Ya Rasulullah, saya tidak tahu jumlah tahunnya, yang saya tahu bahwa setiap 70,000 tahun seberkas cahaya gilang gemilang menyorot keluar dari belakang kubah Singgasana Ilahiah; sejak waktu saya diciptakan cahaya ini muncul 12,000 kali.
Apakah engkau tahu apakah cahaya itu? bertanya Muhammad s.a.w. Tidak, saya tidak tahu, berkata malaikat itu. Itu adalah Nur ruhku dalam dunia ruh, jawab Nabi Suci s.a.w. Pertimbangkan kemudian, berapa besar jumlah itu, jika 70,000 dikalikan 12,000 !
Demikianlah sebagian kecil dari kisah tentang penciptaan Nur Muhammad s.a.w !
III. Hakikat Nur Muhammadiyah Itu Yang Galibnya Mengemuka Dalam Bidang Irfan Teoritis.
Hakikat nur Muhammadiyah atau “Hakikat Muhammadiyah” dalam terminologi Irfan adalah entitas permanen Muhammadi yang berada di puncak entitas-entitas permanen (a’yan tsâbitah) dan terealisasi dengan tajalli (manifestasi) unggul Ilahi kemudian menjadi media penampakan seluruh kebaikan dan keberkahan di alam semesta dan keberadaan.
Terminologi ini diadopsi dari sebagian riwayat yang memperkenalkan hakikat nur Muhammadiyah sebagai entitas terunggul dan berada pada puncak kedekatan kepada Allah Swt.
Kebanyakan para arif Muslim membahas masalah ini dan termasuk salah satu rukun Irfan Islam. Tema Nur Muhammadiyah menempati kedudukan istimewa dalam Irfan Teoritis Ibnu Arabi.
Hakikat Muhammadiyah merupakan sebuah terminologi dalam dunia Irfan Islami. Hakikat Muhammadiyah bermakna entifikasi awal dari Zat Ilahi yang menduduki puncak seluruh “entifikasi permanen” (a’yan tsâbitah) dan puncak seluruh entifikasi permanen ini adalah ismu ‘azham (nama-nama teragung) dan himpunan seluruh nama terindah Tuhan. Beranjak dari hakikat ini, seluruh semesta bermunculan dan tampilan seluruh semesta ini disebut juga sebagai haqiqat al-haqâiq. Sesuai dengan keyakinan para arif, hakikat Muhammadiyah secara sempurna memanifestasi dalam diri seorang insan paripurna (kamil); nabi, rasul, wali, yang merupakan cermin dan manifestasi-manifestasi hakikat ini di alam sifla (rendah) dan manifestasi sempurnanya di alam ini adalah Rasulullah Muhammad Saw.[[3]]
Terdapat banyak riwayat terkait dengan hakikat nur Muhammadi yang sangat berpengaruh dalam membentuk redaksi hakikat Muhammadiyah; karena riwayat tersebut membagi wujud Rasulullah Saw menjadi dua bagian, wujud khalqi (lahir) dan wujud haqqi (batin) dan menempatkannya sangat dekat kepada Haq (Tuhan) dan mahkluk tidak mampu mencerap kesempurnaannya. Misalnya:
1. “لي مع الله وقت لا يسعني فيه ملك مقرب ولا نبـي مرسل.”[[4]] Atau riwayat lain, “لي وقت لا يَسعني فيه غير ربي.” Aku bersama Tuhan pada waktu-waktu yang (pada waktu itu) tiada malaikat terdekat dan tiada nabi utusan. Atau riwayat lainnya, “Tiada yang memiliki akses (pada waktu itu) selain Tuhanku.”
2. “ أنا سيد ولد آدم ولا فخر “[[5]] Aku adalah penghulu anak-anak Adam dan hal ini bukan kebanggaan bagiku.
3. “آدم ومن دونه تحت لوائي يوم القيام.”[[6]] Adam dan siapapun yang datang setelahnya, dihari kiyamat semuanya berada di bawah panjiku.
Terdapat beberapa riwayat yang mengandung pengertian serupa khususnya riwayat-riwayat yang menunjukkan atas keterdahuluan cahaya Muhammad Saw atas seluruh makhluk. Pada sebagian riwayat lainnya menyinggung kesatuan cahaya Baginda Ali As dan cahaya Rasulullah Saw.[[8]]
Sesuai dengan pandangan ini, dalil paling utama dan paling benderang atas wujud Allah Swt adalah hakikat Muhammadiyah, lantaran hakikat ini memiliki keunggulan paling tinggi dalam kesatuan dengan Tuhan, dengan keberadaannya maka ia menetapkan wujud Tuhan dan pada batasan yang paling maksimal hakikat Muhammadiyah ini menampilkan apa yang ditunjukkan-Nya (baca: Tuhan).
Hakikat Muhammadiyah sesuai dengan redaksi lain adalah wujud ghaibi Rasulullah Saw yang disebut juga sebagai batin nubuwwah (kenabian) dan disebutkan bahwa hakikat Muhammadiyah ini adalah wilayah batin kenabian. Sejatinya, “wali” merupakan nama Allah dan maqam wilayah adalah lantaran di satu sisi hakikat ini menuju pada Hak, fana dalam Zat-Nya, baqa (abadi) kepada-Nya. Sedangkan kenabian adalah dari sisi lain lantaran hakikat ini menuju ciptaan (khalq) yang bersifat temporal dan suatu waktu kelak akan terputus.
Sesuai dengan keyakinan para arif, seluruh nabi, semenjak Adam hingga Isa (Alaihimussalam) merupakan cermin-cermin hakikat ini. Akan tetapi dengan datangnya Rasulullah Saw, maka seluruh tampilan dan manifestasi sempurna hakikat ini mengejawantah pada diri Muhammad (hakikat Muhammadiyah).
Terjalinnya rajutan batin dan sampainya kepada hakikat ini, merupakan cita dan asa para arif Islam yang merupakan kedekatan paripurna dengan keyakinan Syiah pada masalah wilâyah para Imam Maksum As. Sesuai dengan tuturan para arif, hakikat Muhammadiyah ini, pasca Rasulullah Saw memanifestasi secara paripurna pada diri Baginda Ali As dan para Imam Maksum lainnya. Pada tingkatan selanjutnya mengejewantah pada para arif pewaris para maksum As.
Mayoritas urafa (plural: arif) mengemukakan hal-hal subtil dan sublim terkait dengan masalah ini. Di sini kami akan menyebutkannya secara selayang pandang. Misalnya Syaikh Muhammad Syabistari dalam hal ini bersenandung,
Buwad nur Nabi Khursyid-e A’zham | Cahaya Nabi adalah mentari teragung |
Gha az Musa padid gha ze A^dam | Terkadang memendar dari Musa terkadang dari Adam |
Ze nurasy syud wilâyat saye Gustar | Dari cahayanya menebar pancaran wilayah |
Masyâriq ba Maghârib syud Barâbar | Timur dan Barat menjadi berimbang |
Wujud-e Auliya cu Udhwand | Wujud para wali seluruhnya bak anggotanya |
Ke U kull ast isyan hamcun Juzwand[[9]] | Dia adalah keseluruhan dan lainnya adalah bagian darinya |
Demikian juga Maulana Rumi secara lebih lugas dalam syair – dalam pandangannya ihwal wahdat al-wujud- menjelaskan perjalanan “hakikat Muhammadiyah” pada batin pada wali dan nabi:
Secara keseluruhan, ia yang datang dan pergi, setiap kurun
Meski bentuk lahirnya sebagai seorang Arab yang memiliki semesta
Bukan reinkarnasi bukan juga titisan, pada hakikat keindahannya
Menjadi pedang dan menjelma menjadi Karrar,[[10]] pembunuh zaman
Lamat-lamat ucapannya bersenandung Ana al-Haqq dengan gema Ilahi
Ia bukan Manshur yang digantung oleh orang-orang dungu
Rumi tidak berkata-kata kufur dan janganlah mungkir
Orang yang kafir adalah orang yang ingkar dan menjadi penghuni neraka[[11]]
Terkait dengan latar sejarah konsep ini dalam dunia Irfan teoretis (nazhari) boleh jadi dapat dikatakan Ibnu Faridh, salah seorang arif, yang berbicara tentang hakikat Muhammadiyah ini. Ia dalam kasidah masyhurnya (Taiyyah Kubrâ) membahas masalah ini dan menggubah hakikat Muhammadiyah dalam bentuk syair sebagaimana berikut:
“Kendati aku adalah anak Adam pada alam lahir akan tetapi (sejatinya) aku adalah ayah bagi Adam. Aku masih berada dalam buaian sementara para nabi telah menjadi pengikut dan pendukungku. Lempengan hakikatku sempurna pada semuanya. Sebelum aku menyusui dan sebelum aku menerima taklif secara lahir menjadi seorang mukallaf, (menjalani) syariatku yang menjelaskan karakter dan akhlakku, aku (telah) menjadi penutup seluruh syariat.[[12]]
Setelah Ibnu Faridh kemudian muncul Ibnu Arabi yang secara luas menguraikan masalah ini. Dan, salah satu rukun Irfan Ibnu Arabi adalah “hakikat Muhammadiyah” sedemikian sehingga terminologi ini secara asasi dikenal sebagai salah satu terminologi sentral Irfan Ibnu Arabi. Kendati terdapat para arif lainnya yang mengemukakan dan membahas masalah ini dengan redaksi dan bahasa yang berbeda.
