BAB I
PENDAHULUAN
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH
A. Latar Belakang Masalah
Perbedaan penetapan Ramadhan dan hari raya oleh beberapa organisasi
keislaman acap kali membuahkan keresahan pada masyarakat umum, sehingga
dibutuhkan adanya kepastian metode penetapan awal bulan sebagai rujukan untuk
dijadikan pedoman. Selain itu andil pemerintah serta ketegasannya amat
dibutuhkan guna menyatukan perbedaan tersebut.
Namun di balik itu
sebenarnya ummat manusia amat memerlukan ketentuan-ketentuan pembatasan waktu
untuk menyelaraskan aktifitas kesehariannya, baik yang menyangkut ekonomi,
sosial, budaya maupun ritual ibadahnya.
Sebagai muslim, kita
harus mengetahui urutan waktu dan jadwal yang otentik sebagai acuan dalam
melaksanakan aktifitas keagamaan. Cukup banyak ritual ubudiyyah dalam Syariat
Islam yang terkait erat dengan perjalanan waktu baik dengan merujuk pada rotasi
bumi yang secara lahiriyyah nampak sebagai perjalanan matahari mengitari bumi
ataupun yang bersandar pada revolusi bulan mengitari bumi. Diantaranya ialah
kewajiban shalat, haji, puasa, kewajiban mengeluarkan zakat dan lain-lain.
Seperti yang tersirat dalam firman Alloh SWT :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ [البقرة/189]
“Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanalah: ‘bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (QS. Al-Baqarah [02]:189)
Namun kalau harus
mengupas semuanya itu, terlalu dangkal kemampuan kami untuk dapat
menjangkaunya. Karena itu, dalam kesempatan penulisan kali ini, topik
pembahasan akan kami fokuskan pada uraian seputar penentuan awal bulan
Qomariyyah.
B. Batasan
Pembahasan.
Bagamana mengetahui
sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ilmu Hisab?
Bagaiman mengetahui
sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ru’yah?
Bagaimana Penggunaaan
Hisab dan Ru’yah?
Bagaimana Pertentangan
Hasil Hisab dan Ru’yah?
Bagaimana Apakah
Mathla’ Bulan Dipertimbangkan?
Bagaimana Keputusan
Pemerintah?
C. Tujuan
Pembahasan
Untuk mengetahui
sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ilmu Hisab
Untuk mengetahui
sekelumit penetuan awal hijriyah menggunakan Ru’yah
Untuk mengetahui Penggunaaan
Hisab dan Ru’yah
Untuk mengetahui Pertentangan
Hasil Hisab dan Ru’yah
Untuk mengetahui Apakah
Mathla’ Bulan Dipertimbangkan
Untuk mengetahui Keputusan
Pemerintah
BAB II
PEMBAHASAN
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH
Dalam pembahasan
tentang awal bulan Qomariyyah kita tidak bisa lepas untuk mengetahui tentang
apa itu ilmu hisab, seputar rukyah dan konsekuensinya serta bagaimana para ulama
menyikapi tentang keduanya. Secara khusus, pembahasan kami titik beratkan pada
penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Dalam beberapa tahun terakhir
ini, seperti yang kita ketahui terjadi perbedaan penentuan awal Ramadlan dan
Syawal. Hal inilah yang menimbulkan kebimbangan pada masyarakat luas.
Kalau kita telaah, di
negara kita terdapat tiga kelompok dalam menentukan awal Ramadlan :
1. Kelompok yang hanya
menggunakan rukyah, yaitu kelompok yang menentukan awal bulan berlandaskan
rukyah saja tanpa menggunakan hisab sama sekali.
2. Kelompok yang hanya
menggunakan hisab, yaitu kelompok yang menggunakan hisab sebagai penentu awal
bulan dan tidak mempertimbangkan sama sekali masalah rukyah, artinya penetapan
awal bulan dapat dilakukan jauh hari sebelumnya.
3. Kelompok yang
menggunakan rukyah disertai hisab, yaitu kelompok yang tetap menggunakan
rukyah sebagai dasar satu-satunya dalam penetapan hilal, sedangkan hisab hanya
sebagai alat bantu.
Sebelum muqaddimah
ini terlalu lebar untuk sekedar menjadi fungsinya, marilah kita ikuti
penguraian tentang poin-poin utama dalam pembahasan kita kali ini.
A. HISAB
Sejarah
mencatat bahwa hisab sudah ada sejak pada zaman yang belum mengenal teknologi,
yaitu sebelum dimulainya kalender masehi. Pada saat itu ilmu ini mempunyai
peranan yang sangat penting. Dan secara turun temurun diwariskan serta
dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Mereka selalu berusaha untuk
menyempurnakan dan mengembangkan rumus - rumus yang telah ada, serta memadukan
dan membandingkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai pada zaman
mereka. Sehingga tidak heran jika keanekaragaman teori dahulu masih mewarnai
corak pemikiran ahli hisab pada zaman sekarang.
Perkembangan
pola pikir manusia juga menyentuh pada bidang ini, sehingga pada akhirnya menelorkan
keanekaragaman aliran sebagai buah dari penggalian serta pengembangan konsep -
konsep dasar. Menurut Susiknan Azhari,[1] setidaknya di Indonesia
terdapat dua aliran hisab :
A.1. Hisab ‘Urfi.
Adalah
sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata - rata bulan
mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Menurut aliran ini,
bilangan hari pada tiap - tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu
pada tahun - tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari. Karena
menurut sistem ini, umur bulan Sya’ban dan Ramadlan jumlahnya tetap, yaitu 29
hari dan 30 hari.
A.2. Hisab hakiki
Adalah
sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.
Menurut sistem ini, setiap bulan jumlahnya tidak tetap dan tidak beraturan.
Dari sistem ini muncul beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan Qomariyah.
Setidaknya - masih menurut Susiknan Azhari - ada dua aliran besar :
a. Aliran yang hanya
berpegang pada ijtima’.[2]
Menurut
sistem ini, awal bulan Qomariyah dimulai ketika terjadi ijtima’, berarti aliran
ini tidak memperhitungkan hilal dapat dilihat atau tidak. Yang penting adalah
ijtima’ merupakan pemisah diantara dua bulan (setelah ijtima’ adalah bulan baru
dan sebelumnya termasuk bulan yang masih berjalan).
Aliran
ini terbagi menjadi beberapa kelompok
·
Ijtima’ qobla al ghurub.
Kelompok ini
menghubungkan antara ijtima’ dengan terbenamnya matahari. Artinya, jika ijtima’
terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu dikatakan bulan baru.
Begitu pula sebaliknya jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka
malam itu dan keesokannya merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang
berjalan.
·
Ijtima’ qobla al fajr.
Aliran
ini menetapkan jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit
fajar itu sudah masuk bulan baru dan jika terjadi sesudah terbit fajar maka hari
sesudahnya masih merupakan hari yang terakhir.
·
Ijtima’ dan terbit matahari.
Awal
bulan menurut aliran ini, jika terjadinya ijtima’ di siang hari (mulai
terbitnya matahari) maka malamnya sudah termasuk bulan baru, dan jika ijtima’
terjadi pada malam hari maka awal bulan dimulai hari berikutnya.
·
Ijtima’ dan tengah hari.
Menurut
aliran ini, jika ijtima’ terjadi sebelum tengah hari maka hari itu termasuk
bulan baru, tetapi seandainya ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka termasuk
bulan yang sedang berjalan.
·
Ijtima’ dan tengah malam.
Dalam
menentukan awal bulan aliran ini membuat suatu kriteria apabila ijtima’ terjadi
sebelum tengah malam maka awal bulan dimulai pada tengah malam, dan jika
terjadi sesudah tengah malam maka awal bulan dimulai tengah malam berikutnya,
sedangkan malam itu merupakan hari yang terakhir dari bulan itu.
b. Aliran ijtima’ dan
posisi hilal diatas ufuk.
Menurut
aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai sejak terbenam matahari setelah
terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk. Berarti menurut aliran
ini, terjadinya ijtima’sebelum terbenamnya matahari belum dapat untuk
menentukan awal bulan, namun masih mempertimbangkan posisi hilal, apakah sudah
berada di atas ufuk atau belum.
Aliran
ini juga terbagi menjadi tiga :
·
Ijtima’ dan ufuk hakiki.
