BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubalighin akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang imam mazhab keempat yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana biografi Ahmad bin Hanbal
2. Bagaimana setting sosial budaya pada masa Imam Hanbal.
3. Bagaimana kehadupan politik pada masa Imam Hanbali.
4. Apa saja wacana keilmuan yang digunakan Iam Hanbali.
5. Bagaimana metode istimbat hukum Imam Hanbal.
6. Bagaimana perkembangan madzab Hambal.
C. Batasan masalah
1. Biografi Ahmad bin Hanbal
2. Setting sosial budaya pada masa Imam Hanbal.
3. Kehidupan politik pada masa Imam Hanbali.
4. Wacana keilmuan yang digunakan Iam Hanbali.
5. Metode istimbat hukum Imam Hanbal.
6. Perkembangan madzab Hambali
D. Tujuan
1. Tujuan umum
Secara umum makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih luas tentang pemikiran Ahmad bin Hanbal
2. Tujuan khusus
Secara khusus makalah ini bertujuan untuk memahami tentang:
a. Biografi Ahmad bin Hanbal
b. Setting sosial budaya pada masa Imam Hanbal.
c. Kehidupan politik pada masa Imam Hanbali.
d. Wacana keilmuan yang digunakan Iam Hanbali.
e. Metode istimbat hukum Imam Hanbal.
f. Perkembangan madzab Hambali
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.
Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.
2. Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali
Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut wara’ atau zuhud.[2]
Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya.[3] Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!
Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut kepada apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun dari mereka di dalam pelayanmu”.[4]
Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli bid’ah.
3. Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali
Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.
Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5
Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin, kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyim zalim pang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang. Dan menasehatinya akan lebih baik daripada memberontaknya.[6]
Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau yakini kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”
Sepanjang riwayat, ketia yang mulia Imam Syafi’i diminta oleh baginda Harun al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara”.[7]
Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya. Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.[8]
4. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan
Dalam pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan hadits dengan mudah.
Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahmad adalah tentang perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]
5. Metode Istinbat Hukum
0 komentar:
Posting Komentar