Irfan Islami yang tidak mengangkat pembahasan “hakikat Muhammadiyah” dan “insan kamil” yang merupakan wadah hakikat ini, maka Irfan Islami tersebut hampa kandungannya. Sebagaimana tidak mungkin menjelaskan hakikat-hakikat intrinsik kenabian dan imamah tanpa membahas kedua masalah ini.
Kiranya cukup sampai di sini kami membahas masalah ini dan bagi Anda yang tertarik untuk menelaah dan mengkajinya lebih jeluk, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku-buku Irfan Nazhari utamanya Irfan Teoritis Ibnu Arabi.
DAFTAR PUSTAKA
· Dâneshnâme Jahân-e Islâm, Nasyr Bunyad-e Daira al-Ma’arif Islami, huruf ha.
· Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, Muasssah al-Wafa, Beirut.
· Di antararnya “Khuliqtu Ana wa ‘Ali min Nur Wâhid.” Al-Amali Shaduq, Intisyarat Kitabkhane Islamiyah.
· Muqaddamah Masyâriq al-Dirâri, Jalaluddin Asytiyani, Intisyarat-e Daftar Tablighat-e Islami.
· Salah satu gelar Imam Ali yang bermakna, menerjang dan menyerang serta pantang mundur sebelum mendapatkan mangsanya.
· Muqadddemeh Guzideh Ghazaliyât Syams, Syafi’i Kadkani.
· Ibnu Faridh, Diwân Ibn Fâridh, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut.
INSAN KAMIL
Insan Kamil Menurut Ibnu Arabi
Karena biografi singkat Ibnu Arabi sudah ada pada bab sebelumnya, maka disini penulis langsung ke ini pembahasan.
Sedangkan konsep insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi terbagi menjadi dua bagian, yakni manusia Sempurna tingakt unniversal dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal, seperti dikatakan W.C. Chittick, adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia Sempurnya individual. Sedangkan manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia para Nabi dan para Wali Allah.
Dalam padangan al-Arabi setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla, mazhar) Tuhan dan manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada manusia sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat secara sempurna dan seimbang.
Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau “sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan” berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhandan semua realitas alam.[[13]].
Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau “sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan” berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhandan semua realitas alam.[[13]].
Perpaduan (jam’iyyah) pada diri manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi pada alam. Ibn Arabi berkata; Ia adalah manusia yang baharu, yang azali; Ia adalah bentuk yang kekal, yang abadi, yang memisahkan dan yang memadukan. Manusia adalah baharu (hadits) dari aspek badanianya dan yang azali (azali) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya. Jasad manusia adalah baharu (hadits) badaniahnya dan ruhnya adalah azali.
Masih dalam hal perpaduan, Ibn Arabi bekata: manusia terdiri dari dua salinan (nuskhatani), yaitu salinan yang tampak (nuskhah zahirah) dan salinan dua salinan yang tersembunyi.salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhan …dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ilahi.[[14]]
Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (kewakilan) sebagai hak istemewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk-makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk memadahi syarat khalifah. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia, atau mausia Sempurna.
Sementara manusia sempurna pada tingkat partikular, Ibn Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia Sempurna (insan kamil) dan manusia Binatang (al-insan hayawan). Dengan menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia mejadi sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia Sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para Nabi dan para Wali Allah. Tentang perbedaan ini, Ibn Arabi berkata:
“Karena manusia Sempurna adalah menurut gambar Sempurna, maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah di alam. Mari kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khilafah. Menurut pedapat ini manusia binatang benar-benar bukan khilafah.”
Kesempurnaan manusia adalah terletak pada “perpaduan” yang memberinya hak istimewa untuk menjadi khilafah. Bagi Ibn Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan (rubat al-kamal) adalah binatang yang lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah.
Ibn Arabi tidak setuju manusia dikatakan “binatang berakal” seperti yang dilakukan banyak orang, bahkan pendapat itu suatu kekeliruan besar yang menyesatkan. Kemampuan berfikir bukanlah sifat utama yang mebedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat utama yang menjadi ciri khusu manusia, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, adalah “bentuk ilahi”, “bentuk Tuhan”. (al-surah al-Ilahiyah). Teori ini didasarkan atas hadits Imago Dei, yang menyatakan bahwa Allah meciptakan manusia menurut bentuk-Nya.
Bagi Ibn Arabi manusia sempurna tergantug pada ubudiyah, yakni membentuk ketaatan mutlak kepada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkannya. Manusia diharuskan “berakhlak dengan akhlak Allah” (al-takhulluqu bi akhlaq Allah). Takhalluq adalah perwujudan Allah; ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah; dan ubudiyah tidak lain khalifah. Perpaduan sempurna antara ubudiyah dan khilafah terwujud pada Nabi Muhamad Saw manusia yang paling sempurna.
Jadi manusi Sempurna adalah manusia yang mengaktualisasikan ubudiayahnya. Sehingga pada saat yang sama, manusia Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti, derajatnya tinggi dan mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang; ia mengaktualisasikan khilafahnya. Semakin “merendah” manusia dihadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Demikian gambaran konsep manusia sempurna (insan kamil) bagi Ibn Arabi.
INSAN KAMIL ‘ABD AL-KARIM AL-JILLI
A. Akar Konsep Insan Kamil al-Jilli
Konsep Insan Kamil dengan sangat jelas merupakan perpanjangan dari konstruksi pemikiran dari sebuah penghayatan, yang dikemukakan oleh para sufi cerdas. Hal ini bisa dilihat secara historis dalam literatur pemikiran Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, dengan munculnya karya agung Ibn ‘Arabi (w. 638 H/1240 M) al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam. Walaupun orang pertama yang membuka jalan bagi munculnya konsepsi manusia seutuhnya adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj seorang tokoh sufi Bagdad (244-309 H/858-922 M), dengan mengemukakan konsepsi nur Muhammad dan al-hulul, yaitu konsep yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh orang tertentu untuk tempatnya setelah sifat-sifat kemanusiaan orang itu dihilangkan.
Dengan ajaran hulul itu al-Hallaj mengatakan bahwa di dalam diri Tuhan terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang dinamakan nasut, dan dalam manusia terdapat sifat ketuhanan yang dinamakan lasut. Ajaran hulul ini mendapat bentuk yang lebih sempurna setelah datang seorang sufi yang bernama Ibn ‘Arabi, merekonstruksi dan mengembangkan ajaran hulul al-Hallaj menjadi wahdatul al-wujud. Contoh kecil dari perubahan itu adalah perubahan istilah lahut al-Hallaj dia tukar dengan sitilah al-haq dan nasut dia tukar dengan al-khalq. Dan keduanya ini mempunyai hakikat yang satu, dimana yang dzahirnya adalah al-khalaq (makhluk), dan yang bathinnya adalah al-haq (Tuhan). Al-haq ini akan ber-tajjali pada al-khalq yang paling tinggi citra wujudnya, dan kesempurnaan tajjali ini akan terwujud pada manusia yang paling sempurna citra wujudnya. Selanjutnya istilah insan kamil ini digunakan oleh seorang sufi besar dengan nama Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jilli (767-826 H/1365-1422), untuk mengidentifikasi konsepsinya mengenai manusia sempurna. Dan sebetulnya konsepsi al-Jilli, mengenai Insan Kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep Ibn ‘Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensistematisasi konsep insan kamil Ibn ‘Arabi yang telah ada dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibn ‘Arabi.
Selain paham di atas, ada lagi yang berpendapat bahwa konsep manusia sempurna ini berasal dari paham Neo-Platonisme, hal ini diperjelas oleh Rasyidi sebagai berikut:
“Hakekat Muhammad atau Nur Muhammad adalah suatu hasil dari meresapnya Neo-Platonisme. Menurut paham Neo-Platonisme ada tiga hal: pertama, The One atau The God atau The First Principle; kedua, The Devine Mind atau nous; dan yang ketiga, adalah soul. Dari yang pertama memancarlah yang kedua, yang merupakan the world of form (alam misal), dan dari alam misal memancarlah alam materi ini. Hubungan antara alam materi dan the devine mind dinamakan soul. Pancaran dari Tuhan tanpa ada kehendak dari Tuhan, dan hal ini terjadi secara otomatis”.
Menurut konsepsi Nur Muhammad ini Tuhan menciptakan Nur Muhammad, baru setelah itu segala yang diciptakan memancar dari yang Esa. Jika dibandingkan dengan teori Neo-Platonisme Tuhan menancar yang disebut logos. Logos dengan kekuatannya memancar roh yang merupakan kesatuan roh-roh. Sejalan logos dalam Neo-Platonisme dan Nur Muhammad sama berfungsinya sebagai perantara dalam penciptaan.