Aliran
ini memberi kriteria awal bulan dimulai saat terbenamnya matahari setelah
terjadi ijtima’ dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk hakiki.[3]
·
Ijtima’ dan ufuk hissi.
Dalam
menetapkan awal bulan menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari
setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk hissi.[4]
·
Ijtima’ dan imkanur rukyah.
Menurut
aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi
ijtima’ dan pada saat itu diperhitungkan hilal sudah dapat dirukyah.
B. RUKYAH
Selain
methode hisab, kita juga mengenal istilah rukyah untuk menentukan awal bulan.
Arti rukyah itu sendiri ialah melihat hilal pada hari pertama kemunculannya.
Makna kata melihat disini adalah melihat dengan mata telanjang, bukan dengan
menggunakan alat bantu.[5]
Menurut
madzhab Hanbali, melakukan rukyah pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban atau
Ramadlan adalah sunnah, sebagai bentuk usaha ihtiyath (berhati-hati) dan
mencegah adanya perbedaan.[6] Sedangkan madzhab Hanafi,
Syafi’i, dan Maliki, hukum melakukan rukyah adalah wajib sosial[7] (fardhu kifayah), karena
dengan rukyah kita bisa berpuasa ketika melihat hilal dan atau menyempurnakan tiga
puluh.
Dari
alasan di atas, tujuan melakukan rukyah adalah untuk mengetahui awal bulan
yang menuntut kita berpuasa, sebagai salah satu rukun Islam. Oleh karena
itu, bagaimana mungkin perkara yang digunakan standar pemenuhan puasa yang
notabene adalah kewajiban agama, hukumnya hanya sebatas sunnah. Meskipun mereka
berbeda pendapat dalam soal hukumnya, namun mereka semua sepakat bahwa tidak
ada tuntutan bagi setiap muslim untuk melakukan rukyah secara sendirian.
Artinya, untuk mengetahui terjadinya rukyah ada dua cara :
1.
Rukyah secara langsung (melihat hilal di lapangan).
2.
Melalui kabar adanya rukyah.
B.1. Rukyah Secara Langsung.
Ketajaman
pandangan mata manusia itu relatif, sehingga sangat mungkin dalam satu daerah
hanya satu orang yang melihat. Selain itu, keberadaan hilal awal bulan pada
cakrawala yang langsung dapat dilihat dari bumi hanya sebentar. Tetapi dilihat
dari sisi keberadaan kita dalam suatu masyarakat yang jelasnya mereka juga
berusaha untuk mengetahui hilal, serta mempertimbangkan dampak negatif, apakah
penglihatan satu orang tersebut bisa dibenarkan, yang nantinya ia dapat berlebaran diantara masyarakat yang sedang
berpuasa atau sebaliknya.
Imam
Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad sepakat ketika seseorang
melihat hilal Ramadlan maka ia harus berpuasa. Tetapi dalam permasalahan hilal
syawal, mereka berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, orang tersebut harus berlebaran secara diam-diam (ikhfa). Dengan mengambil dalil dari
hadits :
(1888)
ـ حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ زيادٍ قال: سمعتُ أبا هُريرةَ
رضيَ الله عنهُ يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلّم ـ أو قال: قال أبو القاسم صلى
الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته، ».
“Berpuasalah
kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena melihat
hilal”( HR. Imam Bukhori)
An-Nawawi
menuturkan, seseorang yang melihat hilal Syawal maka harus berlebaran dengan
sembunyi-sembunyi. Menurutnya, jika melakukan lebaran secara terang-terangan
hal itu bisa menjerumuskan diri sendiri kepada fitnah (tuhmah) dan hukuman dari penguasa.[8]
Bahkan
Imam Jalaluddin memberikan suatu penjelasan lebih rinci bahwa mereka yang melihat
hilal Syawal harus berlebaran, tetapi disunnahkan secara diam-diam. Dan hakim
berhak menghukum mereka yang melakukannya secara terang-terangan. Sehingga jika
seseorang merasa yakin akan mendapatkan hukuman bila berlebaran secara
terang-terangan, maka harus melakukannya dengan diam-diam saja .[9]
Sementara
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengharuskan orang tersebut tetap
berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian(ihtiyath). [10] Dengan mengambil dasar
dari hadits Abi Hurairah :
وعن أبي هريرة قال: «قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: الفطر يوم
يفطرون والأضحى يوم يضحون» رواه أبو داود والترمذي بأسانيد حسنة
Dalam
kitab ‘Aunul Ma’bud [11] juga terdapat hadits
tersebut dengan teks yang lebih jelas :
حدثنا محمد بن إسماعيل أخبرنا إبراهيم بن المنذر أخبرنا إسحاق ابن
جعفر بن محمد حدثني عبد الله بن جعفر عن عثمان بن محمد عن المقبري عن أبي هريرة أن
النبي صلى الله عليه وسلّم قال «الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم
تضحون» (رواه الترمذي)
Nabi
SAW bersabda : “Hari puasa adalah hari saat kamu semua berpuasa, Idul fitri
adalah hari saat kamu semua berlebaran, dan Idul adha adalah hari saat kamu
semua merayakannya.”
Kami
memandang hadits yang dijadikan dasar larangan berlebaran bagi orang yang
melihat hilal syawal sendirian, ternyata dalam teksnya juga mengikut sertakan
masalah puasa. Jadi kenapa dalam masalah lebaran harus dibedakan dengan puasa?.
Selain itu terdapat hadits Nabi yang dengan jelas mengharuskan berpuasa dan
berlebaran ketika melihat hilal secara langsung, baik sendirian atau
bersama-sama. Meskipun realisasinya secara terang-terangan atau diam-diam
sebagai bentuk menghindari mafsadah yang timbul. Jadi dalam hal ini kami lebih
cenderung memilih pendapatnya Imam Syafi’i.
B.2. Kabar Rukyah.
Menurut
ijma’, berita rukyah itu dapat dibuat dasar melakukan puasa dan berlebaran.
Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang berapa jumlah minimal orang yang
mengkabarkan tentang terlihatnya hilal yang bisa dijadikan sebagai dasar
penentuan awal bulan.[12] Namun perlu diketahui
bahwa perbedaan ini adalah merupakan salah satu bentuk obyektifitas para ulama’
dalam menyikapi dalil untuk menentukan suatu hukum.
1.
Menurut Imam Malik, untuk berpuasa dan berlebaran
tidak boleh berlandaskan pada kesaksian kurang dari dua orang,[13] dengan dasar hadits :
عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه خطب الناس في اليوم الذي يشك فيه
فقال: إني جالست أصحاب رسول الله ، وسألتهم. وكلهم حدثوني أن رسول الله صلى الله
عليه وسلّم قال: «صوموا لرؤيته ، وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم، فأتموا ثلاثين،
فإن شهد شاهدان فصوموا، وأفطروا» . (أخرجه أبو داود)
Bersumber
dari Abdurrahman bin Zaid bin al Khattab, bahwa ia berpidato di hadapan manusia pada hari yang masih
diragukan. Kemudian ia bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi dan mereka
mengatakan, sungguhnya Nabi SAW pernah bersabda : “Jika ada dua orang yang bersaksi maka berpuasalah dan berbukalah kalian
semua.
2.
Imam Syafi’i dengan berdasar hadits Abdurrohman bin
Zaid tadi juga dengan mempertimbangkan hadits dari Ibnu Abbas :
حديث ابن عباس أنه قال: «جاء أعرابي إلى النبي ، فقال: أبصرت الهلال
الليلة، فقال: «أتشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمداً عبده ورسوله؟ قال: نعم. قال:
يا بلال أذن في الناس، فليصوموا غداً» ) أخرجه الترمذي (
Bersumber dari Ibnu Abbas, ia
berkata bahwa seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Saya
telah melihat hilal pada malam ini. “Beliau bertanya : “Apakah kamu sudah
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah
utusannya ?” Ia menjawab: ”Sudah.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Bilal,
beritahukan kepada manusia untuk berpuasa besok.”
beliau
memilah-milah antara hilal Ramadlan dan hilal Syawal. Artinya, untuk berlebaran harus ada kesaksian
minimal dua orang, dan untuk berpuasa cukup dengan ada kesaksian satu orang
saja.