B. Riwat Hidup al-Jilli
Nama lengkap tokoh ini ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa—menurut pengakuannya sendiri—ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w. 821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti di Persia dan belajar bahasa Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif di kota ini (Persia). Empat tahun kemudian (803 H) ia pun berkunjung ke kota Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima. Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah dua tahun kemudian, kurang lebih, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti), di kota Zabid lah ia menghabiskan hidupnya sampai akhir hayat.
C. Karya-karya al-Jilli
Karya-karya al-Jilli sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya al-Jilli dan ternyata hasil dari ketiga peneliti itu membuktikan bahwa masing-masing mereka saling melengkapi. Penelitian pertama dilakukan oleh Haji Khalifah, ia mencatat bahwa al-Jilli telah menulis 6 (enam) judul karya tulis. Sedangkan peneliti kedua adalah Ismail Pasya al-Bagdadi, ia menambahkan 5 (lima) karya al-Jilli dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
1. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler, dan buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli.
3. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
4. Lawami’ al-Barq
5. Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
6. Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
D. Insan Kamil al-Jilli
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat al-Muhammadiyah sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo). Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu. Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali.
Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.
E. Tajjali dan Taraqqi al-Jilli
Al-Jilli sendiri membagi tajjali Tuhan atas lima tingkatan: Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah). Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya.
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib.
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1. al-Islam, dimana pada tingkat ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
2. al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
3. al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’).
4. al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas.
5. al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya.
6. al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan.
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan.
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan.
7. al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satumerasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya.
c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas.
d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.
KONSEP INSAN KAMIL : TELAAH NORMATIF
Bab ini membahas konsep insan kamil yang akan ditelaah malalui telaah normatif, dalam telaah ini sosok insan kamil akan dilihat dari; (A) Pengertian Manusia; (B) Dimensi-Dimensi Insan Kamil; (C) Kedudukan Insan Kamil, dan (D) Proses Pembentukan Insan Kamil. Dengan mengemukakan pembahasan ini, diharapkan akan mengantarkan kita pada pengenalan terhadap sosok manusia, dimensi kesempurnaan manusia dan kedudukannya di dunia, juga pembentukan sosok insan yang sempurna yang selanjutnya akan dijadikan alat analisis dalam pembahasan ini.
Pengertian Manusia
Banyaknya teori tentang manusia, menunjukkan banyaknya orang yang penasaran akan diri manusia. Misalnya saja teori evolusi Darwin, Sigmund Freund, yang mengadakan pengamatan pada sekelompok orang-orang sakit (abnormal) dan yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk bumi yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh libido. Manusia juga disebut sebagai hewan yang berpikir demikian pendapat seorang filosof Yunani Aristoteles. Kaum sosiolog berbeda titik pandangnya tentang manusia. Mereka menganggap makhluk ini adalah makhluk sosial yang tidak mampu untuk hidup sendiri.1
Definisi-definisi di atas memberi gambaran akan keunikan manusia, sehingga sulit untuk dipahami. Berkaitan dengan ini, tidak salah kiranya kalau penulis akan menguraikan hakekat manusia secara agamis yaitu dalam perspektif Islam, dalam hal ini akan mengacu pada Al Qur’an dan Hadits serta pandangan dari pemikir-pemikir muslim.
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang berbicara tentang manusia. Setidaknya ada dua kata kunci dalam Al Qur’an yang semuanya mengacu pada makna pokok manusia yaitu Basyar dan Insan
1. Basyar
Menurut Ali Syari’ati, al-basyar adalah manusia yang esensi kemanusiaannya tidak nampak, aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanyalah wujud (being) ia memang makhluk Allah SWT. Tetapi bukan hamba dan khalifahnya, karena esensi kemanusiaan tidak tampak adanya.2 Selanjutnya kata al basyar, dalam al Qur’an disebut sebanya 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali Imron : 47, al Kahfi : 110; Al Fushilat : 6; Al-Furqon : 7 dan Yusuf : 31.3 Salah satu dari surat-surat tersebut adalah berbunyi :
Artinya : “Maryam berkata : “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun…” ( QS. Ali Imran : 47 ).4
Sedangkan menurut Abuddin Nata, kata Al-Basyar itu dipakai untuk menyebutkan manusia dalam pengertian lahirnya, sehingga menurutnya pengertian Basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktifitas lainnya, yang dipengaruhi dorongan kodrat alamiah, seperti makan, minum, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.5 Jadi basyar dapat pula dikatakan pengertian manusia, yang menunjuk pada manusia yang terlihat pada aktivitas fisiknya, lebih jelasnya basyar menurut Asyah Abd Al Rahman, sebagaimana dikutip Abuddin Nata adalah kata yang dipakai untuk menyebutkan semua makhluk baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individu maupun kolektif.6 Kata Basyar adalah jamak dari “Basyarah” yang artinya : permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh yang menjadi tampak tumbuhnya rambut.7
Pemakaian kata Basyar untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiahnya.8 Serta tersebutkan di atas bahwa manusia dalam pengertian ini adalah manusia seperti tampak pada lahirnya, mempunyai kerangka tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama, yang ada di alam ini dan sering waktu mereka akan tua dan akhirnya mati.
Sedangkan dalam Al Qur’an, seperti tersebut di atas kata Basyar disebut kurang lebih 27 kali, kesemuanya dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata Basyar dalam pengertian kulit kepala, Al Qur’an menyatakan :
Artinya : “tahukan kamu apa (neraka) saqar itu ? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan (neraka Saqar) adalah membakar kulit kepala.” ( QS. Al- Mudatsir ; 27-29).
Selanjutnya Basyar sering dipakai dalam kaitan dengan persentuhan laki-laki dengan perempuan atau persentuhan seperti yang telah disebutkan terdahulu (QS. Ali Imron : 47) kata Basyar juga mengartikan manusia pada umumnya (QS. Al-Mudatsir : 25) tentang penciptaan manusia (QS. Al Mushaad : 71-76) dan menjelaskan manusia semuanya akan mati (QS. Al-Anbiya’ : 34-35).9
Jadi bila manusia basyar ini, dikatakan sebagai subyek kebudayaan memang benar, sebab segala aksinya adalah kodrat alamiah.
2. Al-Insan
Dalam mengenal manusia secara komprehansif selain satu istilah yang telah disebutkan di atas yakni Basyar, ada istilah lain yang dinyatakan dapat menghantar pengenalan terhadap siapa manusia itu sebenarnya, yaitu istilah yang lebih banyak disebut dalam Al Qur’an melebihi Basyar yaitu Al-Insan.
Kata Insan yang bentuk jamaknya Al-Naas dari segi semantik atau ilmu akar kata, dapat dilihat dari asal kata al-naas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata itu mempunyai petunjuk adanya kaitan subtansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya. Ia dapat pula mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, dan terdorong untuk minta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.10 Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia dalam kategori yang kedua ini adalah manusia yang diberi pelajaran, sehingga dengan pelajaran yang diterima tersebut, manusia dapat mengembangkan dirinya menuju kesempurnaan.
Pendapat tersebut di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh seorang cendekiawan muslim, sekaligus ulama yaitu Ali Syari’ati menjelaskan bahwa Insan berarti seorang manusia dalam arti sebenarnya. Tipe manusia ini berada dengan tipe manusia umumnya, memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara orang satu dengan orang yang lainnya, sesuai dengan tingkat realitas atau esensinya. Jadi bila kita meyebutkan Insan, kita tidak memaksudkannya pada sebagian penduduk dunia pada umumnya yakni tiga miliar makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua manusia adalah insan. Namun mereka mempunyai potensi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari kemanusiaan lain.11
Selanjutnya, masih menurut Ali Syari’ati, dalam mengekspresikan manusia dalam istilah Insan adalah manusia yang bergerak maju ketaraf menjadi (becoming) atau menyempurna. Menjadi adalah bergerak maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, tidak pernah menghambat atau menghentikan proses terus menerus kearah kesempurnaan.12
Kata Insan yang dalam Al Qur’an disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori : Pertama, Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanat; Kedua, Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia; Ketiga, semua konteks Insan menunjuk pada sifat-sifat psikologi atau spiritual.13
Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau yang memikul amanat seperti dalam Al Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikiul amanat itu dan mereka khawatir untuk mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S.Al-Ahzab : 72).
Sedangkan manusia dalam kategori kedua yakni dihubungkan. dengan predisposisi negatif pada diri manusia, misalnya cenderung zalim dan kafir terdapat dalm Q.S. Ibrahim : 34, manusia itu tergesa-gesa dalam, dalam Q.S. Al Isra’ : 11, manusia itu banyak membantah dan berdebat, dalam Q.S. Al- Kahfi : 52 dan masih banyak sifat-sifat negatif manusia yang lain.
Selanjutnya, manusia dalam kategori terakhir yaitu dihubungkan dengan proses penciptaan manusia sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat (Q.S. Al-Hijr : 26, Al-Rahman : 14, Al-Mu’minun : 12, dan Q.S. Al Sajadah : 7).
Kemudian, kata dalam kategori nasia yang juga berasal dari insan menpunyai arti “lupa”, hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Zumar : 8. Sedangkan kata An-Naas, dipakai Al Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya.14 Berbagai kegiatan itu antara lain :
1. Sekumpulan manusia mengadakan kegiatan peternakan (Q.S. Al-Qashas : 23).
2. Pemanfaatan besi (Q.S. Al Hadid : 25)
3. Tentang perubahan sosial (Q.S. Ali Imron : 140)
4. Tentang pelayaran dan perlunya memperhatikan perubahan alam (Q.S. Al-Baqarah : !64).
5. Tentang kepemimpinan (Q.S. Al Baqarah : 124), dan
6. Tentang ibadah (Q.S. Al Baqarah : 21).
Semua kegiatan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang didasari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkrit, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkan.15
Manusia Insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.16 Sehingga dari sini dapat difahami bahwa manusia yang disebut insan menunjukkan betapa luasnya lapangan kegiatan manusia di dunia ini.
Seluruhnya akan sukses bila manusia menggunakan akalnya, menyeimbangkan kegiatan itu dengan nurani dan beraktivitas dengan jasadnya. Jasad digunakan sebagai sarana perhubungan fisik dengan alam, akal sebagai daya hidup yang menggerakkan dan ruh sebagai kekuatan yang kreatif yang memunculkan gagasan-gagasan yang sifatnya pembenaran.
Bertolak dari hal di atas, manusia sempurna itu dapat ditelaah dari dimensi fisik (physical), akal (intelectual) dan ruh (religiusity). Kesatuan dari kesempurnaan kegiatannyalah wujud dari insan kamil.
B. Dimensi Insan Kamil
Ditinjau dari hakekat wujud manusia, Al-Qur’an mengawalinya dengan menjelaskan proses dan asas penciptaan manusia. Dalam hal ini manusia mengungkapkan bahwa manusia itu telah diciptakan dari sejenis tanah liat kering yang diberi bentuk (Q.S. al-Hijr: 26). Dan telah disempurnakan dalam bentuk manusia maka ditiupkan roh oleh Tuhan ke dalamnya (Q.S. al-Hijr: 29).
Dari dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa makhluk yang bernama manusia itu mempunyai dimensi-dimensi dalam kesempurnaannya. Yang paling tampak adalah : sempurnanya manusia itu menyangkut tiga hal, yakni : sempurna fisiknya, sempurna akalnya dan yang terakhir adalah dengan ditiupkan roh Tuhan di dalam jasadnya.
1. Fisik (Phisycally)
Bertumpu pada Q.S. Al-Hijr : 26 dan 29 seperti tersebut di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa, hakekat wujud manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Dari aspek jasmani (fisik), Allah telah memberi keunggulan dan keistimewaan dibanding makhluk lainnya, hal terlihat dari penciptaan fisik yang bagus dan seimbang.
Firman Allah SWT :
Artinyta : “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. Al Tiin : 4).
Dari ayat di atas adapat diambil pengertian bahwa Allah SWT telah memulai terlebih dahulu dengan sumpah yaitu, bahwa antara makhluk Allah di atas muka bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna atau sebaik-baik bentuk. Bentuk tubuhnya melebihi bentuk tubuh hewan yang lainnya, tentang ukuran dirinya, tentang manis air mukanya, sehinnga dinamai dengan Basyar, artinya wajah yang mengandung gembira, sangat beda dengan binatang lainnya. Dan manusia diberi akal bukan semata nafasnya yang turun naik. Maka dengan keseimbangan sebaik-baik tubuhnya dan pedoman pada akalnya itu dapatlah ia hidup dipermukaan bumi ini sebagai pengatur. Kemudian Allahpun mengutus Rasul-rasul, membawa petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya selamat.17
Ayat lain yang menerangkan bahwa manusia sempurna dari segi fisiknya adalah Q.S. Al-Munafiqun : 4, yaitu :
Artinya : “ …dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berbicara, kamu mendengarkan (pembicaraan) mereka (karena indahnya terdengar) mereka seakan kayu tersandar (sifat mereka sangat jelek walau fisiknya bagus)”.18
Dari dua ayat di atas, Allah telah menegaskan bahwa manusia itu adalah mempunyai fisik yang paling sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Kesempurnaan fisik bisa dilihat dari kelengkapan organ-organ tubuhnya, sehingga membuat manusia bersifat lebih aktif dan dinamis untuk beradaptasi dengan alam dibanding dengan makhluk lain.
Sedangkan kesempurnaan pada mental manusia karena manusia dikaruniai akal pikiran yang mampu untuk berfikir dan bernalar secara kritis dan analisis.
2. Akal (intelektual)
Selain makhluk jasmani, manusia juga makhluk rohani, yaitu makhluk yang tidak terdiri dari unsur materi semata akan tetapi mereka mempunyai akal pikiran, perasaan dan hawa nafsu.19 Dengan penggunaan akal dan perasaan ini akan dapat membentuk dirinya dalam lingkungan sosialnya dapat membuat ia senang dan marah. Kemampuan berfikir dan merasa ini adalah suatu nikmat, anugrah Allah yang paling besar dan inilah yang membuat manusia istimewa dibanding dengan makhluk yang lain.20
Akal dikatakan sebagai satu dimensi kesempurnaan manusia, karena dengan adanya akal pada dirinya itulah manusia mampu berfikir. Dengan berfikir manusia dapat memenuhi hasrat dalam memperoleh pengetahuan sekaligus untuk mencapai kebenaran dan kenyataan.
Mengenai kesanggupan manusia untuk berfikir sehingga membedakan jenisnya dari binatang, kecakapannya memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama dan kemampuannya dalam mepelajari Tuhan yang disembah serta wahyu-wahyu yang diterima oleh Rasulnya sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasaannya. Melalui kesanggupan untuk berfikir itulah, Tuhan mengaruniai manusia keunggulan di atas makhluk-makhluk-Nya yang lain. Kesanggupan manusia untuk berfikir itulah manusia sampai pada tingkatan Al Haqiqatul insaniyah sebagai realitas.21
Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti, yang pertama, akal adalah sifat yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal manusia bersedia menerima bermacam-macam ilmu yang memerlukan pemikiran. Yang kedua, hakekat akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Yang ketiga ialah ilmu yang diperoleh dari ilmu pengetahuan tentang akibat segala sesuatu dan pencegahan hawa nafsu.22 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa akal itu merupakan daya kekuatan untuk memperoleh ilmu, baik ilmu ukhrowi maupun ilmu duniawi. Dengan menguasai kedua ilmu tersebut manusia akan menguasai hawa nafsunya hingga terhindar dari kesesatan yang akan menyamakan jasadnya dengan binatang. Dengan demikian akal adalah satu dimensi kesempurnaan makhluk yang bernama manusia, karena tanpa itu manusia sama dengan binatang.
3. Ruh ( Religionsity )
Selain makhluk jasmani rohani, Al Qur’an juga menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang baik dan suci dari segi fitrah semenjak semula. Hal dapat dilihat dari dua aspek yaitu : bahwa ruh manusia berasal dari zat yang maha suci (QS. Al-Hajr : 29 ), dan anak lahir tidak membawa dosa turunan atau tidak mewarisi dosa Adam karena keluar dari surga. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT :
Artinya : “barang siapa berbuat sesuai dengan hidayah Allah maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang sesat maka sesunggguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan kami tidak mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul”. ( QS. Al-Iqra).
Ruh dikatakan sebagai salah satu dimensi kesempurnaan manusia, karena ruh manusia berasal dari nur Allah, hal ini tidak ada pada semua makhluk kecuali manusia.
Ruh berasal dari alam arwah, yang diturunkan ke dalam jasad manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan berkehendak atas tubuh yang didiaminya. Ketika ruh ditiupkan ke dalam badan, badan menjadi hidup, dan ketika meninggalkan badan, badanpun menjadi mati.23 Dan karena ruh dari Allah, maka selamanya dia akan merindukannya.24
Hal tersebut, banyak terbukti melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubarinya. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika manusia menyimpang dari jati diri (fitrah) mereka sendiri (lihat QS. Al-A’raf : 172 dan Ar-Ruum: 43).25
Selanjutnya diperjelas bahwa ruh itu merupakan unsur pembeda manusia dengan hewan. Dalam Al-Qur’an surat al Sajadah :7-9 dijelaskan: “manusia dalam fitrahnya memilki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa, antara rasa dan non rasa (materi) antara jiwa dan raga”.26
Kemudian dikatakan bahwa, dengan ruh itu pula manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannnya, mencapai ilmu yang bermacam-macam, berperikemanusiaan dan berakhlak yang baik.27 Hal ini jelas bahwa semua makhluk tidak mampu bertindak seperti yang dilakukan manusia, Musa Asy’ari menegaskan, hakekat ruh adalah bimbingan dan pimpinan Tuhan yang diberikan pada manusia yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan yang lain. Ruh tidak lain adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.28
Dari kenyataan di atas dapat difahami bahwa Allah memberikan ruh kepada manusia tidak lain untuk memahami sekaligus menjalani kebenaran di atas dunia. Sehingga khalifah Allah itu hanya diberikan kepada manusia tidak pada makhluk lain.