3. Imam Abu Hanifah
dalam memberikan kriteria batasan minimal, lebih menitikberatkan pada kondisi
lapangan, sehingga dibedakan antara cuaca yang cerah dan cuaca yang berawan.
Dalam keadaan cerah harus ada kesaksian satu golongan, dan dalam cuaca
berawan cukup kesaksian satu orang.[14]
4.
Menurut Imam Abu Tsaur, kesaksian satu orang sudah
cukup untuk dijadikan dasar untuk berpuasa atau berlebaran, tanpa membedakan
antara hilal Syawal dan hilal Ramadlan, baik dalam keadaan cerah atau berawan.
Beliau mengambil dasar dari kedua hadits di atas juga pada satu hadits yang
lain yaitu:
عن رِبْعِيِّ بن خراش عن رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم
قال: «كان الناس في آخر يوم من رمضان، فقام أعرابيان، فشهدا عند النبي صلى الله
عليه وسلّم لأهل الهلال أمس عشية، فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلّم الناس أن
يفطروا، وأن يعودوا إلى المصلى» . ( أخرجه أبو داود)
Bersumber dari
Ruba’i bin Kharash dari seorang sahabat Nabi SAW ia berkata bahwa ketika
manusia berada di akhir bulan Ramadlan, ada dua orang desa datang dan bersaksi
bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore, di hadapan penduduk
setempat Nabi SAW memerintahkan mereka supaya berbuka dan kembali ke tempat
shalat.
Beliau
melihat bahwa hadits-hadits diatas tidak bertentangan, bahkan menunjukkan
diperbolehkan untuk memilih salah satu. Dengan kata lain, dalam satu kesempatan
Nabi SAW memutuskan berdasarkan kesaksian satu orang, dan pada kesempatan lain
beliau memutuskan berdasarkan perkataan dua orang.
Pensyaratan
adad (lebih dari satu) dalam syahadah adalah pada perkara yang rawan
pertentangan/pertikaian, yaitu pada hak - hak dan perkara syubhat yang
membutuhkan suatu kejelasan, dimana posisi syahadah sebagai landasan untuk
memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Sehingga untuk dapat lebih
memantapkan suatu persangkaan dan menguatkan pada argumen salah satu pihak,
disyaratkanlah adad dalam syahadah. Sedangkan pada permasalahan rukyah hilal
tidak terdapat syubhat yang membutuhkan kejelasan dengan adad.
Abu
Bakar bin al Mundhir mengatakan adanya ijma’ dalam kewajiban berbuka atau imsak
sebab perkataan satu orang. Oleh karena itu, masalah awal dan akhir bulan
seharusnya juga disamakan, mengingat keduanya juga merupakan perkara yang
memisahkan antara waktu puasa dan berbuka.[15]
Setelah
kita mengetahui seputar masalah tentang hisab dan rukyah serta ruang lingkup
masing-masing, selanjutnya mari kita telaah pendapat ulama dalam penetapan awal
bulan, dan sikap mereka ketika ada pertentangan antara hasil hisab dan rukyah.
C. PENGGUNAAN HISAB DAN
RUKYAH
Dalam
kedua metode tersebut mempunyai sistem dan caranya masing-masing, dimana
diantara keduanya hampir tidak ada keterkaitan sama sekali. Berangkat dari
sini, juga dengan penelaahan dalil-dalil dalam Syara’, dikalangan para
Ulama’ terdapat perbedaan pendapat tentang penggunaan kedua metode penentuan
awal bulan tersebut.
Menurut
jumhur ulama, dalam penetapan bulan puasa tidak boleh menggunakan metode hisab,
melainkan harus dengan melihat (rukyah) hilal. Ibnul Abidin mengatakan, ulama
kita tidak berpegang pada perkataan ahli perbintangan dalam menetapkan awal
bulan Ramadlan, karena dasar kewajiban berpuasa adalah melihat hilal bukan
lahirnya hilal (hilal jadid). Sedangkan lahirnya hilal sebenarnya didasarkan
pada metode falak bukan rukyah. Dan lahirnya hilal pada suatu malam terkadang
dapat dilihat dan tidak, sedangkan Islam mendasarkan puasa pada melihat hilal
secara nyata bukan lahirnya hilal.[16] Bahkan ia mengutip
adanya ijma’ yang tidak menerima perkataan yang menentukan awal bulan.[17]
An-Nawawi
dalam Syarah li Shahih Muslim mengatakan, kewajiban melakukan puasa dan lebaran
karena ada rukyah, dan ketika langit tertutup awan maka umur bulan
disempurnakan tiga puluh hari. Bahkan Ibnu Hajar Al Asqalani dengan tegas menolak
hisab agar tidak memberatkan umat. Meskipun terkadang faktor kemajuan teknologi
memungkinkan seseorang untuk mengetahui hilal dengan hisab, beliau lebih
mengedepankan dhohir hadits yang menjelaskan bahwa hisab tidak dapat dijadikan
dasar hukum.[18]
Dalam
hal ini jumhur Ulama’ mempunyai sebuah logika Syari’at yaitu bahwa Syari’at
memberlakukan sistem alami dan metode natural agar dapat mencakup seluruh umat
Islam, dan ketika membuat suatu batasan adalah dengan “perkara“ yang dapat
diketahui kebanyakan manusia. Dengan demikian, keberadaan pakar ilmu hisab
(astronomi) dan perbintangan (nujum/astrologi) bukan merupakan suatu keharusan,
karena seandainya pusat rujukan hukum-hukum Islam yang terkait dengan hilal
menggunakan ilmu tersebut, tentunya kebanyakan umat manusia tidak tahu.
Sementara
Imam Burhanuddin menjelaskan, saat bulan mengorbit akan sampai pada titik
dimana posisinya sejajar/berhadapan dengan matahari (baca: ijtima’). Pada
keadaan seperti ini bulan seperti tenggelam dalam sinar matahari selama dua
atau tiga menit, dan kemudian meninggalkan matahari sampai jarak keduanya ada
beberapa derajat. Sebenarnya pada keadaan seperti ini (ijtima’/konjungsi) bulan
sudah muncul, namun belum dapat dilihat dari bumi kecuali setelah kira-kira dua
puluh jam dari meninggalkan matahari.[19] Sedangkan tidak ada
hukum-hukum Islam yang pelaksanaannya digantungkan dengan waktu tersebut yaitu
mulai lahirnya bulan. Namun keterkaitan hukum-hukum Islam adalah dengan
terlihatnya hilal dengan mata biasa.
Selain
itu Jumhur Ulama’ juga mengajukan dalil utama Syari’at yaitu hadits Nabi SAW :
(1888) ـ حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ زيادٍ
قال: سمعتُ أبا هُريرةَ رضيَ اللّهُ عنهُ يقول: قال النبيُّ صلى الله عليه وسلّم ـ
أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا
لرُؤيته، فإن غُبِّيّ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».
“Berpuasalah
kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal,
bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan (menjadi) tiga puluh
hari.”[20]
Dimana
hadits di atas menjelaskan bahwa penggunaan metode falak/hisab dalam
permasalahan hilal bukan merupakan perkara yang diharuskan Syari’at, seperti
tidak diwajibkannya rukyah hilal bagi setiap muslim. Akan tetapi yang dituntut
adalah kaum muslimin harus berpuasa ketika hilal sudah dilihat dengan mata
telanjang (tanpa alat bantu) pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, dan
berlebaran ketika hilal dilihat pada tanggal dua puluh sembilan Ramadlan. Dan
seandainya tidak dapat dilihat, maka hitungan bilangan bulan yang sedang
berlangsung disempurnakan (tiga puluh hari). Artinya dasar penentuan awal bulan
Ramadlan atau Syawal adalah melihat hilal, bukan berdasarkan wujudnya hilal
pada cakrawala (baca: hilal jadid/lahirnya hilal) dan atau kemungkinannya untuk
dapat dilihat yang diperoleh dari hasil penghitungan falak, karena sabda Nabi
SAW ‘fain ugmiya alaikum’ mencakup keadaan dimana hilal ada pada
cakrawala dan mungkin untuk dilihat, akan tetapi pada kenyataan di lapangan hilal tidak dapat
dilihat sebab terhalang awan dan atau
kabut. Makna hadits diatas selaras dengan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi :
(2328)
ـ حدثنا الْحَسَنُ بنُ عَلِيٍّ أخبرنا حُسَيْنٌ عن زَائِدَةَ عن سِمَاكٍ عن
عِكْرِمَةَ عن ابن عَبَّاسٍ ، قال قال رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلّم: «لاَ
تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلاَّ أن يَكُونَ شَيْءٌ
يَصُومُهُ أحَدُكُمْ وَلا تَصُومُوا حتى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حتَّى تَرَوْهُ،
فَإنْ حَال دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمَّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ . ثُمَّ
أفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ». (رواه أبو داود)
“Sesungguhnya nabi SAW
bersabda :“Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum melihat hilal. Kemudian
berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan ketika awan menghalangi hilal maka
sempurnakanlah hitungan tiga puluh hari”
(682) ـ حدثنا قُتَيْبَةُ ، حدثنا أبو الأحْوَصِ عن سِمَاكِ بنِ
حَرْبٍ عن عِكْرِمَةَ عن ابنِ عباسٍ ، قال: قال رسولُ الله «لا تَصُومُوا قَبْلَ
رَمَضَانَ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فإنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَابَةٌ
فأكْمِلُوا ثلاثين يَوْماً» . (رواه الترمذي)
“Berpuasalah
kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal,
ketika hilal terhalang dari kamu maka sempurnakanlah tiga puluh hari.”