Dengan demikian jelas, dengan manusia memiliki tiga dimensi di atas yaitu jasad yang bagus, akal yang lengkap dan ruh ilahi membuat manusia itu sempurna dan mampu mengemban mandat yang diberikan Allah kepadanya (Khalifah fil ardl), dan hal ini diyakini sebagai konsekuensi dari ketiga dimensi yang terdapat pada diri manusia sebagai landasan dari kesempurnaannya.
Kedudukan manusia
Kedudukan, jabatan atau status, akan mengarahkan pada pembicaraan masalah fungsi manusia diciptakan di dunia ini. Dan dalam fungsi ini terkait pula makna, tugas dan kewajiban serta hak, sebab arti fungsi tanpa tugas, tugaspun baru akan bermakna bila menempati kewajiban, kewajiban yang semestinya serta dipenuhi hak-hak sebagai hubungan dari kewajiban dan tugas yang sudah terlaksana, dalam hal ini kaitannya dengan dilahirkannya manusia di tengah alam sebagai makhluk, menyandang tugas dan kewajiban yang berat dalam fungsinya yang ganda, yaitu : menjadi khalifah Allah sekaligus hamba Allah.
1. Khalifah
Sesuai dengan penciptaan manusia dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, serta berbagai kelebihan yang dimilikinya, Allah telah memberikan kepercayaan sepenuhnya pada manusia dalam rangka mengelola dan memakmurkan bumi dan segala isinya, sehingga ia digelari dengan khalifatullah fi al Ardh. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt :
Artinya : “ ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…”( QS. Al-Baqarah : 30 ).
Konteks khalifah dalam ayat di atas mengandung arti di belakang yang juga diartikan sebagai pengganti (karena yang menggantikan selalu berada atau datang dari belakang, sesudah yang digantikan).29 Begitu juga Hamka memahami arti kata tersebut dengan pengganti.30 Maka dapat difahami bahwa kata khalifah mempunyai pengertian sebagai pengganti dan wakil Allah di muka bumi.
Sebagai wakil Allah, sudah barang tentu manusia mempunyai tugas yang sangat berat. Oleh karenanya agar manusia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya itu, Allah tidak membiarkan manusia hidup begitu saja. Tanpa bekal yang memadahi. Allah bersifat rahman dan rahim telah memberika anugerah yang tinggi nilainya, kebebasan dan hidayah Allah yang sesungguhnya menyatu dengan fitrah manusia.31 Menurut Munawar Khalil, sebagaimana dikutip oleh Djamaluddin Darwis, bahwa hidayah yang dianugrahkan pada manusia dapat diklasifikasikan pada empat hal, yaitu :
- Hidayah Wujdaniyah, yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.
- Hidayah Hissiyah, yaitu potensi yang Allah berikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah yang pertama tadi. Panca indra ini merupakan jendela komunikasi untuk mengetahui lingkungan kehidupan manusia dan dalam Al Qur’an banyak sekali disebutkan fungsi indra manusia seperti pendengaran dan penglihatan.
- Hidayah Aqliyah, yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini manusia mampu berfikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan pada manusia untuk fungsi kekhalifahannya.
- Hidayah dinniyah, yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan As Sunnah.32
Mengenahi hidayah tersebut, Al-Qu’an lebih jelas telah menyebutkan potensi dan sumber daya insani yang dianugrahklan kepada manusia, yakni panca indra (telinga dan mata) dan Fu’ad (hati nurani dan akal pikiran) Firman Allah swt.:
Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaantidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.( QS. An-Nahl :78).
Dengan demikian, apabila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal akan menjadikan dirinya lebih sempurna dalam hidupnya dan akan tercipta mansuia yang berkualitas, sehingga menusia akhirnya akan mampu mengemban amanat yang cukup berat tersebut.
Untuk memnyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah, manusia juga diberi kebebasan berkehendak dan berbuat (free will and free act). Dengan kebebasan itu, manusia bebas untuk memilih, atau mengikuti jalan hidup yang ia pilih dan merumuskan sendiri jalan hidupnya sesuai dengan pandangan hidup atau idiologi mana saja yang ia sukai. Ia boleh menyusun tingkah laku sendiri atau mnerima dan mengambil yang telah disusun orang lain.
Namun prinsip kebebasan di sini tidaklah mutlak adanya, dikarenakan manusia pada dasarnya tidak bisa menentukan kuasa-kuasa apapun yang dimilikinya. Seperti halnya itu tidak bisa manusia panjangkan dan memendekkannya. Selain itu yang membatasi kebebasan manusia adalah berkenaan dengan tanggung jawab kepada Allah swt. maka hanya Allahlah yang berhak memiliki kebebasan mutlak. Selain itu fungsi kekhalifahan manusia di atas muka bumi ini adalah untuk menterjemahkan, menjabarkan dan membumikan (merealisasikan, mengimplementasikan, mengaplikasikan, dan mengaktualisasikan) sifat-sifat Allah yang serba maha itu dalam batas-batas kemanusiaan (dalam batas kemampuan manusia) dalam persada dataran kenyataan.34
Jadi bertolak dari fungsi di atas, menjadi tanggung jawab manusialah untuk memakmurkan bumi, dua hal ini akan bisa dilakukan manusia bila manusia itu sendiri paham akan hukum-hukum kebenaran yang terkandung di dalam ciptaan Allah yang ada di dunia ini, dan hal ini berarti dalam kekhalifahan manusia, manusia juga tetap tunduk pada dzat yang memberi mandat. Oleh karena itu manusia juga merupakan abdi yang harus patuh pada Allah SWT.
2. ‘Abdun
Istilah ‘abd di samping mempunyai arti budak, dalam pengertian yang negatif, iapun mempunyai arti positif yaitu dalam hubungan antara manusia dengan penciptaannya, seorang hamba Tuhan artinya orang yang taat dan patuh terhadap pewrintah-Nya. Oleh karena itu kata ‘abd dipakai untuk menyebutkan nabi-nabi, antara lain Nabi Nuh A.S.,35 dalam Al Qur’an disebutkan :
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا [الإسراء/3]
Artinya : “yaitu anal-anak dari orang yang kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba Allah yang banyak bersyukur”. ( Q.S. Al-Isra’ : 3)
Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada Allah, dalam arti selalu tunduk dan taat atas perintah Allah. beribadah kepada Allah tersebut merupakan prinsip hidup yang hakiki bagi setiap muslim, sehingga perilaku muslim sehari-hari senantiasa mencerminkan penempatan pengabdian itu di atas segala-galanya.
Ibadah secara harfiah dapat berarti tunduk (taat), melakukan pengabdian (taussuk), merendahkan diri (khudlu), menghinakan diri (taddzallul) dan istikhanah. Sedangkan secara istilah, Muhammad Abduh menginterpretasikan kata na’budhu dalam surat Al-Fatihah sebagai rasa ketaatan yang penuh kemerdekaan, dan setiap ungkapan yang menggambarkan makna secara senpurna. Selanjutnya Abduh menegaskan bahwa ibadah pada hakekatnya adalah sikap tunduk semata-mata untuk mengagungkan dzat yang disembahnya, tanpa mengetahui dari mana sumbernya dan kepercayaan terhadap kekuasaan yang terdapat di dalamnya dapat dijangkau oleh pemahaman dan hakekat.36
Dengan demikian bila kita memiliki prinsip kebebasan dalam tugas sebagai khalifah, maka manusia selaku makhluk atau hamba Allah justru menjumpai dirinya terikat dalam ketundukan dan ketaatan pada penciptanya. Sebagai konsekuensinya, semua perbuatan yang nampaknya dilakukan dalam urusan dunia dengan niat ibadah karena Allah maka ia telah malakukan dua fungsi (khalifah dan ibadah/’abd), sekaligus dan sebaliknya suatu pekerjaan besar yang banyak menyesatkan bagi manusia akan dipandang sia-sia di sisi Allah apabila tidak disertai niat ibadah.
Bertolak dari hal di atas, kebudayaan manusia sebagai khalifah Allah dan juga sebagai ‘Abd Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan suatu hal yang terpisahkan.37
Kesatuan fungsional tersebut, menghantarkan manusia menjadi sempurna dihadapkan makhluk lain sekaligus dihadapan allah SWT.
Pembentukan Isan Kamil
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa manusia yang dinyatakan sebagai insan kamil itu karena dia mempunyai tiga dimensi yakni dimensi fisik, dimensi akal dan dimensi ruh, yang ketiganya merupakan unsur yang terdapat pada semua diri manusia di dunia, namun tidak semua manusia mampu mengoptimalkan fungsinya di dalam realitas kehidupan baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd allah SWT.
Jadi insan kamil itu adalah sebuah konsep istilah yang memang mungkin diwujudkan dalam kehidupan serta diupayaklan pencapaiannya, misalnya melalui melalui upaya pendidikan dalam arti luas terhadap ketiga dimensi yang dimiliki manusia tersebut.
Sebagai sebuah konsep yang diupayakan pencapaiannya dilam kehidupan insan kamil bukanlah manusia sempurna yang hanya bisa dikhayal kemunculannya, akan tetapi manusia-manusia tersebut memang dapat diupayakan perwujudannya melalui upaya-upaya konseptual sekaligus merealisasikan dalam kehidupan di dunia.
Pertama, kesempurnaan manusia itu karena fisiknya yang sehat dan kuat hingga mampu menjalani seala aktivitas kehidupan yang perlu dan harus dilakukan.
Dalam Al Qur’an (Q.S. al-Abiya’:8) dijelaskan bahwa fisik atau jasad manusia memerlukan makanan. Dengan demikian agar manusia mempunyai fisik yang baik, sehat dan kuat ia harus makan. Dengan makan fisik manusia akan mengalami pertumbuhan, walaupun pertumbuan itu dibatasi oleh usia manusia itu sendiri. Di sisi lain al-Qur’an menjelaskan bahwa makanan itu juga dapat mengakibatkan baik dan buruknya terhadap kesehatan, salah satu ayat yang menerangkan bahwa madu itu merupakan obat dan baik untuk manusia yaitu :
يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [النحل/69]
Artinya : “dari perut lebah itu keluar minuman yang beraneka warna, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia” ( Q.S. an Nahl : 69).
Dalam kaitanya untuk membentuk fisik manusia supaya sehat maka manusia mengkonsumsi madu, niscaya fisiknya akan sehat sekaligus dapat menjadi obat bagi penyakitnya. Dan dalam membentuk fisik yang kuat dan memelihara kesehatan agar melakukan olah raga yang teratur makanan yang bergizi serta halal. Muhammad al Ghazali mengatakan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang halal. Mengandung semua zat yang diperlukan oleh tubuh manusia, serta dimakan dalam takaran yang cukup. Tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “kita ini golongan umat yang makan karena sudah lapar dan apa bila kita makan tidak terlalu kenyang”.
Dari uraian di atas dapat penulis fahami bahwa untuk membentuk fisik menjadi sehat, baik dan kuat, seseorang harus hidup teratur, makan makanan yang tepat, lingkungan sehat supaya terhindar dari berbagai penyakit yang berakibat melemahkan fisik tentunya makanan tersebut harus halal dan tayyib.
Kedua, manusia dikatakan makhluk yang sempurna karena manusia dikarunia akal.
Akal adalah daya rokhani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak maupun kemampuan yang bersifat relatip.39 Oleh karena itu akal harus difungsikan apabila tidak, manusia akan sama dengan binatang. Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup. Hingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran yang datangnya dari Allah SWT.40
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan supaya manusia menggunakan akalnya (QS. Al-Baqarah :75-76) sebab manusia sempurna itu dikatakan sempurna bila ia dapat menggunakan akalnya secara sempurna. Untuk menyempurnakan fungsi akal hendaknya melatih dan belajar secara terus menerus Imam Syafi’i mengatakan bahwa salah satu yang dapat merusak akal yaitu akal akan tertutup karenanya adalah khamer, hal ini dapat di fahami dengan pengertian khamer itu sendiri :
وفي تسميتها ثلاثة أقوال نقلها ابن بطال في هامش المهذّب. أحدها: إنها تخمر
Artinya : “suatu yang memabukkan dinamakan khamer karena ada tiga alasan Pertama sesungguhnya ia menutup akal”.
Dari pengertian khamer tersebut dapat dikatakan bahwa dengan meminum khamer akal akan tertutup, bila tertutup akal tidak dapat berfungsi sebagaimana akal sehat. Oleh karena itu untuk mendapatkan akal yang sehat hendaknya menghindari khamer atau barang sejenisnya.
Akal adalah salah atu unsur dari pada ruh, dan merupakan alat tertinggi bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan alam nyata. Alat itu harus dipergunakan.42
Kecerdasan menggambarkan kemampuan seseorang memanfaatkan akalnya, kemampuan itu tumbuh dari pengalaman dan pelajaran, hal ini dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga usaha yakni :
- Kesadaran kemampuan pribadi itu sendiri atau ketekunan (kemauan dan usaha pribadi).
- Pendidikan pengajaran yang diterimanya (usaha luar).
- Campuran : ketekunan dan pengajaran yang tepat.43
Dari uaraian diatas jelaslah bahwa dalam membentuk manusia yang sempurna yaitu manusia yang mempunyai fungsi akal yang sempurna.
Menururt Sir Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip Musa Asy’ari mengatakan bahwa akal sebagai daya rokhani untuk memahami kebenaran bekerja dengan menggunakan pikiran dan qalbu yang keduanya berhubungan secara organis.44
Selanjutnya dikatakan bahwa pikiran dan qalbu dalam pandangan tauhid merupakan kesatuan fungsional dan kesatuan mekanisme akal, keduanya merupakan sarana untuk memahami kebenaran.45 Dari uraian dapat difahami bahwa hati atau qolbu sangat menentukan dalam aktifitas pembuatan manusia, oleh karena itu manusia sempurna dibentuk dengan menjaga diri dari segala penyakit hati, seperti riya, sombong, hasud, dan sebagainya. Hal ini sering dikenal dengan ambisi pribadi.46
Dengan manusia menghindari penyakit hati ini akan menjadi jernih dan menyadari kebutuhan hatinya yaitu beribadah kepada Allah, dengan demikian hatinya akan selalu hidup, kekuatan batinnya akan tetap kokoh, sehingga perilaku dhahirnyapun akan ikut memancarkan cahaya keimanan yang bersumber dari qalbunya. Jadi semua aktivitas akal yang dilakukan merupakan kebenaran.47
Dalam hubungannya dengan pembentukan insan kamil, ruh berusaha untuk disucikan dari segala kotoran nafsu yang tak terkendali, salah satunya dengan intensitas kegiatan ibadah sehingga ruh mengenal dan tahu tentang siapa sebenarnya zat yang telah menciptakannya. Karena pada hakekatnya manusia itu mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan, dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di sanubarinya. (QS. Al A’raf: 172)
Dalam kehidupan, agama menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya serta cara-cara beribadah dan berdo’a, melalui pengenalan agama dan berlatih menjalani niscara ruh manusia akan selalu sadar dan rindu akan Tuhannya. Dan dengan demikian manusia akan berusaha menjadi khalifah di muka bumi sesuai dengan amanat Tuhan padanya penuh tanggung jawab baik di dunia dan di akhirat, bila dia sudah dapat merealisasi hal tersebut dia telah menjadi sempurna, karena untuk menjadi khalifah yang sesungguhnya, manusia beraktifitas tidak dapat dilepaskan dari pikiran alam dan melalui qolbunya memahami tanda-tanda Tuhan dan Sunnah-Nya dalam kehidupan. Dengan manusia perbuat mewujudkan kebenaran dibumi itu, manusia mepersembahkan hidupnya pada Tuhan, dan karenanya manusia dapat dikatakan sempurna sebab telah mengaktualisasikan semua dimensi darinya secara selaras dan seimbang baik bersifat fertikal maupun horisontal.
DAFTAR PUSTAKA
· Dr. M. Qurraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1994.
· Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: Dr. Amin Rais, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
· Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
· Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. Al qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta : 1971, hlm. 83 untuk selanjutnya semua kutipan terjemahan bersumber dari Departemen Agama RI.
· Drs. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta : 1997.
· Dr. H. Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta 1992.
· Prof. Dr. Syaikh Abdul Malik Karim Amrulla, Tafsir al Azhar, Juz XXX, cet. Ke IV, perpustakaan Islam, Surabaya, 1983.
· M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Qur’an al Karim, Pustaka Hidayah: 1999.
· Drs Amin Syukur, MA., Manusia dalam pandangan tasawuf, dalam reformasi filsafat pendidikan Islam, Chabib Toha dkk., (penyunting) Yogyakarta.
· Dr Zakiyah Darajat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
· Drs. Marasudin Siregar, Manusia Menururt Ibn Khaldun,dalam: Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha dkk., (penyunting) Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 1996.
· Al Ghozali, Ihya Ulumuddin, Terjemah, jilid I.
· Drs Ahmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian, Pustaka Amini, Jakarta: 1996.
· Dr. H. Rifat Nawawi, MA., Konsep Manusia menururt al Qur’an, dalam: Metododogi Psikologi Islam, penyunting: Rendra K., Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2000.
· Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Aditiya Media: 1992.
· Djamaluddin Darwis, M.A, Manusia Menururt Pandangan al Qur’an, dalam : Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha dkk. ( penyunting ) Pustaka Pelajar: 1996.
· H. Endang SaefuddinAnshari, MA., Iqra’ sebagai Mabda’ dalam: Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha, M.A., dkk ( penyunting) Pustaka Pelajar, 1996.
· Drs. Muhaimin, MA., Drs. Mujib, Pemikir-Pemikir Pendidikan Islam: Kajian Filosifis dan Kerangka dasar Operasionalnya, Trigenda Karya, bandung: 1993.