Disamping itu juga
ada hadits lain yang menjelaskan tidak adanya tuntutan menggunakan perhitungan
falak,
(1892) ـ حدّثنا آدمُ حدَّثنا شُعبةُ حدَّثَنا الأسودُ بنُ قيسٍ حدَّثَنا
سعيدُ بنُ عمرٍو أنه سَمِعَ ابنَ عمرَ رضيَ الله عنهما عن النبي أنهُ قال: إنّا أُمّةٌ
أُمِّيةٌ لا نَكتُبُ ولا نَحسُبُ، الشهرُ هكذا وهكذا. يَعني مرَّةً تسعةً وعشرينَ
ومرَّةً ثلاثين. (واه البخاري)
“Sesungguhnya kita adalah
ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak pernah menggunakan
hitungan, bulan adalah begini dan begini, terkadang dua puluh sembilan dan
terkadang tiga puluh.[21]
Dari
hadits tersebut sudah jelas, bahwa Nabi SAW tidak pernah menggunakan
suatu kaidah hisab dan membuat jadwal untuk menentukan hilal setiap bulan.[22] Dan memang kita tidak
membutuhkan hal tersebut,[23] sebab jumlah hari
dalam setiap bulan tidak sama (dua puluh sembilan dan atau tiga puluh).
Sehingga yang dapat digunakan untuk membedakan hanya rukyah, mengingat kaidah
tersebut tidak dapat memberikan suatu batasan secara konkret (terkadang benar
dan salah).
Disamping
itu, banyaknya aliran dan perbedaan diantara mereka (ahli hisab) dalam
memprediksi atau menentukan awal bulan, yang semua itu dipengaruhi
keanekaragaman perbedaan mengenai “kapan ijtima’ dan dimanakah posisi hilal”
yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sekarang mulai awal bulan atau hari
terakhir dari bulan yang berlangsung, adalah bukti bahwa mereka (dalam artian
umum, yaitu semua ahli hisab) tidak pernah mencapai kata sepakat.
Namun
sebagian ulama memperbolehkan penetapan awal Ramadlan dan Syawal dengan
menggunakan metode hisab. Bahkan imam As-Subki memilih memenangkan hisab ketika
bertentangan dengan rukyah.[24]
Ibnu
al ‘Arabi mengutip dari ibnu Suraij bahwa sabda Nabi SAW “faqduruu lahu”
merupakan khithob khusus bagi yang mendalami ilmu hisab, sedangkan “faakmiluu
al iddah” adalah khitob bagi orang umum. Sehingga -masih menurut Ibnu al
‘Arabi- kewajiban berpuasa menurut Ibnu Suraij relatif, sebagian orang
berdasarkan hisab dan yang lain menggunakan penyempurnaan tiga puluh.[25] Pertama kali yang
menyuarakan kebolehan menentukan awal bulan dengan menggunakan metode hisab
adalah Mathrof bin Abdullah ibnu al Syakhir.[26]
Menanggapi
dalil yang dikemukakan Ibnu Suraij, jumhur ulama’ mengatakan bahwa
kalimat faqdurulah dijelaskan[27] (ditafsiri) oleh
riwayat فأكملوا العدة ثلا ثين
Oleh
karena itu kalimat faqduruu lahu dan kalimat faakmiluu al iddah‘ tidak ada yang
kumpul dalam satu riwayat. Dan hal ini dikuatkan riwayat yang menyatakan فاقدروا له
ثلا ثين
Nash-nash
yang diriwayatkan dari Rasulullah tadi dengan jelas menunjukkan bahwa standar
penetapan awal bulan Ramadlan adalah rukyah atau penyempurnaan umur bulan (tiga
puluh hari). sehingga kita tidak boleh mendasarkan hukum-hukum Islam pada hilal
yang ditetapkan dengan rumus hitung (ilmu falak/astronomi). Karena meskipun
ilmu tersebut menunjukkan terhadap sesuatu, namun sebatas
kemungkinan-kemungkinan. Artinya, hanya menunjukkan bahwa hilal mungkin
dirukyah dan mungkin tidak, bukan menunjukkan sudah ada rukyah, yang memang
data tersebut hanya dapat diperoleh dari pembuktian di lapangan.
Bahkan
para ulama melarang mengadopsi perkataan ahli perbintangan[28] dan ahli falak dalam
menetapkan hilal, meskipun ketetapan mereka sering benar. Selain itu Islam
melarang mendalami ilmu perbintangan karena hanya sebatas dugaan.[29] Mengenai larangan
mengambil perkataan mereka -menurut kami- merupakan antisipasi agar dalam
menentukan awal bulan, umat Islam tidak sepenuhnya berpegangan dengan hisab
tanpa memperdulikan rukyah, sebab hadits Nabawiyah menginformasikan dengan
tegas bahwa dalam penetapan awal bulan harus dengan rukyah atau penyempurnaan
tiga puluh hari. Dan Nabi SAW sendiri tidak pernah dan tidak akan pernah
berpegangan pada hisab. Karena itu, seandainya hisab hanya sebatas untuk
membantu atau mempermudah rukyah, seperti untuk memprediksi letak hilal maka
menurut kami diperbolehkan, bahkan lebih menjauhkan dari suatu kesalahan.
Dengan
demikian, penetapan awal bulan Ramadlan atau Syawal yang hanya menggunakan
dasar hisab tanpa melihat hilal, merupakan suatu sistem yang tidak punya
tendensi dari Hadits maupun Al-Qur’an.
D. Pertentangan
Hasil Hisab dan kesaksian Rukyat
Maksud
kami di sini adalah ketika hasib (ahli hisab) menetapkan bahwa hilal tidak
mungkin untuk dirukyah, akan tetapi pada saat itu ada yang bersaksi telah
melihat hilal, semisal hasib mengatakan bahwa rukyah baru mungkin pada hari
selasa namun ada orang yang mengkabarkan telah melihat hilal pada hari senin.
Pada kasus ini juga
terdapat dua pendapat :
1.
Mengunggulkan hisab dan menolak kesaksian rukyah, sebab hisab adalah perkara
yang pasti (qoth’i) sedangkan kesaksian rukyah adalah dzonni. Dan syarat dari
diterimanya kesaksian rukyah adalah mungkinnya hilal untuk dilihat, baik dari
sisi syara’, akal, maupun adat (kebiasaan).
2.
Menolak hasil hisab dan menetapkan rukyah.
1. Menolak Kesaksian
Rukyah
a. Posisi akal dalam
Islam
Islam
adalah agama yang selaras dengan fitrah yang asli dan akal yang sehat, sehingga
hukum-hukum Islam tidak akan berbenturan dengan hal tersebut. Imam Syatibi
mengatakan, “ setiap pengertian yang tidak berlandaskan pada dasar-dasar
syari’at atau kaidah-kaidah aqliyah tidak dapat dibuat dasar”.[30] Ulama’ usul hadits
sepakat pada satu kaidah bahwa riwayat tsiqat (otentik), syahadah dan kabar
pada perkara yang mustahil menurut akal dan adat itu tidak bisa diterima. Ibnu
Hajar Al Asqalani dalam syarah Nukhbatul Fikri menjelaskan, termasuk untuk bisa
mengetahui hadits maudu’ adalah dengan melihat rawi (orang yang meriwayatkan
hadits) dan marwi (isi hadits yang diriwayatkan), seperti bertentangan dengan
teks Al Qur’an, hadits yang mutawatir, ijma’ dan atau akal sehat.