· Muhammad Al Ghazali, Akhlak Seoarang Muslim, penterjemah: Drs. Much Rifa’I, Wicaksana semarang, 1993.
· Imam Syafii, Al Muhazab., Juz II, Isal BAB, Mesir.
· Drs. HM. Ali Husai, Gizi dalam Al qur’an., Jakarta : 1985.
KASYF[15]
Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya.
Yang dimaksud kasyf menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf (iluminasi) adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap
bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui fikiran atau belajar.
bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui fikiran atau belajar.
Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya.
Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas dibalik hijab secara wujud.
Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim.
Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri, kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib melalui riyadah dan mujahidah mereka.
Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah.
Menurut Al Qaysari, sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firmannya :
"Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai."
Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan
indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya.
indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya.
Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.
Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:
Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.
Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).
Hijab ada sepuluh macam:
1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.
2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.
3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.
4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.
5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.
6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.
7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.
8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.
9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.
10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.
Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.
Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah.
Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,(Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar). yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.
Perkataan Syech (al-Mursyid), "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.
Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.
Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."
Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.
Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis (seperti pengakuan Iblis kpada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani). Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi (terutama yg masih di tengah jalan) masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang datang dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur'an, makr (tipu daya Allah). ia bisa jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yg suci bisa mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu'tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih bisa disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah (sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi). Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan "hal" atau keadaan spiritual, yang tidak permanen (yang berbeda dengan "maqam" yang relatif permanen). demikian sedikit tambahan
II. YANG DINAMAKAN KASYF
Bagi pengamal Tasawuf apalagi yang sudah pernah iktikaf, rasanya tidak asing mendengar kata Kasyaf atau pengucapan mudahnya menjadi “Kasyaf”. Kalau ada teman seperguruan yang boleh menerka isi hati orang lain atau mengetahui hal-hal yang belum terjadi kemudian kita menamakannya dengan kasyaf. Kita semua sepakat bahawa seorang yang kasyaf adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui hal-hal ghaib baik tentang dirinya maupun diluar dirinya, yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Akan tetapi pada umumnya kita tidak terlalu membincangkan makna kasyaf yang sebenarnya.
Prof. Dr. Djama’an Nur Guru Besar IAIN Raden Patah Palembang dalam bukunya “Tasawuf mengatakan bahawa Ilmu Kasyaf adalah ilmu yang diperoleh dengan terbukanya hijab (dinding atau tabir), sehingga hati nurani manusia mengetahui rahsia Ilahi, alam ghaib sebagai rahmat dari Allah SWT, setelah dekatnya yang bersangkutan dengan Allah. Menurut bahasa, kasyaf berarti terbuka atau tidak tertutup. Ilmu Kasyaf itu berpusat di hati sanubari manusia yang berada di dalam dada.
Muhammad Solikhin dalam buku “Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar” mengatakan bahawa kasyaf adalah penyingkapan atau wahyu, atau pengetahuan langsung dari Allah setelah seorang sufi berhasil melampaui tahap dzauq. Kasyaf merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambah kerinduannya yang bergelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan Ahli al-kasyaf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.
Dalam dunia sufi, terdapat lima jenis penyingkapan yang sering terjadi pada para sufi :
1. Kasyf ‘aqli; Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah tidak boleh diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘agl), kerana akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap akhir kenaikan menuju Allah. Akal mempunyai dimensi rendah tentu saja tidak akan boleh menjaungkau Zat yang Tidak Terhingga yag mempunyai dimensi sangat tinggi. Siapapun yang mencari Allah menggunakan akal tidak akan boleh menemukan Hakikat Allah yang sebenarnya. : “Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang lembut lagi tenang yang sanggup memuat-Ku”.
2. Kasyaf arwah; Adalah bentuk penyingkapan roh-roh. dimulakan tentang pengetahuan atas roh diri sendiri, kemudian tentang roh-roh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke roh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib. Puncak pada pengetahuan langsung roh al-idhafi, dan diarahkan kepada al-Roh al-Haqq.
3. Kasyf Bashari atau juga kasyf kauni; Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa (tempat, tindakan, atau ucapan manusia) seorang yang suci boleh menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (Jamal) dan Keagungan (Jalal). Melalui makhlukNya, Allah boleh mengungkapkan diri-Nya pada hamba-Nya melalui salah satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-asma’ al-husna atau al-asma’ al-nabi sangat strategik untuk menghantarkan dan membawa seorang sufi ke dalam samudera penghayatan rohaniah.
4. Kasyf Imani; Penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melalui ketulusan iman seorang mukmin. Kadar intensiti penyingkapan ini boleh berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang Mukmin untuk lebih banyak lagi mencari dan pengetahuan spritual.
5. Al-kasyf al-Ilahi; Penyingkapan Illahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (Dzikurullah). Prosesnya boleh melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya. Penyingkapan Ilahi ini boleh terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika keindahan Allah masuk kedalam hati seorang sufi dan pecinta-Nya. Ini juga boleh terjadi dengan bantuan visual berupa lokus tertentu bagi Cahaya Ilahi, seperti dengan senjata wushuliyah seorang suci (Mursyid), benda atau tempat suci. Menghadirkan Mursyid terus menerus dalam hati ibarat menyambungkan elektrik ke pusat sumber elektrik sehingga elektrik mengalir dengan sempurna dan boleh dipergunakan untuk apa saja. Atau ibarat menyambungkan sebatang paip agar air boleh mengalir dari sumbernya dan boleh dipergunakan menurut keperluan. Seseorang yang memperoleh penyingkapan ini akan Melihat Wajah Allah yang tercermin melalui senjata hantaran yang ada, dan terpantul ke dalam lubuk hati.
Dari semua tingkatan itu maka Al-kasyaf al-Ilahi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi kerana pada tahap ini seorang hamba boleh melihat dengan jelas Tuhannya melalui hati yang bening dan tenang. Melihat Tuhan adalah puncak dari terbukanya hijab sedangkan kemampuan melihat hal-hal ghaib lain seperti Malaikat, Jin dan lain-lain adalah tingkatan dibawahnya begitu juga kemampuan membaca isi hati orang lain adalah salah satu kemampuan yang di dapat oleh orang yang sudah terbuka hijabnya.
Ilmu Kasyaf, Ilmu Laduni dan kemampuan ghaib adalah ilmu yang dimiliki oleh orang yang dekat dengan Allah. Kalau kita membuka cacatan sejarah akan kita jumpai banyak sekali kekeramatan yang dimiliki oleh Para Wali Allah dan juga Ulama yang dekat dengan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Yazid Al Bisthami, Rabi’ah Al Adawiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Abu Said Al-Kharaj, Imam AL-Ghazali adalah orang-orang yang mempunyai kekeramatan dan dicatat dalam sejarah Islam. Kemampuan mereka bukan untuk ditampilkan dengan penuh kesombongan akan tetapi semata-mata sebagai senjata dakwah untuk menambah keimanan orang.
Bagi kaum Sufi, kadang-kadang mereka tidak pernah tahu tentang definisi dan tingkatan kasyaf akan tetapi mereka sudah berada di alam kasyaf dan itu jauh lebih baik daripada menghafal definisi dan pembagian kasyaf namun tidak pernah sampai kepada alam-Nya.
Menutup tulisan ini saya mengutip sebuah pesanan di antara Sembilan Pesan Penting yang selalu dibacakan di saat penutupan iktikaf sebagai peringatan kita semua agar selalu berhati-hati dan terus bermujahadah tanpa henti.
“…Jika engkau diperintahkan mengamalkan satu khatam, maka amalkanlah sekurang-kurangnya satu khatam, jika engkau diperintahkan mengamalkan sekali duduk maka amalkanlah sekurang-kurangnya sekali duduk. Jika engkau patuhi semuanya maka akan bertambah-tambah akan kasyaf mu dan jika tidak engkau kerjakan maka lambat laun akan hilang semuanya walau engkau Ahli Kasyaf sekalipun…”
TAKUT SIKSA NERAKA MENURUT HASAN BASHRI
A. Biografi Singkat Hasan Al Bashri
Nama lengkapnya, abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar. Dia dilahirkan di madinah pada tahun 21 H.(728 M) ayahnya bernama Zaid bin Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi sekretaris Nabi Muhammad S.A.W. Ibunya adalah hamba dari isteri nabi Muhammad S.A.W. Ummu Salamah. Dia bergaul dengan sejumlah sahabat Rosululloh S.A.W. dan menerima hadits-hadits dari mereka. Dengan demikian Hasan al Bashri tumbuh di lingkungan orang-orang yang sholih.
Pendidikan Hasan al Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir ke seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan al Bashri. Puncak keilmuannya diperoleh di sana.[16]
Tentang kelebihan dan keutamaan Hasan al Bashri dalam pengalaman ajaran-ajaran agama. Abu qatadah sebagaimana dikutip oleh Hamka mengatakan: “bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah menyaksikan sendiri, tidaklah ada seorang tabi’in yang menyerupai sahabat Nabi kecuali beliau ini.”[17]
Kemasyhuran Hasan al Bashri dalam kehidupan kerohanian telah mendapat perhatian di dalam kitab-kitab tasawuf, seprti kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tabyinu al-Kubra karya al-Sya’rani, Hilyah al-Auliya karya Abu Nu’aim dan lain-lain.