Namun
yang perlu digaris bawahi ialah, harus dibedakan antara perkara yang di luar
jangkauan akal sebagian manusia dan yang memang berseberangan dengan
akal, sehingga kita tidak terburu-buru melarikan semua perkara pada pendapat
diatas. Selain itu, tidak boleh bersandar pada ucapan semua manusia tanpa
menyeleksinya terlebih dahulu. Artinya, untuk mengetahui apakah suatu perkara
bertentangan dengan akal atau tidak, harus dikembalikan kepada sekelompok orang
yang ahli, berakal sehat, dan tidak mungkin sepakat berbuat kebohongan.
b.Syarat al Mashud
adalah Sesuatu yang Mungkin.
Menurut
ilmu astronomi dengan dasar istiqra’ (penelitian), pada akhir setiap bulan
hilal akan sampai pada derajat (tingkatan) yang sejajar dengan matahari, yang
dalam istilah mereka disebut ijtima’/lahirnya hilal. Dan pada saat itu, hilal
tidak mungkin dirukyah, kecuali minimal setelah tujuh belas jam.[31] Dengan demikian
kesaksian melihat hilal pada waktu hilal belum terbit atau setelah terbit namun
sebelum tujuh belas jam dari terbitnya sama dengan mengkabarkan suatu perkara
yang mustahil menurut ilmu dan akal, sehingga harus ditolak karena syarat
diterimanya kesaksian rukyah adalah jika hilal merupakan perkara yang mungkin
dirukyah, baik dari sisi syara’, akal maupun kebiasaan (adat).[32]
Ucapan
ahli falak bahwa hisab adalah sesuatu yang pasti dikuatkan berdasarkan ayat Al
Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT membuat garis orbit untuk matahari dan
bulan. Dan pada saat mengorbit keduanya tidak akan pernah menyimpang atau
melebihi batasan yang ditentukan.
الشَّمْسُ
وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [الرحمن/5]
“Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. “ (QS. Ar-Rahman [55]:5)
Dalam
ayat tadi, matahari dan bulan mempunyai tempat pasti (garis orbit) dan berjalan
sesuai waktu yang ditetapkan. Artinya, tidak akan terlambat atau melebihi batas
waktu.[33]
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ
الْقَدِيمِ [يس/39]
“Dan telah kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS. Yasin[36] : 39)
Dalam
ayat tersebut Allah membuat kepastian perjalanan bulan pada manazilnya,[34] dan setiap malam, bulan
berada pada posisi yamg telah ditetapkan.
Uraian
di atas menunjukkan kesaksian seseorang atas rukyah, yang ahli hisab sudah
mengatakan bahwa pada hari itu hilal belum dapat dirukyah, dianggap sebagai
kesaksian yang didasarkan pada dugaan belaka sehingga tidak bisa diterima,
karena ucapan ahli hisab dalam masalah ini adalah suatu kepastian yang didasarkan
pada penelitian.
2. Menolak hasil
hisab dan memenangkan rukyah.
Kelompok
kedua berpendapat bahwa perkataan mungkin atau tidaknya hilal untuk dilihat itu
bersifat spekulatif (dzonni) bahkan merupakan suatu kebohongan. Adapun perkara
yang qath’i adalah setiap pengetahuan yang datangnya dari syari’ yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun lewat Rasul-Nya, atau penjelasan dari manusia
yang sampai pada tingkat yang sangat meyakinkan.
Dalam
masalah hilal, syari’ telah menjelaskan bahwa yang dapat dibuat standar
penetapan awal bulan adalah rukyah dan penyempurnaan tiga puluh hari. Sedangkan
penjelasan ahli hisab masih sebatas dugaan yang belum pasti. Buktinya, ada
banyak perbedaan di antara mereka dalam memberikan kriteria awal bulan (lihat
pembahasan pertama).
Ketua lembaga bagian astronomi dan geofisika London mengatakan, secara
hakikat tidak mungkin membuat batasan (menentukan) rukyah hilal, dan
berkeyakinan tidak ada metode ilmiah yang dapat menyempurnakan syari’at Islam
dalam masalah ini (ru’yatul hilal).[35] Begitu juga, majelis
pembelajaran ilmu falak mengemukakan, tidak mungkin bisa memprediksi atau
menentukan waktu rukyah, sebab tidak ada kesaksian yang dapat dipercaya. Dan
ketika ada yang memprediksi maka hanya sebatas dugaan.[36]
E.
APAKAH MATHLA’ BULAN DIPERTIMBANGKAN
Perbedaan
mathla’ bulan dalam suatu daerah adalah sesuatu yang jelas dan nyata sebagai
akibat dari gerakan benda-benda langit, sehingga orang yang mengingkarinya
adalah orang yang bodoh, begitu juga mathla’ matahari.[37]
Perbedaan
mathla’ matahari dianggap oleh Islam, dan ini yang menyebabkan perbedaan waktu
ibadah antar tiap daerah -akibat dari perbedaan terbit dan tenggelamnya
matahari- artinya setiap daerah memiliki waktu shalat dan waktu berbuka puasa
yang berbeda dengan daerah lain. Ketetapan ini berlaku sejak zaman Nabi SAW
sampai sekarang.
Oleh
karena itu, anggapan waktu shalat atau berbuka puasa sama dalam semua belahan
bumi adalah mustahil dan keliru, karena posisi setiap daerah pada bola dunia
tidak sama (arah dan jarak) didalam garis bujur maupun lintang.[38]
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ...... [الإسراء/78]
“Dirikanlah sholat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat)
subuh”. (QS. Al
Isro’[17] : 78)
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ..... [البقرة/187]
"Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". (QS. Al-Baqoroh [02]: 187)
Perbedaan Pendapat Para Ulama :
Yang
menjadi obyek perbedaan adalah mathla’ bulan pada setiap daerah, apakah
dianggap berpengaruh dalam penetapan awal masuk bulan - seperti Ramadlan- atau
tidak.[39] Konsekuensinya, jika
kita katakan perbedaan mathla’ dianggap berpengaruh, maka rukyah pada suatu
daerah tidak mengharuskan daerah lain yang tidak melihat hilal pada mathla’nya
untuk ikut berpuasa, baik yang letaknya jauh atau dekat. Sebab, setiap daerah
itu harus mengikuti mathla’ dan rukyahnya sendiri, seperti yang berlaku pada
masalah waktu ibadah. Dan rukyah hilal di belahan bumi timur tidak menetapkan
(memastikan) adanya rukyah pada daerah barat. Ketika kita katakan bahwa
perbedaan mathla’ tidak dianggap, maka rukyah di belahan timur menetapkan
adanya rukyah di sebelah barat, bahkan rukyah pada suatu daerah menetapkan
masuknya awal bulan di semua belahan bumi, meskipun mereka tidak melihat hilal
pada mathla’nya.
Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa mathla’ bulan dianggap seperti halnya mathla’
matahari. Hanya saja ada yang mensyaratkan jarak antar setiap daerah tersebut
harus berjauhan. Dan pada daerah yang berdekatan -menurut mereka- mathla’ tidak
berpengaruh,[40] karena secara gholib
mathla’nya sama, sehingga daerah yang berdekatan dianggap satu mathla’. Dalam
membatasi dua daerah dikatakan berjauhan, juga terjadi perbedaan pendapat.
Namun menurut pendapat yang shahih, dua daerah dikatakan berjauhan jika memang
mathla’nya tidak sama.[41] Dalam artian yang
menjadi standar penentuan dua daerah dikatakan berjauhan adalah mathla’.[42] Para
ulama’ ini dalam mengajukan pendapat mereka dengan menggunakan pijakan sebagai
berikut:
a. Dalil naqli.
(2481)
ـ حدّثنا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَ قُتَيْبَةُ وَ ابْنُ
حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى : أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرُونَ : حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرمْلَةَ
عَنْ كُرَيْبٍ ، أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى
مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ. قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ. فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا.
وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ. فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ
لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ. فَسَأَلَنِي
عَبْدُ الله بْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما. ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ:
مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ.
فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. وَرَآهُ النَّاسُ. وَصَامُوا
وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ. فَلاَ
نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ. أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَوَلاَ
تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ. هكَذَا أَمَرَنَا
رَسُولُ الله .(رواه مسلم في صحيحه)
Bersumber dari Kuraib,
sesungguhnya Ummu al-Fadl menyuruhku menemui Muawiyyah di Syiria. Setelah
menyelesaikan urusanku, posisi hilal Ramadlan sudah masuk sedangkan aku masih
berada di Syiria, di mana aku melihat hilal pada malam jum’at. Ketika aku pulang
ke Madinah pada akhir bulan, kemudian Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku.
Lalu aku ceritakan masalah hilal. Ia bertanya : “Kapan kamu melihat hilal ?”
Aku menjawab : “Malam jumat.” ia bertanya lagi : “Apakah kamu melihatnya
sendiri ?.” Aku menjawab : “Ya, dan manusia juga melihat hilal dan berpuasa
beserta Muawiyyah.” Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami melihat hhlal pada malam
sabtu, oleh karena itu kami tetap berpuasa sehingga menyempurnakan tiga puluh
atau melihat hilal.” Aku bertanya : “Apakah kita tidak cukup dengan rukyahnya
Muawiyyah dan puasanya ?.” Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, seperti inilah
Rasulullah SAW memerintahkan kita.”.
Dalam
hadits tadi, Ibnu Abbas menolak menetapkan puasa di Madinah berdasarkan
rukyah penduduk Syira.
Penolakan
Ibnu Abbas karena mengikuti perintah Nabi SAW. Dan hal ini menunjukkan bahwa
penetapan awal bulan terhadap penduduk suatu daerah yang berdasarkan rukyah
daerah lain bertentangan dengan perintah Syari’, berupa keharusan menetapkan
setiap daerah berdasarkan mathla’nya -dalam hal rukyah- atau menyempurnakan
tiga puluh hari bilamana hilal tidak dapat dirukyah pada tanggal dua puluh
sembilan. Jadi penolakan ini bukan hasil ijtihad ibnu Abbas sendiri, sehingga
tidak boleh kita katakan bahwa penolakan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah atau dasar argumen.
Menurut
ahli hadits, kalimat haakadza amarona
Rasululloh adalah bagian dari kalimat yang ada dalam hadits marfu’,[43] sedangkan suatu
hadits tidak dikatakan marfu’ kecuali adanya dalil -meskipun tidak secara
jelas- yang menunjukkan bahwa hadits ini marfu’, dan dalil yang menunjukkan
adalah hadits yang diceritakan oleh ibnu Umar. Menurut as-Syaukani yang menjadi
hujjah adalah “apa” yang disandarkan pada Nabi SAW dari cerita Ibnu Abbas,
bukan ijtihad yang ia lakukan.[44]
Dan
juga berdasarkan pada hadits riwayat ibnu Umar :
(1886)
ـ حدّثنا عبدُ اللّهِ بنُ مَسلمَةَ حدثَنا مالكٌ عن عبدِ اللّهِ بنِ دِينارٍ عن
عبدِ اللّهِ بنِ عمرَ رضيَ عنهما أن رسولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلّم قال:
«الشهرُ تِسعٌ وعشرونَ ليلةً، فلا تصومُوا حتّى تَرَوهُ، فإِنْ غُمَّ عليكم
فأكمِلوا العِدَّةَ ثلاثين». (رواه البخاري في صحيحه)
“Janganlah kamu sekalian
berpuasa sebelum melihat hilal, dan jangan berlebaran sehingga melihat hilal,
bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh hari.”
Syari’
menggantungkan hukum -puasa dan lebaran- dengan rukyahnya setiap orang, namun
-dalam kesempatan lain- juga menjelaskan bahwa kesaksian yang benar itu
dianggap, dimana diposisikan pada rukyahnya setiap orang. Artinya rukyah
sebagian penduduk suatu daerah sudah mewakili dan punya konsekuensi
mengharuskan puasa semua penduduk daerah tersebut. Sedangkan daerah yang jauh
dari tempat rukyah (tidak satu mathla’) masih menetapi hukum asli[45] (keumuman hadits),
yaitu wajib berpuasa berdasarkan rukyah pada mathla’mereka.
b. Dalil Aqli.
Perbedaan
mathla’ merupakan sebab yang membedakan permulaan bulan, karena setiap mathla’
memiliki hukum sendiri. Sedangkan masuknya bulan Ramadlan menjadi sebab
kewajiban berpuasa, sehingga masuknya bulan puasa pada suatu daerah yang
berdasarkan rukyah tidak menetapkan daerah lain yang berbeda mathla’.
c. Qiyas.
Secara
ijma’, mathla’ matahari dianggap berlaku sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang,
Dan ini yang membedakan waktu shalat antar daerah. Oleh karena itu mathla’
bulan dianalogkan pada mathla’ matahari, dengan jami’ keduanya merupakan benda
langit yang memiliki garis orbit dan berpengaruh pada waku ibadah dan awal
bulan.[46]
d. As-Subki
berlandaskan pada sikap Khulafaur Rasyidin.
Dimana
tidak diketemukan bahwa mereka mengirim surat
ke semua daerah Islam ketika hilal sudah dilihat pada sebagian daerah, dengan
tujuan untuk menetapkan adanya rukyah dan masuknya bulan semisal
Ramadlan.
Menurut
jumhur ulama, mathla’ bulan dianggap tidak berpengaruh dalam menentukan bulan
Ramadlan pada setiap daerah, sehingga rukyah di suatu daerah juga berlaku pada
semua daerah yang lain, baik yang dekat maupun yang jauh. Pendapat ini
berdasarkan pada :
a. Dalil Naqli
صوموا
لرؤيته وافطروا لرؤيته
“Puasalah kamu sekalian
karena melihat hilal, dan berlebaranlah karena melihat hilal ”
Hadits
tersebut menjelaskan bahwa Syari’ menggantungkan khithab ‘am (hukum yang umum) pada lafal “shuumuu” dengan
kemutlakan rukyah. dalam kaidah ushul fiqh “lafal yang berbentuk mutlak
diberlakukan kemutlakannya” selama tidak ada perkara yang membatasi
pengertiannya. Dan bentuk kemutlakan direalisasikan pada setiap bagian dari
perkara itu sendiri. Dengan demikian, melihat hilal pada mathla’ manapun sudah
dikatakan sebagai bentuk rukyah, yang nantinya menetapkan hukum yang umum,[47] berupa kewajiban
puasa bagi seluruh umat Islam dimanapun tanpa memperhitungkan mathla’ setiap
daerah -tentunya bila mengetahui adanya ketetapan rukyah-.
Dan Al Quran :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Karena itu
barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqoroh : 185)
Ayat
diatas menjelaskan, puasa diwajibkan ketika mengetahui bulan Ramadlan, tidak
mengkhususkan ketika melihat hilal.
Menurut
Ibnu Qudamah, setelah ada ketetapan bahwa hari ini bulan Ramadlan berdasarkan
kesaksian orang yang dapat dipercaya (syahadah tsiqoh), maka wajib puasa bagi
semua orang Muslim.[48] Artinya kewajiban
puasa digantungkan pada bulan Ramadlan.
b. Dalil Aqli.
Bulan
Ramadlan berada di antara dua hilal (awal malam Ramadlan dan awal malam Syawal)
sehingga ketika awal bulan Ramadlan telah ditetapkan berdasarkan rukyah pada
mathla’ manapun, tentunya hal tersebut menunjukkan masuknya awal bulan
Ramadlan.
Dalam
menanggapi dalil-dalil yang diajukan kelompok pertama, jumhur Ulama’ telah
memberi sanggahan-sanggahannya sebagai berikut:
1.
Menurut kelompok pertama kemutlakan haditsصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتهdibatasi pengertiannya oleh hadits صوموا حتى تروا الهلالkarena arti lafad - tarou -
adalah rukyahnya setiap orang -lihat keterangan diatas-. Akan tetapi ditolak oleh Jumhur
Ulama’, karena hadits yang kedua dapat dijadikan
qayyid jika khithob pada hadits pertama
dikhususkan pada setiap masyarakat dalam satu daerah. Dan kenyataannya khithob hadits tersebut bersifat umum[49] yang mencakup semua orang,
sehingga kedua hadits tersebut pengertiannya sama, yaitu :
صوموا اذا
رءي الهلال أو لاتصوموا حتى تقع منكم رؤية الهلال
Puasalah kamu sekalian ketika
hilal sudah dilihat, “atau” janganlah kamu berpuasa sehingga dari kamu ada yang
melihat hilal.
Bukan
mengkhususkan setiap kaum untuk rukyah sendiri-sendiri. Uraian di atas
menunjukkan bahwa istidlal Ibnu Abbas
dengan mengatakan “hakadza maa amarona Rasulullah” adalah murni ijtihad beliau.
Sedangkan pemahaman sahabat tidak dapat dijadikan hujjah kecuali ijma’ mereka.
Dan dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan dari sahabat, dengan bukti
adanya perbedaan diantara Ulama’.
2.
Jumhur Ulama’ menentang penganalogkan mathla’ bulan
dengan mathla’ matahari. Mereka menjelaskan bahwa matahari setiap hari pasti
berhadapan dengan bumi, tetapi secara gradual (tadriji), sebab bentuk bumi
adalah bulat dan selalu berotasi. Artinya, sinar matahari akan mengenai bumi
dengan silih berganti sesuai keberadaan dan posisi setiap daerah dilihat dari
garis bujur dan lintang. Sehingga terbit, tenggelam, dan keberadaan matahari
diatas kita (tengah hari) tidak sama antara daerah satu dan yang lain. Berbeda
dengan bulan yang permulaannya (lahirnya hilal) dimulai dari meninggalkan
matahari setelah posisinya bersejajar (baca : ijtima’), keadaan ini tidak akan
berbeda sebab perbedaan letak suatu daerah. Dengan demikian, dilihatnya hilal
pada mathla’ manapun menunjukkan hilal sudah muncul dan pada malam itu bulan
Ramadlan dimulai. Artinya awal bulan tidak relatif (pada masing-masing daerah)
akan tetapi secara menyeluruh.[50]
3.
Menurut Jumhur Ulama’, istidlalnya As-Subki tidak
dapat digunakan, sebab murni penyimpulan aqliyyah sehingga tidak dapat
digunakan untuk membandingi dalil nash. Selain itu, pada zaman Khulafaur
Rosyidin untuk bisa mecapai seluruh daerah Islam membutuhkan waktu tiga bulan
atau lebih, berarti kabar akan sampai setelah bulan Ramadlan. Karena itu,
mereka tidak ditaklif (dibebani) untuk menyampaikan bahwa sudah ada
rukyah, mengingat tujuan pembebanan tidak akan terealisasi. Dengan demikian,
tidak mengkabarkan keseluruh penjuru bukan berarti menunjukkan bahwa mathla’
dianggap, akan tetapi pada zaman itu “hal tersebut” merupakan suatu yang muhal
(artinya berita tidak akan dapat sampai keseluruh daerah Islam dalam waktu
semalam ).
4.
Kelompok pertama mensyaratkan “sifat jauh” dalam
mempertimbangkan mathla’, sebab disitulah perbedaan mathla’ akan ditemukan. Dan
mereka berpendapat jauh itu adalah jarak antara kota Hijaz dan Andalus. Dari sini menunjukkan
bahwa mengambil hujjah dari hadits Kuraib tidak benar, karena syarat jauh tidak
diketemukan pada hadits tersebut, melihat jarak antara Syiria dan Madinah
adalah dekat yang tidak menjadikan adanya perbedaan mathla’.[51]
5.
Menanggapi dalil aqli bahwa sifat jauh menyebabkan
perbedaan mathla’, dan perbedaan ini menyebabkan perbedaan mulainya bulan
Ramadlan. Kelompok kedua mengatakan, pengambilan dalil (perkataan) seperti
itu tidak benar, karena mathla’ merupakan obyek perdebatan, dimana obyek debat
tidak dapat digunakan sebagai dalil.[52]
F. KEPUTUSAN PEMERINTAH
Imam
(kepala negara) punya tugas mengatur umat menuju keserasian dan menghindari
atau menghilangkan perpecahan, untuk itu Islam memberikan kekuasaan mutlak,
bahkan memberi hak menghukum rakyat yang tidak patuh.
Keputusan
yang diambil punya konsekuensi mengharuskan semua lapisan masyrakat untuk
mematuhi tanpa memilah-milah antara yang sealiran (Madzhab) dengan imam, tetapi
yang terpenting keputusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Artinya standar yang digunakan untuk menilai dan menimbang keputusan tersebut
bukan hanya madzhab yang kita ikuti, sehingga meskipun menurut madzhab yang
kita ikuti kebijakan tersebut adalah salah, akan tetapi dilihat dari madzhab
lain benar maka kita wajib mematuhi.
Oleh
karena itu ketika pemerintah menentukan bahwa malam ini tanggal satu Ramadlan
atau Syawal, maka seluruh rakyat Indonesia harus mematuhinya, karena keputusan
pemerintah menguatkan salah satu pendapat dan atau menghapus perbedaan ulama[53] dan kepatuhan dalam
hal ini dikategorikan taat dalam kebaikan.
Untuk
itu, tidak dibenarkan adanya suatu lembaga menentukan (mengumumkan) awal
Ramadlan atau Syawal yang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah.
Begitu juga menetapkan sebelum ada ketetapan dari pemerintah. Bahkan pemerintah
harus mencegah hal tersebut untuk menghindari mafsadah yang ditimbulkan.
Namun
kiranya perlu kami lampirkan juga keterangan sebagaimana berikut :
- Ketetapan masuknya
awal bulan Ramadlan secara umum (berlaku bagi seluruh masyarakat) hanya dapat
ditetapkan dengan dua cara, pertama dengan menyempurnakan bulan sya’ban 30
hari. Kedua ditetapkan (itsbat) oleh hakim dengan tendensi rukyahnya (minimal)
satu orang yang adil, diluar itu tidak ada hal lain yang dapat digunakan
tendensi masuknya bulan ramadlan kecuali berlaku secara khusus bagi orang-orang
tertentu, seperti orang yang melihat hilal (dengan matanya sendiri) atau orang
yang mengetahui masuknya bulan dengan hitungannya (hisab) sendiri, maka dengan
sendirinya mereka dan juga orang-orang yang mempercayai mereka wajib berpuasa
tanpa menunggu ketetapan dari imam (pemerintah). Hal ini juga berlaku bagi
orang yang meyakini masuknya bulan karena melihat tanda-tanda yang biasa
digunakan masyarakat yang semathla’ dengannya untuk menunjukkan masuknya bulan,
semisal adanya tabuh-tabuhan bedug, kentongan dll.
Dari
sinilah al Syaikh Salim Ibn Sa’id Bakir[54] menyatakan bahwa
kabar tentang ketetapan masuk bulan ramadlan dari media elektronik seperti
radio atau televisi tidak dapat dijadikan ketetapan yang berlaku umum. Ia hanya
bisa dijadikan pegangan bagi mereka yang percaya pada kabar media elektronik
tersebut, artinya ketetapan masuk bulan dari media elektronik berlaku khusus
bagi yang mempercayai saja, ini pun kalau memang semathla’. praktek semacam ini
disamakan dengan orang yang mempercayai tabuh-tabuhan bedug dan kentongan
(tanda masuk awal bulan).
Adapun
berita awal bulan ramadlan yang disiarkan dari ibu kota
negara (Jakarta)
apakah bisa berlaku sampai ke pelosok-pelosok negeri?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, dalam kitab Bulghot al Thoolib
terdapat fatwa yang dinukil
dari fatwanya Shohibul Bughyah,[55] yaitu fatwa dari
beliau al Allamah Ibn Yahya:
“Ketika sudah ditetapkan akan
kemunculan hilal pada suatu negara, maka hukumnya akan menyeluruh pada seluruh
daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan penguasa daerah terlihatnya bulan,
walaupun daerah-daerahnya saling berjauhan asalkan masih dalam satu mathla’”
dan al Allamah al
Asykhor
“Ketika keputusan penguasa suatu negara tentang
penetapan awal bulan ramadlan tidak berdasarkan pada dalil-dalil Syari’at, akan
tetapi hanya asal-asalan dan tanpa prosedur yang jelas, maka hari itu disebut
yaum al Syak (hari yang masih diragukan)”
Maka
secara eksplisit dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban
mengikuti keputusan pemerintah tentang penetapan awal bulan ramadlan harus
memenuhi empat kriteria :
1.
Daerah tersebut harus termasuk dalam wilayah
kekuasaan al Hakim daerah terlihatnya bulan. Al Hakim yang dimaksud disini
adalah al Hakim Syar’iyyah . yaitu penguasa yang diangkat oleh kaum muslimin
atau seluruh kaum muslimin yang mempunyai kekuatan yang tidak termasuk dalam
wilayah kekuasaan penguasa muslim yang lain. Sehingga dapat kita katakan bahwa
penguasa Indonesia adalah
termasuk penguasa al Syar’iyyah, sehingga seluruh wilayah Indonesia adalah dalam kekuasaan
seorang al Hakim saja.
2.
Kedua tempat tersebut harus dalam satu Mathla’
menurut pendapat al Ashoh seperti yang dipilih imam Nawawi. Kemudian
beliau Syeikh Abdulloh di Umar ba Makhromah memberikan perincian yaitu: ketika
waktu ghurub dalam dua daerah terpaut 8 Derajat atau kurang, maka kedua tempat
tersebut dikatakan satu Mathla’. Dan ketika keterpautan diantara keduanya lebih
dari 8 derajat, maka dikatakan berbeda Mathla’. Dan 1 (satu) derajat adalah 4
menit
3.
Sandaran pemerintah dalam menetapkan awal bulan
adalah dengan dasar-dasar Syar’iyyah. semisal keadaan orang yang melihat
tersebut harus ‘Adlusy Syahadah dan
dapat mengingat kemiringan hilal
4.
Tidak ada keraguan akan keabsahan hukum yang
ditetapkan oleh penguasa tersebut.
Kiranya
dalam penguraian tentang penetapan awal bulan, kami hanya dapat menghantarkan
sampai disini saja dengan harapan semoga tulisan ini dapat mengurangi keresahan
masyarakat yang hampir selalu muncul saat penetapan awal bulan Ramadlan dan Syawwal.
Wallahu ‘A’lam
BAB III
KESIMPULAN
I. HISAB
I.1. Hisab
‘Urfi.
Adalah sistem perhitungan
kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan
ditetapkan secara konvensional.
I.2. Hisab
hakiki
Adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini,
setiap bulan jumlahnya tidak tetap dan tidak beraturan. ada dua aliran besar :
a. Aliran yang hanya berpegang pada ijtima’.
Menurut sistem ini, awal bulan
Qomariyah dimulai ketika terjadi ijtima’, berarti aliran ini tidak
memperhitungkan hilal dapat dilihat atau tidak. Aliran ini terbagi menjadi
beberapa kelompok
·
Ijtima’ qobla al ghurub.
·
Ijtima’ qobla al fajr.
·
Ijtima’ dan terbit matahari.
·
Ijtima’ dan tengah hari.
·
Ijtima’ dan tengah malam.
b. Aliran ijtima’ dan posisi hilal diatas ufuk.
Menurut aliran ini, awal bulan
qomariyah dimulai sejak terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal
sudah berada di atas ufuk. Aliran ini juga terbagi menjadi tiga :
·
Ijtima’ dan ufuk hakiki.
·
Ijtima’ dan ufuk hissi.
·
Ijtima’ dan imkanur rukyah.
II. RUKYAH
Menurut madzhab Hanbali,
melakukan rukyah pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban atau Ramadlan adalah
sunnah, sebagai bentuk usaha ihtiyath (berhati-hati) dan mencegah adanya
perbedaan. Sedangkan madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki,
hukum melakukan rukyah adalah wajib sosial (fardhu kifayah),
II.1. Rukyah Secara
Langsung.
Imam Abu Hanifah, imam Malik,
imam Syafi’i, dan imam Ahmad sepakat ketika seseorang melihat hilal Ramadlan
maka ia harus berpuasa.
II.2. Kabar Rukyah.
Menurut ijma’, berita rukyah itu
dapat dibuat dasar melakukan puasa dan berlebaran. Namun para ulama’ berbeda
pendapat tentang berapa jumlah minimal orang yang mengkabarkan tentang
terlihatnya hilal yang bisa dijadikan sebagai dasar penentuan awal bulan.
1.
Menurut Imam Malik, untuk berpuasa dan berlebaran
tidak boleh berlandaskan pada kesaksian kurang dari dua orang.
2. Imam Syafi’i, beliau
memilah-milah antara hilal Ramadlan dan hilal Syawal. Artinya, untuk berlebaran harus ada kesaksian
minimal dua orang, dan untuk berpuasa cukup dengan ada kesaksian satu orang
saja.
3. Imam Abu Hanifah
dalam memberikan kriteria batasan minimal, lebih menitikberatkan pada kondisi
lapangan, sehingga dibedakan antara cuaca yang cerah dan cuaca yang berawan.
Dalam keadaan cerah harus ada kesaksian satu golongan, dan dalam cuaca
berawan cukup kesaksian satu orang.
4. Menurut Imam Abu
Tsaur, kesaksian satu orang sudah cukup untuk dijadikan dasar untuk berpuasa
atau berlebaran
III. PENGGUNAAN HISAB DAN RUKYAH
Secara sempit, hal initerbagi menjadi tiga kelompok :
- Kelompok yang hanya menggunakan rukyah.
- Kelompok yang hanya menggunakan hisab.
3. Kelompok yang
menggunakan rukyah disertai hisab.
IV. Pertentangan Hasil Hisab dan kesaksian Rukyat
Pada kasus ini juga terdapat dua pendapat :
1. Mengunggulkan hisab dan
menolak kesaksian rukyah, sebab hisab adalah perkara yang pasti (qoth’i)
sedangkan kesaksian rukyah adalah dzonni. Dan syarat dari diterimanya kesaksian
rukyah adalah mungkinnya hilal untuk dilihat, baik dari sisi syara’, akal,
maupun adat (kebiasaan).
2. Menolak hasil hisab dan
menetapkan rukyah.
V. APAKAH MATHLA’ BULAN DIPERTIMBANGKAN
Dalam hal inipun setidak-tidaknya
dapat dikelompokkan dalam tiga pendapat :
- Mathla’ dipertimbangkan.
- Mathla’ tidak dipertimbangkan.
- Mathla’ dipertimbangkan dengan syarat.
VI.
KEPUTUSAN PEMERINTAH
Maka secara eksplisit dari
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban mengikuti keputusan
pemerintah tentang penetapan awal bulan ramadlan harus memenuhi empat kriteria
:
- Daerah tersebut harus termasuk dalam wilayah kekuasaan al Hakim daerah terlihatnya bulan.
- Kedua tempat tersebut harus dalam satu Mathla’ dengan rincian: ketika waktu ghurub dalam dua daerah terpaut 8 Derajat atau kurang, dan 1 (satu) derajat adalah 4 menit
- Sandaran pemerintah dalam menetapkan awal bulan adalah dengan dasar-dasar Syar’iyyah. semisal keadaan orang yang melihat tersebut harus ‘Adlusy Syahadah dan dapat mengingat kemiringan hilal
- Tidak ada keraguan akan keabsahan hukum yang ditetapkan oleh penguasa tersebut.
BIBLIOGRAFI
Abdul
Hamid, as Syarwani, “al Hawasyi al Syarwani ‘ala Tuhfah al Muhtaj bi Syarhil
Minhaj”, Dar al Fikr, Beirut, Juz I
Abdur
Rohman al Baghawi bin Muhammad bin Husain bin Umar , Bugyatul Mustarsyidin, Mathba’ah Amin Abdul Majid Kaherah, 1338 H.
Abu-Bakar bin Muhammad Syatha
Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin,Darul Fikr,juz II
Ala’uddin,
Abu Bakar bin Mas’ul bin Ahmad al Kasaniy al Hanafy, al Badaiu’ as Shona’, Dar al Kutub Al Alamiyah, Th. 1424H/2003 M. Juz
II
Al
Bahuti, Manshur Yunus bin Idris al Bahuti “ Kasyf
al Qona’”, Dar al Fikr, Beirut,
Th. 1402 Juz II.
Al-Jaziri, Abdurrahman.. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib
Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. Beirut,
Th 1999: Darul Fikr. Juz I
0 komentar:
Posting Komentar