Takut Siksa Api Neraka Menurut Hasan Al Basri
Hasan al Bashri termasyhur di kalangan para tabi’in sebagai orang yang zahid. Kezahidannya, kata Taftazani didasarkan kepada rasa takut (khouf) yang mendalam kepada Allah. Berhubungan dengan ini, al-Sya’rani dalam kitab-nya al-Tabaqat berkata : “Demikian takutnya sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka hanya dijadikan untuk dia seorang “. Ibn Abi Hadid dalam Nahj al-Balaghah menulis : “ Jika seorang menemui Hasan al Bashri , dia mesti mengira Hasan sedang ditimpa suatu musibah. Hal ini karena ras sedih dan rasa takutnya “.
Ajaran-ajaran Hasan al Bashri dapat dilihat dari ungkapan-ngkapannya seperti yang dikutip oleh Hamka berikut :
- “Perasaan takutmu sehingga bertemu degan hati tentram lebih baik daripada perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan takut “.
- “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa benci kepadanya dan zuhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi berang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya akhirnya ia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dideritanya”.
- Tafakkur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana’ walaupun bagaimana banyaknya tidaklah dapat menyamai barang baqa’ walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi dan penuh dengan tipuan”.
- “ Dunia ini adalah seseorang perempuan janda tua yang telah bungkuk dan telah banyak kematian laki”.
- “ Orang yang beriman beduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup di antara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya apakah yang sedang mengancam”.
- “Patuhilah ornag insyaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung”.
- “Banyak duka cita di dunia memprteguh semangat amal saleh”.[18]
Hamka berkata :
“Dr. Muhammad Mustafa Hilmi … mengatakan kemungkinan bahwasannya zuhud beliau itu, yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Tetapi setelah saya pun turut menyelidikinya pula, saya berpendapat bahwa bukanlah takut akan neraka itu menjadi sebab. Yang jadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekurangan dan kelalaian diri. Sebagai sabda Nabi : “orang yang beriman mengenakan dosanya, laksana orang yang duduk di bawah sebuah gunung yang besar; senantiasa merasa takut akan gunung itu akan menimpa dirinya”.[19]
Itu sebabnya saya berpendapat bahwasannya dasar zuhud Hasan al Bashri bukanlah karena takut akan masuk neraka, tetapi karena takut itu sendiri. Dalam hal yang seperti ini, orang kadang-kadang merasa biarlah masuk neraka, daripada kena murka. Sebab itu saya berpendapat bahwasannya zuhud beliau khauf dan raja’ “ketakutan dan pengharapan”. Dan tujuan sejati, yang juga dikuatkan oleh Dr. Mustafa Hilmi, ialah ingin kebebasan dari kejahatan dan mencapai kebaikan.[20]
DAFTAR PUSTAKA
· Hamka, Tasawuf, Prkembangan dan Pemurniannya,(Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984).
· Umar Farukh, Tarikh al-Fikr al-‘Arabi, ( Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1983).
[1] Sumber: Tulisan Maulana Shaykh Hisham Muhammad Kabbani dan Shaykh Dr. G.F. Haddad Lihat pula tulisan sebelum ini, oleh Ahli Hadits Imam Qastallani, tentang penciptaan Ruh/Nur/Haqiqat Muhammad, dengan banyak bersumberkan dalil Hadits Nabi “Dari Kitab Al-Mawahib Al-Qastallani [1]: Penciptaan Ruh Nabi”
[2] Sumber Informasi Diambil dari Beberapa Kitab Islam Lama/salaf .
[3] Dâneshnâme Jahân-e Islâm, Nasyr Bunyad-e Daira al-Ma’arif Islami, huruf ha.
[4] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 18, hal. 360, Muasssah al-Wafa, Beirut.
[5] Ibid, jil. 4, hal. 198.
[6] Ibid, jil. 16, hal. 403.
[7] Ibid, jil. 1, hal. 97.
[8] Di antararnya “Khuliqtu Ana wa ‘Ali min Nur Wâhid.” Al-Amali Shaduq, hal. 236, Intisyarat Kitabkhane Islamiyah.
[9] Muqaddamah Masyâriq al-Dirâri, Jalaluddin Asytiyani, hal. 33, Intisyarat-e Daftar Tablighat-e Islami.
[10] Salah satu gelar Imam Ali yang bermakna, menerjang dan menyerang serta pantang mundur sebelum mendapatkan mangsanya.
[11] Muqadddemeh Guzideh Ghazaliyât Syams, Syafi’i Kadkani.
[12] Ibnu Faridh, Diwân Ibn Fâridh, hal. 73, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut.
[13] Noer, Op. Cit. hal. 128.
[14] Noer, Op. Cit. hal. 130.
1 Dr. M. Qurraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1994.
3 Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, hlm. 205.
4 Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. Al qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta : 1971, hlm. 83 untuk selanjutnya semua kutipan terjemahan bersumber dari Departemen Agama RI.
5 Drs. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta : 1997, hlm. 31.
6 Ibid, hlm, 31
7 Dr. H. Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta 1992; hlm. 20
8 Ibid, hlm. 21
9 Ibid. hlm. 30.
10 Dr. Musa Asy’ari, op., cit., hlm. 19
11 Ali Syari’ati, op., cit., hlm. 51
12 Ibid., hlm. 51
13 Drs. Atang Abdul Hakim, Dr Syai Mubarrok, op., cit., hlm. 206
14 Drs. Musa Asy’ari, op., cit., hlm. 23
15 Ibid., hlm. 30
16 Ibid., hlm. 31
17 Prof. Dr. Syaikh Abdul Malik Karim Amrulla, Tafsir al Azhar, Juz XXX, cet. Ke IV, perpustakaan Islam, Surabaya, 1983, hlm. 185
18 M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Qur’an al Karim, Pustaka Hidayah: 1999, hlm. 741-741
19 Drs Amin Syukur, MA., Manusia dalam pandangan tasawuf, dalam reformasi filsafat pendidikan Islam, Chabib Toha dkk., (penyunting) Yogyakarta: hlm. 131
21 Drs. Marasudin Siregar, Manusia Menururt Ibn Khaldun,dalam: Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha dkk., (penyunting) Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 1996, hlm. 116-119.
22 Al Ghozali, Ihya Ulumuddin, Terjemah, jilid I, hlm. 84-85
23 Drs Ahmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian, Pustaka Amini, Jakarta: 1996, hlm. 75
24 Ibid., hlm. 75
25 Dr. H. Rifat Nawawi, MA., Konsep Manusia menururt al Qur’an, dalam: Metododogi Psikologi Islam, penyunting: Rendra K., Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2000, hlm. 8
26 Ibid, hlm. 8
27 Drs Marasudin Siregar, Op., Cit., hlm. 123
28 Dr. H. Musa Asy’ari, Op., Cit, hlm. 77
29 Dr. Qurais Shihab, Op., Cit, hlm. 157
30 Prof. Dr. Syaikul Abdul Malik bi Abdul Karim Amrullah, Op., Cit, hlm. 145
31 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Aditiya Media: 1992. hlm. 43
32 Djamaluddin Darwis, M.A, Manusia Menururt Pandangan al Qur’an, dalam : Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha dkk. ( penyunting ) Pustaka Pelajar: 1996, hlm. 102-103
34 H. Endang SaefuddinAnshari, MA., Iqra’ sebagai Mabda’ dalam: Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Chabib Toha, M.A., dkk ( penyunting) Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 95
35 Dr. H. Musa Asy’ari, Op., Cit., hlm, 45-46
36 Drs. Muhaimin, MA., Drs. Mujib, Pemikir-Pemikir Pendidikan Islam: Kajian Filosifis dan Kerangka dasar Operasionalnya, Trigenda Karya, bandung: 1993, hlm 58
37 Dr. H. Musa Asy’ari, Op., Cit., hlm. 49
39 Dr. H. Musa Asy’ari, Op. Cit., hlm, 122
40 Ibid, halm. 122
42 Drs. HM. Ali Husai, Gizi dalam Al qur’an., Jakarta : 1985, hl;m 233
43 Ibid, halaman, 237
44 Drs. H.M Ali Husain, Op.Cit., hlm 237
45 Dr. Musa Asy’ari, Op., Cit., hlm 105
46 Ibid, hlm. 132
47 Drs. Musa Asy’ari, Op., Cit, hlm76
[15] Maman, Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia, Alumnus Filsafat IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengamal Tarekat Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Khidiriyah, dan lainnya.
[16] Umar Farukh, Tarikh al-Fikr al-‘Arabi, ( Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1983), h. 216
[17] Hamka, Tasawuf, Prkembangan dan Pemurniannya,(Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984), h. 76
[18] Ibid.
[19] Ibid, h. 78.
[20] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar